Rabu, 09 April 2025

Trade Barriers: Apa dan Mengapa? (2)

Di pasar yang rame, seorang petani lokal lagi pamerin hasil panennya yang segar. Tiba-tiba ada petani asing yang nyamperin, pengen jual buahnya.
Petani Asing: "Bang, gue punya apel dari kebun gue nih. Mau beli kagak?"
Petani Lokal: "Apel? Enggak ah, gue 'dah punya apel sendiri. Lagian, apel lu kan kena tarif fmahal!"
Petani Asing: "Tariff? Apaan tuh?"
Petani Lokal: "Oh, itu cuma cara pemerintah kita buat pastiin lu bayar lebih mahal kalo masuk ke wilayah kite!"
Petani Asing: "Jadi kayak bayar tiket masuk buat apel gue?"
Petani Lokal: "Bener banget! Tapi tenang aja, itu cuma biar dagangan kita tetep ‘menggiurkan’ buat orang sini!"

Sebuah trade barrier (hambatan perdagangan) merujuk pada pembatasan atau peraturan yang diberlakukan pemerintah, yang membatasi perdagangan internasional antarnegara. Hambatan ini biasanya dirancang untuk melindungi industri dalam negeri, menjaga kepentingan nasional, atau mengatasi praktik perdagangan yang tidak adil. Namun, hambatan ini juga dapat menghambat perdagangan global dan pertumbuhan ekonomi dengan meningkatkan biaya bagi bisnis dan konsumen. Hambatan perdagangan muncul dalam beragam bentuk, termasuk tariffs, kuota, dan takaran-takaran non-tariff.
Tariffs (biasa diterjemahkan tarif atau tariff) adalah pajak atau bea yang dikenakan pada barang impor. Tarif meningkatkan biaya barang asing, sehingga kurang kompetitif dibandingkan dengan produk dalam negeri. Pemerintah menggunakan tariffs untuk melindungi industri lokal dari persaingan asing atau untuk menghasilkan pendapatan. Contoh, perang dagang AS-China melibatkan tariffs pada barang senilai miliaran dolar.

Perang Tariff yang terjadi saat ini, terutama di bawah kepemimpinan Donald Trump, merupakan bagian dari sejarah panjang kebijakan perdagangan Amerika Serikat. Sejarah ini mencakup berbagai konflik dagang yang telah berlangsung selama lebih dari satu abad, dengan pengenalan tariff sebagai alat utama untuk melindungi industri dalam negeri.
Sejarah perang tariff bermula pada abad ke-19 ketika Amerika Serikat sangat bergantung pada tariff sebagai sumber pendapatan utama dan alat untuk melindungi industri yang sedang berkembang. Selama periode ini, tariff dikenakan pada barang impor untuk melindungi produsen Amerika dari persaingan asing. Pada akhir 1800-an, tariff rata-rata di AS berkisar sekitar 50%, yang mencerminkan sikap proteksionis yang kuat.
Perang tariff selalu bermula dari ketegangan ekonomi dan politik antarnegara. Di zaman modern, tariff telah digunakan sebagai daya ungkit dalam negosiasi perdagangan atau sebagai respons terhadap praktik perdagangan yang dianggap tidak fair. Misalnya, di bawah Presiden Donald Trump, tariff menjadi alat utama dalam agenda "America First"-nya. Trump berpendapat bahwa negara-negara seperti China turut dalam praktik tidak fair seperti pencurian kekayaan intelektual dan manipulasi mata uang, yang berkontribusi terhadap defisit perdagangan AS yang terus meningkat.
Pada bulan Maret 2018, Trump mengumumkan tariff tinggi pada impor China senilai $50 miliar, yang menargetkan industri seperti teknologi dan baja. China membalas dengan tariffnya pada ekspor Amerika seperti kacang kedelai dan mobil. Hal ini menandai dimulainya konflik perdagangan yang berkepanjangan antara kedua negara adikuasa ekonomi tersebut.
Meskipun perang tariff antara AS dan China agak mereda di bawah pemerintahan Presiden Joe Biden, banyak tariff Trump yang masih berlaku. Pemerintahan Biden telah mengambil pendekatan yang lebih terukur, mencari solusi diplomatik sambil mempertahankan beberapa kebijakan proteksionis untuk melindungi industri Amerika.
Dampak perang dagang ini masih terasa secara global. Negara-negara seperti Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya menghadapi tantangan karena gangguan dalam rantai pasokan dan pergeseran dinamika perdagangan global. Selain itu, bisnis dan konsumen di seluruh dunia mengalami biaya yang lebih tinggi karena kenaikan harga barang yang terkena tariff ini.

Quotas (diterjemahkan Kuota) menetapkan batasan jumlah atau nilai barang tertentu yang dapat diimpor atau diekspor selama periode tertentu. Kuota membatasi persaingan asing dan membantu menstabilkan pasar domestik. Misalnya, beberapa negara memberlakukan kuota pada produk pertanian untuk melindungi petani lokal.
Kuota membatasi jumlah barang impor, melindungi produsen lokal dari persaingan asing. Hal ini membantu mempertahankan bisnis domestik dan mempertahankan lapangan kerja. Dengan membatasi impor, kuota dapat mengatasi ketidakseimbangan perdagangan dan mengurangi ketergantungan pada barang asing, terutama dari negara-negara yang mengalami defisit perdagangan. Kuota mengendalikan pasokan barang impor, mencegah lonjakan atau penurunan ketersediaan secara tiba-tiba yang dapat mengganggu pasar domestik. Kuota dapat memastikan bahwa barang impor memenuhi kriteria lingkungan, kesehatan, atau keselamatan tertentu, yang melindungi konsumen. Pembatasan impor mengurangi persaingan, yang menyebabkan harga barang menjadi lebih tinggi di pasar domestik. Konsumen menghadapi lebih sedikit pilihan dan seringkali membayar lebih mahal untuk alternatif lokal yang kualitasnya lebih rendah.
Kuota mengganggu dinamika pasar bebas dengan membatasi pasokan secara artifisial, yang dapat menyebabkan inefisiensi dan mengurangi pertumbuhan ekonomi. Alokasi lisensi impor berdasarkan kuota dapat menyebabkan praktik monopoli atau penyuapan di antara pejabat, yang selanjutnya merugikan kesejahteraan konsumen.
Negara pengekspor dapat mencari pasar alternatif atau mendiversifikasi industri mereka untuk mengurangi ketergantungan pada negara yang memberlakukan kuota. Menghadapi kuota dapat membuka jalan bagi diskusi diplomatik yang bertujuan mengurangi pembatasan atau meningkatkan hubungan perdagangan.
Kuota membatasi volume barang yang dapat diekspor, mengurangi pendapatan bagi bisnis dan merugikan industri yang bergantung pada perdagangan internasional. Eksportir menghadapi peningkatan biaya karena akses pasar yang terbatas, yang dapat menyebabkan PHK dan berkurangnya investasi di sektor yang terkena dampak.
Negara yang bergantung pada ekspor dapat mengalami inefisiensi produksi dan gangguan rantai pasokan karena berkurangnya permintaan dari negara yang memberlakukan kuota. Kuota dapat merusak hubungan diplomatik antarnegara, yang mempengaruhi kemitraan dan kerjasama ekonomi yang lebih luas.
Kuota menawarkan perlindungan bagi industri dalam negeri dan membantu mengatur neraca perdagangan bagi negara yang memaksakan, tetapi harus dibayar dengan harga konsumen yang lebih tinggi dan potensi inefisiensi di pasar. Bagi negara yang menghadapi kuota, kuota membatasi peluang ekspor dan membebani hubungan internasional sekaligus mendorong upaya diversifikasi. Kedua belah pihak berisiko mengalami kerugian ekonomi dan meningkatnya ketegangan dalam dinamika perdagangan global.

Ada trade barriers yang tidak terlalu kentara tetapi sama-sama berdampak. Hambatan ini dikenal sebagai hambatan-hambatan non-tariff (non-tariff barriers, NTBs). Misalnya, suatu negara mengharuskan semua mainan impor memenuhi standar keselamatan yang ketat atau menjalani pengujian ketat sebelum dapat dijual. Meskipun hal ini mungkin tampak seperti tindakan yang wajar untuk melindungi konsumen, dapat pula berfungsi sebagai hambatan tersembunyi terhadap perdagangan, sehingga mempersulit perusahaan asing memasuki pasar.

Kemudian ada embargo, yang berlaku sebagai larangan penuh atas perdagangan dengan negara atau produk tertentu. Embargo kerap didorong oleh motif politik, bukan ekonomi. Misalnya, selama Perang Dingin, banyak negara Barat memberlakukan embargo atas perdagangan dengan negara komunis sebagai bagian dari strategi geopolitik mereka. Embargo memungkinkan negara yang memaksakan memberikan tekanan ekonomi pada negara sasaran, memaksanya mengubah kebijakan atau perilaku yang tak menyenangkan tanpa menggunakan tindakan militer. Embargo dapat mengurangi ancaman dengan membatasi akses ke barang-barang strategis, semisal senjata atau teknologi yang dapat memperkuat kemampuan militer negara sasaran. Dalam beberapa kasus, embargo dapat memprioritaskan kebutuhan dalam negeri. Misalnya, embargo vaksin India memastikan pasokan yang cukup untuk penduduknya.
Negara yang memaksakan dapat kehilangan pendapatan perdagangan dan menghadapi gangguan dalam industri yang bergantung pada ekspor atau impor dari negara yang menjadi sasaran. Embargo dapat merusak hubungan diplomatik dan menyebabkan konflik yang berkepanjangan, yang berpotensi merusak upaya perdamaian global. Banyak rezim otoriter menolak embargo untuk jangka waktu yang lama, yang kerap merugikan warga negaranya, sehingga mengurangi efektivitas tindakan ini.
Embargo dapat mendorong kemandirian dengan mendorong produksi barang-barang penting dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada impor. Negara yang menjadi sasaran dapat mencari aliansi baru dan menjalin hubungan dagang dengan negara-negara di luar pengaruh embargo.
Embargo mengganggu arus perdagangan, menyebabkan kekurangan barang-barang penting, berkurangnya cadangan mata uang asing, dan ketidakstabilan ekonomi secara keseluruhan. Embargo yang berkepanjangan sering menyebabkan berkurangnya kesejahteraan warga negara karena inflasi, pengangguran, dan kurangnya akses ke sumber daya penting seperti obat-obatan atau makanan. Embargo mengisolasi negara yang menjadi sasaran dari pasar internasional, melemahkan pengaruh geopolitiknya dan kemampuannya untuk terlibat dalam urusan global secara efektif.

Sepanjang sejarah, embargo telah menjadi alat penting dalam peperangan ekonomi, diplomasi, dan hukuman. Salah satu contoh penting ialah Embargo Act of 1807 (Undang-Undang Embargo tahun 1807), yang diberlakukan oleh Presiden Thomas Jefferson selama Perang Napoleon. Undang-undang ini bertujuan memprotes serangan Inggris dan Prancis terhadap kapal-kapal dagang Amerika dengan melarang seluruh ekspor dari pelabuhan-pelabuhan AS. Namun, embargo tersebut merontokkan ekonomi AS, yang menyebabkan meluasnya pengangguran dan penyelundupan, dan akhirnya dicabut pada tahun 1809 setelah tak dapat mencapai tujuan yang dimaksudkan.
Kasus penting lainnya ialah embargo AS terhadap Kuba, yang dimulai pada tahun 1960 setelah pemerintah Kuba menasionalisasi bisnis milik Amerika di bawah Fidel Castro. Embargo yang telah berlangsung lama ini berakibat buruk pada ekonomi Kuba, merugikan negara tersebut miliaran dolar selama beberapa dekade. Meskipun bertujuan menekan pemerintah Kuba agar mengubah kebijakannya, embargo tersebut tak berhasil mengubah rezim komunis Kuba dan tetap menjadi salah satu embargo terlama dalam sejarah.
Embargo minyak OPEC tahun 1973 merupakan contoh penting lainnya. Anggota Arab OPEC memberlakukan embargo ini terhadap Amerika Serikat selama Perang Arab-Israel untuk memprotes dukungan AS terhadap Israel. Hasilnya, krisis energi global yang menyebabkan harga minyak meroket dan resesi ekonomi di banyak negara, meskipun tak berhasil mengubah kebijakan luar negeri AS terhadap Israel.
Pada tahun 1990-an, Perserikatan Bangsa-Bangsa memberlakukan sanksi terhadap Irak setelah invasinya ke Kuwait. Sanksi ini bertujuan melemahkan rezim Saddam Hussein dan memaksa kepatuhan terhadap tuntutan internasional. Meskipun sanksi tersebut menyebabkan penderitaan yang signifikan di antara warga sipil Irak, sanksi tersebut pada akhirnya tak mampu memaksa Irak agar sepenuhnya patuh tanpa intervensi militer selama Operation Desert Storm.
Terakhir, selama Perang Dunia I, negara-negara Sekutu menerapkan blokade terhadap Jerman yang membatasi aksesnya ke barang-barang penting. Blokade ini menyebabkan kekurangan yang parah di Jerman, yang mendorong tindakan putus asa seperti perang kapal selam tanpa batas dan serangan militer yang pada akhirnya gagal. Secara keseluruhan, kasus-kasus historis ini menggambarkan bahwa meskipun embargo dapat menimbulkan tekanan ekonomi yang besar, efektivitasnya dalam mencapai tujuan politik sering kali beragam dan dapat menyebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan.
Singkatnya, meskipun embargo berfungsi sebagai alat yang ampuh untuk mempengaruhi perilaku internasional, embargo juga menimbulkan biaya ekonomi dan politik yang amat berarti bagi negara yang memaksakan dan negara yang menjadi sasaran.

Kebijakan dumping Jepang dapat digolongkan sebagai hambatan perdagangan karena implikasinya terhadap persaingan yang adil dan dinamika perdagangan internasional. Kendati Jepang telah mengembangkan pendekatannya terhadap perdagangan internasional dan berupaya menyesuaikan diri dengan standar global, warisan praktik dumpingnya terus mempengaruhi perbincangan tentang keadilan perdagangan dan proteksionisme di pasar global.
Istilah "Japan's dumping policy" mengacu pada praktik penjualan barang di pasar luar negeri dengan harga yang jauh lebih rendah daripada harga di pasar domestik. Strategi ini secara historis telah digunakan oleh Jepang, di antara negara-negara lain, untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dalam perdagangan internasional. Dumping sering dipandang sebagai bentuk diskriminasi harga yang ditujukan untuk merebut pangsa pasar dan merugikan produsen lokal di negara pengimpor.
Secara historis, Jepang merupakan salah satu negara pertama yang menerapkan kebijakan dumping, khususnya selama pemulihan ekonomi pasca-Perang Dunia II. Negara tersebut memanfaatkan strategi ini untuk mengekspor berbagai macam produk, termasuk barang elektronik dan mobil, dengan harga yang seringkali lebih rendah daripada harga di dalam negeri. Pendekatan ini memungkinkan produsen Jepang menembus pasar luar negeri secara efektif dan membangun kehadiran global yang kuat.
Jepang mulai menerapkan kebijakan dumping pada era pasca-Perang Dunia II, khususnya selama tahun 1950-an dan 1960-an sebagai bagian dari upaya pemulihan ekonomi dan industrialisasi. Setelah perang, Jepang berupaya membangun kembali ekonominya dan merevitalisasi industrinya, yang berujung pada strategi ekspor agresif yang mencakup penjualan barang dengan harga lebih rendah daripada harga di pasar domestik. Praktik ini ditujukan untuk merebut pangsa pasar luar negeri dan membangun keunggulan kompetitif di berbagai sektor, termasuk elektronik dan otomotif.
Penggunaan kebijakan dumping oleh Jepang sangat menonjol selama tahun 1970-an dan 1980-an ketika produk-produk Jepang mulai mendominasi pasar internasional. Kemampuan negara ini menjual barang-barang berkualitas tinggi dengan harga yang lebih rendah menimbulkan kekhawatiran di antara negara-negara lain, yang berujung pada tuduhan praktik perdagangan yang tidak fair. Negara-negara seperti Amerika Serikat dan anggota Uni Eropa menanggapi dengan tindakan antidumping dan tariff untuk melindungi industri dalam negeri mereka dari apa yang mereka anggap sebagai predatory pricing. Praktik dumping telah menimbulkan kekhawatiran terkait praktik perdagangan yang adil. Banyak negara menuduh Jepang turut dalam persaingan yang tidak fair, yang menyebabkan munculnya seruan untuk tindakan perlindungan seperti bea antidumping. Berdasarkan peraturan perdagangan internasional, khususnya yang ditetapkan oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dumping dianggap sebagai pelanggaran prinsip perdagangan yang adil, dan negara-negara yang terkena dampak dapat mengenakan tariff untuk menangkal dampaknya.
Masihkah Jepang menganut praktik dumping? Mengenai apakah Jepang masih mematuhi kebijakan dumping saat ini, situasinya lebih rumit. Kendati Jepang telah menghadapi tuduhan dumping di berbagai sektor selama bertahun-tahun, negara ini juga telah mengambil langkah-langkah untuk mematuhi hukum perdagangan internasional dan meningkatkan praktiknya. Pemerintah Jepang telah menerapkan langkah-langkah seperti mengenakan tariff pada impor dan meningkatkan efisiensi industri dalam negeri guna mengurangi dampak negatif dumping.

Pemerintah menggunakan hambatan perdagangan ini oleh berbagai alasan. Ada yang bertujuan untuk melindungi industri yang masih baru dari persaingan asing hingga cukup kuat untuk berdiri sendiri—strategi yang sering disebut sebagai "infant industry protection (perlindungan industri baru)." Yang lain menggunakan hambatan untuk menjaga keamanan nasional dengan membatasi impor barang-barang sensitif seperti peralatan militer atau teknologi canggih. Dalam beberapa kasus, hambatan perdagangan merupakan tindakan pembalasan—cara bagi satu negara menanggapi apa yang dianggapnya sebagai praktik tidak adil oleh negara lain.
Akan tetapi, kendati trade barriers dapat memberikan manfaat jangka pendek—seperti melindungi lapangan kerja atau mendukung industri lokal—hambatan tersebut sering disertai dengan kerugian yang cukup berarti. Bagi konsumen, hambatan tersebut berarti harga yang lebih tinggi karena barang impor menjadi lebih mahal karena tariff atau kuota. Bagi bisnis, hambatan tersebut dapat mengganggu rantai pasokan dan membatasi akses ke pasar internasional. Dan ketika negara-negara saling membalas pembatasan perdagangan, hal itu dapat meningkat menjadi perang dagang besar-besaran, yang merugikan pertumbuhan ekonomi global.
Contoh terbaru dari hal ini ialah perang dagang AS-China yang dimulai pada tahun 2018. Amerika Serikat mengenakan tariff pada barang-barang China senilai miliaran dolar, menuduh China melakukan praktik perdagangan yang tidak adil seperti pencurian kekayaan intelektual dan manipulasi mata uang. China menanggapi dengan tariffnya sendiri pada produk-produk Amerika seperti kacang kedelai dan mobil. Eskalasi balasan ini mengganggu rantai pasokan global dan menaikkan biaya bagi bisnis dan konsumen di seluruh dunia.

Trade Barriers telah menjadi bagian dari sejarah manusia selama berabad-abad, berkembang seiring dengan perkembangan ekonomi dan geopolitik. Dari kebijakan merkantilis Eropa abad ke-17 hingga sengketa tariff modern, hambatan perdagangan mencerminkan keseimbangan yang rumit antara melindungi kepentingan domestik dan mendorong kerjasama global.
Prinsip perdagangan bebas Adam Smith, sebagaimana diuraikan dalam The Wealth of Nations, secara langsung terkait dengan konsep hambatan perdagangan, yang dipandangnya merugikan kemakmuran ekonomi. Smith berpendapat bahwa hambatan perdagangan, seperti tariff, kuota, dan embargo, mendistorsi alokasi sumber daya alami dan menghambat manfaat spesialisasi dan perdagangan internasional. Dengan memaksa negara-negara memproduksi barang-barang di dalam negeri yang dapat diperoleh dengan lebih efisien dari luar negeri, hambatan-hambatan ini salah mengalokasikan tenaga kerja dan modal, sehingga mengurangi kekayaan dan produktivitas secara keseluruhan.
Smith percaya bahwa perdagangan bebas memungkinkan negara-negara untuk fokus pada produksi barang-barang yang menjadi keunggulan absolut mereka, sehingga memaksimalkan efisiensi dan keuntungan bersama. Ia mengkritik kebijakan merkantilis yang berupaya menimbun kekayaan melalui surplus perdagangan dan proteksionisme, dengan menegaskan bahwa tindakan-tindakan tersebut pada akhirnya memiskinkan negara-negara dengan membatasi akses ke barang-barang asing yang lebih murah atau berkualitas lebih baik. Lebih jauh, ia berpendapat bahwa pembatasan perdagangan mendorong penyelundupan dan menciptakan inefisiensi dengan menaikkan harga secara artifisial bagi konsumen.
Intinya, Smith melihat hambatan perdagangan sebagai hambatan terhadap arus alami perdagangan, yang tumbuh subur melalui pertukaran sukarela dan saling menguntungkan. Menghilangkan hambatan ini mendorong spesialisasi yang lebih besar, inovasi, dan "mutual communication of knowledge," yang semuanya berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, advokasinya bagi perdagangan bebas pada dasarnya adalah seruan untuk mengurangi atau menghilangkan hambatan buatan pada perdagangan internasional.

Dalam "Globalisasi dan Ketidakpuasannya" (2002, W.W. Norton & Company), Joseph Stiglitz memberikan telaah kritis tentang bagaimana kebijakan ekonomi global, khususnya yang didukung oleh lembaga keuangan internasional (IFI) seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), telah berdampak negatif terhadap negara-negara berkembang. Stiglitz berpendapat bahwa IMF kerap menerapkan pendekatan "one-size-fits-all (satu takaran untuk semua)" terhadap reformasi ekonomi, yang mencakup liberalisasi perdagangan yang cepat, penghematan fiskal, privatisasi, dan suku bunga tinggi. Kebijakan-kebijakan ini sering mengabaikan keadaan ekonomi unik masing-masing negara, yang menyebabkan konsekuensi jangka pendek yang menghancurkan seperti kehilangan pekerjaan dan keresahan sosial.
Stiglitz menyoroti contoh-contoh spesifik, seperti krisis keuangan Asia tahun 1997 dan transisi Rusia setelah runtuhnya Uni Soviet, dimana kebijakan IMF memperburuk ketidakstabilan ekonomi alih-alih meredakannya. Ia menunjukkan bahwa tindakan kontraksi memperdalam resesi selama krisis alih-alih mendorong pemulihan. Selain itu, ia mengkritik keselarasan IMF dengan kepentingan politik G-7 dan fundamentalisme pasar, yang sering memprioritaskan pembayaran utang ke bank-bank Barat daripada kesejahteraan penduduk lokal.
Karya Stiglitz menekankan bahwa globalisasi belum memberikan manfaat yang dijanjikan bagi banyak negara berkembang. Alih-alih mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan, kebijakan IFI kerap menghambat pertumbuhan dan meningkatkan ketimpangan. Misalnya, Stiglitz membahas bagaimana liberalisasi perdagangan mengekspos industri yang baru lahir di negara berkembang terhadap persaingan yang lebih maju terlalu cepat, yang mengakibatkan hilangnya lapangan kerja dan kemerosotan industri. Ia mengutip Sub-Saharan Africa sebagai contoh nyata dimana kebijakan yang didorong IMF berkontribusi pada stagnasi alih-alih kemajuan ekonomi selama tahun 1980-an dan 1990-an.
Menentang asumsi neoliberal bahwa pasar pada dasarnya dapat mengoreksi diri sendiri, Stiglitz berpendapat bahwa pasar sering gagal karena informasi yang tak sempurna dan struktur yang tak lengkap, terutama di negara-negara berkembang. Dalam kasus seperti ini, ia berpendapat bahwa intervensi pemerintah dapat menghasilkan hasil yang lebih baik. Daripada menganjurkan penghapusan lembaga keuangan internasional, Stiglitz menyerukan pengelolaan globalisasi yang lebih cerdas melalui reformasi yang mendorong kebijakan ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan.
Selain itu, ia meneliti bagaimana globalisasi melanggengkan ketidakadilan antara negara maju dan negara berkembang. Negara-negara kaya cenderung memperoleh keuntungan yang tak proporsional dari perjanjian perdagangan sambil mengeksploitasi lingkungan regulasi yang lebih lemah di negara-negara miskin, sehingga membuat mereka rentan terhadap aliran modal spekulatif. Sementara Stiglitz mengakui kekhawatiran gerakan anti-globalisasi, ia mengkritik solusi populis seperti tariff proteksionis karena tak bisa mengatasi masalah sistemik secara efektif.

Trade barriers, yang meliputi tariff, kuota, dan hambatan-hambatan non-tariff, telah lama digunakan oleh pemerintah untuk melindungi industri dalam negeri dan mengatur perdagangan internasional. Meskipun hambatan ini dapat memberikan manfaat jangka pendek, seperti melindungi lapangan kerja lokal dan mendorong pertumbuhan ekonomi, hambatan ini sering disertai dengan kerugian yang cukup terasa. Secara historis, hambatan perdagangan yang berlebihan telah menyebabkan harga yang lebih tinggi bagi konsumen, mengganggu rantai pasokan, dan memicu tindakan pembalasan dari negara lain, yang pada akhirnya merugikan perdagangan global dan hubungan ekonomi.
Sejarah menunjukkan bahwa perang tariff sering menimbulkan konsekuensi yang tak diinginkan—seperti harga konsumen yang lebih tinggi, hubungan internasional yang tegang, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Para ekonom telah lama memperingatkan terhadap proteksionisme yang berlebihan, sebaliknya menganjurkan kebijakan perdagangan kooperatif yang mendorong keuntungan bersama.
Kebijakan perdagangan yang diterapkan selama masa jabatan presidensi Donald Trump, khususnya pengenaan tariff pada berbagai macam barang dari negara-negara semisal China, telah memicu kembali perdebatan tentang proteksionisme dalam ekonomi global. Tariffs ini dimaksudkan mengatasi praktik perdagangan yang dianggap tidak fair dan mengurangi defisit perdagangan AS. Namun, tariff ini telah pula memicu tariff balasan dari negara-negara yang terkena dampak, yang menyebabkan perang dagang yang telah menciptakan ketidakpastian bagi bisnis dan konsumen. 
Menengok ke masa depan, dampak kebijakan tariff Trump akan terus membentuk dinamika perdagangan global. Sementara beberapa industri di AS dapat memperoleh keuntungan dari berkurangnya persaingan asing dalam jangka pendek, efek jangka panjangnya dapat merugikan. Tatkala negara-negara beradaptasi dengan hambatan ini, mereka dapat mencari pasar alternatif atau mengembangkan industri mereka sendiri, yang dapat menyebabkan fragmentasi rantai pasokan global. Lebih jauh lagi, ketegangan yang sedang berlangsung dapat menghambat kerjasama internasional dalam isu-isu mendesak seperti perubahan iklim dan kesehatan masyarakat. Kesimpulannya, meskipun hambatan perdagangan dapat melayani kepentingan nasional tertentu, hambatan tersebut sering menimbulkan biaya yang tak hanya mempengaruhi ekonomi masing-masing negara, melainkan pula pasar global yang saling terhubung. Masa depan perdagangan internasional kemungkinan besar akan bergantung pada bagaimana negara-negara mengatasi tantangan ini dan apakah mereka dapat menemukan keseimbangan antara melindungi kepentingan domestik dan mendorong kolaborasi di dunia yang semakin saling bergantung.