Seekor tariff masuk ke bar dan pesan minuman. Bartender ngeliatin dengan curiga dan bilang, "Sorry, kita nggak ngelayani tariff di sini. Loe bikin harga semua barang pada naek!" Sang tariff senyum-senyum trus bilang,"Iyaa, tapi paling nggak kaan gua ngelindungin industri bir lokal!"
Dari pojokan, ada 'free trade agreement' tereak,
"Ngelindungin? Alaah, loe cuma bikin orang bayar lebih mahal buat minuman yang sama!"
Bartender menghela napas dan berbisik,"Bagus ... sekarang lagi ada perang dagang yang mulai memanas."
Di zaman kuno, ketika manusia mulai saling berdagang, pertukaran barang dan jasa terjadi secara langsung. Para pedagang membawa hasil bumi, rempah-rempah, dan barang-barang kerajinan dari satu daerah ke daerah lain. Namun, seiring berkembangnya peradaban dan munculnya negara, kebutuhan untuk mengatur perdagangan pun menjadi semakin penting.
Pada abad ke-16 dan ke-17, banyak negara Eropa mulai mengadopsi kebijakan merkantilisme, sebuah teori ekonomi yang menekankan pentingnya akumulasi kekayaan melalui perdagangan. Negara-negara semisal Inggris dan Prancis menerapkan tarif tinggi pada barang-barang impor guna melindungi industri dalam negeri mereka. Mereka percaya bahwa dengan membatasi barang asing yang masuk, mereka dapat mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan membuka lapangan kerja.
Terma "merkantilisme" berasal dari kata bahasa Inggris "merchant," yang berarti "pedagang." Hal ini mencerminkan fokus utama merkantilisme pada perdagangan sebagai sarana untuk meningkatkan kekayaan sebuah negara. Konsep tersebut menekankan bahwa kekuatan ekonomi sebuah negara paling baik dicapai melalui neraca perdagangan yang menguntungkan, khususnya dengan mengekspor lebih banyak daripada mengimpor, sehingga mengumpulkan logam mulia semisal emas dan perak sebagai ukuran kekayaan.
Kata itu sendiri berakar dari istilah Latin mercari, yang berarti "berdagang" atau "barter," dan berasal dari merx, yang berarti "barang" atau "barang dagangan." Walau prinsip-prinsip merkantilisme dipraktikkan oleh berbagai negara dari abad ke-16 hingga abad ke-18, sebutan ini tak digunakan secara resmi hingga diperkenalkan oleh Victor de Riqueti dan Marquis de Mirabeau pada tahun 1763 dan kemudian dipopulerkan oleh Adam Smith dalam karyanya The Wealth of Nations pada tahun 1776. Awalnya, terma ini digunakan oleh para kritikus sistem tersebut, tetapi akhirnya diterima secara luas di kalangan sejarawan dan ekonom untuk menggambarkan doktrin ekonomi ini. Merkantilisme mendominasi pemikiran Eropa dari abad ke-16 hingga abad ke-18.
Siapa yang Mengembangkan Merkantilisme?
Mekantilisme tak memiliki satu pendiri pun, melainkan dibentuk oleh berbagai pemikir dan pembuat kebijakan dari waktu ke waktu. Kontributor utamanya meliputi:
- Jean Bodin (Prancis): Seorang filsuf yang menekankan pentingnya uang dan perpajakan dalam kebijakan ekonomi.
- Thomas Mun (Inggris): Seorang pedagang berpengaruh yang menganjurkan surplus perdagangan sebagai sarana menuju kemakmuran nasional.
- Jean-Baptiste Colbert (Prancis): Menteri Keuangan Prancis di bawah Raja Louis XIV, yang menerapkan kebijakan merkantilis untuk memperkuat ekonomi Prancis.
Mengapa Merkantilisme Muncul?
Merkantilisme muncul selama periode perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang signifikan di Eropa, khususnya selama Renaisans dan Zaman Eksplorasi. Beberapa faktor yang menyebabkan munculnya merkantilisme:
- Eksplorasi dan Kolonisasi Global: Negara-negara Eropa menjelajahi wilayah baru, yang mengarah pada peningkatan akses ke sumber daya dan pasar. Kebijakan merkantilisme membantu negara-negara mengendalikan sumber daya ini dan memaksimalkan manfaat ekonomi mereka.
- Kebangkitan Negara-Bangsa: Ketika pemerintah terpusat menjadi lebih kuat, mereka mencari cara untuk memperkuat ekonomi dan memperluas pengaruh mereka. Merkantilisme menyediakan kerangka kerja untuk mencapai hal ini melalui perdagangan dan perniagaan yang dikendalikan negara.
- Kebutuhan akan Logam Mulia: Emas dan perak dipandang sebagai ukuran utama kekayaan, sehingga negara-negara berusaha mengumpulkan kekayaan sebanyak mungkin melalui neraca perdagangan yang menguntungkan (lebih banyak mengekspor daripada mengimpor).
- Persaingan Ekonomi: Kekuatan-kekuatan Eropa terus-menerus bersaing untuk mendapatkan dominasi. Kebijakan merkantilis—seperti tarif tinggi untuk impor, subsidi untuk ekspor, dan pembatasan perdagangan kolonial—dirancang untuk memberi setiap negara keuntungan ekonomi.
Merkantilisme beroperasi berdasarkan beberapa prinsip utama:
- Surplus Perdagangan: Mengekspor lebih banyak barang daripada mengimpor untuk mengumpulkan kekayaan.
- Intervensi Negara: Pemerintah memainkan peran aktif dalam mengatur ekonomi melalui tarif, subsidi, dan monopoli.
- Eksploitasi Kolonial: Koloni menyediakan bahan baku bagi negara induk sekaligus menjadi pasar bagi barang jadi.
- Proteksionisme: Tarif tinggi dikenakan pada impor untuk melindungi industri dalam negeri.
Merkantilisme merupakan strategi ekonomi yang bertujuan memperkuat negara dengan mengendalikan perdagangan dan mengumpulkan kekayaan. Meskipun berkontribusi pada munculnya kekaisaran Eropa yang kuat, sistem ini juga menyebabkan eksploitasi, dominasi kolonial, dan konflik atas sumber daya. Sistem ini akhirnya tak lagi disukai dengan munculnya ekonomi pasar bebas yang didukung oleh para pemikir semisal Adam Smith, tetapi warisannya tetap menjadi bab penting dalam sejarah pemikiran ekonomi.
Seiring berjalannya waktu, konflik antara negara-negara ini seringkali muncul akibat kebijakan perdagangan yang saling bertentangan. Salah satu contoh yang amat dikenal ialah Perang Tarif Smoot-Hawley yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 1930. Dalam upaya untuk melindungi petani dan industri lokal selama Depresi Besar, pemerintah AS memberlakukan tarif tinggi pada ribuan barang impor. Namun, langkah ini justru memicu balasan dari negara-negara lain yang juga memberlakukan tarif atas produk-produk Amerika. Akibatnya, perdagangan internasional mengalami penurunan drastis, memperburuk krisis ekonomi global.
Seusai Perang Dunia II, dunia mulai menyadari bahwa hambatan perdagangan dapat meruntuhkan ekonomi global. Oleh karenanya, pada tahun 1947, negara-negara anggota mendirikan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) untuk mendorong liberalisasi perdagangan dan mengurangi hambatan-hambatan tersebut. GATT menjadi landasan bagi banyak perjanjian perdagangan internasional yang bertujuan membuat pasar global yang lebih terbuka.
Namun, meskipun ada upaya untuk mengurangi trade barriers, berbagai bentuk hambatan perdagangan tetap ada hingga hari ini. Beberapa negara masih menerapkan tariff untuk melindungi industri lokal dari persaingan asing. Selain itu, ada juga non-tariff barriers semisali regulasi ketat mengenai kualitas produk dan prosedur impor yang rumit.
Dalam beberapa dekade terakhir, kita telah menyaksikan kebangkitan kembali kebijakan proteksionis di berbagai belahan dunia. Misalnya, perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang dimulai pada tahun 2018 menunjukkan bahwa trade barriers masih menjadi alat politik yang kuat dalam hubungan internasional.
Sejarah trade barriers mencerminkan dinamika hubungan antarnegara yang kompleks. Dari kebijakan merkantilisme di abad ke-17 hingga perang dagang modern, trade barrier (hambatan perdagangan) selalu menjadi bagian dari strategi ekonomi negara-negara untuk melindungi kepentingan nasional mereka. Namun, pelajaran dari sejarah menunjukkan bahwa terlalu banyak proteksionisme dapat merugikan semua pihak dan menghambat pertumbuhan ekonomi global.
Sekarang, coba bayangin pasar global yang ramai, tempat negara-negara saling bertukar barang dan jasa, masing-masing menyumbangkan sesuatu yang unik. Satu negara mengekspor mesin berkualitas tinggi, sementara negara lain mengkhususkan diri dalam produk pertanian. Pertukaran barang yang lancar inilah yang menjadi inti perdagangan internasional. Namun, tak semua perdagangan berjalan bebas. Terkadang, pemerintah turun tangan untuk mengatur atau membatasi arus ini, sehingga menciptakan apa yang kita sebut hambatan perdagangan.
Trade barriers (hambatan-hambatan perdagangan) ibarat tembok atau rintangan yang dipasang di jalur perdagangan internasional. Hambatan ini dapat berupa berbagai bentuk, mulai dari mengenakan pajak atas barang impor hingga menetapkan aturan ketat tentang kualitas produk yang dapat masuk ke sebuah negara. Misalnya, coba bayangin negara kecil dengan industri baja yang sedang berkembang. Untuk melindungi produsen baja lokal agar tak kewalahan oleh impor yang lebih murah dari negara-negara yang lebih besar, pemerintah dapat mengenakan tariffs—pajak atas baja impor. Hal ini membuat baja asing lebih mahal dan memberi produsen lokal unggul di pasar domestik.
Tariffs (biasanya diterjemahkan tarif), sebagai istilah dan konsep, berakar yang mendalam di sejarah perdagangan dan ekonomi. Kata "tariff" berasal dari bahasa Arab تعرفة (ta'arifa), yang bermakna biaya yang harus dibayar. Dalam konteks modern, tariffs merujuk pada pungutan yang dikenakan terhadap barang ketika masuk atau keluar dari batas negara, baik untuk barang impor maupun ekspor Penggunaan tariffs dapat ditelusuri kembali ke zaman kuno, dimana berbagai peradaban telah menerapkan sistem pemungutan pajak atas barang yang diperdagangkan. Sebagai contoh, di Mesir kuno, pajak dikenakan pada barang-barang yang diimpor dari luar negeri. Namun, pengenalan tariffs sebagai instrumen kebijakan ekonomi lebih terstruktur mulai muncul pada abad pertengahan.
Pada abad ke-14 dan ke-15, negara-negara Eropa mulai mengadopsi tariffs sebagai bagian dari kebijakan proteksionisme untuk melindungi industri domestik mereka. Negara-negara seperti Inggris dan Prancis menerapkan tariff tinggi terhadap barang-barang impor untuk mendorong produksi lokal dan mengurangi ketergantungan pada produk asing.
Negara atau bangsa mana yang pertama kali mengenakan tarif?
Meskipun sulit menentukan negara mana yang pertama kali menerapkan tariffs dalam bentuk modernnya, Inggris sering dianggap sebagai pelopor dalam penggunaan tariffs sebagai alat kebijakan ekonomi. Pada abad ke-17, Inggris menerapkan berbagai jenis tariffs untuk melindungi industri tekstilnya dari persaingan luar negeri. Kebijakan ini berlanjut hingga abad ke-19 dengan penerapan tariffs yang lebih sistematis dan terstruktur.
Seiring berjalannya waktu, tariffs telah mengalami banyak perubahan. Pada abad ke-20, muncul lembaga-lembaga internasional seperti GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang bertujuan mengurangi hambatan perdagangan internasional melalui negosiasi pengurangan tariffs. Perkembangan ini menandai pergeseran dari proteksionisme menuju perdagangan bebas di banyak negara.
Tariffs telah berfungsi tak hanya sebagai sumber pendapatan bagi pemerintah, tetapi juga sebagai alat untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi tertentu. Dalam konteks globalisasi saat ini, perdebatan mengenai penggunaan tariffs terus berlanjut, terutama dalam konteks perdagangan internasional dan hubungan antarnegara.
Namun, tariffs hanyalah salah satu jenis trade barrier. Bentuk umum lainnya adalah quota (diterjemahkan kuota), yang membatasi jumlah produk tertentu yang dapat diimpor. Bayangkan sebuah negara yang ingin mendukung petani susu lokalnya. Negara tersebut dapat menetapkan kuota yang hanya mengizinkan sejumlah susu asing untuk memasuki pasarnya setiap tahun. Dengan membatasi pasokan, pemerintah memastikan bahwa petani lokal dapat bersaing tanpa tergerus oleh impor yang lebih murah.
Konsep kuota memiliki sejarah panjang yang berkaitan erat dengan tatakelola manusia dan pengelolaan sumber daya. Istilah "kuota" berasal dari frasa Latin "quota pars," yang bermakna "seberapa besar (sebagian)" atau "bagian yang proporsional." Etimologi ini mencerminkan sifat dasar kuota sebagai mekanisme mendistribusikan sumber daya atau membatasi kuantitas secara sistematis.
Kuota telah digunakan sejak zaman dahulu, khususnya dalam konteks yang mengharuskan alokasi sumber daya. Di Eropa abad pertengahan, misalnya, para penguasa memberlakukan kuota pada kota-kota untuk memasok tentara atau bahan untuk kampanye militer. Praktik ini memastikan bahwa setiap wilayah berkontribusi secara adil terhadap kebutuhan kolektif negara. Seiring berkembangnya masyarakat, penerapan kuota pun ikut berkembang. Pada abad ke-19, kuota mulai diterapkan dalam bentuk yang lebih terstruktur, khususnya dalam kebijakan ekonomi dan imigrasi. Pemerintah menyadari perlunya mengatur arus barang dan orang, yang mengarah pada pembentukan sistem kuota formal.
Meskipun sulit menentukan satu negara yang pertama kali menerapkan kuota dalam bentuk modernnya, Amerika Serikat terkenal karena menetapkan salah satu sistem kuota paling awal dan paling signifikan dengan Undang-Undang Imigrasi (Immigration Act) tahun 1921 dan, kemudian, Undang-Undang Imigrasi tahun 1924. Undang-undang ini memperkenalkan kuota asal negara, membatasi imigrasi berdasarkan komposisi demografis populasi AS sebagaimana tercatat dalam sensus sebelumnya. Undang-Undang tahun 1924 secara khusus mengurangi kuota tahunan untuk semua kewarganegaraan dari 3% populasi mereka pada tahun 1910 menjadi 2% berdasarkan sensus tahun 1890. Perubahan ini menguntungkan imigran dari Eropa Utara dan Barat sementara secara signifikan membatasi mereka yang berasal dari Eropa Selatan dan Timur, yang mencerminkan bias rasial dan etnis kontemporer.
Seiring berjalannya waktu, quota telah berkembang melampaui kontrol imigrasi. Kuota telah diterapkan di berbagai sektor, termasuk perdagangan, pendidikan, dan ketenagakerjaan. Misalnya:
- Trade Quotas (Kuota Perdagangan): Negara-negara menggunakan kuota impor/ekspor untuk mengelola neraca perdagangan dan melindungi industri dalam negeri dari persaingan asing.
- Affirmative Action (Aksi Afirmatif): Kuota juga digunakan di lembaga pendidikan dan tempat kerja untuk memastikan keterwakilan bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan.
Warisan sistem kuota awal ini telah membentuk kebijakan modern di seluruh dunia. Meskipun kuota dapat berfungsi sebagai alat untuk distribusi dan representasi yang adil, kuota juga menimbulkan pertanyaan etika yang kompleks tentang keadilan dan diskriminasi.
Kuota berasal sebagai sarana distribusi proporsional dalam pemerintahan kuno dan telah berubah menjadi instrumen penting untuk mengelola imigrasi, perdagangan, dan keadilan sosial dalam masyarakat kontemporer. Akar sejarahnya mencerminkan perjuangan manusia yang berkelanjutan dengan alokasi sumber daya dan keseimbangan masyarakat.
Ketika kita memikirkan tentang tariffs, penting memahami dampaknya dari dua perspektif: negara yang memberlakukan tariffs dan negara yang menghadapi tariffs tersebut.
Bagi Negara yang Memberlakukan Tariffs
Mari kita mulai dengan keuntungannya. Salah satu keuntungan yang amat berarti ialah perolehan pendapatan. Tariffs memberi pemerintah sumber pendapatan tambahan, yang dapat menjadi vital untuk mendanai layanan publik atau mengurangi defisit anggaran. Selain itu, tariffs berfungsi sebagai penghalang pelindung bagi industri dalam negeri. Dengan menaikkan harga barang impor, tariffs mendorong konsumen membeli barang produksi lokal, sehingga mendukung bisnis lokal dan mempertahankan lapangan pekerjaan.
Selain itu, tarif dapat menjadi alat yang ampuh untuk pengaruh politik. Tarif memungkinkan negara memberikan tekanan pada mitra dagang, mempengaruhi negosiasi, atau mengatasi kekhawatiran tentang praktik perdagangan yang tidak fair. Terakhir, tarif dapat berkontribusi pada stabilitas pasar dengan membuat harga lebih dapat diprediksi dan mengurangi ketergantungan pada perdagangan internasional yang tidak stabil.
Namun, ada juga kerugian yang perlu diperhatikan. Salah satu kerugian utamanya ialah konsumen akhirnya membayar harga yang lebih tinggi untuk barang impor, yang dapat berdampak secara tak proporsional pada rumah tangga berpendapatan rendah. Lebih jauh, kendati melindungi industri dalam negeri akan tampak bermanfaat, hal ini dapat menyebabkan berkurangnya efisiensi dan inovasi karena berkurangnya persaingan di pasar.
Tariffs juga dapat memicu perang dagang. Ketika sebuah negara mengenakan tariffs, hal ini seringkali memicu tindakan pembalasan dari negara lain, yang menyebabkan meningkatnya ketegangan yang merugikan perdagangan global. Selain itu, tariffs dapat menciptakan ketidakadilan regional di suatu negara, yang menguntungkan industri atau wilayah tertentu, sementara merugikan negara lain.
Bagi Negara yang Menghadapi Tariffs
Sekarang, mari kita telusuri perspektif negara yang dikenakan tariffs. Di sisi positifnya, menghadapi tariffs dapat membuka pintu negosiasi. Tariffs dapat memberikan peluang diskusi diplomatik yang bertujuan menyelesaikan sengketa perdagangan atau memperbaiki hubungan.
Selain itu, negara-negara yang terkena tariffs dapat terdorong mendiversifikasi pasar atau industri mereka. Hal ini dapat mengarah pada ekonomi yang lebih tangguh dalam jangka panjang karena mereka mencari alternatif untuk mengurangi ketergantungan pada satu mitra dagang.
Namun, kerugiannya amat berarti. Salah satu masalah yang paling mendesak ialah berkurangnya permintaan ekspor. Harga yang lebih tinggi karena tariffs membuat barang kurang kompetitif di negara pengimpor, yang menyebabkan penurunan penjualan dan kerugian ekonomi bagi eksportir. Selain itu, negara-negara yang menghadapi tariffs seringkali menemukan diri mereka dalam siklus pembalasan; mereka dapat mengenakan tariffs mereka sendiri sebagai tanggapan, yang dapat semakin mempersulit hubungan perdagangan dan mengurangi akses ke pasar luar negeri.
Bagi negara-negara berkembang khususnya, tariffs dapat menghambat kemampuannya berintegrasi ke pasar global, menghambat pertumbuhan ekonomi dan peluang pembangunan. Terakhir, mengandalkan perdagangan dengan negara-negara yang mengenakan tariffs dapat mengganggu rantai pasokan dan proses produksi, sehingga berdampak pada bisnis dan pekerja.
So, walau tariffs dapat memberikan perlindungan dan pendapatan bagi negara yang memberlakukan tariffs, tariffs sering kali menyebabkan harga konsumen yang lebih tinggi dan inefisiensi. Bagi negara-negara yang menghadapi tariffs ini, konsekuensinya termasuk berkurangnya daya saing dan potensi pembalasan ekonomi. Pada akhirnya, kedua belah pihak berisiko meningkatkan ketegangan yang dapat merusak perdagangan global dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan.
Pada episode berikut, kita akan bincangkan keuntungan dan kerugian kuota dan jenis-jenis trade barriers lainnya.