Selasa, 22 April 2025

Ketika "Giliran Kita" Berubah Jadi "Giliran Dislike"

Di sebuah negeri yang konon penuh demokrasi digital dan semangat transparansi, muncullah sebuah karya agung berjudul “Giliran Kita”. Bukan film, bukan sinetron, tapi video kampanye visual yang memadukan futurisme, pidato penuh harapan, dan ... dislike dalam jumlah yang membuat algoritma YouTube berkeringat dingin.
Dalam video yang dibintangi langsung oleh Wakil Presiden tercinta—yang tak datang dari kalangan elit, hanya mantan walikota dan anak presiden—terdengar ajakan mulia: “Giliran kita membangun masa depan.” Sebuah seruan yang menyentuh hati… terutama hati para konsultan citra dan manajer medsos, yang sejak detik pertama rilis sudah mempersiapkan damage control.
Video itu seharusnya menginspirasi. Judulnya dibalut dengan ambisi, disinari dengan cahaya keemasan sinematik, dan dinarasikan dengan penuh kesungguhan sebagai sebuah janji nasional.

Namun, wahai pembaca budiman, nasib berkata lain. Internet bukanlah karpet merah. Ia sebuah coliseum. Bukannya dibalas dengan tepuk tangan atau likes penuh semangat, yang datang justru tsunami jempol ke bawah. Sebuah penghargaan jujur dari netizen Indonesia—para cendekiawan kolom komentar dan doktor kehormatan dalam bidang satire online.

Sayangnya, jumlah dislike itu kini tak bisa lagi dinikmati publik. YouTube, dengan penuh kasih dan kepedulian, menyembunyikannya demi “mental well-being para kreator.” Mungkin karena YouTube tahu: citra sang Wakil Presiden bakalan memar. Videonya tak mendarat dengan selamat—ia bertabrakan. Dengan harapan, dengan kenyataan, dan dengan ribuan ketidaksukaan yang disampaikan lebih cepat daripada siaran pers seusai sebuah kejanggalan.

“Dislike” itu unik. Ia bentuk welas-asih yang tulus. Kalau “like” bisa diberikan karena simpati, basa-basi, atau habis nonton setengah detik lalu scroll lagi, maka dislike... dislike butuh niat. Bayangkan: seseorang menonton videomu, lalu mengernyit, berhenti, merenung sejenak, menggeser mouse ke arah tombol jempol ke bawah, dan klik—dengan semangat yang sama seperti menolak mantan yang tiba-tiba minta balikan. Itu bukan sekadar feedback, itu sebuah digital manifesto.
Dan dalam kasus “Giliran Kita”, dislike bukan cuma sentuhan jari, tapi tradisi gotong royong digital. Layaknya kerja bakti, rakyat datang bergelombang, satu-persatu menyumbangkan jempol ke bawah dengan harapan: “Semoga mereka paham... atau minimal buka kolom komentar.”
Tapi apa daya, tombol itu kini telah jadi tombol rahasia negara. Dislike disembunyikan, seperti anggaran misterius atau janji kampanye yang tiba-tiba masuk fase hilang dari ingatan bersama.

Pada akhirnya, “Giliran Kita” mungkin memang bukan tentang kita—melainkan tentang giliran siapa yang paling cepat merebut spotlight, giliran siapa yang memegang narasi, dan giliran siapa yang bisa menyewa tim produksi audiovisual dengan resolusi 6K dan naskah penuh asa.
Tapi di balik semua kilau video dan kata-kata penuh motivasi, rakyat ternyata masih punya satu hak dasar yang tak bisa disensor: hak untuk tidak terpesona.

Dan itulah yang terjadi. Saat “good PR” dikemas terlalu mulus, ia mulai terasa seperti iklan sampo: berkilau di muka, tapi bikin gatal di belakang kepala. Publik tak butuh video sinematik agar merasa terlibatkan. Yang dibutuhkan hanyalah: kejujuran, kejelasan, dan koneksi yang lebih kuat dari sekadar sinyal Wi-Fi.
Maka kini kita bertanya—bukan dengan amarah ataupun dengki, tapi dengan rasa penasaran yang dalam dan penuh satire:
“Setelah giliran mereka membuat video, akankah ada giliran kita ... didengar?”

[English]