Dari sudut pandang saintifik, keterampilan secara umum dipahami sebagai kemampuan melakukan tugas atau aktivitas dengan tingkat kompetensi tertentu, seringkali sebagai hasil dari pembelajaran, pelatihan, dan praktik. Keterampilan melibatkan penerapan ilmu, dan dapat bersifat fisik dan mental.
Menurut American Psychological Association (APA), keterampilan didefinisikan sebagai: "Kemampuan melakukan tugas dengan kompetensi, kerap sebagai hasil dari pelatihan, praktik, atau pengalaman." (Kamus Psikologi APA).
Definisi ini menekankan bahwa keterampilan bukanlah bawaan tetapi dikembangkan melalui pengulangan, umpan balik, dan upaya yang bertujuan.
Studi ilmiah dalam bidang semisal psikologi kognitif, ilmu saraf, dan pendidikan menunjukkan bahwa keterampilan melibatkan memori prosedural (mengetahui cara melakukan sesuatu) dan fungsi motorik atau kognitif, tergantung pada sifat keterampilan tersebut. Misalnya, belajar mengendarai sepeda melibatkan koordinasi dan memori otot, sementara belajar memecahkan masalah matematika melibatkan logika, analisis, dan pemrosesan mental. Keterampilan umumnya dibagi menjadi dua kategori besar:
- Hard skills, yang bersifat teknis dan terukur—seperti mengetik, membuat kode, atau mengoperasikan mesin.
- Soft skills, yang bersifat interpersonal dan perilaku—semisal komunikasi, kepemimpinan, dan pengaturan emosi.
Neuroscience juga mendukung gagasan bahwa pengembangan keterampilan melibatkan penulisan ulang jalur saraf melalui proses yang dikenal sebagai neuroplastisitas. Semakin sering suatu keterampilan dipraktikkan, semakin efisien otak dalam melakukannya, itulah sebabnya pengulangan dan konsistensi merupalan kunci untuk menguasai keterampilan apa pun.
Dari perspektif saintifik, keterampilan merupakan kapasitas yang dipelajari untuk melaksanakan tugas secara efektif dan konsisten. Keterampilan muncul melalui interaksi antara proses kognitif, praktik fisik, dan pengalaman lingkungan, dan mencerminkan adaptasi mental dan perilaku.
Dari perspektif Islam, keterampilan dipandang sebagai kemampuan yang diberikan Sang Pencipta yang semestinya dikembangkan, disempurnakan, dan digunakan oleh manusia untuk mengabdi kepada Allah dan membantu ciptaan-Nya. Kendati tradisi Islam tak selalu mendefinisikan "keterampilan" dengan bahasa teknis yang sama, yang digunakan dalam psikologi atau pendidikan modern, tradisi tersebut sangat menekankan pada kompetensi praktis, perilaku etis, dan perbuatan yang bermanfaat sebagai bagian penting dari keyakinan dan tanggungjawab manusia.
Definisi yang bermanfaat datang dari para ulama Islam yang menafsirkan keterampilan sebagai bagian dari fiqhul ʿamaliyyah (pemahaman praktis) dan maharah (kecakapan). Contoh, dalam literatur pendidikan Islam, seperti dalam Iḥyā ‘Ulūmuddīn karya Imam al-Ghazali, keterampilan dikaitkan dengan ḥusnul ṣanʿa—keunggulan dalam keterampilan—dan dihargai ketika keterampilan tersebut memiliki tujuan yang benar. Meskipun ia mungkin tak mendefinisikan keterampilan dalam terma modern, al-Ghazali membahas pentingnya menguasai keterampilan agama dan duniawi, dengan menyatakan bahwa, “Bekerja adalah sarana untuk mencari nafkah dan ibadah, dan sebaik-baik di antara kalian adalah mereka yang memberi manfaat kepada orang lain.”
Dalam Islam, keterampilan tak dipandang hanya sebagai kemampuan fungsional, tetapi sebagai sarana untuk memenuhi peran seseorang sebagai khalifah (pelayan) di bumi. Al-Qur'an surah Al-Anbiya' (21):80 mengacu pada keterampilan Nabi Daud, "Kami mengajarkan pula kepada Daud cara membuat baju besi untukmu guna melindungimu dari serangan musuhmu (dalam peperangan). Maka, apakah kamu bersyukur (kepada Allah)?" Ayat ini menunjukkan bahwa keterampilan praktis—dalam hal ini, pengerjaan logam—tak hanya berguna tetapi juga diilhami dan dihargai oleh Allah ketika keterampilan tersebut berkontribusi pada kesejahteraan manusia.
Lebih jauh, Rasulullah (ﷺ) bersabda, “Allah menyukai ketika salah seorang di antara kalian melakukan sesuatu, bahwa ia melakukannya dengan sempurna (ihsan).” Hadits ini menyiratkan bahwa mengembangkan keterampilan seseorang dan berusaha menyempurnakan pekerjaan, pelayanan, atau ibadah tak hanya terpuji, tetapi juga dicintai oleh Allah [Hadits ini banyak dikutip dalam ajaran Islam untuk menekankan pentingnya melakukan sesuatu dengan hati-hati, cermat, dan ikhlas. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam Shu'ab al-'Īmān (Cabang-Cabang Iman). Menurut para ulama hadits, hadits ini punya beberapa kelemahan dalam rantai periwayatannya. Syaikh al-Albani menilai hadits ini sebagai Ḍa'īf (lemah); ulama lain, seperti Ibnu Hibban, memasukkan versinya dalam Ṣaḥīḥ-nya, yang memberikan hadits tersebut beberapa kekuatan pendukung. Meskipun ada kelemahannya, banyak ulama yang menganggap makna hadis tersebut sahih dan sejalan dengan nilai-nilai Islam, terutama mengingat konsep Al-Qur'an tentang iḥsān (mengerjakan sesuatu dengan sempurna dan indah).
Keterampilan saja dapat membawa keberhasilan dalam situasi dimana kemampuan praktis dan keahlian langsung merupakan persyaratan utama, bahkan jika pengetahuan formal terbatas. Misalnya, dalam banyak perdagangan atau kerajinan, seperti pertukangan, memasak, atau mengemudi, punya keterampilan yang berkembang dengan baik memungkinkan seseorang melakukan tugas secara efisien dan menghasilkan hasil berkualitas tinggi. Dalam kasus ini, kemampuan melaksanakan tindakan tertentu secara kompeten sering kali lebih penting daripada kebutuhan akan pengetahuan teoritis yang luas. Selain itu, keterampilan dapat membawa keberhasilan dalam lingkungan yang lebih menghargai pengalaman dan kemampuan beradaptasi daripada pendidikan formal. Contoh, seseorang yang telah mengasah keterampilan komunikasi atau negosiasi melalui praktik di dunia nyata dapat unggul dalam peran penjualan atau layanan pelanggan, bahkan tanpa pengetahuan akademis yang mendalam tentang bidang tersebut. Demikian pula, atlet atau seniman sangat bergantung pada keterampilan fisik atau kreatif mereka untuk mencapai keberhasilan, dimana bakat alami yang dipadukan dengan latihan yang konsisten dapat menghasilkan kinerja yang dahsyat.
Akan tetapi, penting disadari bahwa meskipun keterampilan saja dapat mendatangkan keberhasilan dalam konteks tertentu, menggabungkannya dengan pengetahuan yang relevan seringkali meningkatkan pertumbuhan jangka panjang dan kemampuan menangani tantangan yang lebih kompleks. Meski demikian, dalam situasi yang menuntut tindakan praktis dan segera serta dimana hasil dinilai berdasarkan kinerja dan bukan teori, keterampilan saja dapat cukup untuk mencapai keberhasilan.
Ada beberapa industri yang keterampilannya kerap lebih penting dibanding ilmunya, terutama ketika kemampuan praktis, pengalaman langsung, dan kapasitas melaksanakan tugas secara efisien merupakan persyaratan utama untuk meraih kesuksesan. Contoh, dalam bidang manufaktur, kemampuan yang secara konsisten menjalankan proses seperti perakitan, pengoperasian mesin, atau pemeliharaan peralatan dengan standar tinggi sangatlah penting. Meskipun memahami teori di balik suatu proses sangatlah membantu, keterampilan untuk melaksanakannya dengan cepat, aman, dan akuratlah, yang menentukan produktivitas dan kualitas di tempat kerja.
Demikian pula di sektor teknologi, terutama dalam peran seperti pengembangan perangkat lunak atau dukungan Teknologi Informasi, para pemberi kerja semakin memprioritaskan kandidat yang dapat menunjukkan keterampilan praktis, semisal pengodean, pemecahan masalah, atau penerapan sistem, ketimbang mereka yang hanya memiliki pengetahuan teoritis. Evolusi teknologi yang cepat berarti bahwa pengalaman langsung dan kemampuan beradaptasi dengan alat dan metode baru sangat dihargai. Banyak pekerjaan teknologi sekarang mengharuskan pekerja agar menunjukkan kemahiran dalam menggunakan teknologi tertentu dan memecahkan masalah dunia nyata, daripada hanya memiliki pengetahuan akademis tentang teknologi tersebut.
Contoh lain termasuk penjualan, layanan pelanggan, dan bidang kreatif seperti desain atau seni kuliner, dimana keterampilan interpersonal, komunikasi, atau teknis dapat mengimbangi kesenjangan dalam pengetahuan formal. Misalnya, seorang tenaga penjualan dengan keterampilan persuasi dan membangun hubungan yang sangat baik dapat mengungguli seseorang dengan pengetahuan produk yang lebih mendalam tetapi kemampuan komunikasi yang lebih lemah.
So, walau pengetahuan memberikan landasan yang berharga, banyak industri mengandalkan keterampilan sebagai pendorong utama kinerja dan keberhasilan, terutama dalam peran yang hasilnya diukur berdasarkan keluaran praktis dan kemampuan untuk menanggapi tuntutan dunia nyata secara efektif.
Para profesional dapat menyeimbangkan ilmu dan keterampilannya secara efektif dengan memadukan pembelajaran berkelanjutan dengan pengalaman praktis, memastikan bahwa pemahaman teoritis diterapkan dan disempurnakan secara konsisten melalui praktik di dunia nyata. Ilmu memberikan dasar untuk memahami konsep, proses, dan tren industri, sementara keterampilan menerjemahkan pemahaman tersebut menjadi tindakan dan hasil. Dengan mencari peluang bagi pendidikan formal dan pelatihan langsung, para profesional dapat menjembatani kesenjangan antara mengetahui apa yang harus dilakukan dan mampu melakukannya dengan baik.
Di tempat kerja, keseimbangan ini seringkali dicapai dengan menggabungkan pendidikan berkelanjutan—semisal lokakarya, kursus, dan penelitian industri—dengan pengalaman di tempat kerja yang mengembangkan kemampuan praktis. Contoh, seorang profesional dapat mempelajari teknologi baru atau teori manajemen lalu menerapkannya dalam proyek atau tugas sehari-hari, belajar dari keberhasilan dan kemunduran. Pendekatan ini tak hanya meningkatkan kompetensi tetapi juga kemampuan beradaptasi, karena para profesional menjadi lebih siap menghadapi tantangan baru dan lingkungan yang berubah.
Lebih jauh lagi, profesional yang memprioritaskan ilmu dan keterampilan cenderung mengalami pertumbuhan karier yang lebih berkelanjutan. Berfokus hanya pada satu hal dengan mengorbankan yang lain dapat menyebabkan stagnasi atau hilangnya peluang. Misalnya, hanya mengandalkan keterampilan tanpa memperbarui ilmu yang dimiliki dapat mengakibatkan praktik yang ketinggalan zaman, sementara ilmu tanpa keterampilan praktis dapat membatasi efektivitas dalam situasi nyata. Individu dan tim yang paling sukses ialah mereka yang menyadari nilai keduanya dan melakukan upaya yang disengaja untuk mengembangkan setiap area, seringkali melalui bimbingan, kolaborasi, dan praktik reflektif.
Menyeimbangkan ilmu dan keterampilan bukanlah pencapaian sekali, melainkan proses berkelanjutan yang membutuhkan kesadaran diri, kemauan belajar, dan keberanian menerapkan wawasan baru. Keseimbangan dinamis ini tak semata mendukung kemajuan karier individu, tapi juga berkontribusi pada efektivitas dan inovasi organisasi secara keseluruhan.
Keterampilan dapat mengimbangi kurangnya ilmu di tempat kerja dengan memungkinkan individu memanfaatkan kemampuan praktis semisal pemecahan masalah, integrasi, dan keterampilan interpersonal untuk menavigasi situasi yang tak dikenal dan menyelesaikan tugas secara efektif. Contoh, ketika karyawan atau pemimpin tak memiliki pengetahuan atau pengalaman teknis tertentu, mereka dapat memanfaatkan keterampilan pemecahan masalah yang kuat memecah tantangan yang kompleks, mencari informasi, dan merancang solusi yang dapat diterapkan. Keterampilan integrasi memungkinkan mereka menghubungkan berbagai sumber daya dan keahlian dalam sebuah tim, memastikan bahwa kesenjangan dalam pengetahuan mereka sendiri dilengkapi dengan kekuatan orang lain. Keterampilan interpersonal, semisal komunikasi dan kolaborasi yang efektif, membantu mereka membangun hubungan dan berkoordinasi dengan rekan kerja yang memiliki pengetahuan yang dibutuhkan, sehingga memfasilitasi pengambilan keputusan dan penyelesaian proyek.
Selain itu, keterampilan kompensasi ini tak hanya berguna secara langsung tetapi juga dapat diajarkan, sehingga memungkinkan organisasi mengembangkannya melalui pelatihan yang terarah dan program pengembangan profesional. Hasilnya, karyawan yang unggul dalam bidang ini tetap dapat bekerja pada level tinggi, bahkan ketika mereka tidak memiliki semua pengetahuan teknis atau khusus domain yang dibutuhkan bagi peran tertentu. Pendekatan ini meningkatkan kemampuan adaptasi organisasi dan membantu tim berhasil dalam lingkungan yang dinamis atau terbatas sumber daya, dimana tak selalu memungkinkan memiliki setiap kualifikasi atau pengetahuan yang tersedia.
Keterampilan dapat berkembang sampai batas tertentu tanpa dasar pengetahuan yang kuat, terutama jika keterampilan tersebut melibatkan tugas-tugas dasar atau berulang yang sangat bergantung pada latihan dan ingatan otot. Contoh, seseorang mungkin belajar melakukan pekerjaan manual atau mengoperasikan mesin tertentu melalui pengalaman langsung dan pengulangan, meskipun mereka tak sepenuhnya memahami prinsip-prinsip atau teori yang mendasari pekerjaan tersebut. Dalam kasus seperti ini, keterampilan dibangun melalui praktik daripada belajar, dan individu menjadi mahir dengan berlatih tugas secara teratur.
Akan tetapi, bagi keterampilan yang lebih kompleks atau tingkat lanjut, landasan ilmu yang kuat biasanya diperlukan untuk mengembangkannya secara efektif dan aman. Ilmu menyediakan konteks, penalaran, dan pemahaman yang memandu bagaimana keterampilan diterapkan dan disesuaikan dengan situasi yang berbeda. Tanpa landasan ini, keterampilan akan terbatas pada tindakan rutin dan mungkin tidak fleksibel atau efisien saat menghadapi tantangan baru. Contoh, seseorang belajar membuat kode dengan menyalin contoh tanpa memahami konsep pemrograman, tetapi kemampuannya memecahkan masalah unik atau menulis kode yang efisien akan terbatas tanpa ilmu yang lebih mendalam.
Kendati ada keterampilan dapat dikembangkan melalui praktik saja, menggabungkan keterampilan dengan dasar pengetahuan yang kuat akan menghasilkan kompetensi, kemampuan beradaptasi, dan keberhasilan jangka panjang yang lebih baik. Ilmu memperkaya keterampilan dengan memberikan wawasan yang dibutuhkan untuk menerapkannya secara cermat dan kreatif dalam berbagai keadaan.
Apa manfaatnya bila kita tahu bahwa ilmu dan keterampilan tak dapat diambil oleh orang lain? Mengetahui bahwa ilmu dan keterampilan tak dapat diambil oleh orang lain mendatangkan rasa aman dan pemberdayaan yang mendalam. Pemahaman ini bermakna bahwa, apa pun keadaan eksternal yang dikau hadapi—baik itu kehilangan harta benda, mengalami kemunduran, ataupun menghadapi kesulitan—kekayaan internalmu tetap utuh. Ilmu dan keterampilan adalah aset abadi yang tetap bersamamu sepanjang hayat, memungkinkanmu beradaptasi, membangun kembali, dan meraih peluang baru bahkan setelah mengalami kehilangan atau kesulitan.
Kesadaran ini menumbuhkan rasa percaya diri dan kemandirian, karena dikau tahu bahwa kemampuanmu memecahkan masalah, membuat keputusan yang tepat, dan berkontribusi secara bermakna bagi komunitasmu adalah sesuatu yang tak dapat dirampas oleh siapa pun. Hal ini juga mendorong peningkatan diri secara berkelanjutan, karena berinvestasi dalam pembelajaran dan kemampuanmu sendiri menghasilkan manfaat seumur hidup yang kebal terhadap pencurian atau malapetaka. Pada akhirnya, memahami bahwa ilmu dan keterampilan tak dapat diganggu gugat menginspirasi ketahanan, memotivasi pertumbuhan pribadi, dan meyakinkanmu bahwa nilai sejatimu terletak pada apa yang telah engkau kembangkan dalam dirimu, bukan pada apa yang dikau miliki secara eksternal.
Ralph Waldo Emerson pernah berkata, "Apa yang ada di belakang kita dan apa yang ada di hadapan kita adalah hal-hal kecil dibandingkan dengan apa yang ada di dalam diri kita." Perkataan ini menekankan bahwa kualitas batin, semisal ilmu, keterampilan, karakter, dan kearifan, jauh lebih penting dibanding harta-kekayaan atau keadaan eksternal. Ucapan ini mengingatkan kita bahwa kekuatan dan nilai yang kita kembangkan di dalam diri kita, menentukan siapa kita sebenarnya.
Aset batin kita selanjutnya ialah Iman dan Keyakinan. Keduanya berakar mendalam di qalbu dan pikiran seseorang. Walau kekuatan eksternal dapat menantang atau menindas keyakinan seseorang, kekuatan tersebut tak dapat mencabutnya secara paksa kecuali orang tersebut dengan sukarela melepaskan keyakinannya.
"Keyakinan" adalah pembenaran yang mendalam dan tak tergoyahkan pada sesuatu atau seseorang, seringkali tanpa perlu bukti fisik. Keyakinan umumnya dikaitkan dengan spiritualitas atau agama, dimana individu menaruh ketetapan hati mereka pada kekuatan yang lebih tinggi, petunjuk Ilahi, atau kebenaran suci. Namun, Keyakinan juga dapat diterapkan secara lebih luas dalam kehidupan—semisal keyakinan pada masa depan yang lebih baik, pada keadilan, atau kebaikan bawaan manusia. Yang membuat keyakinan kuat ialah ketahanannya; walaupun dikala keadaan eksternal berubah atau berantakan, keyakinan dapat tetap kokoj di dalam qalbu seseorang. Keyakinan tak selalu rasional atau dapat dibuktikan, tetapi keyakinan memberikan kekuatan, kenyamanan, dan petunjuk bagi mereka yang memegangnya.
"Keyakinan" mengacu pada penerimaan bahwa sesuatu itu benar atau ada, terutama tanpa bukti mutlak. Ia lebih intelektual dibanding Keyakinan, kendati keduanya sering terkait. Keyakinan dapat tentang fakta, nilai-nilai, pengalaman, atau pandangan dunia—misalnya, seseorang mungkin percaya bahwa kerja keras mengarah pada kesuksesan, atau kebaikan itu mengubah kehidupan. Keyakinan dibentuk oleh pengasuhan, lingkungan, pendidikan, dan refleksi pribadi seseorang. Tak seperti Keyakinan, yang biasanya lebih emosional dan spiritual, keyakinan sering memerlukan penalaran, bukti, atau pengakuan pribadi—tetapi tak mengharuskan adanya bukti.
Sementara keyakinan kerap dipandang sebagai penerimaan mental terhadap sesuatu yang benar, keyakinan melangkah lebih jauh—keyakinan adalah tentang ketetapan hati yang mendalam terhadap kebenaran itu, terutama ketika tiadanya bukti nyata. Contoh, dirimu mungkin percaya bahwa matahari akan terbit besok karena memang selalu begitu, tetapi dikau memiliki keyakinan bahwa entah seberapa gelapnya hari ini, cahaya pada akhirnya akan kembali.
Dalam Man’s Search for Meaning (1959, Beacon Press), Viktor Emil Frankl, seorang psikiater Austria dan penyintas Holocaust, mengeksplorasi bagaimana mereka yang memiliki keyakinan dan tujuan hidup yang mendalam, mampu menanggung penderitaan berat dengan ketahanan, bahkan dalam kondisi terburuk—semisal di kamp konsentrasi Nazi.
Frankl berpendapat bahwa penderitaan itu sendiri tak menghancurkan seseorang—yang benar-benar penting ialah bagaimana mereka memandang dan menanggapinya. Ia pernah berkata, "Mereka yang punya 'mengapa' untuk hidup dapat menanggung hampir seluruh 'bagaimana'." Ini berarti bahwa narapidana yang percaya bahwa penderitaan mereka punya makna yang lebih tinggi—entah itu beriman kepada Tuhan, cinta kepada keluarga, atau harapan untuk membangun kembali masa depan yang lebih baik—lebih sanggup menanggung kesulitan.
Bahkan ketika semuanya dilepaskan—kebebasan, martabat, kesehatan—Frankl menekankan bahwa satu hal takkan pernah bisa direnggut, “Semuanya bisa direnggut dari seseorang kecuali satu hal: kebebasan terakhir manusia—memilih sikap dalam situasi apa pun, memilih jalannya sendiri.” Kebebasan batin ini memungkinkan beberapa tahanan mempertahankan martabat dan ketahanan spiritual mereka meskipun mengalami penderitaan yang luar biasa.
Frankl menjelaskan betapa para tahanan religius sangat bergantung pada iman kepada Tuhan dan kehidupan setelah kematian untuk menemukan harapan. Misalnya, beberapa narapidana memanjatkan doa, membayangkan keadilan Ilahi, atau melihat penderitaan sebagai ujian ketahanan dan pertumbuhan rohani. “Terlepas dari semua primitif fisik dan mental yang dipaksakan dalam kehidupan di kamp konsentrasi, kehidupan rohani dapat semakin mendalam.” Kedalaman rohani ini membantu individu menanggung rasa sakit yang tak terbayangkan dengan ketahanan.
Frankl menulis bahwa memikirkan orang-orang terkasih—baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal—membantu banyak tahanan agar tetap kuat secara mental. Bahkan tanpa mengetahui nasib mereka, para tahanan berpegang teguh pada kenangan akan cinta, yang memberi mereka kekuatan untuk terus maju. “Keselamatan manusia adalah melalui cinta dan di dalam cinta.”
Bagi sebagian orang, keyakinan untuk bersatu kembali dengan keluarga atau memenuhi tujuan di luar kamp membuat mereka tak menyerah.
Menurut Man’s Search for Meaning, orang-orang yang berhasil selamat dari penderitaan ekstrem seringkali berhasil karena mereka berkeyakinan kuat akan makna di balik penderitaan, keyakinan bahwa hidup memiliki tujuan, bahkan dalam kesakitan; kekuatan spiritual untuk menghadapi kehilangan; cinta kasih kepada sesama sebagai cahaya penuntun.
Keyakinan bersifat sangat pribadi. Meskipun orang mengalami penganiayaan, penindasan, atau kesulitan, sistem keyakinan mereka merupakan pilihan internal. Keyakinan memberikan tujuan, walau dalam penderitaan. Keyakinan sejati mampu menahan tekanan eksternal—orang mungkin dipaksa untuk diam, tetapi keyakinan itu sendiri tak dapat dihapus. Keyakinan mendorong ketahanan. Mereka yang beriman yang kuat menanggung kesulitan dengan kesabaran, mengetahui bahwa penderitaan mereka bermakna.
Sebagai pengikut awal Islam, Bilal bin Rabah (radhiyallahu 'anhu) yang merupakan budak disiksa oleh bosnya agar ia meninggalkan keyakinannya kepada Allah. Ia menahan rasa sakit yang amat sangat tetapi terus mengucapkan "Ahad, Ahad" (Allah Esa). Para penganiayanya tak dapat mencabut keimanan dari qalbunya.
Metamorphoses karya Ovid melukiskan Pygmalion, seorang pematung yang percaya pada keindahan dan kesucian ideal. Pengabdiannya membuat para dewa meniupkan kehidupan ke dalam patungnya, menunjukkan bahwa keyakinan yang mndalam dapat membentuk realitas.
Ut rediit, simulacra suae petit ille puellae,
[Saat kembali, ia mencari patung kesayangannya,]
incumbensque toro dedit oscula: visa tepere est.
[berbaring di sisinya, menciumnya: tampak hangat.]
Admovet os rursus, temptat quoque bracchia; temptatum
[Ia menciumnya lagi, menyentuh lengannya; dengan sentuhannya,]
mollescit ebur, positoque rigore subsidit digitis.
[gading itu melunak, kekakuannya mencair di bawah jarinya]
Keyakinan dan keyakinan dapat mengubah realitas—Pygmalion percaya bahwa patungnya dapat hidup, dan doanya dikabulkan oleh Venus. Keteguhan hati seseorang tak dapat direnggut; justru, ia bisa menginspirasi perubahan besar.