Di panggung politik Konoha, Alcides naik ke panggung kayak jagoan yang ngaku jadi penjaga Kitab Suci Surat Tanda Kelulusan. Dengan tongkat sakti “Gak Usah Ribut,” doski tereak ke penonton, “Liat nih! Ijazahnya asli! Gimana lagi orang bisa naik dari anak kampung sampe jadi raja kalo gak pake ijazah ini?” Dengan gaya santai tapi lugas, doski ngingetin para juru kritik, “Jangan banyak omong loe pade, nanti bangkitin singa-singa hukum, bisa-bisa lo semua diseruduk!” Di belakang panggung, para kritikus yang hanya pake kaca pembesar dan kertas-kertas keraguan, ngomong sendiri, “Bener gak sih ijazah ini asli, atau cuman surat palsu yang dibuat sama penyihir istana?” Tapi setiap mereka mau ngomong keras-keras, suara Alcides yang keras kayak bedug bikin mereka kecut, takut-takut diancam sama pasukan street fighter yang siap ngelototin muka dan ngeluarin ancaman.
Jadinya, negeri Konoha ini kayak lagi nonton pertunjukan yang sama: Alcides yang kekeh banget ama keaslian ijazah, sementara para kritikus cuma bisa ngintip dari kejauhan, bertanya-tanya, “Bener gak sih kebebasan ngomong udah diganti ama kekuasaan premanisme?”
Premanisme dan ijazah palsu punya hubungan yang cukup erat dalam konteks kekuasaan dan manipulasi. Premanisme sering digunakan sebagai alat untuk menegakkan kekuasaan secara tak resmi dan intimidatif. Preman-preman ini biasanya dipakai untuk menakut-nakuti orang lain agar tak berani mempertanyakan atau mengkritik sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan tertentu.
Dalam kasus ijazah palsu, premanisme bisa dipakai sebagai bentuk “perlindungan” atau bahkan sebagai alat untuk menakut-nakuti siapapun yang ingin membuka-buka atau mengungkap kecurangan tersebut. Misalnya, jika ada orang yang berani mempertanyakan keaslian ijazah seorang pejabat, maka preman-preman ini bisa diutus untuk mengintimidasi, mengancam, atau bahkan melakukan kekerasan agar orang tersebut takut dan tak melanjutkan kritik atau penyelidikan.
Dengan demikian, premanisme seringkali menjadi mesin kekerasan atau intimidasi yang melindungi keberadaan ijazah palsu dan kekuasaan yang dibangun di atasnya. Hubungan ini menciptakan lingkaran setan dimana kekuasaan tak bisa dipertanyakan karena adanya kekerasan dan ancaman dari preman-preman, yang secara tak langsung mendukung keberlangsungan penggunaan ijazah palsu sebagai alat legitimasi palsu.
Nah, ngomongin soal ijazah koplak itu, kata para wartawan yang udah sempet ngeliat langsung sih, “Ah, itu asli, gak ada boongnya.” Katanya sih mereka dateng ke kampus UGM, tanya-tanya, cek sana cek sini, dan sim salabim, beneran terdaftar dan sah. Wah, kayaknya ijazah itu sepertinya surat undangan kondangan, ada stempel dan tandatangan resmi, gak bisa dipalsuin sembarangan.
Tapi ya, gak semua wartawan bisa langsung percaya gitu aja, ada juga yang bilang, “Eh, santai dulu bro, masa ijazah segitu pentingnya gak boleh didokumentasiin? Kok malah kayak barang langka?” Mereka minta supaya yang bersangkutan tunjukin tuh berkas asli ke publik, biar gak ada lagi yang ngegosip dan bikin cerita-cerita liar di warung kopi.
Intinya, wartawan yang profesional tuh kayak detektif kecil-kecilan. Mereka gak asal ngomong doang, tapi maunya yang jelas-jelas, faktanya bener, baru mereka laporin. Soalnya kalo cuma denger gosip doang, bisa-bisa, kalo naik pangkat jadi berita utama, tapi kenyataannya, malah bikin orang makin bingung.
Kalo diibaratin, ngurusin soal ijazah ini kayak ngurus jualan pisang goreng. Kalo pisangnya asli, ya tinggal goreng dan jual. Tapi kalo pisangnya abal-abal, ntar juga kebongkar, dan pembeli bisa ngamuk di warung. Jadi, yang penting itu bukti asli, bukan cuma cas-cis-cus doang.
Lalu, apa hubungannya dengan sihir?
Di banyak budaya, sihir itu biasanya dimaknai sebagai kekuatan tersembunyi atau trik yang dipake buat ngubah kenyataan biar kelihatan beda dari yang sebenernya. Kayak cerita dongeng, sihir itu ya buat bikin ilusi, ngegantiin gimana orang ngeliat sesuatu.
Nah, kalo kita hubungin kekuasaan ama ijazah boongan, ijazah seperti itu bisa dibilang kayak “mantra” atau “sihir” jaman sekarang—alat buat nipu supaya orang percaya kalo seseorang emang pantes megang jabatan tinggi. Ijazah boongan bikin ilusi kalau doi sah dan legit, padahal sebenernya kagak.
Tapi ya kayak sihir yang kapan-kapan bisa kebongkar, kekuasaan yang dibangun dari hal-hal yang batil—semisal ijazah boongan—punya bahaya sendiri. Bisa bikin kepercayaan orang ilang. Nah, biasanya “sihir kekuasaan” ini ditopang juga sama cara-cara kek premanisme, ancaman, atau tekanan biar gak ada yang berani buka-bukaan atau nanya-nanya soal kebenarannya.
Jadi intinya, antara sihir, kekuasaan, sama ijazah palsu itu nyambung banget. Semuanya soal bikin ilusi legit yang disokong sama kekuatan tersembunyi—entah itu sihir untuk meninabobokkan atau tekanan politik di dunia nyata. Dengan kata lain, Ijazah boongan bukan cuma tentang dokumen, tapi juga melambangkan bentuk kekuasaan yang dibangun di atas manipulasi dan ilusi.
Bila kekuasaan dibangun di atas manipulasi dan ilusi, dapat mengakibatkan konsekuensi yang mendalam dan kerap berbahaya. Sistem seperti ini mengikis kepercayaan masyarakat karena orang menjadi skeptis terhadap kebenaran dan mempertanyakan legitimasi mereka yang berwenang. Dikala kepercayaan berkurang, kohesi masyarakat melemah, dan polarisasi meningkat, dengan kelompok-kelompok menjadi lebih terpecah dan kurang bersedia turut dalam dialog yang konstruktif.
Membangun kekuasaan melalui manipulasi dan ilusi juga merusak standar etika dan integritas. Para pemimpin dan lembaga akan lebih mengutamakan mempertahankan ilusi legitimasi mereka daripada layanan atau akuntabilitas yang sesungguhnya. Hal ini dapat menumbuhkan budaya dimana ketidakjujuran dan penipuan menjadi hal yang biasa, yang selanjutnya menjauhkan para pemimpin dari orang-orang yang mereka layani.
Dalam jangka panjang, masyarakat yang diatur oleh ilusi dan manipulasi berisiko menjadi tidak stabil. Tatkala kebenaran dikaburkan dan kekuasaan dipertahankan melalui paksaan, fondasi demokrasi dan harmoni sosial pun terganggu. Akhirnya, ilusi itu rontok di bawah beban realitas, yang menyebabkan kekacauan, kekecewaan, dan hilangnya kredibilitas dalam lembaga. Pada akhirnya, sistem seperti itu menumbuhkan ketidakpercayaan, mendorong konflik, dan menghambat kemajuan sejati, sehingga pembangunan masyarakat tak berkelanjutan.
Penipuan ijazah berdampak yang sangat merusak pada integritas profesi hukum. Bidang hukum sangat bergantung pada kepercayaan, etika, dan profesionalisme karena pengacara memainkan peran penting dalam menegakkan keadilan dan menjaga supremasi hukum. Ketika seseorang menggunakan ijazah palsu dalam memasuki profesi tersebut, akan merusak standar etika mendasar yang diharapkan dijunjung tinggi oleh praktisi hukum. Pelanggaran kejujuran ini mengikis kepercayaan publik tak hanya pada pengacara perorangan, tetapi juga pada seluruh sistem hukum, yang bergantung pada perwakilan yang kredibel dan berkualitas. Selain itu, kehadiran individu yang tak memenuhi syarat, yang berpraktik hukum karena penipuan ijazah dapat mengakibatkan konsekuensi serius bagi klien. Representasi hukum yang buruk akibat pelatihan atau pengetahuan yang tak memadai dapat menyebabkan ketidakadilan, hilangnya hak, dan kerugian bagi individu atau organisasi yang mengandalkan penasihat hukum yang kompeten. Keadaan seperti itu merusak tujuan profesi hukum dan membahayakan keadilan hasil peradilan.
Penipuan ijazah juga merupakan tindak pidana yang dapat dikenakan sanksi hukum seperti denda dan penjara, serta kemungkinan pencabutan izin praktik, yang secara permanen mengakhiri karier seorang pengacara. Selain akibat hukum, hal ini sangat merusak reputasi individu yang terlibat dan mencoreng nama baik seluruh profesi, sehingga semakin sulit bagi pengacara yang sah untuk mendapatkan kepercayaan publik.
Lebih jauh lagi, ketika ijazah palsu beredar, hal itu merendahkan upaya dan prestasi para lulusan hukum yang jujur yang telah menginvestasikan waktu bertahun-tahun belajar dan bekerja keras untuk mendapatkan kredensial mereka secara sah. Hal ini menciptakan lingkungan yang tidak fair dan mengurangi nilai yang dirasakan dari kualifikasi hukum yang asli.
Penipuan ijazah mengancam landasan etika, keandalan, dan efektivitas profesi hukum. Hal ini berisiko merugikan klien, merusak kepercayaan publik, dan merusak sistem peradilan. Untuk melindungi integritas bidang hukum, proses verifikasi yang ketat dan standar etika yang kuat sangat penting dalam mencegah dan menangani praktik penipuan tersebut.
Ijazah boongan sebagai bentuk legitimasi palsu berdampak negatif yang luas terhadap individu, institusi, dan masyarakat secara keseluruhan. Dikala seseorang menggunakan ijazah boongan demi mendapatkan pekerjaan atau posisi profesional, hal itu merusak integritas dan kepercayaan yang diberikan oleh para pemberi kerja, klien, dan masyarakat dalam sistem pendidikan dan profesional. Penipuan ini dapat menyebabkan individu yang tak memenuhi syarat menduduki peran penting, yang berpotensi mengakibatkan kinerja pekerjaan yang buruk, risiko keselamatan, dan bahkan membahayakan orang lain, terutama di bidang yang diatur semisal hukum, perawatan kesehatan, atau pendidikan.
Penggunaan ijazah boongan juga mengikis nilai kualifikasi asli, sehingga semakin sulit bagi lulusan yang jujur untuk diakui prestasinya. Hal ini menimbulkan keuntungan yang kagak fair bagi mereka yang ingin berbuat curang, sekaligus mengurangi upaya dan investasi mereka yang telah memperoleh kredensial secara sah. Lebih jauh lagi, maraknya ijazah palsu merusak reputasi lembaga pendidikan dan dapat membebani mereka dengan proses verifikasi yang mahal dan memakan waktu.
Ijazah palsu sebagai bentuk legitimasi palsu mengancam fondasi kepercayaan, keadilan, dan kompetensi dalam lingkungan profesional dan pendidikan, dengan konsekuensi yang jauh melampaui pelaku individu.
Secara hukum, menyajikan atau menggunakan ijazah palsu merupakan bentuk penipuan dan pemalsuan, yang dapat menimbulkan risiko tuntutan pidana, denda, hukuman penjara, dan kerusakan permanen pada reputasi profesional dan prospek karier seseorang. Secara etika, hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap kejujuran dan integritas, yang merusak kepercayaan publik dan kredibilitas standar profesional.
Ketika kepala negara atau pejabat tinggi pemerintahan ketangkep-basah menggunakan ijazah palsu, dampak negatifnya terhadap negara bisa sangat besar dan luas. Pertama, akan sangat merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaganya. Warga negara mengharapkan pemimpin mereka jujur dan berkualifikasi; menemukan bahwa pejabat tinggi telah memalsukan kredensial mereka menimbulkan kekecewaan, sinisme, dan rasa getun yang meluas di antara masyarakat. Hilangnya kepercayaan ini dapat melemahkan kontrak sosial dan mengurangi keinginan warga negara mematuhi hukum atau mendukung inisiatif pemerintah.
Skandal semacam itu juga sering merusak reputasi negara secara internasional. Pemerintah, investor, dan organisasi asing dapat mempertanyakan legitimasi dan kompetensi kepemimpinan negara, yang berpotensi merusak hubungan diplomatik dan peluang ekonomi. Skeptisisme ini dapat menyebabkan penurunan investasi asing, bantuan, atau kerjasama, yang sangat penting bagi pembangunan dan stabilitas.
Penggunaan ijazah palsu oleh para pemimpin juga memberikan contoh yang berbahaya dalam masyarakat, yang menandakan bahwa ketidakjujuran dan penipuan adalah jalan yang dapat diterima untuk meraih kekuasaan dan kesuksesan. Hal ini mengikis standar etika dalam layanan publik dan seterusnya, yang berkontribusi pada budaya korupsi, nepotisme, dan impunitas. Manakala pejabat tertinggi terlibat dalam fraud, akan menjadi lebih sulit meminta pertanggungjawaban orang lain, yang melemahkan supremasi hukum dan pemerintahan yang demokratis.
Dalam jangka panjang, skandal tersebut dapat memicu ketidakstabilan politik, protes, atau bahkan krisis pemerintahan karena warga menuntut akuntabilitas dan transparansi. Kerusakan pada legitimasi dan efektivitas kepemimpinan dapat menghambat pembuatan kebijakan dan pemerintahan, sehingga memperlambat kemajuan dan pembangunan nasional.
Singkatnya, ketika para pemimpin sebuah negara ketahuan telah menggunakan ijazah palsu, akan merusak kepercayaan, merusak reputasi internasional, merusak norma-norma etika, dan mengancam stabilitas politik, akibat yang dapat sangat menghambat pertumbuhan dan persatuan sebuah bangsa.