Jumat, 11 April 2025

Doa Penyejuk Jiwa

Para ulama Islam terdahulu, terutama mereka yang sangat mendalami pemahaman dimensi hakiki doa dan ibadah, tak menganggap enteng, bahkan kata-kata terkecil yang diucapkan dalam ritual doa. Ada doa yang dibaca saat duduk di antara dua sujud dalam shalat,
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي، وَارْحَمْنِي، وَاهْدِنِي، وَاجْبُرْنِي، وَعَافِنِي، وَارْزُقْنِي، وَارْفَعْنِي’
"Ya Allah, ampunilah daku, kasihanilah daku, tuntunlah daku, kuatkanlah daku, berikanlah kesejahteraan kepadaku, berikanlah rezeki kepadaku, dan angkatlah daku ke derajat yang lebih tinggi."
Doa ini sering disebut oleh banyak orang sebagai doa yang “menyejukkan jiwa” atau “menenangkan hati”, meskipun doa ini berasal dari momen tertentu dalam shalat. Mengapa doa khusus ini sering digambarkan sebagai “doa yang menyejukkan jiwa”?
Doa ini dibacakan saat duduk di antara dua sujud dalam shalat, bukan saat sujud. Posisi ini bermakna spiritual yang mendalam. Saat seseorang dalam posisi sujud, mereka berada dalam posisi kerendahan hati dan kedekatan tertinggi dengan Allah. Inilah saat untuk memuliakan dan meninggikan Allah, sering dengan frasa seperti Subḥāna Rabbiyal A‘lā — “Maha Suci Rabbku, Yang Maha Tinggi.” Fokus dalam sujud ialah pujian kepada Ilahi, penyerahan diri sepenuhnya di hadapan Yang Maha Tinggi, dalam postur tubuh terendah yang dapat diambil seseorang.
Permohonan khusus ini merangkum kebutuhan manusia yang paling mendasar: pengampunan bagi jiwa, belas kasihan bagi hati, bimbingan bagi pikiran, kesehatan bagi tubuh, dan makanan bagi kehidupan seseorang. Seolah-olah, setelah bersujud dalam kerendahan hati, hamba itu sekarang mengangkat kepalanya dan memohon kepada Rabb mereka dengan penuh harapan—lemah, namun percaya. Duduk menjadi ruang pelepasan emosional dan spiritual.
Tindakan duduk bermakna simbolis dan spiritual yang mendalam dalam ibadah Islam dan perilaku etis, jauh melampaui sekadar postur fisik. Baik dalam shalat maupun pengaturan diri emosional — semisal mengelola amarah — duduk bukan semata tentang keheningan, tetapi tentang penyerahan diri secara sadar, landasan batin, dan pengendalian diri yang dipandu oleh kesadaran akan Allah.

Dalam konteks ibadah, Rasulullah (ﷺ) mengajarkan bentuk-bentuk khusus duduk dalam ṣhalat, termasuk duduk di antara dua sujud dan postur tasyahhud terakhir. Ini bukan sembarangan; inilah tindakan pengabdian yang terstruktur dengan makna yang mengendap di hati. Disaat seseorang berpindah dari sujud — posisi kerendahan hati dan kedekatan dengan Allah — ke duduk, itu menandai momen ketenangan batin. Seseorang tak lagi menundukkan wajah ke tanah, tetapi mereka juga tak berdiri. Duduk di sini adalah jeda untuk merenung, ruang dimana hamba mengumpulkan diri untuk memohon ampunan, belas kasihan, bimbingan, kesehatan, dan makanan kepada Allah—dengan kata lain, hal-hal yang sangat penting dari kehidupan yang sehat. Duduk ini melambangkan keadaan seorang hamba yang berdosa di hadapan Rabbnya dan sekarang bangkit bukan untuk menyombongkan diri, melainkan untuk memohon dengan harapan yang tulus.

Dalam mengelola emosi, khususnya amarah, Rasulullah (ﷺ) memberi nasihat yang sangat bijak. Dalam sebuah hadis otentik yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad, Rasulullah (ﷺ) bersabda, "Jika salah seorang di antara kalian marah ketika sedang berdiri, hendaklah ia duduk. Jika amarahnya sudah hilang, baiklah; jika belum, hendaklah ia berbaring."
Perintah ini mengungkapkan kebenaran psikologis yang mendalam: postur tubuh kita mempengaruhi kondisi emosional kita. Tatkala seseorang marah dan sedang berdiri, mereka berada dalam kondisi puncak dan berpotensi agresif—siap berkonfrontasi. Duduk bukan sekadar posisi yang lebih aman; melainkan tindakan kerendahan hati yang disengaja. Duduk menenangkan tubuh, meredakan napas, dan menenangkan dorongan hati. Tindakan duduk menjadi metode untuk memulihkan keseimbangan spiritual, menunjukkan bahwa tubuh itu sendiri dapat berpartisipasi dalam mengejar kebajikan.

Beberapa ulama, semisal Imam Ibnu Rajab al-Ḥanbalī, memandang hadis ini sebagai pengingat mendalam tentang pendekatan Islam terhadap pengendalian diri: raga, pikiran, dan jiwa semuanya harus bekerjasama dalam mencapai perilaku etis. Sunnah tak semata menganjurkan kesabaran batin tetapi juga tindakan lahiriah yang mencerminkan dan memperkuat kesabaran itu — dan duduk adalah salah satunya.
Selain itu, duduk selalu menjadi simbol pengetahuan dan kerendahan hati dalam tradisi Islam. Para ulama akan duduk selama berjam-jam untuk mengajar dan belajar, yang menunjukkan bahwa ketenangan tubuh mengarah pada penerimaan hati dan pikiran. Dengan cara ini, tindakan duduk menjembatani lahiriah dan batiniah. Baik dalam doa, belajar, atau disiplin emosional, tindakan ini menandakan gerakan menjauh dari ketergesaan dan ego menuju penyerahan diri dan kontemplasi.
Jadi, untuk merangkumnya dalam satu pemikiran: duduk dalam ibadah dan etika Islam adalah ekspresi tubuh dari penyerahan diri, ketenangan, dan pengendalian diri. Inilah postur yang mengingatkan jiwa untuk bernapas, merenung, dan memohon petunjuk Ilahi—bukan dari maqam kesombongan, melainkan dari maqam kerendahan hati. Tak mengherankan jika baik ketika sedang shalat maupun ketika sedang marah, Rasulllah (ﷺ) menasihati kita agar duduk, karena jiwa dapat diatur dengan baik dikala jasmani dalam keadaan tenang.

Dalam karya monumentalnya Iḥyā’ Ulūmmuddīn (Kebangkitan Ilmu-Ilmu Agama), Imam al-Ghazālī mendedikasikan seluruh karyanya itu untuk membahas rahasia-rahasia doa. Kendati ia tak mengutip doa ini secara persis kata demi kata, ia menulis secara ekstensif tentang momen di antara dua sujud. Ia menjelaskan bahwa duduk ini merupakan simbol kembalinya seseorang ke kehidupan — bangkit dari kehinaan total di hadapan Allah—dan sekarang menjadi jeda untuk memohon kepada-Nya apa yang benar-benar engkau butuhkan bagi kehidupan yang bermakna.
Al-Ghazālī menekankan bahwa ketika seorang jamaah duduk dan berkata, “Ya Allah, ampunilah daku,” mereka hendaknya mengingat setiap dosa yang mereka bawa. Ketika mereka berkata, “Kasihanilah daku,” mereka harus merasakan ketidakmampuan mereka mendapatkan Surga kecuali melalui kasih karunia-Nya. Ketika mereka berkata, “Tuntunlah daku,” mereka tak hanya meminta ilmu tetapi juga cahaya lembut di dalam hati yang mengubah kebenaran menjadi tindakan. Ketika mereka berkata, “Sejahterakanlah daku,” mereka meminta keselamatan jasmani dan rohani—karena penyakit rohani lebih mematikan daripada penyakit fisik apa pun. Dan ketika mereka berkata, “Berikanlah rezeki kepadaku,” mereka tak hanya meminta makanan atau kekayaan tetapi juga jenis rezeki yang akan mendukung perjalanan mereka menuju Allah: ilmu, persahabatan, kesabaran, kejelasan, dan ya, bahkan sumber daya fisik. Bagi Imam al-Ghazālī, kata-kata ini bukan sekadar formalitas—kata-kata inilah inti dari permohonan jiwa dalam shalat.

Ibnu Qayyim, seorang murid Ibnu Taimiyyah dan salah seorang ulama yang amat fasih dalam ilmu qalbu, juga menulis dengan indah tentang shalat dalam bukunya Asrār as-Ṣalāh. Ia membahas bagaimana setiap postur dan setiap kata dalam shalat mencerminkan sebuah maqām dalam perjalanan menuju Allah.
Ia menafsirkan duduk di antara dua sujud sebagai postur seorang hamba yang penuh harapan, yang bangkit dari penyerahan diri sepenuhnya dan sekarang memohon dengan lembut kepada Rabbnya. Ia menyarankan agar orang beriman dalam posisi ini membayangkan diri mereka sebagai seseorang yang baru saja diselamatkan dari tenggelam—dan pada saat kelegaan itu, mereka mengarahkan seluruh keberadaan mereka kepada Allah dan berkata: “Maafkan aku. Kasihanilah aku. Tunjukkan jalan kepadaku. Jagalah kesehatanku. Dukunglah aku.”
Menurut Ibnu Qayyim, doa bukan hanya sekadar meminta sesuatu—doa adalah pernyataan ketergantungan total. Dan dalam hal ini, menjadi salah satu momen doa yang paling tulus.

Ada sebuah riwayat tentang Sufyan at-Tsauri, seorang ulama zuhud dari Kufah, yang pernah berlama-lama dalam posisi duduk di antara dua sujud lebih lama dari biasanya. Ketika seseorang bertanya kepadanya mengapa, ia menjawab: “Bagaimana aku bisa tergesa-gesa ketika di dalamnya aku memohon kepada Rabbku segala sesuatu yang benar-benar dibutuhkan hatiku?” Bagi Sufyan, ini bukanlah kata-kata kosong; inilah seluruh agenda jiwa orang beriman.
Beberapa ulama setelahnya, seperti Imam an-Nawawi, mencatat bahwa doa ini, meskipun sederhana, merupakan salah satu doa yang paling lengkap yang dapat diucapkan seseorang. Doa ini tak hanya mencari akhirat, atau hanya kehidupan duniawi—doa ini menyeimbangkan keduanya. Dan itulah jalan Islam: jalan tengah, jalan harmoni.

Dalam seluruh refleksi ini—baik dari introspeksi mistis al-Ghazālī, wawasan penuh semangat Ibnu Qayyim, atau keshalihan Sufyān at-Tsaurī—kita diingatkan bahwa saat-saat shalat bukan sekadar ritual, tetapi percakapan mendalam antara jiwa dan Sang Pencipta. Duduk di antara dua sujud, dan khususnya doa ini, menjadi momen kejujuran spiritual—ketika hamba, setelah menundukkan kepala dan berserah, kini mengangkat suaranya dengan penuh harapan.

Saat kita mengakhiri pembicaraan ini, jelas bahwa keindahan doa penyejuk jiwa tak semata terletak pada kata-katanya yang mendalam, melainkan pula pada hubungan pribadi yang mendalam yang dibangunnya antara hamba dan Sang Pencipta. Disaat seorang mukmin duduk dengan rendah hati di antara dua sujud dan berbisik, “Allāhummaghfirlī, warḥamnī, wahdinī, wa ‘āfinī, warzuqnī,” mereka tak sekadar melafalkan sebuah rumus—mereka membuka pintu menuju rahmat Ilahi, mengundang ketenangan ke dalam hati mereka, dan menyerahkan kebutuhan dan kekhawatiran mereka ke dalam genggaman Yang Maha Penyayang.
Doa ini menenangkan jiwa karena doa ini menjawab kebutuhan paling mendasar dari keberadaan rohani dan duniawi kita: ampunan atas kesalahan masa lalu, belas kasihan untuk menghadapi masa kini, bimbingan untuk menemukan jalan kita, kesejahteraan agar terus maju, dan makanan untuk bertahan hidup. Setiap kata adalah balsem, yang dipilih bukan oleh kita tetapi diajarkan kepada kita oleh Rasulullah (ﷺ)—yang mengetahui hati manusia lebih dari siapa pun.
Di saat-saat hening dalam doa, permohonan ini menjadi tempat perlindungan. Doa ini mengajarkan kita bahwa bahkan dalam irama ibadah, ada ruang bagi kerentanan dan harapan. Doa ini menunjukkan kepada kita bahwa Islam bukanlah serangkaian ritual yang jauh, tetapi rahmat yang hidup yang merangkul perjuangan kita sehari-hari. Jadi, saat kita menjauh dari refleksi ini, marilah kita membawa doa ini tak hanya di lidah kita tetapi di dalam hati kita—mengulanginya sesering mungkin, terutama saat hidup terasa sangat berat, tak pasti, atau sulit. Dengan melakukannya, kita membiarkan jiwa kita bernapas lagi dan hati kita beristirahat dalam ketenangan yang hanya dapat diberikan oleh Allah.

Semoga doa ini selalu menjadi tempat berlindung bagi jiwa kita, dan semoga maknanya bersemi dalam diri kita, membawa cahaya, kedamaian, dan keyakinan yang teguh kepada Rabb kita. Amin. Wallahu a'lam.

[English]