Senin, 21 April 2025

Stupid People Think They Are Smart

Pernyataan "stupid people think they are smart" seringkali benar, dan didukung oleh fenomena psikologis yang disebut efek Dunning-Kruger. Inilah bias kognitif dimana orang dengan kemampuan rendah atau pengetahuan terbatas di bidang tertentu, cenderung melebih-lebihkan kompetensi mereka. Dengan kata lain, tatkala seseorang tak tahu banyak tentang suatu subjek, mereka mungkin tak memiliki wawasan yang diperlukan menyadari betapa sedikitnya pengetahuan mereka. Karena mereka tak memahami kompleksitas topik tersebut, mereka menganggapnya sederhana—dan karenanya, mengira mereka telah menguasainya.
Ada contoh nyata yang menarik, yang menggambarkan hal ini dengan sempurna. Pada tahun 1995, seorang bernama McArthur Wheeler merampok dua bank di siang bolong tanpa mengenakan penyamaran apa pun. Ketika ditangkap, ia benar-benar bingung, dan berkata, "Tapi aku kan udah mengenakan jusnya!" Ia telah membaca bahwa sari buah lemon dapat digunakan sebagai tinta tak terlihat dan percaya bahwa menggosokkan sari buah lemon ke wajahnya akan membuatnya tak terlihat oleh kamera keamanan. Kasus ini sangat aneh sehingga mengilhami psikolog David Dunning dan Justin Kruger mempelajari fenomena tersebut lebih lanjut, yang akhirnya mengarahkan mereka mendeskripsikan dan menamai efeknya. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan diri orang tersebut berasal dari ketidaktahuannya—ia tak cukup tahu untuk menyadari betapa dirinya keliru.
Kita juga melihat pola pikir seperti ini dalam keseharian. Bayangkan seseorang yang baru mengenal pemrograman yang menonton beberapa video tutorial lalu dengan percaya diri mengklaim bahwa mereka dapat membuat aplikasi berskala penuh sendiri. Karena mereka hanya melihat permukaannya, mereka yakin bahwa tugas itu mudah dan mereka mampu. Sementara itu, pengembang berpengalaman—yang benar-benar memahami kesulitan dalam membangun dan memelihara perangkat lunak yang kompleks—seringkali lebih rendah hati dalam apa yang mereka klaim dapat mereka lakukan. Kerendahan hati itu tak datang dari kelemahan, tetapi dari pemahaman yang lebih dalam tentang seberapa banyak yang masih belum mereka ketahui.
Menariknya, saat orang menjadi lebih kompeten, mereka sering mulai meremehkan dirinya sendiri. Mereka menjadi lebih sadar akan tantangan dan merasa kurang yakin, meskipun mereka lebih terampil. Hal ini menciptakan semacam paradoks dimana mereka yang kurang tahu berpikir bahwa mereka lebih tahu, sementara mereka yang lebih tahu seringkali lebih berhati-hati atau kritis terhadap diri sendiri.
Jadi, meskipun pernyataan tersebut mungkin terdengar kasar, pernyataan tersebut mencerminkan kebenaran yang nyata dan agak ironis: orang-orang yang dengan lantang percaya bahwa merekalah yang terpandai di ruangan itu mungkin justru orang-orang yang tak tahu apa-apa. Dan mereka yang diam-diam mempertanyakan diri mereka sendiri mungkinlah orang-orang yang paling cerdas dari semuanya.

Efek Dunning-Kruger dicetuskan oleh dua psikolog sosial, David Dunning dan Justin Kruger, dari Universitas Cornell. Mereka memperkenalkan konsep ini dalam makalah penelitian mereka: Unskilled and Unaware of It: How Difficulties in Recognizing One's Own Incompetence Lead to Inflated Self-Assessments”, diterbitkan dalam: Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 77, No. 6, 1121–1134 (1999).
Dalam makalah ini, mereka menyajikan serangkaian eksperimen yang menunjukkan bagaimana orang-orang yang memiliki skor terendah dalam tes humor, tata bahasa, dan logika cenderung melebih-lebihkan seberapa baik hasil yang mereka peroleh secara dramatis. Wawasan utamanya ialah bahwa ketidakmampuan tak hanya menyebabkan kinerja yang buruk, tetapi juga merampas kemampuan orang untuk mengenali kinerja mereka yang buruk. Meskipun teori mereka sering dibahas dalam buku-buku psikologi populer, makalah ini adalah sumber asli dan terpercaya.
Percobaan Dunning-Kruger mengungkap kebenaran yang menarik dan agak ironis tentang persepsi diri manusia. Dalam penelitian mereka tahun 1999, psikolog David Dunning dan Justin Kruger melakukan serangkaian tes untuk mengukur kemampuan orang dalam bidang seperti tatabahasa, penalaran logis, dan pemahaman humor. Usai menyelesaikan tes, peserta diminta mengevaluasi seberapa baik, menurut mereka, kinerjanya dibanding orang lain.
Temuan para peneliti itu mengejutkan: ketidaktahuan mereka membutakan mereka terhadap ketidaktahuan mereka. Penemuan ini mengarah pada perumusan konsep yang sekarang terkenal yang dikenal sebagai efek Dunning-Kruger. Hal ini menyoroti kelemahan aneh dalam pemikiran manusia: ketika orang tahu sangat sedikit tentang suatu subjek, mereka seringkali tak cukup tahu menyadari betapa banyak yang tak mereka ketahui. Akibatnya, mereka mengembangkan pandangan yang berlebihan tentang kemampuan mereka, terkadang bahkan percaya bahwa mereka lebih mampu daripada para ahli.
Paradoksnya ialah bahwa orang yang lebih kompeten cenderung menilai diri mereka sendiri secara lebih realistis, dan dalam beberapa kasus, bahkan meremehkan kemampuan mereka. Hal ini karena pengetahuan yang lebih luas membawa kesadaran yang lebih besar akan kompleksitas, nuansa, dan ketidakpastian. Jadi, semakin banyak pengetahuan yang benar-benar dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan mereka menyadari betapa banyak hal yang masih harus dipelajari.

Dunning dan Kruger membahas gagasan tentang ide imperfect self-assessments—kecenderungan orang salah menilai kemampuannya, terutama ketika kurang kompeten dalam bidang tertentu. Dunning dan Kruger berpendapat bahwa penilaian diri yang akurat bergantung pada tingkat keterampilan atau pengetahuan tertentu. Untuk menilai seberapa baik dirimu mengerjakan sesuatu, pertama-tama dikau harus memahami cara kerja tugas atau subjek tersebut. Namun, masalahnya adalah bahwa keterampilan yang dibutuhkan untuk menjadi kompeten seringkali merupakan keterampilan yang sama, yang dibutuhkan mengevaluasi kompetensi seseorang. Oleh karenanya, orang yang tak terlalu terampil atau berpengetahuan dalam suatu domain kerap tidak memiliki alat mengenali kesalahan atau kelemahannya sendiri. Hal ini menyebabkan mereka melebih-lebihkan kinerjanya, terkadang hingga tingkat yang amat berarti.
Percobaan mereka menunjukkan bahwa orang yang berkinerja buruk pada tugas yang melibatkan tatabahasa, logika, dan humor secara rutin menilai diri mereka sendiri jauh lebih tinggi daripada skor aktual mereka. Peserta ini tak tak tak mampu berkinerja baik, mereka juga tak bisa menyadari bahwa mereka tak berkinerja baik. Para peneliti menggambarkan hal ini sebagai semacam "double burden (beban ganda)": mereka yang tak terampil tak hanya menderita kinerja yang buruk, tapi juga kurangnya pemahaman tentang kinerja yang buruk tersebut.

Artikel ini juga membahas bagaimana meningkatkan keterampilan seseorang di bidang tertentu tak hanya membuat mereka lebih kompeten tetapi juga memberi mereka kemampuan yang lebih baik menilai kompetensi mereka dengan lebih akurat. Setelah peserta diberi pelatihan dalam keterampilan yang diuji, mereka menjadi lebih sadar akan kesalahan mereka sebelumnya dan menyesuaikan penilaian diri mereka sesuai dengan itu.
Dunning dan Kruger menjelaskan bahwa penilaian diri yang tak sempurna bukan hanya hasil dari rasa percaya diri yang berlebihan atau kesombongan. Sebaliknya, hal itu muncul dari kurangnya kemampuan metakognitif—kemampuan berpikir dan mengevaluasi pemikiran seseorang. Tanpa ini, orang tak dapat menilai dimana posisi mereka dibandingkan dengan orang lain, yang mengarah pada pandangan yang berlebihan tentang keterampilan mereka. Wawasan ini membantu menjelaskan mengapa persepsi diri seringkali keliru dan mengapa mereka yang memiliki keahlian paling sedikit mungkin paling yakin akan kebenaran mereka.

Dunning dan Kruger juga mengeksplorasi hubungan penting antara kompetensi dan keterampilan metakognitif—yaitu, kemampuan mengevaluasi dan merefleksikan pemikiran dan kinerja seseorang. Mereka berpendapat bahwa agar benar-benar kompeten di bidang apa pun, seseorang tak hanya perlu menguasai keterampilan atau pengetahuan aktual yang terlibat, tetapi juga perlu memiliki kesadaran menilai secara akurat seberapa baik kinerja mereka.
Salah satu ide utama dalam penelitian mereka ialah bahwa keterampilan yang sama, yang dibutuhkan untuk melakukan suatu tugas kerap merupakan keterampilan yang dibutuhkan untuk menilai apakah dirimu melakukannya dengan baik atau buruk. Hubungan antara kompetensi dan metakognisi ini berarti bahwa orang yang kurang memiliki keterampilan dalam domain tertentu seringkali juga kurang memiliki wawasan mengenali keterbatasan mereka. Akibatnya, mereka cenderung melebih-lebihkan kemampuan mereka, hanya karena mereka tak cukup tahu untuk melihat apa yang keliru dari tindakan mereka.
Eksperimen Dunning dan Kruger mendukung gagasan ini. Peserta yang mendapat skor buruk pada tes penalaran logis, tatabahasa, atau humor cenderung menilai kinerja mereka jauh lebih tinggi daripada yang sebenarnya. Orang-orang ini tak bersikap tidak jujur ​​atau sombong; sebaliknya, mereka benar-benar percaya bahwa mereka telah melakukannya dengan baik, karena tingkat kompetensi mereka yang rendah tak memungkinkan mereka melihat kekurangan dalam penalaran atau jawaban mereka. Dengan kata lain, kurangnya keterampilan metakognitif mereka merupakan alasan utama bagi penilaian diri mereka yang berlebihan.
Di sisi lain, mereka yang berhasil mengerjakan tugas yang sama tak hanya lebih kompeten dalam mata pelajaran tersebut, tetapi juga lebih baik dalam mengevaluasi kinerja mereka. Mereka yang berhasil dengan baik ini punya pemahaman yang diperlukan untuk membandingkan upaya mereka secara akurat dengan standar kualitas atau logika, yang membantu mereka membuat penilaian yang lebih realistis tentang seberapa baik kinerja mereka. Ironisnya, beberapa peserta yang paling terampil meremehkan kinerja mereka, mungkin karena mereka berasumsi orang lain akan melakukannya dengan baik.
Dunning dan Kruger menekankan bahwa kompetensi bukan hanya tentang menjadi ahli dalam sesuatu—tetapi juga tentang kemampuan mengenali kapan dirimu melakukan sesuatu dengan baik dan kapan tidak. Tanpa pemikiran reflektif semacam ini, orang tetap tak menyadari kelemahan mereka, dan ini mengarah pada fenomena yang sekarang dikenal luas sebagai efek Dunning-Kruger. Pekerjaan mereka menyoroti pentingnya tak hanya mengembangkan keterampilan tetapi juga menumbuhkan kemampuan berpikir kritis tentang kinerja, keputusan, dan keyakinan seseorang.

Dalam artikel mereka, Dunning dan Kruger menggunakan ranah humor sebagai salah satu area utama untuk menggambarkan bagaimana orang selalu tak dapat menilai kompetensi mereka secara akurat. Mereka memilih humor karena humor merupakan keterampilan yang diyakini dimiliki banyak orang, dan melibatkan penilaian subjektif serta penalaran yang lembut. Apa yang mereka temukan ialah bahwa humor, seperti tatabahasa dan logika, diatur oleh pola dan prinsip dasar yang tak semua orang pahami sepenuhnya—walaupun jika mereka mengira mereka memahaminya.
Dalam penelitian mereka, peserta diminta mengevaluasi serangkaian lelucon dan menilai seberapa lucu menurut mereka masing-masing lelucon. Penilaian lelucon ini sebelumnya telah dievaluasi oleh komedian profesional, jadi ada standar dasar atau standar ahli untuk dibandingkan. Setelah peserta menyelesaikan tugas, mereka diminta menilai seberapa baik menurut mereka hasil yang mereka dapatkan dibandingkan dengan orang lain.
Hasilnya menunjukkan pola yang sudah lazim. Peserta yang paling tidak terampil mengenali apa yang membuat lelucon menjadi lucu secara objektif—mereka yang penilaiannya paling menyimpang dari penilaian komedian profesional—adalah mereka yang paling melebih-lebihkan kinerja mereka. Mereka benar-benar percaya bahwa mereka punya selera humor yang kuat dan bahwa penilaian mereka akurat, meskipun evaluasi mereka tak sejalan dengan penilaian para ahli. Kurangnya pemahaman mereka tentang apa yang membuat humor efektif menghalangi mereka mengenali kelemahan dalam penalaran mereka. Intinya, mereka tak tahu apa yang tak mereka ketahui.
Dunning dan Kruger menggunakan ini sebagai contoh yang jelas tentang bagaimana orang yang tidak terampil kerap tak menyadari kurangnya keterampilan mereka, lantaran mereka tak punya alat kognitif yang dibutuhkan untuk mengukur diri mereka dengan tepat. Dalam kasus humor, ini berarti mereka tak dapat membedakan antara apa yang benar-benar lucu dan apa yang hanya sesuai dengan selera atau asumsi mereka. Penilaian diri mereka tak didasarkan pada pemahaman tentang struktur komedi, waktu, atau respons penonton—elemen-elemen utama yang dipertimbangkan oleh para profesional.
Bagian penelitian ini memperkuat poin yang lebih besar dari artikel tersebut: ketika orang tak punya kompetensi dalam bidang tertentu, seperti humor, mereka juga tak punya kesadaran metakognitif guna melihat keterbatasan mereka. Akibatnya, mereka melebih-lebihkan kemampuan mereka, bukan karena kesombongan, tetapi karena ketidaktahuan. Eksperimen humor tersebut menjadi contoh yang jelas dan relevan tentang bagaimana efek Dunning-Kruger terjadi dalam kehidupan sehari-hari, terutama di bidang-bidang yang membuat orang merasa percaya diri tanpa harus memiliki kualifikasi.

Dunning dan Kruger juga mengeksplorasi penalaran logis sebagai salah satu domain utama menguji hipotesis mereka tentang penilaian diri dan ketidakmampuan. Mereka memilih penalaran logis karena merupakan keterampilan dasar yang sering digunakan orang dalam pengambilan keputusan sehari-hari, pemecahan masalah, dan argumentasi. Penalaran logis juga cenderung dipandang sebagai area objektif—ada jawaban benar dan salah yang jelas, yang membuatnya ideal menguji seberapa akurat orang dapat mengevaluasi kinerja mereka.
Peserta dalam penelitian mereka diminta menyelesaikan tes penalaran logis yang mencakup butir-butir yang dirancang untuk mengukur pemikiran deduktif dan analitis. Setelah mengikuti tes, mereka diminta memperkirakan seberapa baik hasil yang mereka peroleh dibandingkan dengan orang lain yang mengikuti tes yang sama. Apa yang ditemukan Dunning dan Kruger konsisten dengan hasil di bidang lain seperti tatabahasa dan humor: mereka yang mendapat skor terendah pada tes penalaran logis juga merupakan mereka yang paling melebih-lebihkan kinerja mereka.
Orang-orang ini tak hanya berprestasi buruk, mereka juga tak dapat mengenali keterampilan penalaran mereka yang buruk. Mereka mengira mereka telah melakukannya jauh lebih baik daripada yang sebenarnya, seringkali menempatkan diri mereka jauh di atas rata-rata dibandingkan dengan rekan-rekannya. Ironisnya, keterampilan penalaran mereka yang buruk juga membuat mereka tak dapat melihat kekurangan dalam logika mereka sendiri. Dengan kata lain, keterbatasan kognitif mereka mencegah mereka menilai kualitas proses berpikir mereka sendiri secara akurat.
Dunning dan Kruger menjelaskan bahwa pola ini mendukung argumen mereka yang lebih luas: keterampilan yang dibutuhkan untuk berprestasi baik dalam penalaran logis adalah keterampilan yang sama yang dibutuhkan untuk mengevaluasi apakah penalaran seseorang benar atau salah. Jika seseorang tak dapat membangun argumen yang masuk akal atau mengidentifikasi kesimpulan yang valid, mereka juga tak mungkin menyadari ketika penalaran mereka salah. Hal ini mengarah pada kombinasi yang berbahaya—kinerja logis yang buruk dipadukan dengan keyakinan yang tak beralasan.
Hasil dari bagian penalaran logis dari studi mereka menambah bobot pada kesimpulan keseluruhan mereka: orang yang tak terampil dalam bidang tertentu acapkali tak menyadari kurangnya keterampilan mereka, dan akibatnya, mereka membuat penilaian diri yang tak sempurna. Dalam konteks logika, ini berarti bahwa mereka yang membuat kesalahan penalaran mungkin melakukannya bukan karena kecerobohan, tetapi karena mereka benar-benar tak menyadari bahwa penalaran mereka keliru. Kurangnya kesadaran ini merupakan inti dari apa yang kemudian dikenal sebagai efek Dunning-Kruger.

Dunning dan Kruger membahas konsep "Competence Begets Calibration," yang merujuk pada hubungan antara tingkat kompetensi seseorang dalam domain tertentu dan kemampuan mereka menilai kemampuan mereka secara akurat. Mereka berpendapat bahwa individu yang memiliki tingkat kompetensi yang lebih tinggi dalam bidang tertentu cenderung punya pemahaman yang lebih baik tentang keterbatasan mereka dan lebih mampu mengkalibrasi keterampilannya secara akurat. Ini berarti bahwa mereka yang benar-benar berpengetahuan atau terampil dalam suatu bidang lebih mampu mengukur kinerja mereka dan mengenali kapan mereka berhasil atau gagal.

Dunning dan Kruger menjelaskan bahwa individu yang kompeten mengembangkan pemahaman yang lebih realistis tentang kemampuan mereka sendiri, sebagian karena pengalaman dan pengetahuan mereka memungkinkan mereka melihat nuansa dan kompleksitas yang mungkin terlewatkan oleh orang lain. Mereka menyadari kesenjangan dalam pengetahuan mereka dan dengan demikian lebih mungkin membuat penilaian diri yang tepat. Sebaliknya, mereka yang memiliki tingkat kompetensi yang lebih rendah sering kali tidak memiliki kerangka kerja yang diperlukan untuk menilai kemampuan mereka secara akurat. Perbedaan dalam penilaian diri ini muncul karena mereka mungkin tak menyadari kriteria atau tolok ukur yang diperlukan untuk mengevaluasi kinerja mereka secara efektif.

Dunning dan Kruger membahas konsep yang mereka sebut sebagai "The Burden of Expertise (Beban Keahlian)," yang menyoroti paradoks yang kerap mempengaruhi orang-orang yang sangat kompeten dalam bidang tertentu. Menurut temuan mereka, individu yang memiliki pengetahuan atau keterampilan signifikan cenderung berasumsi bahwa apa yang mereka ketahui adalah pengetahuan umum—bahwa orang lain juga memiliki tingkat pemahaman yang sama atau dapat dengan mudah memahami konsep yang sama. Asumsi ini membuat mereka merendahkan betapa luar biasanya keahlian mereka, dan akibatnya, mereka sering menilai kinerja mereka sebagai rata-rata atau bahkan di bawah rata-rata, meskipun sebenarnya kinerja mereka cukup baik.
Fenomena ini terjadi karena para ahli telah menginternalisasikan keterampilan mereka sedemikian rupa sehingga keterampilan tersebut menjadi sifat alami, dan mereka lupa betapa besar upaya yang pernah dilakukan untuk memperoleh pengetahuan tersebut. Karena penguasaan mereka terasa alami bagi mereka, mereka secara keliru percaya bahwa orang lain juga pasti menganggap tugas yang sama mudah. ​​Intinya, kompetensi mereka membutakan mereka terhadap seberapa banyak pengetahuan yang mereka miliki dibandingkan orang kebanyakan. Kekeliruan penilaian ini menyebabkan semacam kerendahan hati atau kurangnya kepercayaan diri dalam menilai diri sendiri, bukan karena mereka kurang pengetahuan, tetapi karena mereka melebih-lebihkan kemampuan orang lain.
Dunning dan Kruger menekankan bahwa beban keahlian berarti bahwa individu yang benar-benar kompeten kerap cenderung tak menegaskan diri mereka sendiri atau berbicara dengan tingkat kepercayaan diri yang sama seperti mereka yang kurang kompeten tetapi terlalu percaya diri. Dinamika ini dapat menciptakan situasi dimana suara yang paling berpengetahuan diredam oleh individu yang lebih tegas yang kurang memiliki keahlian tetapi yakin akan kebenaran mereka. Dalam wacana publik atau kepemimpinan, hal ini dapat berkonsekuensi serius, karena dapat menyebabkan munculnya pandangan yang keliru arah atau sederhana, sementara perspektif yang lebih akurat dan bernuansa diabaikan atau diremehkan.

Ada pandangan yang mengatakan "tak perlu cerdas untuk menjadi pemimpin". Banyak pemimpin yang kurang kompeten, tetapi mereka dapat mengendalikan orang dan bahkan lembaga. Benarkah pernyataan ini?
Kemampuan pemimpin yang kurang kompeten mengendalikan orang dan lembaga acapkali merupakan kombinasi dari beberapa faktor, termasuk penggunaan penasihat secara strategis, tetapi juga elemen-elemen seperti manipulasi, dinamika kekuasaan, dan penggunaan taktik psikologis. Alasan utama lainnya dapat menjelaskan bagaimana para pemimpin tersebut berhasil tetap memegang kendali meskipun mereka tampaknya kurang kompeten.
Salah satu faktor krusial ialah daya tarik pribadi, yang memungkinkan pemimpin tertentu memanipulasi persepsi publik. Sekalipun seorang pemimpin tak memiliki keterampilan atau pengetahuan yang tinggi dalam pemerintahan, kehadirannya yang karismatik dapat menggalang massa dan menciptakan rasa kesetiaan dan kekaguman. Hal ini dapat digunakan secara strategis membangun kultus kepribadian yang kuat, dimana citra pemimpin menjadi identik dengan negara atau bangsa. Dalam kasus ini, pemimpin mungkin tak terlalu kompeten dalam pengertian tradisional tetapi dapat mempertahankan kekuasaan melalui persepsi sebagai pemimpin yang kuat atau visioner.
Faktor penting lainnya ialah kecerdikan politik. Banyak pemimpin yang mungkin tak memiliki keahlian atau kompetensi khusus di bidang-bidang utama, tetapi tetap sangat mahir menavigasi lanskap politik, memanfaatkan ketegangan yang ada, dan memanfaatkan aliansi yang tepat untuk mempertahankan posisi mereka. Para pemimpin ini seringkali dapat memanipulasi situasi, memecah belah pesaing, dan menciptakan rasa krisis atau ketakutan yang memperkuat cengkeraman mereka pada kekuasaan. Misalnya, mereka mungkin dapat membingkai diri mereka sebagai pelindung di masa ketidakpastian atau ketidakstabilan ekonomi, meskipun mereka memiliki sedikit kemampuan aktual dalam mengatasi masalah yang mendasarinya.
Manipulasi institusi merupakan faktor lain yang memungkinkan pemimpin yang kurang kompeten mempertahankan kendali. Dengan melemahkan atau mengambil alih lembaga-lembaga utama, seperti media, militer, atau peradilan, seorang pemimpin dapat menjauhkan tantangan terhadap otoritas mereka. Dalam banyak kasus, pemimpin otoriter melemahkan pengawasan dan keseimbangan kelembagaan, memastikan bahwa tak ada satu kelompok atau individu pun yang dapat meminta pertanggungjawaban mereka. Dengan cara ini, meskipun mereka tak terlalu terampil dalam menjalankan negara, mereka masih dapat mempertahankan kekuasaan dengan mengonsolidasikan pengaruh mereka terhadap struktur pemerintahan.
Selain itu, ketergantungan pada penasihat berperan, tetapi tak selalu tentang mempekerjakan penasihat yang kompeten; seringkali tentang memilih mereka yang loyal daripada mereka yang berkualifikasi. Loyalitas dari penasihat acapkali dapat mengesampingkan keahlian mereka yang sebenarnya, dan pemimpin mungkin memprioritaskan membangun lingkaran orang-orang yang bersedia mendukung keputusannya, bahkan jika keputusan tersebut cacat. Dalam beberapa kasus, hal ini menciptakan lingkungan dimana pemikiran kelompok atau ruang gema berlaku, dan nasihat yang buruk diperkuat, yang mengarah pada kepemimpinan yang berkelanjutan meskipun tidak kompeten.
Lebih jauh lagi, penggunaan rasa takut dan intimidasi dapat memainkan peran utama. Bahkan pemimpin yang tak terlalu kompeten dapat menggunakan represi, kekerasan, atau intimidasi untuk mempertahankan kendali. Dengan menggunakan kekerasan atau ancaman hukuman, pemimpin seperti itu dapat menekan oposisi dan membuat orang merasa bahwa menantang otoritas mereka terlalu berbahaya. Hal ini menciptakan lingkungan dimana bahkan penasihat atau pesaing yang kompeten mungkin merasa terpaksa mendukung atau menoleransi aturan pemimpin, meskipun mereka kurang cakap.
Terakhir, kendali ekonomi merupakan faktor lain yang dapat membantu para pemimpin yang kurang kompeten agar tetap berkuasa. Dengan mengendalikan sumber daya keuangan utama, lembaga negara, atau jaringan patronase, para pemimpin dapat menghargai kesetiaan, menekan oposisi, dan mempertahankan sistem ketergantungan yang mempersulit para pesaing menantang mereka. Sumber daya ekonomi dapat didistribusikan untuk mempertahankan dukungan dari kelompok-kelompok yang berpengaruh, bahkan jika kebijakan atau tindakan pemimpin tersebut tidak efisien atau salah arah.
Uang tak diragukan lagi merupakan faktor penting lain yang dapat berkontribusi pada kemampuan seorang pemimpin mengendalikan orang dan institusi. Sumber daya keuangan seringkali memberikan bentuk pengaruh yang dapat digunakan mempengaruhi orang lain, mendapatkan dukungan, dan mempertahankan kekuasaan. Dalam banyak kasus, uang bukan hanya tentang kekayaan pribadi tetapi tentang akses ke sumber daya ekonomi, yang dapat digunakan secara strategis dalam berbagai cara.  Faktor “uang” dapat mencakup pangkat dan jabatan, seperti gelar, jabatan resmi, dan kekuasaan institusional. Dalam banyak kasus di dunia nyata, kekayaan, pangkat, dan gelar politik saling terkait erat, dan bersama-sama menciptakan suatu bentuk pengaruh yang dapat memungkinkan individu yang kurang kompeten sekalipun, mengendalikan orang lain dan mendominasi sistem. Seorang pemimpin yang tak memiliki kompetensi sejati masih dapat naik ke tampuk kekuasaan atau mempertahankan kendali karena mereka punya akses ke sumber daya keuangan, yang dapat digunakan membeli kesetiaan, memanipulasi sistem, mendanai propaganda, atau menekan oposisi. Pada saat yang sama, jika individu tersebut juga memegang jabatan formal atau jabatan tinggi, seperti menjadi presiden, jenderal, atau menteri, otoritas mereka menjadi terlembagakan, yang berarti orang-orang wajib mengikuti mereka bukan karena kecemerlangan pribadi tetapi oleh posisi mereka dalam hierarki. Dalam lingkungan seperti ini, orang sering kali patuh bukan karena menghormati kecerdasan atau kearifan sang pemimpin, tapi karena takut, tugas, kepentingan pribadi, atau keinginan agar tetap dekat dengan kekuasaan. Jadi, pangkat, kekayaan, dan jabatan dapat menggantikan kualitas kepemimpinan yang sejati, setidaknya untuk sementara waktu. Alat-alat ini dapat memberi seorang pemimpin kesan legitimasi, yang memungkinkan mereka mengeluarkan perintah, menegakkan aturan, dan membentuk narasi—bahkan jika mereka tak memiliki visi, pengetahuan, atau kejelasan moral yang dibutuhkan oleh kepemimpinan sejati. Jadi, uang dalam konteks ini tak semata bermakna mata uang fisik. Uang juga melambangkan aset yang kuat, seperti gelar, pangkat, atau kendali atas lembaga—yang semuanya dapat mengangkat orang yang kurang kompeten ke posisi dimana mereka dapat memimpin atau mendominasi orang lain. Namun, tanpa kompetensi atau kearifan sejati, kekuatan semacam itu acaokali menjadi lebih rapuh, bobrok, atau merusak dalam jangka panjang.
Salah satu cara utama uang mempengaruhi kendali kepemimpinan ialah melalui kekuatan ekonomi. Pemimpin dengan sumber daya keuangan yang besar dapat mengalokasikan uang untuk membangun dan mempertahankan aliansi dengan individu, organisasi, atau institusi penting. Ini mungkin melibatkan penyuapan, pendanaan kampanye politik, atau pemberian insentif keuangan kepada para pendukung. Dengan mengendalikan sumber daya keuangan, para pemimpin ini secara efektif dapat "membeli" kesetiaan dan memastikan bahwa orang-orang di sekitar mereka punya kepentingan pribadi untuk mempertahankan pemimpin tersebut tetap berkuasa. Misalnya, dukungan finansial dapat memastikan bahwa para pemimpin mempertahankan basis politik yang kuat, memiliki akses ke jaringan penting, dan mengamankan kerjasama dari entitas yang kuat.
Aspek penting lainnya adalah bahwa uang memungkinkan kontrol atas media dan informasi. Pemimpin yang kaya atau mereka yang didukung oleh sumber daya finansial dapat menggunakan uang mereka mempengaruhi persepsi publik. Hal ini dapat dilakukan melalui kepemilikan langsung atas outlet media atau dengan mendanai kampanye PR, iklan, atau pengaruh media sosial. Kemampuan mengendalikan atau memanipulasi informasi dapat membuat seorang pemimpin tampak lebih kompeten, karismatik, atau sukses daripada yang sebenarnya, sehingga membantu mereka mempertahankan kendali atas orang dan lembaga.
Lebih jauh lagi, insentif finansial dapat digunakan memanipulasi atau membujuk individu agar bertindak sesuai keinginan pemimpin. Hal ini dapat mencakup menawarkan pekerjaan, kontrak, atau manfaat ekonomi lainnya kepada orang-orang sebagai imbalan atas kesetiaan, kepatuhan, atau kebungkaman. Dengan cara ini, uang dapat digunakan sebagai alat menciptakan jaringan orang-orang yang memiliki kepentingan finansial dalam mendukung pemimpin, yang sering membuat mereka bergantung pada keberhasilan pemimpin bagi well-being mereka.
Uang juga memungkinkan para pemimpin mempertahankan perangkat keamanan, penegakan hukum, dan kontrol yang didanai dengan baik. Misalnya, kekayaan memungkinkan para pemimpin mendanai pasukan keamanan, polisi, atau unit militer yang dapat melindungi kepentingan mereka, menekan oposisi, atau mengintimidasi para pesaing. Kehadiran sumber daya keuangan dapat memberi seorang pemimpin sarana melakukan pemaksaan, baik secara halus maupun terang-terangan, yang dapat berkontribusi secara signifikan mempertahankan kekuasaan mereka.
Dalam beberapa kasus, uang membantu para pemimpin ini dengan memberi mereka kemampuan melemahkan oposisi. Dengan menggunakan kekayaan mendanai gerakan-gerakan pesaing, menciptakan perpecahan, atau mendukung taktik-taktik yang tidak stabil, mereka dapat memastikan bahwa para penantang potensial terhadap otoritas mereka tetap lemah atau tak terorganisir. Uang juga dapat digunakan memicu propaganda atau kampanye kotor terhadap para musuh, mencegah mereka mendapatkan pijakan dalam lanskap politik atau kelembagaan.
Pada akhirnya, harta-benda berfungsi sebagai pengganda bagi bentuk-bentuk kekuasaan lainnya. Kekayaan meningkatkan kemampuan seorang pemimpin memberikan pengaruh, memanipulasi hasil, dan mempertahankan kendali atas jaringan orang, institusi, dan sumber daya yang lebih besar. Sekalipun seorang pemimpin tak memiliki keterampilan intelektual atau kompetensi yang kuat, sumber daya keuangan mereka dapat memungkinkan mereka menciptakan infrastruktur kekuasaan—mulai dari penasihat yang loyal hingga media hingga penegak hukum—yang menopang kepemimpinannya. Uang merupakan faktor penting yang meningkatkan kemampuan seorang pemimpin mengendalikan orang dan institusi. Uang menyediakan sarana mengamankan kesetiaan, menekan oposisi, memanipulasi persepsi, dan mempertahankan sistem dukungan yang diperlukan untuk memastikan keberlangsungan otoritas mereka.

Efek Dunning-Kruger terus dikutip secara luas dalam psikologi dan seterusnya, membantu menjelaskan rasa percaya diri yang berlebihan dalam berbagai bidang—mulai dari politik hingga tempat kerja hingga pengambilan keputusan sehari-hari.
Ketika menghubungkan kemampuan pemimpin yang kurang kompeten mengendalikan orang dan institusi dengan efek Dunning-Kruger, kita dapat melihat bahwa efek Dunning-Kruger menawarkan sudut pandang yang menarik untuk memahami bagaimana pemimpin tersebut memandang dan menegaskan kompetensi mereka. Efek Dunning-Kruger menunjukkan bahwa orang dengan kompetensi yang lebih rendah dalam domain tertentu seringkali melebih-lebihkan kemampuan mereka, karena kurangnya kesadaran diri dan ketidakmampuan mengenali keterbatasan mereka. Dalam konteks pemimpin yang kurang kompeten, efek ini dapat memainkan peran penting dalam cara mereka memandang kemampuan mereka untuk memerintah, membuat keputusan, dan mempertahankan kendali.
Pemimpin yang kurang kompeten, sejalan dengan efek Dunning-Kruger, mungkin tak hanya melebih-lebihkan keterampilan mereka tetapi juga tak menyadari kelemahan dalam pengambilan keputusan mereka. Ketidakmampuan mereka mengenali keterbatasan mereka dapat membuat mereka lebih percaya diri dalam kemampuan mereka mengelola situasi politik, sosial, atau ekonomi yang kompleks, bahkan ketika mereka tak memiliki keahlian melakukannya secara efektif. Rasa percaya diri yang berlebihan ini dapat menyebabkan mereka membuat keputusan yang berani, menjalankan kebijakan tanpa mempertimbangkan konsekuensi potensialnya, atau bahkan menolak mendengarkan penasihat yang kompeten. Rasa percaya diri yang berlebihan yang menyertai efek Dunning-Kruger dapat membuat mereka lebih cenderung mengabaikan nasihat ahli atau meremehkan individu yang kompeten, karena mereka yakin penilaian mereka sudah cukup.
Lebih jauh lagi, para pemimpin yang terpengaruh oleh efek Dunning-Kruger mungkin memiliki persepsi yang menyimpang tentang seberapa baik mereka mengelola negara atau institusi. Mereka mungkin salah menafsirkan atau tak bisa melihat tingkat ketidakmampuan mereka dan percaya bahwa mereka berhasil memegang kendali, bahkan ketika tindakan mereka mengarah pada hasil yang negatif. Rasa kompetensi yang salah ini dapat menyebabkan mereka menggandakan kebijakan atau tindakan mereka, daripada mencari solusi yang lebih baik atau mengakui kesalahan. Ketidakmampuan mereka mengoreksi diri sendiri atau mencari bimbingan dapat berkontribusi pada tatakelola yang buruk.
Pada saat yang sama, efek Dunning-Kruger juga dapat mempengaruhi cara orang lain memandang dan menanggapi para pemimpin ini. Para penasihat dan pendukung mungkin menopang rasa percaya diri pemimpin yang berlebihan baik karena kesetiaan, rasa takut, atau kepentingan pribadi, bahkan ketika mereka menyadari ketidakmampuan pemimpin tersebut. Dalam beberapa kasus, para pemimpin ini mengelilingi diri mereka dengan orang-orang yang memperkuat rasa kompetensi mereka yang berlebihan, menciptakan lingkungan dimana penilaian berlebihan pemimpin terhadap kemampuan mereka tak pernah diperbaiki.
Efek Dunning-Kruger mencegah mereka mengenali keterbatasan mereka, tetapi kepercayaan diri mereka (bahkan jika tak berdasar) dapat membuat mereka tampak kuat dan tegas, memberi mereka keunggulan dalam mengonsolidasikan kekuasaan. Ini seringkali cukup untuk mempertahankan kendali, bahkan jika keputusan mereka didasarkan pada penilaian diri yang tidak akurat.
Efek Dunning-Kruger berperan penting dalam menjelaskan bagaimana pemimpin yang kurang kompeten dapat tetap berkuasa. Rasa percaya diri yang berlebihan, kurangnya kesadaran diri, dan kegagalan dalam menilai kemampuan mereka secara akurat sering kali memengaruhi pengambilan keputusan dan gaya kepemimpinan mereka. Dikombinasikan dengan faktor-faktor seperti karisma, kendali atas lembaga, dan manipulasi politik, efek Dunning-Kruger dapat membantu menjelaskan mengapa para pemimpin ini terus menjalankan wewenang meskipun mereka tampak kurang kompeten.

Jadi, haruskah seorang pemimpin itu cerdas?
Studi belakangan ini menawarkan jawaban yang mengejutkan: hingga titik tertentu, semakin cerdas dirimu, semakin efektif dirimu sebagai pemimpin. Namun, terlalu cerdas dapat mengurangi seberapa efektif engkau dipersepsikan, sebagian besar karena engkau kehilangan kontak dengan bawahanmu. Seorang pemimpin tak mesti selalu "cerdas" dalam artian akademis atau intelektual, tetapi seorang pemimpin yang sukses perlu memiliki jenis kecerdasan tertentu—seringkali merupakan kombinasi dari kecerdasan emosional, pemikiran strategis, kemampuan beradaptasi, dan kemampuan membaca orang dan situasi dengan baik.
Berbagai jenis kecerdasan penting dalam kepemimpinan. Misalnya, kecerdasan emosional—kemampuan memahami dan mengelola emosi diri sendiri dan orang lain—acapkali lebih penting daripada kecerdasan buku. Seorang pemimpin dengan kecerdasan emosional dapat membangun hubungan yang kuat, menumbuhkan rasa percaya, dan mengatasi konflik secara efektif. Demikian pula, seorang pemimpin membutuhkan kecerdasan praktis: kemampuan membuat keputusan yang tepat, beradaptasi dengan keadaan yang berubah, dan memecahkan masalah dunia nyata, bahkan tanpa pendidikan formal atau keahlian teknis.
Boleh jadi, ada pemimpin tak unggul dalam logika atau pengetahuan akademis tetapi sangat terampil dalam mengelola orang, memahami dinamika kekuasaan, dan berkomunikasi dengan pengaruh. Kualitas-kualitas ini dapat memungkinkan mereka naik ke tampuk kepemimpinan dan mempertahankan kendali. Faktanya, sejarah dan politik modern telah menunjukkan bahwa banyak pemimpin berhasil bukan karena mereka yang paling cerdas, tetapi karena mereka dianggap percaya diri, tegas, atau inspiratif—bahkan jika kualitas-kualitas tersebut lebih tentang gaya daripada substansi. Meskipun demikian, kurangnya kompetensi atau wawasan dapat menjadi beban yang serius seiring berjalannya waktu. Jika seorang pemimpin terus-menerus membuat keputusan yang buruk, mengabaikan nasihat ahli, atau menolak untuk belajar, hal itu dapat merugikan orang atau lembaga yang menjadi tanggungjawabnya. Dalam kasus seperti itu, karisma atau manipulasi untuk sementara dapat membantu mereka mempertahankan kekuasaan, tetapi biasanya hal itu tak dapat mengimbangi ketidakmampuan yang mendalam dalam jangka panjang—kecuali jika mereka mengelilingi diri mereka dengan penasihat yang kompeten dan membiarkan para penasihat tersebut bertindak atas nama mereka.
Kesimpulannya, meskipun seorang pemimpin tak harus menjadi "the smartest person in the room", mereka hendaknya cukup cerdik mengenali batasan mereka, mengandalkan orang yang tepat, dan terus belajar.  Kepemimpinan bukanlah soal ego atau dominasi, melainkan soal tanggungjawab dan pelayanan. Kepemimpinan sejati melibatkan lebih dari sekadar kecerdasan—ia membutuhkan kearifan, kerendahan hati, visi, dan kemampuan menginspirasi orang lain agar bertindak menuju tujuan bersama.

[English]