Kamis, 10 April 2025

Iklim Investasi Indonesia (4)

Di kerajaan Kuru yang megah, dimana istana kencana Hastinapura berdiri sebagai mercusuar kekuasaan dan kearifan, para Pandawa dan Kurawa bergabung membentuk koalisi gado-gado yang diberi nama Kabinet Hitam-Putih—sebuah mahakarya perpaduan dimana harmoni berdiri sempoyongan di tengah kegaduhan, ada seorang raja mulia bernama Prabu Puntadewa. Doi dikenal karena komitmennya yang kuat terhadap dharma, tapi seringkali kudu ngadepin situasi yang ribet di istananya.

Suatu hari, saat matahari berbinar cerah di atas bukit, sebuah pertemuan besar terjadi. Prabu Puntadewa yang masyhur, penguasa kerajaan ini, memutuskan ngobrol-ngobrol santai bareng tujuh srikandi dan kesatria pena yang berani—masing-masing bawa pena kayak pedang, siap nanya-nanya yang bisa bikin tahta goyang.
Pas matahari terbit di hari itu, para kesatria pena udah pada nongkrong di kedaton, masing-masing dengan gaya uniknya:
Manguni yang awas: Si burung hantu ini terkenal dengan tatapan tajamnya. Doi buka acara dengan nanya, "Gimana sih, Prabu? Rakyat mau percaya sama pemerintah kalau jenengan suka diem-dieman aja?"
Rubah perak yang tangkas: Dengan senyum simpul, doi langsung nanya soal kekuatan militer dan RUU TNI yang lagi hot. "Pak Prabu! Apa jenengan nggak takut bangunin raksasa tidur di dalam barisan baginda?" tanyanya sambil ngedip-ngedip.
Kura-Kura tegar: Doi ini pelan tapi pasti. Doi nanya tentang kebijakan ekonomi. "Prabu, rakyat lagi susah nih, tarifnya berat banget! Gimana dong?" suaranya tenang tapi tegas.
Naga berapi: Sang naga ini emang panas! Doi nanya soal kerusuhan sosial. "Rakyat baginda pada gelisah! Gimana mau padamin api mereka sebelum nyamber ke tahta?" tanya doi sambil ngeluarin api dari mulutnya.
Kameleon cerdik: Si kameleon ini jago ganti warna. Doi nanya soal hubungan luar negeri. "Baginda Prabu, urusan sama negara jauh itu gimana? Jangan sampe kemakmuran kita jadi taruhan ya!" tanyanya penuh rasa ingin tahu.
Pertapa yang bijak: Sang pertapa ini udah tua dan bijak. Doi fokus nanya soal pemerintahan. "Prabu, langkah apa yang mau diambil biar penasihat jenengan nggak nyasar? Raja kan cuma sebaik dewan penasihatnya," kata doi sambil manggut-manggut.

Prabu Puntadewa duduk di singgasannya dengan tenang, nggak gentar sama pertanyaan-pertanyaan tajam itu. Doi bersabda, "Gua tanggungjawab penuh atas semua kesalahan dalam pemerintahan gua. Kalo komunikasi jelek, ya gua yang salah!"
Doi cerita tentang komitmennya untuk reformasi dan transparansi sembari ngomong bahwa doi nggak buta sama masalah-masalah yang ada. "Tenang aja, gua di sini buat dengerin dan belajar," doi tekankan berharap bisa meredakan keraguan para kesatria pena.
Wawancara yang dijadwalkan hanya dua jam, berlangsung lebih panjang selama tiga jam lebih. Saat matahari mulai terbenam di Hambalang eh sorry, bukan, maksudnya di Hastinapura, para srikandi dan kesatria pulang dengan perasaan campur aduk. Ada yang seneng ama keterusterangan Prabu Puntadewa; ada juga yang masih skeptis apakah kata-kata beliau bakal jadi tindakan nyata. Suasana jadi tegang—apakah ini bakal jadi titik balik buat kerajaan atau cuma bab baru dalam kisah yang panjang?
Dalam kisah satire ini, satu hal yang jelas: di dunia dimana kekuasaan bertemu dengan pertanyaan, seringkali, pertanyaannyalah yang lebih menggoda daripada jawabannya. Dan olehnya, pas setiap kesatria balik ke alamnya masing-masing, yang mereka bawa bukan cuma jawaban tapi juga semangat baru—buat menuntut akuntabilitas dari pemimpin mereka dan, ngepastiin bahwa gak ada tahta yang aman dari tantangan! Ngomong-ngomong, apakah Prabu Puntadewa yang diwawancara itu, beneran Yudistira? Atau sekadar sebuah wayang yang dimainkan Ki Dalang? Mengutip "Manusia Merdeka", kita nantikan hingga sebelum perayaan "Hari Kartini".

Lanjut!
Dalam Capitalism, Socialism and Democracy (2003, Taylor & Francis e-Library), Joseph Schumpeter menawarkan perspektif unik tentang bagaimana Foreign Direct Investment (FDI) berinteraksi dengan sistem ekonomi, khususnya dalam kerangka kapitalisme. Analisis Schumpeter berakar pada teori yang lebih luas tentang pembangunan ekonomi dan dinamika kapitalisme.
Dalam karyanya, Schumpeter secara langsung menjawab pertanyaan provokatif "Bisakah Kapitalisme Bertahan?" dan memberikan jawaban yang jelas: "Tidak, kurasa tidak bisa." Namun, tanggapan Schumpeter bernuansa dan berakar pada analisisnya tentang dinamika inheren kapitalisme, bukan advokasi langsung terhadap keruntuhannya.
Schumpeter berpendapat bahwa keberhasilan kapitalisme mengandung benih-benih kehancurannya. Ia tak meramalkan kapitalisme akan runtuh karena kegagalan ekonomi, melainkan karena institusi-institusi sosialnya—semisak kewirausahaan, pasar yang kompetitif, dan kepemilikan pribadi—akan terkikis seiring berjalannya waktu.
Schumpeter memperkenalkan konsep "creative destruction," dimana inovasi mengganggu industri dan struktur sosial yang ada. Sementara proses ini mendorong kemajuan ekonomi, ia juga menggoyahkan lembaga tradisional dan memunculkan ketidakpuasan masyarakat. Seiring berjalannya waktu, kapitalisme merasionalisasi segala sesuatu yang menghalangi jalannya, termasuk lembaga yang mendukungnya. Pergolakan yang terus-menerus ini merusak stabilitas yang dibutuhkan agar kapitalisme dapat berkembang.
Schumpeter menyoroti pengaruh kaum intelektual yang semakin besar dalam masyarakat kapitalis maju. Seiring dengan semakin meluasnya pendidikan, kaum intelektual muncul sebagai kritikus kapitalisme, yang mendukung nilai-nilai yang menentang pasar bebas dan kepemilikan pribadi. Ia berpendapat bahwa kritik-kritik ini akan membentuk opini publik yang menentang kapitalisme, dan mendorong terciptanya iklim yang memungkinkan sosialisme menjadi alternatif yang layak.
Schumpeter memperkirakan bahwa kapitalisme akan berevolusi menjadi korporatisme—sistem yang didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar dan struktur birokrasi—yang akan menghambat kewirausahaan dan inovasi. Pada akhirnya, mayoritas demokrasi akan memilih negara kesejahteraan dan pembatasan pada perusahaan swasta, yang membuka jalan bagi sosialisme sebagai "penerus" kapitalisme.
Schumpeter juga meneliti pertanyaan apakah sosialisme dapat berhasil, dengan menawarkan wawasan teoritis dan kritik. Analisisnya bernuansa, meneliti sosialisme sebagai sistem ekonomi sambil mempertimbangkan tantangan praktis dan implikasi sosialnya. Schumpeter tak sepenuhnya menolak sosialisme sebagai sistem yang layak. Sebaliknya, ia berpendapat bahwa sosialisme dapat muncul sebagai penerus kapitalisme karena dinamika internal kapitalisme. Ia berpendapat bahwa masyarakat kapitalis maju dapat bertransisi ke sosialisme melalui proses demokrasi, bukan pergolakan revolusioner. Akan tetapi, pandangannya tentang sosialisme beragam dan mencakup kekuatan potensial dan kelemahan yang penting.
Schumpeter mengakui bahwa sosialisme secara teoritis dapat mencapai koordinasi kegiatan ekonomi yang lebih baik melalui perencanaan terpusat. Dengan menghilangkan fluktuasi pasar dan berfokus pada kesejahteraan kolektif, sosialisme dapat mengatasi masalah seperti pengangguran dan ketimpangan secara lebih efektif daripada kapitalisme. Sosialisme berjanji mengurangi konflik kelas dengan mengalihkan kepemilikan alat produksi dari individu swasta ke kolektif. Hal ini dapat mengarah pada distribusi kekayaan dan sumber daya yang lebih adil. Schumpeter membayangkan sosialisme muncul melalui mekanisme demokrasi, seperti pemilihan partai sosial demokrat yang menerapkan kebijakan kesejahteraan dan mengatur perusahaan swasta secara bertahap.
Schumpeter menawarkan pandangan yang khas dan pragmatis tentang demokrasi, yang berbeda dari gagasan idealis teori demokrasi "klasik". Schumpeter menolak teori demokrasi klasik, yang mengasumsikan bahwa pemerintahan didasarkan pada "kehendak rakyat" atau mengejar "kebaikan bersama." Ia berpendapat bahwa cita-cita seperti itu tak jelas dan tak realistis karena orang sering kali tak memiliki preferensi yang jelas atau pengetahuan yang cukup untuk memandu keputusan politik yang rumit.
Sebaliknya, Schumpeter mendefinisikan demokrasi sebagai "pengaturan kelembagaan untuk mencapai keputusan politik dimana individu memperoleh kekuasaan memutuskan dengan menggunakan perjuangan kompetitif untuk mendapatkan suara rakyat". Definisi ini menekankan demokrasi sebagai mekanisme prosedural daripada cita-cita aspiratif.
Model demokrasi Schumpeter sering disebut sebagai "teori elit." Ia menyatakan bahwa peran utama pemilih ialah memilih pemimpin melalui pemilihan umum, sementara pemerintahan yang sebenarnya dilakukan oleh elit politik. Dalam pandangan ini, demokrasi berfungsi lebih sebagai persaingan di antara para elit untuk posisi kepemimpinan daripada sebagai pemerintahan langsung oleh rakyat. Ia berpendapat bahwa model ini lebih realistis karena mengakui keterbatasan pengetahuan dan rasionalitas pemilih dalam masalah kebijakan yang kompleks.
Schumpeter menegaskan bahwa sosialisme dapat hidup berdampingan dengan demokrasi jika kondisi tertentu terpenuhi, seperti birokrasi yang terlatih dengan baik, rasa hormat budaya terhadap proses demokrasi, dan ruang lingkup terbatas bagi pengambilan keputusan politik. Namun, ia memperingatkan bahwa kontrol terpusat sosialisme atas sumber daya dapat mengarah pada kecenderungan otoriter jika tak dikelola dengan hati-hati.
Schumpeter juga membahas konsep-konsep Marxis seperti "dictatorship of the proletariat," yang merujuk pada fase transisi dalam teori Marxis dimana kelas pekerja merebut kendali negara untuk membongkar kapitalisme dan membangun sosialisme. Ia mengkritik kepraktisan kediktatoran proletar, dengan menyatakan bahwa kediktatoran tersebut kemungkinan akan mengakibatkan inefisiensi birokrasi dan pemerintahan otoriter alih-alih pemberdayaan pekerja yang sejati. Ia mempertanyakan apakah rezim semacam itu dapat mempertahankan inovasi atau kemajuan ekonomi tanpa beralih ke kendali terpusat yang menghambat inisiatif individu.
Schumpeter memandang sosialisme pada dasarnya birokratis karena ketergantungannya pada perencanaan dan kendali terpusat atas produksi. Ia memperingatkan bahwa birokrasi ini dapat menyebabkan inefisiensi dan keterasingan, mirip dengan apa yang mungkin terjadi di bawah kediktatoran proletariat. Sementara Schumpeter mengakui pengaruh Marx pada pemikiran sosialis, ia tak percaya bahwa sosialisme akan muncul melalui cara-cara revolusioner atau kediktatoran proletar. Sebaliknya, ia memperkirakan sosialisme akan muncul secara bertahap melalui proses demokrasi saat masyarakat kapitalis berevolusi menuju negara kesejahteraan.

Karya David Graeber, Debt: The First 5,000 Years (2011, Melville House) menyajikan analisis historis dan antropologis yang luas tentang utang, yang menantang narasi ekonomi mainstream tentang asal-usul dan hakikat uang dan kredit. Graeber berpendapat bahwa utang bukan sekadar konstruksi ekonomi, tetapi fenomena sosial yang mendalam, yang telah membentuk hubungan manusia, institusi, dan struktur kekuasaan sepanjang sejarah.
Tesis utama Graeber adalah bahwa utang mendahului uang dan barter, bertentangan dengan narasi ekonomi standar yang dipopulerkan oleh Adam Smith. Ia berpendapat bahwa masyarakat manusia awal beroperasi berdasarkan sistem kredit dan kewajiban bersama, bukan barter, yang menurutnya sebagian besar merupakan konstruksi teoritis, bukan realitas historis. Utang, dalam pandangan Graeber, muncul dari sistem kepercayaan dan bantuan bersama ini dalam komunitas yang erat. Sebaliknya, barter biasanya digunakan dalam situasi kepercayaan rendah antara orang asing atau dalam konteks peperangan yang di ritualkan. Perspektif ini melemahkan perkembangan linier konvensional dari barter ke uang ke sistem kredit, sebaliknya menunjukkan bahwa sistem kredit merupakan dasar bagi kehidupan ekonomi.
Graeber juga mengkritik peran kekerasan negara dalam menegakkan sistem utang. Ia menegaskan bahwa transisi dari sistem kredit informal berbasis komunitas ke utang formal yang tepat secara matematis seringkali melibatkan paksaan dan kekerasan, yang biasanya didukung oleh negara melalui kekuatan militer atau polisi. Ia menghubungkan munculnya mata uang dengan perluasan kekaisaran dan perbudakan skala besar, menggambarkan apa yang ia sebut "military–coinage–slave complex." Koin digunakan untuk membayar tentara dan menegakkan kewajiban pajak, memaksa penduduk untuk agar turut-serta dalam transaksi moneter dengan ketentuan eksploitatif. Sistem ini melembagakan ketidaksetaraan dan mengakar dalam siklus utang dan perbudakan.
Kritik utama lain yang disampaikan Graeber ialah penolakannya terhadap gagasan bahwa pasar pada dasarnya bebas atau alami. Ia berpendapat bahwa pasar secara historis telah diciptakan dan dipertahankan melalui intervensi dan kekerasan negara, bukannya muncul secara organik dari pertukaran sukarela. Dalam periode yang relatif damai, ia mencatat, sistem kredit berkembang pesat karena didasarkan pada kepercayaan dan bantuan bersama, bukan paksaan. Bagi Graeber, pembedaan ini menantang narasi kapitalis yang menyamakan pasar dengan kebebasan.
Karya Graeber juga mengeksplorasi dimensi moral utang. Ia menyoroti bagaimana utang telah digunakan sebagai alat manipulasi politik sepanjang sejarah, yang menimbukan jurang pemisah yang tajam antara kreditur dan debitur. Ia menelaah praktik-praktik historis seperti peniadaan utang di Mesopotamia kuno, tempat para penguasa secara berkala membatalkan utang untuk mencegah keresahan sosial yang disebabkan oleh utang yang meluas. Praktik-praktik ini sangat kontras dengan sikap modern terhadap utang, yang kerap menstigmatisasi debitur sambil mengabaikan ketimpangan sistemik.
Singkatnya, Debt: The First 5,000 Years karya Graeber menantang narasi ekonomi mainstream dengan menyatakan bahwa utang merupakan lembaga sosial fundamental yang mendahului uang dan barter. Ia mengkritik peran kekerasan negara dalam menegakkan sistem utang dan mempertanyakan moralitas dan implikasi politik dari struktur ekonomi modern. Karyanya mengajak para pembaca agar mempertimbangkan kembali fondasi historis ekonomi dan dampak sosial utang sebagai alat penindasan dan sarana potensial untuk membina komunitas.

"The Economics Anti-Textbook: A Critical Thinker’s Guide to Microeconomics" (2010, Bloomsbury Academic) oleh Rod Hill dan Tony Myatt menyajikan kritik yang komprehensif terhadap buku teks ekonomi tradisional, yang bertujuan menantang penyajian teori ekonomi mikro yang umum. Karya ini berpendapat bahwa buku teks ekonomi konvensional sering menggambarkan disiplin ilmu tersebut sebagai ilmu yang objektif, bebas dari value judgment, dan berdasarkan prinsip-prinsip yang diterima secara universal. Hill dan Myatt berpendapat bahwa penggambaran ini menyesatkan, terlalu disederhanakan, dan tak mampu menangkap kompleksitas dan kontroversi yang melekat dalam pemikiran ekonomi.
Para penulis menyoroti beberapa isu dalam teks konvensional, semisal kecenderungannya mengidealkan pasar persaingan sempurna meskipun ada bukti yang menunjukkan pasar ini jarang atau tidak ada. Mereka juga mengkritik asumsi normatif bahwa efisiensi adalah tujuan akhir, dengan menunjukkan ketidaksesuaiannya dengan masalah ekologi dan perilaku manusia di dunia nyata.
Para penulis membantah mitos seputar persaingan sempurna dan teori produktivitas marjinal sambil menekankan pentingnya dinamika kekuasaan, konteks sosial, dan kerangka hukum dalam membentuk hasil ekonomi. Mereka menganjurkan agar memasukkan pertimbangan etika dan masalah lingkungan ke dalam analisis ekonomi, mendesak para mahasiswa agar memandang ilmu ekonomi sebagai lebih dari sekadar ilmu teknis—lebih mirip dengan "seni persuasi".
Karya ini menghindari kritik ideologis yang sederhana terhadap kapitalisme dan sebaliknya melibatkan pemikiran ekonomi mainstream dengan menggunakan wawasan dari para ekonom terkemuka seperti Joseph Stiglitz dan Kenneth Arrow. Dengan demikian, karya ini mendorong pemikiran kritis dan menyediakan alat bagi para pembaca untuk mengartikan buku teks tradisional sambil mengeksplorasi teori-teori alternatif yang tidak terdapat dalam kurikulum standar.

Dalam The Great Transformation: The Political and Economic Origins of Our Time (1944, Beacon Press), Karl Polanyi mengkritik gagasan tentang pasar yang mengatur dirinya sendiri dan menekankan pentingnya hubungan sosial dalam kehidupan ekonomi. Polanyi berpendapat bahwa gagasan tentang pasar yang mengatur dirinya sendiri, yang memperlakukan tanah, tenaga kerja, dan uang sebagai komoditas belaka, pada dasarnya cacat dan utopis. Ia menegaskan bahwa sistem pasar seperti itu tak dapat eksis tanpa merusak tatanan masyarakat itu sendiri, karena sistem itu menundukkan kehidupan manusia pada hukum pasar yang kacau alih-alih menanamkan kegiatan ekonomi dalam hubungan sosial.
Kritik Polanyi secara khusus ditujukan kepada ekonom klasik seperti Malthus dan Ricardo, yang menurutnya teorinya mempromosikan pandangan tentang manusia sebagai entitas ekonomi semata. Ia berpendapat bahwa perspektif ini mengabaikan dimensi sosial dan budaya yang kompleks, yang membentuk perilaku ekonomi. Alih-alih memandang ekonomi sebagai bidang yang otonom, Polanyi berpendapat bahwa ekonomi sangat terkait erat dengan lembaga dan hubungan sosial. Ia berpendapat bahwa kebangkitan masyarakat pasar selama Revolusi Industri menyebabkan disintegrasi ikatan sosial ini, yang mengakibatkan bencana sosial yang meluas, yang ia gambarkan terutama sebagai budaya daripada sekadar bersifat ekonomis.
Lebih jauh, Polanyi memperkenalkan konsep "double movement," yang merujuk pada respons masyarakat terhadap ekses pasar bebas. Gerakan ini mencerminkan penolakan terhadap komodifikasi elemen-elemen penting kehidupan, yang menyoroti bagaimana masyarakat secara naluriah berusaha melindungi diri dari dampak disruptif pasar yang tak diatur. Ia menekankan bahwa pembangunan ekonomi sejati tak dapat dicapai tanpa mengakui dan memelihara hubungan sosial ini, yang menunjukkan bahwa kebijakan publik yang efektif semestinya diinformasikan oleh pemahaman tentang keragaman budaya dan kelembagaan.
Intinya, karya Polanyi menantang asumsi ekonomi mainstream dengan menganjurkan pendekatan yang memprioritaskan kesejahteraan sosial daripada efisiensi pasar. Ia berpendapat bahwa mengabaikan dimensi sosial kehidupan ekonomi pada akhirnya mengarah pada krisis, sebagaimana dibuktikan oleh pergolakan politik dan bencana ekonomi pada masanya, termasuk fasisme dan Depresi Besar. Dengan demikian, kritik Polanyi berfungsi sebagai argumen mendasar untuk memikirkan kembali bagaimana ekonomi disusun dan dipahami dalam konteks sosial yang lebih luas.

Dalam Economics for the Common Good (2017, Princeton University Press), Jean Tirole menyajikan visi yang menarik tentang bagaimana para ekonom dapat terlibat lebih efektif dengan tantangan masyarakat, mengubah disiplin mereka menjadi kekuatan bagi kesejahteraan bersama. Tirole, seorang peraih Nobel di bidang ekonomi, memulai dengan mengkritik kecenderungan para ekonom yang berfokus secara sempit pada penelitian teknis yang dipublikasikan dalam jurnal akademik, yang kerap terlepas dari isu-isu mendesak yang dihadapi masyarakat. Ia berpendapat bahwa para ekonom harus keluar dari silo intelektual mereka dan secara aktif berkontribusi pada debat publik, pembuatan kebijakan, dan kolaborasi interdisipliner.
Tirole menyarankan agar para ekonom dapat melayani masyarakat dengan lebih baik dalam mengatasi berbagai masalah di dunia nyata semisal perubahan iklim, pengangguran, ketidakstabilan keuangan, dan berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh globalisasi dan digitalisasi. Sebagai contoh, ia menganjurkan solusi praktis seperti menerapkan penetapan harga karbon yang seragam untuk memerangi pemanasan global secara efektif. Pendekatan ini mencerminkan keyakinannya yang lebih luas bahwa ilmu ekonomi seharusnya tak semata menganalisis efisiensi pasar, melainkan pula menyediakan berbagai alat yang dapat ditindaklanjuti untuk menyelesaikan krisis global.
Elemen kunci argumen Tirole adalah pentingnya memahami insentif dan konteks sosial. Ia menekankan bahwa pelaku ekonomi—baik individu maupun pembuat kebijakan—dipengaruhi oleh norma sosial, jaringan, dan kerangka kelembagaan. Mengenali dinamika ini memungkinkan para ekonom menyusun kebijakan yang selaras dengan perilaku manusia dan nilai-nilai masyarakat. Contoh, ia membahas bagaimana undang-undang ketenagakerjaan harus beradaptasi dengan ekonomi modern yang dibentuk oleh kemajuan teknologi dan globalisasi.
Tirole juga menyerukan pendekatan interdisipliner, yang memadukan wawasan dari sosiologi, ilmu politik, dan bidang lain untuk mengatasi tantangan rumit seperti kesenjangan ekonomi Uni Eropa. Ia mengkritik kebijakan moneter Uni Eropa yang kaku, yang secara tak proporsional mempengaruhi negara-negara yang sedang berjuang seraya mengusulkan strategi yang lebih kohesif bagi persatuan politik dan ekonomi.
Pada akhirnya, Tirole membayangkan peran proaktif bagi para ekonom dalam membentuk kebijakan yang mempromosikan kesetaraan, keberlanjutan, dan inovasi. Dengan terlibat langsung dengan isu-isu sosial dan membuat konsep-konsep ekonomi dapat diakses oleh publik, para ekonom dapat mengubah disiplin mereka menjadi alat untuk memajukan kebaikan bersama—sebuah misi yang ia advokasikan dengan penuh semangat dalam seluruh karyanya.

Para ekonom anti-mainstream seperti Joseph Schumpeter, David Graeber, Polly Hill dan Jack Myatt, Karl Polanyi, dan Jean Tirole menyimpang dari ekonomi mainstream dengan mempertanyakan asumsi-asumsi mendasarnya dan memperluas cakupannya untuk membahas dimensi sosial, sejarah, dan etika yang lebih luas. Sementara ekonomi mainstream, yang berakar pada pemikiran neoklasik, menekankan pelaku rasional, efisiensi pasar, dan pemodelan matematika, para pemikir ini mengkritik keterbatasannya dan mengusulkan kerangka kerja alternatif.
Perspektif anti-mainstream secara kolektif menolak gagasan bahwa pasar adalah sistem yang mengatur diri sendiri, yang semata-mata digerakkan oleh pelaku rasional. Sebaliknya, mereka menekankan konteks historis, norma sosial, dinamika kekuasaan, inovasi, dan pertimbangan etika—dimensi yang selalu diabaikan oleh model ekonomi tradisional. Karya mereka memperluas cakupan disiplin ilmu tersebut agar lebih mencerminkan fenomena dunia nyata yang kompleks.