[Bagian 2]Revisi KUHAP 2025 menuai kritik luas dari organisasi HAM, pakar hukum, dan kelompok masyarakat sipil. Kekhawatiran utama adalah bertambahnya kewenangan polisi dalam penangkapan, penahanan, dan penyidikan, seringkali tanpa pengawasan hakim yang memadai. Beberapa pasal memungkinkan penangkapan dilakukan tanpa persetujuan hakim sebelumnya, membuka peluang penahanan sewenang-wenang dan potensi penyalahgunaan kekuasaan. Pasal 90 secara khusus memungkinkan penahanan untuk jangka waktu “tak terbatas” dalam kondisi tertentu, yang menurut kelompok masyarakat sipil dapat menimbulkan pelanggaran HAM. Penahanan panjang tanpa pengawasan pengadilan yang memadai berisiko melemahkan kemampuan hakim untuk mengintervensi ketika terjadi pelanggaran prosedural.KUHAP baru juga memperluas kewenangan penyidikan dan membolehkan penggunaan teknik rahasia seperti undercover buy dan controlled delivery untuk seluruh kategori kejahatan. Walaupun bertujuan meningkatkan penegakan hukum, teknik ini dapat disalahgunakan menjadi perangkap (“entrapment”), sehingga dapat memunculkan “rekayasa kriminalitas.” Kritikus masyarakat sipil menekankan perlunya pengawasan yang kuat agar teknik ini tak dimanfaatkan bagi kepentingan institusi atau pribadi. Penyidik, termasuk PPNS, diperkuat dalam struktur KUHAP baru tetapi tetap berada di bawah koordinasi polisi, sehingga muncul kekhawatiran tentang terbentuknya “polisi super power” tanpa kontrol eksternal memadai.
Akses bantuan hukum juga dipertanyakan. Meskipun diatur, terdapat ketentuan yang memungkinkan penolakan atau pencabutan bantuan hukum dalam kondisi tertentu. UU tak menetapkan konsekuensi tegas bila hak tersangka atas bantuan hukum tak dipenuhi, sehingga tersangka berisiko menghadapi proses hukum tanpa pengacara. Beberapa pasal bahkan mengecualikan tersangka dari hak bantuan hukum penuh, misalnya bila menolak pengacara atau dalam kasus hukuman tertentu, sehingga berpotensi melanggar prinsip keadilan.
Pengawasan pengadilan melalui mekanisme praperadilan dianggap lemah. Praperadilan hanya bisa diajukan setelah pelanggaran prosedural terjadi, bukan preventif, dan pemeriksaannya bersifat formal, bukan substantif. Batas waktu sidang praperadilan yang pendek (7 hari dalam draf) dan kemungkinan batalnya praperadilan setelah kasus utama dimulai semakin mengurangi efektivitas pengawasan hakim. Selain itu, beban pembuktian dalam praperadilan sering berada pada tersangka, bukan aparat yang dituduh melakukan upaya paksa ilegal.
Hak korban dan mekanisme pengaduan untuk pelanggaran prosedural juga terbatas. KUHAP revisi tak menyediakan cara memadai bagi korban menuntut pertanggungjawaban aparat atas penangkapan sewenang-wenang, penyiksaan, atau pelanggaran hak tersangka. Tiada forum pengaduan khusus yang efektif selain praperadilan yang terbatas.
Transparansi dan partisipasi publik dalam proses legislasi juga dikritik. Koalisi masyarakat sipil, termasuk Amnesty International, menilai pembahasan RUU KUHAP dilakukan terburu-buru dan kurang transparan. Akses publik terhadap draf, analisis akademik, dan revisi terbaru terbatas, sementara partisipasi publik yang bermakna jarang tercapai, dan masukan masyarakat sipil sering diabaikan atau tak dijawab secara substantif.
Pelanggaran standar HAM internasional menjadi perhatian serius. Komnas HAM menyoroti risiko seperti penahanan tanpa batas, penggunaan upaya paksa, pembatasan hak tersangka, dan ketidakjelasan standar pembuktian. Human Rights Monitor memperingatkan bahwa revisi ini bisa melemahkan prinsip presumption of innocence, terutama melalui kriminalisasi orang yang dianggap “tidak kooperatif” dalam penyidikan. Pengawasan pengadilan atas tindakan aparat dianggap tidak cukup, melemahkan sistem check and balance yang menjadi inti perlindungan HAM dalam proses pidana.
Kesiapan sistem dan risiko implementasi juga menjadi perhatian. LBH Surabaya menegaskan bahwa penerapan KUHAP baru tanpa masa transisi bisa menimbulkan kekacauan karena infrastruktur hukum, termasuk regulasi pelaksana, belum siap. Tidak adanya aturan pelaksana yang lengkap meningkatkan risiko praktik penyalahgunaan dan ketidakkonsistenan jika UU diterapkan tergesa-gesa.
Sebagai respons, koalisi masyarakat sipil telah membuat draf alternatif atau “counter-draft” KUHAP yang menekankan due process, kontrol terhadap aparat, dan perlindungan hak warga. Kajian akademis juga menyoroti potensi konflik kewenangan antara jaksa dan polisi dalam KUHAP revisi, karena distribusi kekuasaan baru dapat menimbulkan tumpang tindih atau ketidakjelasan yang rawan disalahgunakan.
Singkatnya, revisi KUHAP 2025 dikritik karena memperluas kewenangan polisi sekaligus melemahkan pengawasan pengadilan, membatasi akses bantuan hukum, dan membuat hak korban serta tersangka rentan diabaikan. Proses legislasi dianggap terburu-buru dengan partisipasi publik yang minim, dan potensi dampak jangka panjang terhadap sistem peradilan pidana sangat besar jika revisi ini diterapkan tanpa perbaikan.
Jika dilihat dari perspektif konflik kepentingan, revisi KUHAP 2025 menimbulkan sejumlah kekhawatiran penting. Analisis ini menyoroti bagaimana kewenangan aparat, distribusi wewenang, dan prosedur hukum dapat membuka peluang bagi kepentingan pribadi, politik, atau institusional sehingga bertabrakan dengan prinsip keadilan.Pertama, kekuasaan polisi yang lebih luas jelas menghadirkan potensi konflik kepentingan. KUHAP revisi memberi aparat kewenangan lebih besar untuk menahan, menyidik, dan menggunakan teknik rahasia tanpa pengawasan hakim yang ketat. Dalam praktik, hal ini dapat menciptakan konflik antara tugas negara dan kepentingan pribadi aparat. Misalnya, penyidik bisa menunda penyidikan atau menargetkan seseorang karena tekanan politik, keuntungan pribadi, atau intervensi pihak tertentu. Pasal tentang penahanan sewenang dan pembekuan aset sementara memberi aparat diskresi besar, sehingga konflik kepentingan antara kepentingan publik (keadilan) dan kepentingan institusi atau individu bisa muncul.Kedua, hubungan antara polisi dan jaksa dalam KUHAP baru dapat menimbulkan konflik kepentingan institusional. KUHAP menegaskan koordinasi antara polisi dan jaksa dalam penyidikan dan penuntutan. Konflik muncul ketika kepentingan institusi lebih diutamakan daripada proses hukum yang adil. Misalnya, jaksa dapat menekan polisi untuk memprioritaskan kasus yang mendukung agenda politik atau ekonomi tertentu. Dinamika seperti ini berisiko melemahkan independensi aparat penegak hukum dan mengaburkan batas antara tugas publik dan kepentingan politik atau korporasi.Ketiga, pembatasan akses bantuan hukum dapat menimbulkan konflik antara aparat dan tersangka. KUHAP revisi membatasi hak tersangka tertentu untuk mendapatkan bantuan hukum yang optimal. Konflik kepentingan muncul bila aparat memanfaatkan kelemahan tersangka—misal mereka miskin atau tak mengetahui hukum—untuk mempercepat penyidikan, memperoleh pengakuan, atau menekan bukti yang merugikan aparat atau pihak berkuasa. Hal ini memunculkan dilema antara kewajiban menegakkan hukum secara adil dan kepentingan institusi dalam menyelesaikan kasus dengan cepat.Keempat, mekanisme praperadilan yang lemah menambah potensi konflik antara pengadilan dan aparat. Praperadilan yang terbatas memberi penyidik kontrol lebih besar sebelum intervensi hakim terjadi. Konflik muncul ketika aparat dapat bertindak sesuai kepentingan pribadi atau kelompok tanpa risiko sanksi hukum segera. Kasus politik atau ekonomi, misalnya, bisa diarahkan agar aparat atau pihak tertentu memperoleh keuntungan strategis sebelum pengawasan pengadilan berlaku.Kelima, terdapat potensi konflik politik. KUHAP baru memberi aparat kewenangan luas, sementara pengawasan dari DPR, pemerintah, dan lembaga independen seperti Komnas HAM masih terbatas. Hal ini membuka ruang bagi konflik antara kepentingan politik tertentu dengan prinsip keadilan, misalnya dalam kasus demonstrasi, kriminalisasi aktivis, atau penyidikan yang menargetkan lawan politik. Kritikus dari Amnesty International, ICJR, dan LSM menyoroti risiko pemanfaatan KUHAP untuk kepentingan politik daripada penegakan hukum yang netral.Keenam, konflik kepentingan juga mungkin muncul dalam penentuan bukti dan penggunaan teknik penyidikan. KUHAP revisi memberikan keleluasaan dalam menggunakan teknik rahasia seperti undercover buy, controlled delivery, dan pengumpulan bukti elektronik. Konflik muncul bila aparat menafsirkan bukti secara subyektif untuk mendukung kepentingan tertentu, misalnya menutupi kesalahan internal, memenuhi target penyelesaian kasus, atau menguntungkan pihak tertentu.Kesimpulannya, desain revisi KUHAP 2025 secara inheren memperluas potensi konflik kepentingan. Konflik ini dapat muncul di level aparat individu, institusi hukum, dan otoritas politik, terutama bila diskresi hukum digunakan bagi keuntungan pribadi, kelompok, atau politik. Kritik utamanya adalah bahwa KUHAP baru memerlukan pengawasan yang lebih kuat, transparansi, dan mekanisme checks and balances agar konflik kepentingan tak merusak proses hukum dan hak warga.Conflict of interest atau Konflik Kepentingan adalah keadaan ketika seseorang yang memegang amanah publik, profesional, atau organisasi punya kepentingan pribadi—baik berupa keuntungan material, relasi, maupun preferensi tertentu—yang berpotensi mempengaruhi atau merusak penilaian objektif, integritas keputusan, atau tindakan yang seharusnya diambil demi kepentingan umum. Dalam etika modern, konflik kepentingan tak selalu berarti terjadinya penyalahgunaan kekuasaan; keberadaannya saja sudah dianggap sebagai risiko etis yang harus diungkap, dikelola, atau dihindari agar proses pengambilan keputusan tetap bersih dan dapat dipercaya.
Konflik kepentingan bisa diliat dari banyak sisi, dan tiap perspektif ngasih insight beda soal penyebab, dampak, dan cara nge-handle-nya. Dari sisi ideologi, konflik kepentingan nabrak prinsip keadilan, netralitas, dan kepentingan publik. Ideologi yang menekankan kesetaraan, transparansi, atau keadilan sosial bakal nganggep konflik kepentingan itu nggak oke, karena keuntungan pribadi bisa ngerusak kepentingan bareng. Sementara ideologi yang lebih individualis atau pasar-oriented mungkin nganggep itu ketegangan wajar yang perlu diatur, bukan dihapus total.Dari sisi filosofi, konflik kepentingan nanya soal etika, kebajikan, dan tanggungjawab moral. Para filsuf mikirin gimana keinginan pribadi, self-interest, atau loyalitas ke grup tertentu bisa ngeganggu keputusan rasional atau tindakan moral. Mereka juga ngebahas dilema tugas, misal gimana orang harus balance antara kewajiban ke diri sendiri, organisasinya, dan masyarakat luas.Dari sisi politik, konflik kepentingan jadi ancaman buat tatakelola, legitimasi, dan kepercayaan publik. Politisi atau birokrat yang punya kepentingan ganda bisa bikin keputusan yang cuma nguntungin pihak tertentu, bikin rakyat makin nggak percaya institusi. Sistem politik nyoba nge-handle ini lewat hukum, kode etik, aturan disclosure, dan mekanisme enforcement.Dari sisi ekonomi, konflik kepentingan bikin inefisiensi dan distorsi. Bisa bikin alokasi sumber daya salah, korupsi, atau perilaku rent-seeking, di mana aktor ngejar keuntungan pribadi atau perusahaan ketimbang hasil optimal buat masyarakat. Ekonom ngecek insentif, risiko, dan sistem monitoring buat nge-reduce biaya ini.Dari sisi sosial, konflik kepentingan ngaruh ke hubungan, jaringan, dan kepercayaan dalam masyarakat atau organisasi. Kalau orang curiga orang lain cuma mikirin keuntungan pribadi, kerjasama bisa rontok, social capital menipis, dan aksi kolektif jadi susah.Dari sisi budaya, persepsi dan toleransi terhadap konflik kepentingan beda-beda tiap masyarakat. Norma, nilai, dan pengalaman historis pengaruhin seberapa serius konflik itu dianggap, seberapa terbuka dibahas, dan seberapa rela orang ngejalanin self-regulation atau diawasi. Ada budaya yang lebih tekankan loyalitas keluarga/grup ketimbang aturan abstrak, jadi konflik kepentingan bisa malah “norma yang diterima”.Singkatnya, konflik kepentingan nggak cuma masalah hukum atau administrasi; konflik kepentingan nyangkut banget ama ideologi, etika, politik, ekonomi, struktur sosial, dan budaya. Buat paham total, kita harus integrasi semua perspektif ini biar kelihatan gimana perilaku manusia, desain institusi, dan norma masyarakat saling mempengaruhi.Kita mulai bahas konflik kepentingan dari perspektif Mark Bevir dalam Governance: A Very Short Introduction (2014, Oxford University Press), bayangin governance itu bukan cuma soal “memerintah” atau “mengatur”, tapi lebih kayak jaring rumit interaksi antara banyak aktor, institusi, dan jaringan, yang tanggungjawabnya tumpang-tindih dan kadang punya kepentingan yang saling bertabrakan. Ini penting banget buat paham konflik kepentingan, karena fokusnya pindah dari aturan formal ke hubungan dan insentif yang pengaruhin keputusan.Bevir bilang, tatakelola modern makin jaringan, desentralisasi, dan melibatkan aktor publik maupun swasta. Di kondisi kayak gini, konflik kepentingan nggak selalu muncul karena melanggar hukum, tapi lebih karena ketegangan alami antara kepentingan pribadi atau organisasi dan tanggung jawab publik. Misal, pejabat publik bikin kebijakan tapi punya hubungan sama perusahaan yang terdampak kebijakan itu, atau anggota dewan BUMN punya ikatan finansial sama perusahaan partner atau kompetitor.Dari kacamata Bevir, konflik kepentingan bukan cuma soal etika, tapi fitur struktural dari governance berbasis jaringan. Konflik baru jadi masalah serius kalau transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan lemah. Governance yang baik, menurut dia, butuh mekanisme untuk selarasin insentif individu dengan kepentingan publik, misal disclosure, recusal, audit independen, dan monitoring multi-stakeholder. Tanpa ini, bahkan orang yang niat baik bisa nggak sengaja bikin kepentingan pribadi ngefek ke keputusan publik, dan bikin risiko kepercayaan, legitimasi, dan fairness.Dari framework Bevir, konflik kepentingan paling tepat dipahami sebagai interaksi dinamis antara aktor, insentif mereka, dan jaringan governance tempat mereka beroperasi, bukan cuma pelanggaran aturan formal.Governance, kita terjemahkan sebagai Tatakelola, sebagaimana dijelaskan oleh Mark Bevir, merujuk pada cara-cara yang semakin kompleks dan saling terhubung dalam mengatur masyarakat yang tak lagi terbatas pada otoritas tradisional negara. Ia berpendapat bahwa governance tak lagi hanya berada di tangan institusi pemerintahan, tetapi lahir dari jaringan, kemitraan, serta interaksi antara lembaga publik, perusahaan swasta, kelompok masyarakat sipil, dan aktor internasional. Menurutnya, governance mencerminkan pergeseran dari struktur komando yang hierarkis menuju bentuk pengaturan yang lebih terdesentralisasi dan bersifat negosiasi, dimana banyak aktor berpartisipasi dalam membentuk kebijakan, menyediakan layanan, dan mempengaruhi keputusan kolektif. Bevir juga menekankan bahwa governance tak dapat dipahami sekadar sebagai metode teknis untuk mengelola masyarakat; ia berakar pada keyakinan, tradisi, dan narasi yang digunakan berbagai aktor untuk membenarkan otoritas dan tindakan mereka. Dengan demikian, governance menjadi bidang yang dinamis, ditentukan bukan hanya oleh tata kelembagaan, melainkan pula oleh gagasan yang saling bersaing, makna yang diperdebatkan, dan penafsiran ulang praktik politik yang terus berlangsung dalam dunia yang terus berubah.
Mark Bevir menjelaskan bahwa organisational governance merujuk pada proses internal, norma, dan bentuk pengawasan yang mengatur bagaimana sebuah organisasi—baik publik, privat, maupun non-profit—mengelola dan mengendalikan aktivitasnya. Baginya, organisational governance menyoroti logika mikro dari akuntabilitas dan pengambilan keputusan di dalam institusi, memperlihatkan bagaimana keyakinan dan tradisi membentuk perilaku aktor yang bekerja dalam suatu lingkungan organisasi tertentu.Corporate governance, sebaliknya, berfokus pada mekanisme yang mengatur bagaimana perusahaan privat diarahkan, diawasi, dan dimintai pertanggungjawaban, terutama terkait pemegang saham, dewan direksi, dan kerangka regulasi. Bevir melihat corporate governance sebagai contoh bagaimana rasionalitas pasar dan gagasan neoliberal mempengaruhi governance, menekankan bahwa konsep ini mencerminkan pergeseran menuju efisiensi, transparansi, dan kontrol manajerial dalam sektor korporasi.
Public governance, pada saat yang sama, berkaitan dengan cara negara dan lembaga sektor publik menyediakan layanan, melaksanakan kebijakan, dan berinteraksi dengan warga negara. Bevir berpendapat bahwa public governance memperlihatkan kemunduran birokrasi hierarkis dan munculnya jaringan, outsourcing, serta kemitraan yang mengaburkan batas antara negara dan masyarakat. Di sinilah transformasi negara modern paling tampak.
Global governance merujuk pada struktur, norma, dan institusi yang memandu pengambilan keputusan kolektif pada skala global tanpa adanya satu “pemerintah dunia”. Bevir menekankan bahwa global governance muncul melalui organisasi internasional, perusahaan multinasional, gerakan masyarakat sipil transnasional, dan jaringan informal. Konsep ini menggambarkan bagaimana globalisasi mendistribusikan ulang otoritas dari negara-bangsa menuju pengaturan multilevel yang bersifat poli-sentris.
Good governance, akhirnya, merupakan konsep normatif yang menggambarkan bagaimana governance seharusnya dijalankan. Bevir mencatat bahwa istilah ini sering digunakan oleh lembaga internasional, institusi pembangunan, dan pemerintah yang berorientasi reformasi untuk mempromosikan nilai-nilai seperti transparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan rule of law. Namun ia juga menegaskan bahwa “good governance” bukan standar netral; ia mencerminkan narasi tertentu—seringkali neoliberal atau manajerial—yang mewakili gagasan yang diperdebatkan tentang apa yang dianggap baik atau sah dalam pemerintahan.
Bevir membedakan kelima istilah ini bukan sebagai sistem teori yang terpisah, melainkan sebagai penerapan dari pergeseran besar dari government yang hierarkis menuju governance yang terdesentralisasi. Masing-masing istilah menyoroti satu medan tempat governance beroperasi—organisasi, korporasi, negara, dunia global, atau agenda reformasi normatif—namun semuanya berbagi tema dasar yang sama: jaringan, narasi, dan otoritas yang tersebar.
Corporate governance di Indonesia menunjukkan bagaimana oligarki menguasai ekonomi sekaligus politik. Banyak perusahaan besar dikuasai konglomerat yang punya kekuatan ekonomi sedemikian rupa sehingga bisa “nego langsung” dengan pembuat kebijakan, mengatur regulasi atau proyek negara sesuai kepentingan mereka. Pandangan Bevir menekankan bahwa corporate governance bukan cuma soal pertanggungjawaban kepada pemegang saham, tapi juga soal narasi dan budaya institusional yang dipakai perusahaan untuk mempengaruhi kebijakan. Di Indonesia, jaringan kekuasaan korporasi ini sering bertemu dengan jaringan politik, menciptakan konflik kepentingan dimana lembaga pengawas lebih condong melayani elite ketimbang publik.
Organisational governance membantu memahami bagaimana birokrasi, kementerian, dan lembaga publik mengatur proses internal dan pengambilan keputusan. Di birokrasi Indonesia, jaringan informal, patronase, dan tradisi hierarkis kerap lebih menentukan perilaku organisasi daripada aturan formal. Bevir akan bilang, pola ini menunjukkan bahwa governance sangat dipengaruhi narasi dan norma institusional: reformasi prosedur boleh ada di kertas, tapi praktik nyata ditentukan budaya, loyalitas, dan diskresi pejabat. Konflik kepentingan muncul ketika prioritas organisasi bertabrakan dengan kewajiban publik, memberi ruang bagi elite untuk mendorong agenda pribadi atau politik dengan dalih rutinitas administrasi.
Public governance memberi lensa untuk menilai hubungan negara-masyarakat dan penyediaan layanan publik. Di Indonesia, desentralisasi dan jaringan governance membuat elite lokal, broker politik, dan pemegang kekuasaan informal semakin berpengaruh atas kebijakan publik. Kerangka Bevir menekankan bahwa public governance tidak netral; ia adalah arena negosiasi, kontestasi, dan interpretasi. Kebijakan—misal proyek infrastruktur, alokasi anggaran, atau prioritas penegakan hukum—dibentuk bukan hanya oleh aturan resmi, tapi juga oleh tarik-menarik kepentingan yang bersaing, sehingga konflik kepentingan dan ketimpangan kekuasaan menjadi kunci untuk memahami hasil kebijakan.
Global governance memberi wawasan tentang interaksi Indonesia dengan lembaga internasional, jaringan perdagangan, dan gerakan masyarakat sipil transnasional. Bevir menekankan bahwa otoritas kini poli-sentris, dan keputusan dipengaruhi norma global, tekanan investasi asing, dan perjanjian multilateral. Di Indonesia, ini menjelaskan kenapa beberapa reformasi ekonomi atau hukum sejalan dengan ekspektasi internasional, sementara isu lokal seperti kesenjangan atau hak masyarakat adat sering diabaikan. Konflik muncul ketika negara menyeimbangkan kewajiban terhadap aktor global dengan akuntabilitas domestik, menyingkap ketegangan antara kedaulatan, kebijakan neoliberal, dan tuntutan sosial lokal.
Good governance menyediakan standar normatif untuk menilai apakah struktur governance Indonesia memenuhi prinsip akuntabilitas, transparansi, partisipasi, dan rule of law. Bevir mengingatkan bahwa “good governance” adalah narasi yang diperdebatkan: sering dipromosikan lembaga internasional atau elite reformis, tapi praktiknya bisa menutupi penegakan selektif, penguasaan institusi, atau reformasi teknokratis yang tak menuntaskan ketimpangan struktural. Lensa ini memungkinkan kita menilai apakah upaya anti-korupsi, reformasi regulasi, atau perubahan prosedural benar-benar meningkatkan keadilan, atau sekadar memperkuat jaringan kekuasaan yang sudah ada.
Secara keseluruhan, tipologi governance Bevir memungkinkan pembacaan multi-lapisan masalah Indonesia. Corporate dan organisational governance menunjukkan bagaimana jaringan internal dan ekonomi memberi ruang bagi dominasi elite, public governance menyoroti negosiasi dan diskresi dalam implementasi kebijakan, global governance menempatkan isu lokal dalam konteks internasional, dan good governance memberi standar normatif untuk mengukur apakah reformasi benar-benar mengurangi konflik kepentingan dan pengaruh jaringan kekuasaan informal. Dengan perspektif ini, kita bisa menelusuri bagaimana oligarki, patronase, dan budaya institusi berpotongan untuk membentuk kebijakan, penegakan hukum, dan layanan publik di Indonesia.
Governance sangat berkaitan dengan persoalan konflik kepentingan karena ia mendistribusikan kewenangan kepada banyak aktor yang memiliki tujuan, motivasi, dan loyalitas institusional yang kerap tak sejalan. Mark Bevir menjelaskan bahwa ketika governance bergeser dari negara yang tersentralisasi menuju jaringan aktor publik, privat, dan masyarakat sipil, potensi konflik kepentingan menjadi lebih terlihat, sebab setiap aktor membawa narasi dan rasionalitasnya masing-masing ke dalam proses kebijakan. Dalam hal ini, governance menunjukkan bahwa pengambilan keputusan politik tak lagi berlangsung di ruang tertutup birokrasi negara, tetapi muncul melalui negosiasi, persuasi, dan kontestasi di antara aktor-aktor yang didorong oleh profit, ideologi, tugas publik, atau sekadar mempertahankan organisasi. Bagi Bevir, konflik kepentingan bukanlah anomali, tetapi ciri struktural dari sistem governance yang sejak awal bersifat plural dan terfragmentasi.
Dalam pandangan Bevir, kekuasaan dalam governance tak lagi dijalankan sepenuhnya dari atas ke bawah sebagaimana dalam model negara modern ala Weber. Kekuasaan beredar melalui jaringan, kemitraan, dan pengaturan kolaboratif, dimana para aktor saling mempengaruhi melalui keahlian, sumber daya, wacana, dan norma bersama. Ia menekankan bahwa jaringan tak menghapus kekuasaan, tetapi mendistribusikannya kembali, acapkali dengan cara yang membuat otoritas menjadi kurang kentara namun lebih meresap, karena hubungan informal dan narasi memainkan peran penting dalam menentukan hasil. Oleh sebab itu, Bevir menggeser fokus dari institusi formal menuju kepercayaan dan cerita yang memandu para aktor, menunjukkan bahwa kekuasaan bekerja bukan hanya melalui paksaan, tetapi juga melalui produksi makna.
Mengenai transformasi negara, Bevir menegaskan bahwa negara tidak hilang, tetapi mengalami pembayangan ulang. Governance mencerminkan transformasi dimana negara menyesuaikan diri dengan ekspektasi sosial, tekanan ekonomi, dan pengaruh global dengan cara outsourcing, berkolaborasi, dan berinteraksi dengan aktor non-negara. Transformasi ini bukan sekadar pelemahan negara; ia menunjukkan perubahan cara negara memerintah—dari kontrol hierarkis menuju bentuk koordinasi yang kompleks dan dinegosiasikan. Dalam pandangan Bevir, negara modern menjadi salah satu simpul dalam jaringan governance yang lebih luas, yang sekaligus membentuk dan dibentuk oleh ide serta praktik aktor lainnya.
Revisi KUHAP 2025 dapat dibaca melalui kacamata governance ala Mark Bevir sebagai pergeseran dari otoritas negara yang hierarkis menuju jejaring kekuasaan yang kompleks, berlapis, dan penuh narasi yang saling bersaing. Dari perspektif ini, perdebatan mengenai revisi tersebut bukan semata persoalan hukum, tetapi juga pertarungan antara berbagai aktor—lembaga negara, elite politik, birokrasi hukum, hingga kekuatan informal—yang berusaha membentuk aturan prosedural yang nantinya mengatur seluruh administrasi peradilan pidana. Governance, dalam arti Bevir, membantu menunjukkan bahwa reformasi hukum tak pernah netral; ia selalu memuat keyakinan, tradisi, dan rasionalitas politik tertentu yang menguntungkan sebagian aktor dan membatasi yang lainnya.
Konflik kepentingan terlihat jelas ketika revisi memperluas atau memusatkan kewenangan prosedural pada institusi yang sendiri dekat dengan jaringan politik. Dengan memberikan lebih banyak diskresi kepada penyidik, jaksa, atau kepolisian, KUHAP 2025 berpotensi memperkuat dominasi aktor yang agenda institusionalnya tidak selalu sejalan dengan kepentingan publik. Teori Bevir menunjukkan bahwa ketika governance tersebar ke banyak pusat pengaruh, aturan formal sering kali menutupi pergulatan yang lebih dalam antara narasi-narasi yang bersaing—seperti keamanan, efisiensi, kontrol politik, atau akuntabilitas—yang pada akhirnya menentukan bagaimana hukum dijalankan. Dari sudut pandang ini, revisi dapat dipahami sebagai upaya sejumlah institusi mempertahankan otoritas interpretatif dan tradisi organisasional mereka, meskipun tradisi itu membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan.
Ketimpangan kekuasaan dalam institusi penegak hukum Indonesia semakin jelas ketika governance menggantikan model negara komando tunggal. Alih-alih satu negara yang solid, sistem hukum beroperasi sebagai jaringan lembaga yang interaksinya dibentuk oleh relasi informal, patronase, kepentingan birokrasi, dan aliansi politik. Kerangka Bevir menegaskan bahwa kekuasaan dalam konteks ini tidak hanya bekerja melalui undang-undang, tetapi juga melalui narasi—bagaimana suatu institusi membenarkan perannya, bagaimana aktor politik mengemas “ketertiban umum”, dan bagaimana prosedur hukum ditafsirkan oleh mereka yang memegang kendali operasional. Revisi KUHAP berisiko memperbesar ketimpangan ini dengan memberikan alat prosedural kepada institusi yang sudah dominan dalam jejaring governance, sehingga mereka dapat mengarahkan penyidikan, menentukan penahanan, dan menegosiasikan hasil sesuai pandangan organisasional mereka.
Dari sudut governance, revisi KUHAP 2025 juga memperlihatkan bahwa negara telah mengalami transformasi. Negara tak lagi tampil sebagai penjamin netral keadilan, melainkan sebagai salah satu simpul dalam jaringan governance yang lebih luas, tempat kepentingan politik, insentif birokrasi, dan elite informal ikut mempengaruhi prosesnya. Transformasi ini menimbulkan masalah transparansi dan akuntabilitas, karena governance berbasis jaringan kerap membuat tanggung jawab menjadi kabur: keputusan terlihat birokratis, padahal di baliknya dipengaruhi oleh negosiasi yang tak terlihat publik. Dengan demikian, revisi ini bukan sekadar pembaruan hukum, melainkan langkah institusional dalam perebutan kekuasaan interpretatif dimana lembaga penegak hukum berupaya memperkuat posisi mereka dalam lanskap governance.
Pada akhirnya, gagasan Bevir membantu kita melihat bahwa masalah utamanya bukan sekadar apakah KUHAP 2025 tersusun dengan rapi secara teknis; tetapi apakah struktur governance yang mengelilingi implementasinya mampu mencegah konsentrasi kekuasaan, meredam konflik kepentingan, dan memastikan bahwa praktik hukum dipandu oleh narasi demokratis, bukan kepentingan instansi. Tanpa pembenahan dinamika struktural ini, reformasi hukum justru berisiko menjadi alat untuk mempertahankan ketimpangan yang sudah ada.

