Sabtu, 26 April 2025

Menurunkah Dominasi AS?

Gagasan bahwa Amerika Serikat tak lagi mendominasi dunia seperti dahulu—yang juga pernah disampaikan oleh Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong—sesungguhnya didukung oleh berbagai perkembangan dalam urusan global. Meskipun AS tetap merupakan negara yang kuat dan berpengaruh, supremasinya yang tak tertandingi, terutama seusai berakhirnya Perang Dingin, secara bertahap mulai terkikis oleh kemunculan negara-negara lain dan perubahan dalam dinamika internasional.

Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, mengemukakan beberapa alasan mengapa ia menilai bahwa Amerika Serikat tak lagi mempertahankan dominasi global yang sama seperti sebelumnya. Pandangannya didasarkan pada perubahan dalam kebijakan luar negeri AS, dinamika politik internal, dan lanskap internasional yang terus berkembang.

Salah satu faktor utama yang ia soroti ialah mundurnya Amerika Serikat dari peran tradisionalnya dalam menjaga tatanan global. PM Lee mencatat bahwa AS menjadi lebih mengarah ke dalam, mengadopsi pendekatan yang lebih transaksional dalam hubungan internasional. Perubahan ini terlihat dalam kebijakan semisal penerapan tarif sebagai alat kebijakan utama dan penarikan diri dari komitmen multilateral seperti Organisasi Kesehatan Dunia dan Perjanjian Paris mengenai perubahan iklim. Langkah-langkah tersebut menunjukkan pergeseran dari posisi AS yang sebelumnya berperan dalam menjaga stabilitas dan prediktabilitas global.

Selain itu, PM Lee juga menunjukkan tantangan internal yang dihadapi oleh Amerika Serikat, termasuk perpecahan politik dan definisi kepentingan nasional yang semakin sempit. Masalah domestik ini menyebabkan kebijakan luar negeri AS menjadi kurang terlibat dengan urusan global, yang semakin mengurangi pengaruh AS di panggung dunia.

PM Lee juga mengamati bahwa kegagalan AS meratifikasi perjanjian perdagangan penting, seperti Kemitraan Trans-Pasifik (TPP), melemahkan kredibilitas dan kepemimpinannya di Asia. Sebaliknya, China telah aktif berinteraksi dengan negara-negara lain, menawarkan insentif menarik, dan memperluas pengaruhnya. Dinamika ini menunjukkan pergeseran dalam keseimbangan kekuatan, dengan AS memberikan ruang kepada kekuatan-kekuatan baru di wilayah-wilayah kunci.

Dalam pidatonya, Perdana Menteri Lee Hsien Loong menyampaikan keprihatinannya tentang adanya "double standar" dalam hubungan internasional, khususnya terkait kebijakan Amerika Serikat. Ia menyoroti bagaimana AS sering kali menerapkan standar yang berbeda antara dirinya dan negara lain, yang dapat merusak kredibilitasnya serta efektivitas perjanjian internasional.

Sebagai contoh, AS terkadang memberlakukan sanksi terhadap negara lain atas tindakan yang sebenarnya juga dilakukan atau dilibatkan oleh AS, yang menimbulkan pertanyaan mengenai keadilan dan konsistensi dalam kebijakan luar negeri. Selain itu, PM Lee mencatat bahwa AS terkadang menarik diri dari perjanjian multilateral, semisal Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) dan Perjanjian Paris mengenai perubahan iklim, yang sebelumnya didorong oleh AS, sehingga menimbulkan kesan inkonsistensi dan ketidakpercayaan di antara sekutu dan mitranya.

Tindakan-tindakan ini berkontribusi pada persepsi adanya double standar, di mana AS mengharapkan kepatuhan dari negara lain namun tidak selalu menerapkan prinsip yang sama untuk dirinya sendiri. Observasi PM Lee menekankan pentingnya menjaga kebijakan yang konsisten dan adil dalam hubungan internasional untuk mempertahankan kepercayaan dan kerja sama antar negara.

Salah satu faktor terpenting di balik perubahan ini adalah kebangkitan China. Secara ekonomi, China tumbuh dengan kecepatan luar biasa dalam beberapa dekade terakhir, dan menurut beberapa ukuran seperti purchasing power parity, China bahkan telah melampaui AS dalam hal output ekonomi. Selain itu, China juga semakin percaya diri di panggung dunia, dengan inisiatif ambisius seperti Belt and Road Initiative, peningkatan kapabilitas militernya, dan upaya memperluas pengaruhnya dalam lembaga-lembaga internasional. Semua ini menunjukkan keinginan yang jelas untuk membentuk ulang tatanan global dengan cara yang mengurangi dominasi AS.

Selain kebangkitan China, perpecahan internal di dalam negeri Amerika Serikat juga berkontribusi pada penurunan persepsi terhadap kepemimpinannya di dunia. Polarisasi politik yang semakin tajam, seperti yang terlihat dalam peristiwa penyerbuan Gedung Capitol pada 6 Januari 2021, menimbulkan pertanyaan tentang stabilitas demokrasi AS. Selain itu, perubahan drastis dalam kebijakan luar negeri antara satu pemerintahan dengan yang lain—misalnya dari Obama ke Trump ke Biden—membuat beberapa sekutu AS merasa ragu tentang komitmen jangka panjang negara tersebut.

Amerika Serikat juga mengalami kemunduran dalam beberapa intervensi luar negerinya. Penarikan pasukan dari Afghanistan pada tahun 2021, setelah hampir dua dekade konflik, secara luas dianggap sebagai kegagalan dalam mencapai tujuan strategis jangka panjang. Demikian pula, invasi ke Irak pada tahun 2003 justru menciptakan ketidakstabilan dan membuka jalan bagi kelompok ekstremis seperti ISIS, yang mengurangi kredibilitas intervensi militer AS.

Aspek lain yang mendukung klaim menurunnya dominasi AS adalah meningkatnya ketidakpuasan dari negara-negara berkembang. Banyak dari negara-negara ini mengkritik sistem internasional yang dibentuk oleh AS dan sekutunya sebagai sistem yang tidak adil dan terlalu berpihak pada Barat. Sebagai tanggapan, koalisi baru seperti BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) muncul dan berusaha menawarkan model kerja sama serta lembaga keuangan alternatif, yang menantang tatanan global yang dipimpin AS.

Bahkan di bidang teknologi, di mana AS selama ini unggul melalui raksasa seperti Google, Apple, dan Microsoft, kini mulai menghadapi persaingan. Perusahaan teknologi asal China seperti Huawei, TikTok, dan Alibaba telah membuat kemajuan signifikan secara global, membuktikan bahwa inovasi teknologi tak lagi menjadi monopoli Silicon Valley.

Meski demikian, Amerika Serikat tetap merupakan negara yang sangat kuat. Kemampuan militernya tak tertandingi, dolar AS masih menjadi mata uang cadangan utama dunia, dan budaya Amerika—melalui film, musik, dan media—masih berpengaruh yang sangat besar secara global. Selain itu, universitas dan lembaga riset AS masih menjadi yang terdepan di dunia dalam bidang sains dan inovasi.

Kendati Amerika Serikat tak lagi punya dominasi yang tak terbantahkan seperti di masa lalu, negara ini tetap sangat berpengaruh dan dominan dalam beberapa bidang utama. Kekuatan militer AS masih tak tertandingi, dengan angkatan bersenjata yang paling maju secara teknologi dan anggaran pertahanan terbesar di dunia. Hal ini memungkinkan AS menjangkau kekuasaan secara global, mempertahankan jaringan pangkalan militer yang luas, dan mempengaruhi dinamika keamanan di hampir setiap kawasan.

Dalam bidang ekonomi, AS masih memainkan peran sentral dalam sistem keuangan global. Dolar AS tetap menjadi mata uang cadangan utama dunia, digunakan dalam mayoritas transaksi internasional dan disimpan oleh bank-bank sentral di berbagai negara. Lembaga keuangan dan pasar saham AS juga termasuk yang terbesar dan paling berpengaruh di dunia.

Di bidang teknologi dan inovasi, AS masih memimpin dengan perusahaan-perusahaan seperti Apple, Google, Microsoft, dan Amazon yang menetapkan standar global dalam infrastruktur digital, kecerdasan buatan, dan komputasi awan. Perguruan tinggi dan lembaga riset Amerika juga termasuk yang terbaik di dunia, menarik bakat-bakat top dan menghasilkan penelitian-penelitian terobosan.

Secara budaya, Amerika Serikat mempertahankan kekuatan lunak besarnya melalui industri hiburan. Film-film Hollywood, musik Amerika, tren fashion, dan gaya hidupnya punya jangkauan global, membentuk selera, opini, dan norma-norma budaya di banyak negara.

Oleh karenanya, walau AS kini harus berbagi panggung global dengan kekuatan yang sedang bangkit semisal China, dominasi AS dalam kekuatan militer, pengaruh finansial, inovasi teknologi, dan dampak budaya masih sangat kuat. Kekuasaan AS mungkin lebih diperebutkan, tetapi belum berkurang secara substansial.

Mampukah China melampaui Amerika Serikat?
Kebangkitan China sebagai kekuatan global dalam beberapa dekade terakhir memang hebat, tapi, sungguhkah negara ini dapat melampaui atau menantang AS di segala bidang, merupakan hal yang lebih kompleks.
Dalam kekuatan ekonomi, China jelas merupakan pesaing yang tangguh. China telah menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia dan dengan cepat meningkatkan pengaruh globalnya melalui inisiatif semisal Belt and Road Initiative (BRI). Sektor manufaktur China, kemajuan teknologi, dan pasar konsumen yang amat besar menjadikannya pemain kunci dalam perdagangan dan keuangan global. Investasi strategis pemerintah China dalam industri seperti kecerdasan buatan, teknologi 5G, dan energi terbarukan menunjukkan ambisinya memimpin dalam teknologi masa depan. Fokus China pada inovasi, terutama di bidang teknologi tinggi, semakin mengecilkan kesenjangan teknologi dengan AS.

Akan tetapi, di beberapa area penting, Amerika Serikat tetap memiliki keunggulan signifikan. Misalnya, AS terus mendominasi sektor teknologi tinggi, terutama dalam perangkat lunak, layanan digital, dan riset mutakhir. Silicon Valley tetap menjadi pusat inovasi global, dan perusahaan-perusahaan Amerika semacam Apple, Microsoft, dan Google terus menetapkan standar global dalam teknologi. Selain itu, Amerika Serikat punya jaringan aliansi yang lebih mapan melalui organisasi-organisasi seperti NATO, sementara aliansi global China kurang kuat dan lebih bergantung pada pengaruh ekonomi daripada kemitraan militer atau strategis.

Dalam hal militer, AS masih memegang keunggulan yang jelas. Anggaran pertahanan AS, yang terbesar di dunia, dan militernya lebih unggul secara teknologi dengan jangkauan global. Kendati militer China telah dengan cepat dimodernisasi dan kini memiliki angkatan darat terbesar, China belum punya kemampuan jangkauan global atau teknologi yang setara dengan AS. AS juga punya aliansi militer yang luas, semisal dengan Jepang, Korea Selatan, dan NATO, yang semakin memperkuat pengaruh globalnya.

Di bidang budaya, AS juga memiliki posisi yang tak tertandingi. Melalui media globalnya, industri hiburan, perguruan tinggi, dan kekuatan lunaknya, AS terus membentuk budaya dan nilai-nilai global. Meskipun pengaruh budaya China berkembang, terutama di Asia, China tak memiliki daya tarik universal atau jangkauan yang sama seperti budaya Amerika.

Dalam hal soft power (kekuatan lunak), AS memimpin dalam menarik bakat global, institusi pendidikannya tetap yang terbaik, dan industri hiburannya—terutama Hollywood—memiliki audiens global yang sangat luas. Sebaliknya, meskipun China berusaha meningkatkan kekuatan lunaknya melalui inisiatif seperti Confucius Institutes, China menghadapi tantangan besar, termasuk penolakan di beberapa bagian dunia karena sistem politik dan masalah hak asasi manusia.

Masalah internal di China memainkan peran penting dalam membatasi kemampuannya menjadi kekuatan dominan di panggung global. Walau kebangkitan ekonomi China yang pesat, negara ini menghadapi masalah-masalah yang membatasi pengaruhnya, baik di dalam negeri maupun internasional.

Salah satu tantangan utama ialah sistem politiknya, yang didasarkan pada pemerintahan satu partai oleh Partai Komunis China (PKC). Kendati sistem ini telah memberikan stabilitas dan memungkinkan pertumbuhan ekonomi yang pesat, sistem ini juga membatasi kebebasan politik dan menekan kebebasan berekspresi. Kurangnya kebebasan politik dan masalah hak asasi manusia menjadi sumber kritik baik di dalam negeri China maupun dari masyarakat internasional. Masalah-masalah ini dapat menyebabkan ketidakpuasan domestik, dan mempengaruhi citra global China, terutama di negara-negara demokratis yang mengutamakan kebebasan individu dan hak asasi manusia.

Selain itu, ekonomi China, kendati kuat, menghadapi tantangan struktural. Walau menjadi ekonomi terbesar kedua di dunia, China masih sangat bergantung pada perusahaan milik negara dan sedang dalam proses beralih dari model yang didorong oleh manufaktur menuju ekonomi berbasis konsumsi. Krisis utang yang sedang berlangsung, khususnya di sektor pemerintah daerah dan real estat, menjadi risiko penting bagi stabilitas ekonomi jangka panjang. Selain itu, populasi yang menua juga menjadi keprihatinan yang berkembang, yang dapat menyebabkan penurunan tenaga kerja dan tekanan yang lebih besar pada sistem pensiun di masa depan.

China juga menghadapi masalah lingkungan yang serius. Industrialisasi yang cepat telah menyebabkan polusi udara yang parah, kekurangan air, dan kerusakan lingkungan lainnya. Meskipun pemerintah mengambil langkah-langkah dalam mengatasi masalah ini melalui inisiatif energi hijau dan peraturan lingkungan, China masih bergumul dengan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Masalah-masalah lingkungan ini tak hanya merusak kualitas hidup warga negara China, tetapi juga memunculkan tantangan bagi perencanaan jangka panjang pemerintah dan aspirasi kepemimpinan globalnya.

Korupsi di China merupakan tantangan utama yang telah tertanam dalam sistem politik, ekonomi, dan sosial negara tersebut. Korupsi sudah ada selama berabad-abad, tetapi dalam beberapa dekade terakhir, ia menjadi masalah yang mencolok yang diakui oleh pemerintah dan coba ditangani melalui serangkaian kampanye anti-korupsi yang mendapat sorotan tinggi. Namun, meskipun ada upaya tersebut, korupsi tetap menjadi masalah besar di sektor publik dan swasta, dan dapat mengambil berbagai bentuk.
Salah satu jenis korupsi yang paling umum di China ialah suap. Ini dapat terjadi antara pejabat pemerintah dan pemimpin bisnis atau antara pejabat di berbagai tingkat pemerintahan. Suap diberikan agar memperoleh kontrak, menghindari regulasi, atau mendapat perlakuan yang menguntungkan. Jenis lain ialah penggelapan, dimana pejabat pemerintah atau pegawai perusahaan milik negara (BUMN) menyalahgunakan dana publik untuk keuntungan pribadi. Nepotisme dan kronisme juga tersebar luas, dengan anggota keluarga, teman, atau sekutu politik diberikan kontrak pemerintah yang menguntungkan atau peluang bisnis tanpa kualifikasi yang diperlukan.
Korupsi di dalam perusahaan milik negara (BUMN) China amat mencolok. Perusahaan-perusahaan ini sering terhubung dengan pemerintah, dan umum bagi karyawan terlibat dalam praktik korupsi untuk memaksimalkan kekayaan pribadi sambil menjaga kesetiaan pada Partai. Pejabat lokal, terutama yang berada di wilayah dengan pengawasan yang lebih sedikit, juga dikenal terikut dalam praktik korupsi seperti berkolusi dengan bisnis lokal demi kepentingan bersama. Ketertutupan sistem politik China dan kurangnya pengawasan independen turut berkontribusi pada kelanjutan praktik korupsi tersebut.
Pemerintah China telah mengambil tindakan tegas terhadap korupsi, terutama di bawah Presiden Xi Jinping, yang meluncurkan kampanye anti-korupsi pada tahun 2012. Kampanye ini telah menyebabkan penyelidikan dan hukuman terhadap ribuan pejabat di berbagai tingkatan, dari pemimpin lokal hingga anggota tinggi Partai Komunis. Walau ada upaya tersebut, para kritikus berpendapat bahwa kampanye anti-korupsi ini bersifat selektif dan kerap digunakan sebagai alat menargetkan rival politik di dalam Partai, alih-alih menjadi upaya yang murni demi memberantas korupsi secara menyeluruh.

Dalam hal Indeks Persepsi Korupsi (CPI) dari Transparency International, China menduduki peringkat 66 dari 180 negara pada laporan tahun 2024, dengan skor 42 dari 100. Ini mencerminkan tingkat moderat korupsi yang dianggap terjadi, dengan kekhawatiran serius terkait akuntabilitas pemerintah, independensi peradilan, dan transparansi keseluruhan dalam politik dan lingkungan bisnis.
Jika dibandingkan dengan tingkat korupsi di Amerika Serikat, jelas bahwa AS secara umum tampil lebih baik dalam hal persepsi korupsi. Menurut laporan CPI yang sama, AS menduduki peringkat 25 dengan skor 67 dari 100. Kendati AS juga mengalami korupsi, terutama dalam hal lobying, sumbangan politik, dan pengaruh perusahaan atas kebijakan publik, AS memiliki sistem hukum yang lebih kuat dan mekanisme pengawasan untuk menangani korupsi. Namun, masih ada kekhawatiran signifikan tentang pengaruh uang dalam politik, dengan donor kaya dan perusahaan berpengaruh besar terhadap keputusan politik, terutama melalui lobi dan praktik pendanaan kampanye.

Bagaimana dengan korupsi di Indonesia?
Indonesia, menurut Indeks Persepsi Korupsi (CPI) Transparency International, punya skor yang lebih rendah dibanding dengan China, yang mencerminkan tingkat persepsi korupsi yang lebih tinggi di Indonesia. Pada laporan CPI tahun 2024, Indonesia berada di peringkat 102 dari 180 negara dengan skor 39 dari 100, sementara China berada di peringkat 66 dengan skor 42 dari 100.
Kendati skor Indonesia lebih rendah tipis dengan China, kedua negara ini menunjukkan tingkat korupsi yang dipandang cukup tinggi menurut standar global. Skor di bawah 50 menunjukkan bahwa di kedua negara ini, korupsi tetap menjadi masalah besar dan persepsi publik terhadap kebersihan pemerintahan masih cukup rendah.
Secara umum, Indonesia menghadapi tantangan besar terkait korupsi, meskipun sudah ada upaya untuk memperbaiki keadaan melalui lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Walau demikian, banyak sektor pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun daerah, masih rentan terhadap praktik-praktik korupsi. Penegakan hukum yang terkadang tak konsisten dan peran politik dalam menentukan jalannya kebijakan kerap memperburuk masalah ini.

Korupsi di Indonesia muncul dalam beragam bentuk, mempengaruhi sektor publik dan swasta, serta telah mengakar dalam berbagai aspek sistem politik dan ekonomi. Mirip di China, salah satu bentuk korupsi yang paling umum ialah suap, dimana individu atau bisnis swasta memberikan uang atau hadiah kepada pejabat publik demi beroleh cuan, semisal mengamankan kontrak pemerintah atau menghindari hukuman. Bentuk korupsi ini sangat umum di sektor-sektor seperti konstruksi, perizinan, dan pemerintahan lokal.
Jenis korupsi yang menonjol lainnya ialah penggelapan, yang terjadi manakala pejabat publik atau pegawai perusahaan milik negara menyalahgunakan dana atau aset publik demi kepentingan pribadi. Korupsi ini seringkali terjadi dalam pengelolaan anggaran publik atau penyalahgunaan dana bantuan yang semestinya digunakan bagi kesejahteraan publik, tetapi dialihkan demi kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Nepotisme dan kronisme juga sangat meluas, dimana posisi-posisi kekuasaan atau kontrak-kontrak pemerintah diberikan kepada anggota keluarga, teman, atau sekutu politik tanpa mempertimbangkan kualifikasi mereka. Praktik-praktik ini merusak kualitas pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi, karena individu yang tak punya keahlian atau pengalaman yang diperlukan diberikan peluang hanya berdasarkan hubungan pribadi, bukan berdasarkan kemampuan.
Penyalahgunaan wewenang merupakan bentuk korupsi lain yang sering terjadi di Indonesia. Ini terjadi ketika pejabat publik menyalahgunakan kekuasaan mereka bagi keuntungan pribadi atau demi kepentingan kelompok tertentu, seringkali mengorbankan kepentingan publik. Penyalahgunaan wewenang ini dapat melibatkan pengambilan keputusan yang tidak transparan atau penggunaan posisi untuk memperoleh keuntungan material.
Kolusi juga merupakan masalah serius, di mana dua pihak atau lebih, baik pejabat pemerintah atau entitas sektor swasta, bekerja sama secara ilegal untuk memanipulasi sistem atau proses demi keuntungan pribadi. Ini sangat umum dalam proses lelang atau pengadaan, di mana perusahaan bekerja sama dengan pejabat untuk memenangkan kontrak melalui cara yang curang.
Pembayaran fasilitasi, yang merupakan suap kecil yang diberikan untuk mempercepat atau mempermudah penyediaan layanan publik, juga merupakan bentuk korupsi. Meskipun pembayaran ini mungkin tampak kecil dibandingkan dengan suap besar, mereka berkontribusi pada budaya korupsi yang lebih luas dalam sistem birokrasi.
Pemerasan terjadi ketika pejabat atau individu menggunakan kekuasaan mereka memaksa orang lain memberikan uang atau barang sebagai imbalan untuk perlakuan khusus atau demi menghindari konsekuensi negatif. Bentuk korupsi ini sering terlihat di tingkat pemerintahan yang lebih rendah atau di dalam bisnis yang bergantung pada izin atau kontrol pemerintah.

Balik ke soal internal China, ada masalah sosial yang utama di China, termasuk ketimpangan pendapatan yang semakin meningkat antara daerah pedesaan dan perkotaan. Walau telah ada kemajuan berarti dalam pengurangan kemiskinan, kesenjangan kekayaan terus melebar, yang menyebabkan ketidakpuasan sosial di kalangan segmen-segmen masyarakat yang lebih miskin. Ketimpangan ini juga membatasi konsumsi domestik, yang sangat penting dalam mempertahankan pertumbuhan ekonomi.
Ambisi geopolitik China, khususnya di wilayah seperti Taiwan dan Laut China Selatan, menimbulkan ketegangan dengan negara-negara tetangga dan komunitas global. Meski kekuatan militer China telah berkembang, perselisihan teritorial ini berkontribusi pada ketidakstabilan regional, yang dapat menghambat kemampuannya membangun dominasi jangka panjang secara global. Ketegangan yang semakin meningkat dengan Amerika Serikat, terutama dalam perdagangan dan teknologi, semakin memperumit jalur China untuk menjadi pemimpin global yang dominan.
Kesimpulannya, kendati China telah membuat kemajuan luar biasa dalam hal ekonomi dan militer, tantangan internalnya—yang mencakup masalah politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan—terus membatasi kemampuannya memproyeksikan dominasi global. Masalah-masalah internal ini, ditambah dengan pengawasan internasional yang semakin besar, menjadi hambatan utama bagi ambisi China di panggung dunia.

Ada hal yang menarik dalam pidato PM Singapura Lee. Pidato sang Perdana Menteri menyoroti perubahan dinamika kekuasaan dan pengaruh global, mencerminkan dunia dimana dominasi Amerika Serikat semakin banyak mendapat tantangan. Meskipun Amerika Serikat masih mempertahankan kekuatan yang besar, terutama dalam bidang militer, ekonomi, dan budaya, kemunculan pemain-pemain global lainnya, khususnya China, telah mengubah tatanan internasional. PM Lee menekankan pentingnya memahami kompleksitas hubungan kekuasaan global, dimana tiada satu negara pun yang bisa secara sepenuhnya menentukan masa depan sendirian. Ia menunjukkan bahwa walaupun Amerika Serikat tetap berpengaruh, tingkat dominasinya secara relatif tak lagi mutlak seperti dulu. Meningkatnya keterhubungan dunia, bersama dengan semakin beraninya negara-negara semisal China dan perubahan kekuatan regional, menuntut pendekatan yang lebih bernuansa dalam hubungan internasional. Selain itu, pidato tersebut menekankan pentingnya multilateralisme, kerjasama, dan diplomasi dalam menghadapi lanskap global baru ini.
Pada akhirnya, meskipun China merupakan kekuatan yang sedang bangkit dengan potensi ekonomi dan militer yang dahsyat, negara ini menghadapi tantangan besar dalam menandingi Amerika Serikat di segala dimensi. AS berpengaruh global lebih mendalam, terutama dalam hal kepemimpinan teknologinya, aliansi militer, dan dampak budaya. Kebangkitan China kemungkinan akan terus menantang dominasi AS, tetapi melampaui AS di segala sektor, merupakan prospek jangka panjang yang tak dapat dipastikan.

Sebagai penutup, benamkan dirimu dalam keindahan puitis karya klasik Bread, 'Aubrey,' dan biarkan liriknya yang menggugah, berbicara kedalam sukmamu,

But where was June?
[Tapi dimanakah Juni?]
No, it never came around,
[Tidak, ia tak pernah muncul,]
If it did it never made a sound,
[Jika pun datang, ia tak pernah bersuara]
Maybe I was absent or was listening too fast,
[Mungkin daku absen atau mendengarkan terlalu cepat]
Catching all the words, but then the meaning going past,
[Menangkap seluruh kata, tapi maknanya terlewatkan]