Jumat, 25 April 2025

Mengapa Rasulullah ﷺ Mengendarai Keledai? Sebuah Pelajaran Sederhana

Di zaman tatkala kendaraan menjadi simbol status, dan citra-citra mewah dibagikan demi validasi sosial, mari kita menoleh sejenak pada sosok manusia termulia: Rasulullah ﷺ, yang lebih memilih mengendarai seekor keledai—tunggangan sederhana yang jauh dari kesan prestise. Riwayatnya tercatat dalam Jami' at-Tirmidzi, dan ternyata, itu bukan hanya potret masa lalu, tapi pelajaran berharga bagi zaman modern. Bukan kemelaratan. Melainkan seebuah tujuan.
كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَرْكَبُ الْحِمَارَ، وَيَلْبَسُ الصُّوفَ، وَيَحْلُبُ الشَّاةَ، وَيَقْبَلُ الدَّعْوَةَ عَلَى خُبْزِ الشَّعِيرِ
"Rasulullah ﷺ biasa mengendarai keledai, memakai pakaian dari wol (bulu), memerah susu kambing, dan menerima undangan walau hanya berisi roti dari gandum kasar."
Hadits ini diriwayatkan dari sejumlah jalur dengan redaksi yang mirip. Salah satu sanadnya ditemukan dalam Musnad Ahmad dan as-Sunan al-Kubra karya al-Baihaqi, serta disebut oleh Ibnu Sa’d dalam at-Tabaqat. Namun, sebagian ulama melemahkan sanadnya, meski kandungannya didukung oleh riwayat-riwayat lain yang shahih dalam hal kesederhanaan Rasulullah ﷺ. Hasan oleh at-Tirmidzi dan shahih oleh al-Albani dalam Sahih al-Jami'.
Hadits ini bukan sekadar bisikan dari masa silam, melainkan khutbah bungkam yang mengingatkan kita: ada kekuatan dalam langkah yang bersahaja—karena kesederhanaan adalah kekuatan dalam diam.

Sekilas, hadits ini mungkin terlihat sepele. Rasulullah ﷺ mengendarai keledai—emang k'napa? Namun, bagi mereka yang merenung, pilihan ini mengandung pesan yang mendalam.
Pertama-tama, keledai bukanlah simbol kemewahan, kekayaan, atau status. Di banyak budaya, bahkan hingga saat ini, keledai dipandang sebagai binatang yang rendah atau sederhana. Namun, Rasulullah ﷺ memilihnya sebagai tunggangan. Ini bukan karena beliau tak punya alternatuf lain—beliau juga mengendarai unta dan kuda bila diperlukan—tetapi karena beliau dengan sengaja hendak menunjukkan bahwa kerendahan hati dan kesederhanaan bukanlah kekurangan, melainkan kebajikan.
Beliau ﷺ hidup dalam masyarakat yang acapkali mengukur status berdasarkan harta benda. Bukankah ini mirip dengan zaman kita sekarang? Di dunia kita saat ini, status sosial kerap tercermin melalui merek, gadget, kendaraan, dan gaya hidup. Mengendarai keledai pada masa itu akan tampak seperti seseorang di zaman kita yang memilih berjalan kaki atau menggunakan transportasi umum daripada memamerkan mobil mewah.
Hadits ini mengajarkan kita bahwa seorang mukmin tak semestinya diperbudak oleh pendapat orang lain atau tampilan duniawi. Kemuliaan sejati tak datang dari apa yang kita kenakan atau tunggangi, tetapi dari karakter yang kita miliki. Seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Qayyim al-Jawziyyah: "Semakin hati dipenuhi Allah, semakin sedikit ia menginginkan dunia."
Dengan mengendarai keledai, Rasulullah ﷺ tak cuma bepergian—beliau juga mengajar. Beliau mengajarkan bahwa kemuliaan sejati terletak pada rasa cukup, bahwa kepemimpinan datang dengan kerendahan hati, dan bahwa untuk dekat dengan Allah, kita hendaknya menanggalkan kesombongan.

Di masa kini, mengendarai mobil tertentu atau memegang ponsel tertentu hampir menjadi proklamasi harga diri. Kita terus-menerus diminta agar memamerkan lebih banyak, punya lebih banyak, dan membuktikan lebih banyak.
Namun, Rasulullah ﷺ tak menunggangi kuda untuk memberi kesan—beliau menunggangi kuda agar terhubung. Keledai tak merendahkannya. Keledai mengangkat pesan bahwa kemuliaan sejati terletak pada kesederhanaan. Seperti yang disampaikan Imam al-Ghazali:
“Jangan tertipu oleh kemuliaan lahiriah, karena orang yang paling dekat dengan Allah seringkali ialah orang yang paling jauh dari pertunjukan duniawi.” (Ihya’ Ulumudin)
Dalam pernyataan ini, ia memperingatkan orang-orang agar tak tertipu oleh penampilan, ketenaran, atau kesuksesan materi. Kemuliaan lahiriah—semisal harta-kekayaan, status, gengsi, atau popularitas—dapat mengesankan mata manusia, tetapi hal itu belum tentu mencerminkan kedudukan spiritual sejati seseorang atau kedekatannya dengan Allah.
Al-Ghazali menekankan bahwa mereka yang benar-benar dekat dengan Allah selalu rendah hati, bersahaja, dan terselubung dari sorotan dunia. Keshalihan dan ketulusan mereka mungkin tak terlihat atau diakui oleh masyarakat, karena hubungan mereka dengan Allah bersifat internal, pribadi, dan berakar di dalam hati—bukan sesuatu yang dipamerkan agar dikagumi publik.
Kutipan ini mencerminkan tema utama dalam ajaran Imam al-Ghazali: pentingnya kesucan batin di atas penampilan luar, dan perlunya fokus pada pengembangan spiritual, ketulusan, dan kerendahan hati seseorang, daripada mengejar pujian atau pengakuan duniawi. Inilah pengingat bahwa nilai sejati di mata Allah tak terletak pada apa yang dilihat orang, melainkan pada apa yang semata diketahui oleh-Nya.

James Clear, dalam Atomic Habits: An Easy & Proven Way to Build Good Habits & Break Bad Ones (diterbitkan tahun 2018 oleh Avery, penerbit Penguin Random House), mengingatkan kita: 
"Engkau tak mencapai level tujuanmu. Dirimu jatuh ke level sistemmu."
James Clear menekankan bahwa kesuksesan tak semata tentang menetapkan tujuan yang ambisius, melainkan tentang menciptakan sistem yang efektif, yang mendukung kemajuan yang konsisten. Maksudnya adalah bahwa meskipun dirimu punya ambisi yang tinggi atau niat yang kuat, engkau tak akan mencapainya kecuali dirimu berproses dan punya kebiasaan harian yang dapat diandalkan. Tujuan berguna untuk menetapkan arah, tetapi sistem-lah yang mendorong kemajuan dan hasil jangka panjang. Dengan kata lain, bukan tujuanmu yang menentukan kesuksesanmu,melainkan kebiasaanmu—rutinitas kecil yang engkau ikuti setiap hari. Clear berpendapat bahwa meskipun tujuan dapat memberikan motivasi, ia tak cukup untuk mempertahankan peningkatan. Sistem—semisal rutinitas, lingkungan, dan umpan balik—menciptakan landasan bagi tindakan yang konsisten. Tanpanya, bahkan individu yang paling bertekad pun akan berjuang untuk mempertahankan kemajuan.
Gagasan ini merupakan inti dari filosofi Clear dalam Atomic Habits, dimana ia menganjurkan perubahan-perubahan kecil dan bertahap yang akan berlipat ganda seiring waktu, dan menghasilkan hasil yang luar biasa.

"Sistem" Rasulullah ﷺ adalah kerendahan hati. Beliau tak membutuhkan kemegahan untuk membuktikan keagungannya. Keledai adalah pernyataan harian: Diriku cukup tanpa berlebihan.
Hal ini selaras dengan filosofi Ikigai—menemukan tujuan dalam hal-hal biasa. Kesederhanaan, jika disengaja, menjadi kekuatan. Filosofi Ikigai berasal dari Jepang dan dapat diterjemahkan sebagai "alasan untuk hidup" atau "alasan agar bangun pagi." Inilah gagasan bahwa hidup menjadi sangat bermakna ketika dirimu menemukan tujuan—tak harus dalam pencapaian besar, tetapi dalam hal-hal sederhana sehari-hari yang membawa kegembiraan, kepuasan, dan pemenuhan.
Tatkala orang berbicara tentang "menemukan tujuan dalam hal-hal biasa," mereka mengacu pada prinsip Ikigai bahwa tujuan tak selalu harus dikaitkan dengan tujuan besar, ketenaran, atau kesuksesan materi. Sebaliknya, tujuan dapat ditemukan dalam momen-momen kecil yang bermakna—semisal merawat orang yang dicintai, berlatih kerajinan, menikmati alam, menyiapkan makanan, atau berkontribusi positif terhadap masyarakat. Tujuan sehari-hari yang tenang ini memberikan keseimbangan emosional, kepuasan, dan motivasi.
Frasa, "Kesederhanaan, jika disengaja, menjadi kekuatan," berhubungan erat dengan pola pikir Ikigai. Artinya, memilih gaya hidup sederhana—bukan oleh keterbatasan, tetapi oleh kejelasan dan tujuan—bisa sangat kuat. Ketika seseorang dengan sengaja menyingkirkan kerumitan yang tak perlu dari kehidupan mereka dan berfokus pada apa yang benar-benar penting, mereka seringkali memperoleh kejernihan mental, kedamaian, dan ketahanan. Intinya, filosofi Ikigai mengajarkan kita bahwa kehidupan yang bermakna tak harus selalu sibuk atau mewah. Bisa saja berbentuk kehidupan yang tenang yang berakar pada apa yang dirimu cintai, apa yang dikau kuasai, apa yang dibutuhkan dunia, dan apa yang menopangmu—dan ketika ini dilakukan dengan kesederhanaan dan perhatian, menjadi sumber kekuatan dan kepuasan yang mendalam.

Dalam karyanya Ego Is the Enemy, yang diterbitkan pada tahun 2016 oleh Portfolio (sebuah cetakan dari Penguin Random House), Ryan Holiday membuat pernyataan yang kuat, “Membuat orang terkesan sama sekali berbeda dengan menjadi benar-benar mengesankan.”
Yang ia maksud bahwa terdapat perbedaan besar antara berpura-pura mendapatkan persetujuan orang lain dan benar-benar memiliki karakter, keterampilan, atau prestasi yang asli. Banyak orang berfokus pada penampilan yang sukses, berbakat, atau penting—mereka mengejar pujian, perhatian, dan validasi dari orang lain. Tindakan ini "membuat orang terkesan," yang kerap memunculkan citra, kinerja, dan ego.
Namun, menjadi benar-benar mengesankan adalah tentang siapa dirimu saat tiada yang melihat. Itu berarti mengembangkan kemampuan nyata, menunjukkan disiplin, kerendahan hati, integritas, dan membuat dampak yang berarti—walau jika tiada yang memujimu karenanya.
Maksud Holiday ialah bahwa ego dapat mendorong orang agar mencari pesona ketimbang penguasaan. Namun, kesuksesan dan kepuasan yang langgeng tak datang dari upaya agar terlihat baik di mata orang lain, melainkan dari memang benar-benar menjadi baik—dengan ketenangan, kekonsistenan, dan keautentikan.
Rasulullah ﷺ tak berupaya agar digandrungi orang. Namun, pengaruhnya telah membuat dunia terkesan. Keledai yang ditungganginya bertenaga spiritual yang lebih besar dibanding mobil sport apa pun saat ini.

Dalam masyarakat yang menilai harga diri melalui harta benda, gaya hidup Rasulullah ﷺ menegur kita dengan lembut. Harga dirimu bukanlah apa yang engkau pamerkan—melainkan apa yang dirimu pilih untuk hidup tanpanya.
Mobil mewah masa kini bukan sekadar transportasi—tapi identitas. Merek desainer bukan sekadar pakaian—merek tersebut lambang relevansi. Namun, beliau yang amat kita cintai (ﷺ) menunggangi keledai kerendahan hati—atas pilihannya sendiri.
Kita mungkin tak pernah menunggangi keledai. Namun, kita dapat menunggangi kesadaran. Kita dapat memilih kesederhanaan ketimbang pamer. Keheningan tinimbang tontonan. Niat dibanding citra. Seperti yang ditulis Ryan Holiday dalam Ego Is the Enemy:
"Bukan tentang menjadi lebih baik dari orang lain. melainkan tentang menjadi lebih baik dari dirimu sebelumnya."
Rasulullah ﷺ bisa saja memiliki apa saja. Namun, beliau memilih apa yang membuatnya tetap dekat dengan masyarakat—dan bahkan lebih dekat dengan Rabb-nya.

Bagaimana jika kita berkendara seperti beliau ﷺ?
Bagaimana jika kita lebih memilih apa yang berguna daripada apa yang mempesona?
Bagaimana jika kita lebih memilih kerendahan hati dikala orang lain memilih sensasi?
Bagaimana jika kita diam-diam menerima sifat qanaah di tengah dunia yang selalu minta nambah?
Itulah kekuatan keledai yang tak terucapkan—pilihan Rasulullah ﷺ yang masih menantang pilihan kita.

Rasulullah ﷺ melangkah di muka bumi dengan debu di sandalnya dan cahaya di qalbunya. Petualangan beliau mengendarai keledai tak menjadi headlines—tapi mencatat sejarah.

[English]