Khabbab bin al-Aratt (radhiyallahu 'anhu) adalah salah satu dari orang pertama yang masuk Islam pada masa awal dakwah Rasulullah (ﷺ). Saat itu, ia masih dalam status budak dan menetap di masyarakat yang sangat memusuhi ajaran Islam. Karena keyakinannya kepada Kemaha Esaan Allah dan penolakannya terhadap penyembahan berhala, majikannya yang musyrik, menyiksanya dengan kejam.[Bagian 5]
Salah satu siksaan yang amat dikenang ialah ketika Khabbab diseret di atas bara api yang menyala sampai kulit punggungnya meleleh dan menempel pada batu panas. Meskipun tubuhnya hancur karena rasa sakit yang luar biasa, imannya tak pernah goyah. Ia tak pernah menarik kembali keyakinannya kepada Islam.
Bertahun-tahun kemudian, setelah Islam tersebar luas dan Khabbab tak lagi menjadi budak, ia menjadi seorang sahabat yang dihormati dan berpengaruh, serta ikut serta dalam berbagai perang besar. Namun, ia tetap rendah hati dan suatu hari berkata: “Orang-orang sebelum kita telah mengalami ujian yang lebih berat. Mereka digergaji dari kepala hingga terbelah dua, dan disisir dengan sisir besi sampai tulang mereka terlihat, tetapi mereka tak meninggalkan agama mereka. Namun kita hari ini telah menjadi orang yang tidak sabar.”
Ini menunjukkan bahwa iman tak semata keyakinan dalam pikiran, melainkan keteguhan hati dan ketegasan tindakan, khususnya saat menghadapi ujian. Kisah Khabbab adalah contoh nyata dari seseorang yang memegang teguh keyakinannya, meskipun seluruh dunia seakan melawannya.
Kekuatan iman tak selalu terlihat saat hidup dalam kenyamanan, tetapi terbukti saat menghadapi penderitaan. Keimanan memberi makna terhadap ujian, dan memberi keberanian di saat ketidakberhasilan logika manusia. Orang-orang seperti Khabbab tak hanya percaya pada sebuah gagasan, tapi pada kebenaran yang lebih tinggi dari apa yang tampak di dunia ini.
Kisah lain yang sangat menyentuh dan kuat tentang keyakinan dan kepercayaan, kali ini dari kehidupan Nabi Ibrahim (Abraham, alaihissalam)—contoh abadi yang ditemukan dalam Al-Qur'an dan tradisi Islam.
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam hidup di tengah masyarakat yang menyembah berhala. Ia adalah satu-satunya orang yang dengan berani menentang keyakinan tersebut dan mengajak kaumnya agar menyembah semata kepada Allah. Ia berdialog dengan logika, menunjukkan bahwa berhala-berhala itu tak bisa bicara, tak bisa bergerak, apalagi memberikan manfaat atau mudarat.
Dalam sebuah peristiwa, Nabi Ibrahim menghancurkan seluruh berhala di kuil, kecuali satu yang terbesar. Ketika kaumnya bertanya siapa pelakunya, Nabi Ibrahim menjawab dengan tenang, “Tanyakan saja pada berhala yang masih tersisa itu.” Sebuah sindiran yang tajam bahwa berhala-berhala itu tak punya daya.
Raja mereka yang kejam, Namrud, marah besar. Ia memerintahkan agar api raksasa dinyalakan—begitu besar dan panas hingga burung-burung tak bisa terbang di atasnya. Mereka bersiap melemparkan Nabi Ibrahim ke dalamnya, agar menjadi contoh bagi siapa pun yang berani menantang kepercayaan mereka.
Bayangkan: Nabi Ibrahim sendirian. Tiada bantuan manusia. Tiada mukjizat terlihat. Hanya dirinya, api, dan iman.
Saat akan dilempar, malaikat Jibril datang dan berkata, “Butuhkah engkau bantuan?”
Dengan ketenangan penuh kepercayaan, Nabi Ibrahim menjawab:
حَسْبُنَا اللّٰهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ
[... Hasbiyallāh wa ni‘mal-wakīl ...]
"Cukuplah Allah bagiku, dan Dialah sebaik-baik tempat bergantung.” [QS. Āli ‘Imrān: 173]
Lalu Allah memerintahkan kepada api itu:
يٰنَارُ كُوْنِيْ بَرْدًا وَّسَلٰمًا عَلٰٓى اِبْرٰهِيْمَ ۙ
“Wahai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim.” [QS. Al-Anbiya’: 69]
Maka api yang membara itu berubah menjadi dingin dan aman. Nabi Ibrahim keluar darinya tanpa terbakar sedikit pun—bahkan bajunya tidak rusak. Tubuhnya selamat, dan imannya semakin kokoh.
Kisah ini mengajarkan bahwa iman sejati bukan hanya percaya dalam pikiran, tetapi juga percaya sepenuhnya kepada Allah dalam hati dan tindakan, terutama saat semua jalan tampak tertutup. Nabi Ibrahim menghadapi api yang membakar, namun hatinya tak goyah, karena ia percaya bahwa kekuasaan Allah lebih besar dari api mana pun.
Saat seseorang beriman yang kokoh, maka Allah dapat menjadikan api menjadi dingin, musibah menjadi rahmat, dan kesulitan menjadi kemuliaan.
Sekarang, bolehkan daku berbagi denganmu sebuah kisah nyata masa kini—sederhana tetapi kuat—yang menunjukkan bagaimana keyakinan dan kepercayaan dapat mengangkat derajat seseorang bahkan di zaman kita. Kisah ini sering dibagikan di kalangan Islam untuk menunjukkan bagaimana Allah menjawab hati yang tulus.
Seorang Muslimah muda tinggal sendiri di sebuah negara Barat. Ia sedang menjalani studi sambil bekerja paruh waktu guna mencukupi kebutuhan hidup. Namun, suatu hari, tiba-tiba ia kehilangan pekerjaannya. Ia berusaha mencari pekerjaan baru, menghubungi teman-teman, bahkan berbicara dengan pemilik rumah kontrakannya—tetapi tak satu pun solusi berhasil.
Hari-hari terus berjalan, dan batas waktu pembayaran uang sewa rumah semakin dekat. Kegelisahan dan ketakutan mulai menyelimuti hatinya. Namun, di tengah kesempitan itu, ia tak menyerah pada rasa putus asa.
Malam sebelum batas waktu pembayaran, ia bangun di sepertiga malam dan melaksanakan shalat tahajjud. Dalam sujudnya, ia menangis dan memanjatkan doa dengan sepenuh hati:
“Ya Allah, Engkau Ar-Razzāq (Maha Pemberi Rezeki). Aku tak punya siapa-siapa selain Engkau. Aku percaya Engkau bisa membukakan jalan dari arah yang tak aku sangka. Tolong aku, ya Allah.”
Setelah itu, ia tidur dalam keadaan tenang. Ia tak tahu apa yang akan terjadi esok, tapi ia menyerahkan segalanya kepada Allah.
Keesokan paginya, ia membuka email dan menemukan pesan mengejutkan:
Ia terpilih sebagai penerima beasiswa dari lembaga yang dulu pernah ia daftarkan, namun ia sendiri sudah lupa. Beasiswa itu bukan hanya menanggung biaya kuliahnya, tapi juga memberinya uang saku bulanan—cukup untuk membayar sewa rumah dan mencukupi kebutuhannya selama belajar.
Saat menceritakan kisahnya di suatu majelis, ia berkata dengan mata berkaca-kaca: “Malam itu aku tidak hanya berdoa dengan lisanku. Aku menyerahkan seluruh hatiku kepada Allah.”
Di tengah dunia modern yang serba logis dan terikat angka, iman dan tawakkal mungkin terlihat tidak masuk akal. Namun, kisah ini mengingatkan kita bahwa keyakinan kepada Allah tidak pernah sia-sia. Saat semua jalan tertutup, Allah bisa menciptakan jalan yang baru — dari arah yang tidak pernah kita bayangkan.
Keimanan bukan hanya untuk masa lalu, tapi ia tetap hidup dan bekerja dalam kehidupan kita hari ini—selama kita bersungguh-sungguh dalam keyakinan dan bergantung sepenuhnya kepada Allah.
Dari sudut pandang saintifik, Iman seringkali tak dipandang dalam pengertian teologis yang sama seperti dalam agama, melainkan sebagai bentuk keyakinan atau kepercayaan psikologis terhadap sesuatu yang mungkin belum terbukti atau terlihat. Dalam psikologi dan ilmu kognitif, iman dapat dipahami sebagai proses kognitif yang membantu manusia mengatasi ketidakpastian, terutama dalam situasi dimana logika atau bukti tak dapat memberikan kejelasan penuh. Para peneliti terkadang menggambarkannya sebagai bentuk kepercayaan—kondisi mental yang memungkinkan individu berfungsi dalam menghadapi hasil yang tak diketahui. Contoh, ketika orang berkeyakinan bahwa perawatan medis akan berhasil, walau jika ada ketidakpastian, keyakinan itu dapat berkontribusi pada ketahanan emosional yang lebih baik, dan terkadang bahkan pemulihan—sebuah fenomena yang dieksplorasi dalam studi tentang efek plasebo.
Akan tetapi, dari sudut pandang filosofis, iman bermakna yang lebih dalam dan berlapis-lapis. Para filsuf lintas tradisi—baik Barat maupun Islam—telah mengeksplorasi iman sebagai semacam sikap epistemik, yang artinya iman berhubungan dengan bagaimana kita mengetahui atau mempercayai sesuatu. Misalnya, beberapa filsuf berpendapat bahwa iman bukanlah irasional, tetapi trans-rasional—iman melampaui nalar tanpa harus menentangnya. Pemikir semisal Søren Kierkegaard memandang iman sebagai lompatan—komitmen eksistensial yang membutuhkan keberanian, terutama ketika bukti tak lengkap atau ketika nalar mencapai batasnya. Dalam filosofi Islam, pemikir seperti Al-Ghazali bergulat dengan gagasan yaqīn (kepastian) dan īmān, menyimpulkan bahwa iman sejati lahir ketika qalbu menegaskan apa yang diterima intelek—harmoni antara ilmu dan pengalaman spiritual.
Menariknya, baik perspektif ilmiah maupun filosofis sepakat bahwa iman bukan sekadar keadaan pasif. Iman melibatkan komitmen, ketahanan emosional, dan seringkali, tindakan. Di kedua ranah tersebut, iman dipandang sebagai sesuatu yang sangat manusiawi—sesuatu yang memungkinkan orang berharap, mencintai, bertahan, dan menemukan makna, biarpun dalam penderitaan atau ketidakpastian. Kendati sains dan filosofi mendekati iman secara berbeda dari agama, keduanya tetap mengakuinya sebagai kekuatan batin yang kuat, yang mampu membentuk pikiran, perilaku, dan ketahanan manusia.
Dalam Islam, iman jauh lebih dari sekadar keyakinan—iman adalah keyakinan sepenuh hati, penegasan dengan lidah, dan tindakan dengan anggota tubuh. Iman bukanlah keyakinan yang buta atau tak berdasar; melainkan, iman berakar dalam pada ilmu (‘ilm), refleksi (tafakkur), dan pengalaman (ma‘rifah). Al-Qur’an sendiri berulangkali menyerukan kepada orang-orang beriman agar mengamati, berpikir, bernalar, dan merenungkan tanda-tanda Allah di alam semesta. Jadi, bertentangan dengan kesalahpahaman bahwa iman berlawanan dengan akal, Islam memandang kecerdasan yang sehat sebagai jalan iman, bukan penghalang.
Sekarang, mari kita kaitkan hal ini dengan perspektif ilmiah: Sains melihat iman sebagai mekanisme kognitif—sejenis kepercayaan psikologis yang membantu manusia mengelola ketidakpastian atau kurangnya kendali. Meskipun Islam tak mereduksi iman menjadi mekanisme mental, Islam mengakui bahwa manusia memang mengalami cobaan yang tak terlihat (al-ghayb), dan bahwa iman memungkinkan orang tetap stabil secara spiritual kendatipun ketika hasilnya tak diketahui. Itulah sebabnya keyakinan terhadap yang tak kasat mata (al-īmān bi al-ghayb) menjadi pusat dalam Islam—ia mendorong kepercayaan kepada Allah walaupun hikmah-Nya tersembunyi.
Dari perspektif filosofis, khususnya dalam eksistensialisme atau epistemologi, keimanan seringkali berkaitan dengan ketegangan antara akal dan makna. Dalam Islam, para cendekiawan seperti Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Sina semuanya telah mengeksplorasi hakikat keyakinan, kepastian (yaqīn), dan keraguan. Al-Ghazali, setelah mengalami krisis spiritual dan intelektual, menyimpulkan bahwa keyakinan sejati datang bukan hanya melalui bukti-bukti rasional, tetapi melalui pencerahan Ilahi (nur)—sesuatu yang dimulai oleh akal, tetapi disempurnakan oleh qalbu.
Jadi, Islam merangkul pencarian kebenaran secara rasional, tetapi juga mengajarkan bahwa keyakinan spiritual adalah anugerah Ilahi, bukan hanya hasil deduksi logis. Dengan cara ini, Islam menyelaraskan pengejaran intelektual filosofis dan ketahanan berbasis kepercayaan yang dijelaskan dalam sains, dengan dimensi spiritual wahyu dan ibadah. Hakikatnya: Sains melihat keimanan sebagai kepercayaan kognitif dalam ketidakpastian; Filosofi memandang keimanan sebagai lompatan atau keyakinan ketika nalar mencapai batasnya; Islam melihat keimanan sebagai perpaduan antara ilmu, kepercayaan, cinta, dan ketundukan kepada Dia Yang mengetahui segala sesuatu.
Dari sudut pandang ilmiah, keyakinan umumnya dipelajari sebagai fungsi kognitif otak. Ilmuwan—terutama di bidang ilmu saraf dan psikologi—memandang keyakinan sebagai representasi mental atau penilaian yang dianggap benar oleh seseorang, terlepas dari apakah hal itu dapat dibuktikan secara objektif atau tidak. Keyakinan membantu orang menafsirkan realitas, membuat keputusan, dan membentuk ekspektasi tentang dunia di sekitar mereka. Dalam pengertian ini, keyakinan tidak terbatas pada agama—keyakinan dapat mencakup keyakinan tentang kesehatan, kesuksesan, orang lain, atau bahkan diri kita sendiri.
Ilmu saraf telah menunjukkan bahwa keyakinan disimpan dan diproses di area otak tertentu, seperti korteks prefrontal, yang bertanggung jawab atas pemikiran tingkat tinggi dan pengambilan keputusan. Menariknya, penelitian juga menunjukkan bahwa emosi memainkan peran utama dalam membentuk dan memperkuat keyakinan—itulah sebabnya dua orang dapat melihat bukti yang sama dan sampai pada kesimpulan yang sangat berbeda. Keyakinan, dengan cara ini, bukan hanya tentang logika; keyakinan melibatkan ingatan, emosi, pengalaman pribadi, dan konteks sosial.
Sementara itu, dari sudut pandang filosofis, keyakinan telah menjadi topik utama perdebatan selama berabad-abad. Para filsuf bertanya: Apa artinya mempercayai sesuatu? Bagaimana keyakinan berbeda dari pengetahuan atau pendapat? Salah satu definisi yang amat dikenal berasal dari Plato, yang menggambarkan pengetahuan sebagai "keyakinan sejati yang dibenarkan." Artinya, untuk benar-benar mengetahui sesuatu, seseorang tidak hanya harus mempercayainya dan harus benar, tetapi juga harus punya pembenarannya. Definisi ini, kendati diperdebatkan dan direvisi dari waktu ke waktu, meletakkan dasar bagi banyak epistemologi (studi tentang pengetahuan dan keyakinan).
Para filsuf juga telah meneliti dimensi moral dan eksistensial dari keyakinan. Misalnya, William James berpendapat bahwa keyakinan memainkan peran penting dalam motivasi dan pengambilan keputusan manusia, terutama ketika bukti tidak lengkap. Kierkegaard, di sisi lain, menekankan keyakinan sebagai komitmen yang sangat pribadi, terutama dalam keyakinan agama, menyebutnya sebagai "lompatan" yang tak dapat semata dijelaskan oleh akal.
Jadi, baik sains maupun filosofi mengakui keyakinan sebagai sesuatu yang mendasar bagi pengalaman manusia—bukan hanya sebagai pikiran pasif, tetapi sebagai keadaan mental dan emosional aktif yang membentuk cara kita hidup, memilih, dan berinteraksi dengan dunia. Dalam kedua perspektif tersebut, keyakinan tidak selalu tentang memiliki bukti—seringkali keyakinan adalah tentang bagaimana kita memahami hal yang tak diketahui dan apa yang kita pilih untuk dipegang disaat menghadapi ketidakpastian.
Iman dan keyakinan merupakan aspek fundamental dari pengalaman manusia karena keduanya memberi arah, makna, dan ketahanan dalam hidup. Konsep-konsep ini membantu individu menghadapi ketidakpastian, memberikan harapan di saat sulit, serta menumbuhkan rasa percaya diri dalam kemampuan mereka sendiri. Tanpa keduanya, hidup bisa terasa tanpa tujuan atau kehilangan makna.
Iman memungkinkan orang menemukan tujuan dan makna, baik melalui spiritualitas, prinsip pribadi, atau keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Keyakinan, di sisi lain, memperkuat kemampuan mereka menghadapi tantangan dan tetap bertahan dalam kesulitan. Ketika seseorang yakin pada diri sendiri atau pada suatu tujuan yang lebih tinggi, mereka cenderung lebih termotivasi dalam bertindak, berusaha mencapai kemajuan, dan membuat perubahan positif di dunia.
Selain itu, imana dan keyakinan membantu pula membuat rasa damai dan stabilitas emosional. Yakin pada sesuatu yang lebih besar dari perjuangan pribadi dapat memberikan kenyamanan dan kepastian, mengurangi kecemasan serta rasa takut. Konsep-konsep ini juga memainkan peran penting dalam membangun hubungan antara individu dan komunitas, mendorong persatuan serta nilai-nilai bersama.
Iman dan keyakinan tak tergantikan karena keduanya membentuk cara seseorang menghadapi kehidupan, mengambil keputusan, dan berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka. Keduanya bukan sekadar gagasan abstrak, melainkan kekuatan pengarah yang esensial, yang mempengaruhi pertumbuhan pribadi dan kemajuan masyarakat.
[Bagian 3]