Dalam The Love Poems of Rumi (diterjemahkan Deepak Chopra ke dalam English), Rumi dengan indah menangkap makna Cinta:I desire you more than food and drink.[Aku mendambakanmu melebihi makanan dan minuman.]My body, my senses, my mind hunger for your taste.[Tubuhku, inderaku, dan pikiranku dahaga akan hadirmu.]I can sense your presence in my heart, although you belong to all the world.[Kehadiranmu terasa dalam relung hatiku, meski engkau milik seluruh dunia.]I wait with silent passion for one gesture, one glance from you.[Aku menunggu dengan hasrat yang sunyi untuk sebuah gerak, satu lirikan darimu.]Dalam puisi ini, Rumi mengekspresikan intensitas dan kedalaman cinta, baik spiritual maupun romantis. Sang penyair menyampaikan bahwa keinginannya terhadap sang kekasih melebihi kebutuhan fisik dasar seperti makanan dan minuman, menunjukkan bahwa cinta itu sendiri yang menyehatkan jiwa. Dengan mengatakan bahwa sang kekasih hadir di hati meski milik seluruh dunia, Rumi menyoroti sifat paradoksal cinta: cinta sangat personal namun sekaligus universal. Kerinduan terhadap satu gerak atau tatapan menunjukkan fokus emosional yang mendalam dan pengabdian yang dapat dibangkitkan oleh cinta, menampilkan cinta sebagai hasrat yang sunyi sekaligus kekuatan transformatif yang menghidupkan jiwa. Pada akhirnya, puisi ini menangkap cinta sebagai pengalaman yang menyeluruh dan melampaui, yang menumbuhkan dan meninggikan diri melebihi kehidupan biasa.Dari perspektif Islam, Cinta itu lebih dari sekadar perasaan baper sama gebetan atau pasangan. Cinta itu menghubungkan hati manusia bukan cuma dengan orang lain, tapi yang terpenting dengan Allah. Bentuk cinta paling tinggi itu, cinta kepada Allah, yang bikin kita jadi orang baik, adil, dan peduli terhadap semua makhluk. Cinta antar-manusia—ke keluarga, teman, atau pasangan—baru kerasa meaningful kalau didasari iman dan sesuai ajaran Allah. Jadi cinta itu kayak power-up spiritual dan moral, cermin sifat-sifat Allah, sekaligus pengingat kalau keterhubungan itu amanah. Tapi Islam juga ngajarin cinta harus balance: rasa kagak boleh kebablasan, nafsu kudu terkontrol, attachment dikasih bumbu kerendahan hati. Dengan begitu, cinta bukan cuma rasa di hati, tapi ibadah nyata, komitmen buat adil, dan cara ngerasain kasih sayang serta kehadiran Allah tiap hari.Dalam Secrets of Divine Love: A Spiritual Journey into the Heart of Islam (2020, Naulit Publishing House), A. Helwa menerangkan bahwa Allah merupakan asal dan sebab dari cinta dengan menggambarkan-Nya sebagai sumber dari segala kasih sayang, rahmat, kerinduan, dan kelembutan yang mengalir ke dalam seluruh ciptaan. Helwa menulis dengan keyakinan bahwa cinta bukan sekadar salah satu sifat Allah, melainkan denyut hidup dari seluruh eksistensi, sebab segala sesuatu yang bernapas, bergerak, berharap, atau mencari keindahan sebenarnya sedang merespons—secara sadar atau tidak—pancaran Cinta Ilahi yang menopang setiap atom di alam semesta.Helwa berpendapat bahwa kemampuan manusia untuk mencintai merupakan cerminan dari napas Ilahi yang ditiupkan ke dalam jiwa, sehingga kerinduan kita akan kedekatan, kebersamaan, dan kasih sayang sebenarnya adalah kerinduan terdalam kepada Dia Yang menciptakan kita dari rahmat-Nya. Melalui renungannya, ia menegaskan bahwa cinta Allah mendahului keberadaan kita, menyelubungi hidup kita, dan tetap ada meski kita penuh kekurangan, karena Allah tak mencintai kita karena kesempurnaan kita, melainkan karena Dia Mahapengasih tanpa batas.Dengan demikian, cinta bukanlah ciptaan manusia, melainkan warisan Ilahi; dan setiap perilaku yang lembut, pemaaf, atau penuh kasih yang kita lakukan, hanyalah gema kecil dari cinta tanpa batas yang menjadi asal-usul kita. Helwa memposisikan Allah sebagai Kekasih Pertama dan Sumber Abadi dari segala cinta, yang menuntun manusia kembali kepada-Nya melalui rasa cinta yang menyatukan hati manusia.Helwa menegaskan bahwa manusia membutuhkan Cinta Allah dengan cara yang serupa—bahkan lebih dalam—daripada kebutuhan manusia untuk beribadah. Ia menjelaskan bahwa ibadah bukanlah kewajiban yang Allah tetapkan demi keuntungan-Nya, tetapi sebuah jalan yang dirancang untuk menyembuhkan, menata, dan menyempurnakan diri kita. Dalam pandangannya, hati manusia diciptakan dengan kerinduan bawaan terhadap Cinta Ilahi, dan tanpa hubungan ini jiwa menjadi gelisah, terpecah, dan kekurangan gizi secara spiritual.Helwa menekankan bahwa sebagaimana tubuh membutuhkan udara agar hidup, hati manusia membutuhkan Cinta Allah untuk benar-benar hidup. Ia menulis bahwa setiap bentuk ibadah—baik itu shalat, zikir, maupun ketertundukan—pada akhirnya merupakan ekspresi dari kebutuhan kita akan kedekatan Ilahi, bukan pertunjukan untuk “mendapatkan” ridha Allah. Bagi Helwa, ibadah adalah bahasa yang digunakan jiwa untuk kembali kepada Dia Yang menjadi tujuan cinta penciptaannya, dan tanpa hubungan ini manusia berjalan dalam kehidupan dengan dahaga batin yang tak pernah terpuaskan.Helwa memandang bahwa kebutuhan manusia terhadap Cinta Allah bukanlah kiasan, melainkan kebutuhan yang bersifat eksistensial. Kita beribadah karena kita membutuhkan Allah lebih dari apa pun, dan melalui cinta inilah manusia menemukan tujuan, ketenangan, tempat kembali, serta kesempurnaan jati diri.Helwa menjelaskan bahwa manusia sering mendefinisikan diri mereka melalui peran eksternal—semisal pekerjaan, posisi keluarga, atau status sosial—padahal semua kategori itu hanyalah bayangan sementara, bukan inti diri yang sesungguhnya. Menurut Helwa, realitas terdalam manusia bukanlah tubuh yang berubah atau pikiran yang datang dan pergi, melainkan jiwa yang dihidupkan oleh napas Allah sendiri.Helwa menegaskan bahwa identitas sejati kita berakar pada konsep Qur’ani, bahwa kitalah makhluk yang dimuliakan oleh Allah, dibentuk dengan rahmat-Nya dan dititipi tujuan hidup. Ia menulis bahwa sebelum kita menjadi apa pun di dunia, kitalah jiwa yang pernah berdiri di hadapan Sang Pencipta, bersaksi tentang keesaan-Nya di alam azali. Hal ini menunjukkan bahwa nilai diri kita tak dapat diperoleh atau dikurangi oleh pengalaman duniawi; nilai itu melekat, diberikan oleh Allah yang menciptakan kita dengan kehendak yang penuh makna.Helwa berpendapat bahwa seseorang takkan benar-benar memahami cinta sebelum memahami jati dirinya sebagai makhluk yang diciptakan dari cinta itu sendiri. Menurutnya, ketika seseorang menyadari bahwa jiwa mereka berasal dari napas Allah, mereka akan memahami bahwa cinta bukan sesuatu di luar diri yang harus dikejar-kejar, melainkan substansi dasar yang menjadi bahan penciptaan diri mereka. Dengan menemukan siapa diri kita pada tingkat jiwa, kita menyadari bahwa kita diciptakan oleh cinta, dipelihara oleh cinta, dan pada akhirnya kembali kepada Sumber cinta tersebut.Helwa menekankan bahwa banyak penderitaan manusia berakar dari lupa akan identitas Ilahi ini. Ketika manusia mendefinisikan diri melalui kegagalan duniawi atau rasa rendah diri, mereka menjauhkan hati dari kenyataan bahwa mereka dicintai Allah secara inheren. Kelalaian ini memunculkan kekosongan batin yang sering diisi dengan pencarian validasi, hubungan romantis, atau pencapaian—namun semuanya tetap tak mampu memenuhi kerinduan hati yang pada dasarnya diciptakan untuk Cinta Ilahi. Dengan mengingat “siapa kita,” kita merebut kembali kesadaran bahwa nilai diri kita tak dapat ditawar; ia berakar pada cinta dari Dia yang membentuk kita.Dengan demikian, Cinta Ilahi hanya akan benar-benar mengubah hidup seseorang ketika ia mengenali dirinya sebagai jiwa yang dicintai oleh Penciptanya. Memahami identitas sejati kita merupakan pintu masuk yang memungkinkan cinta Allah menyembuhkan, membimbing, dan menerangi setiap dimensi kehidupan kita.Dalam Secrets of Divine Love, Helwa menjelaskan “Kekuatan Shukr” sebagai kekuatan spiritual yang mengubah hati dengan membangunkannya terhadap kehadiran, kemurahan, dan kedekatan Allah. Ia menerangkan bahwa rasa syukur bukan sekadar respons sopan terhadap nikmat, tetapi tindakan mendalam untuk menyadari bahwa segala hal yang kita miliki—napas, tubuh, waktu, kesempatan, bahkan ujian sekalipun—adalah anugerah yang diletakkan dengan lembut dalam hidup kita oleh rahmat Ilahi.Helwa berpendapat bahwa syukur melebarkan hati, membuatnya mampu melihat bentuk-bentuk rahmat yang lembut, yang sering luput dari perhatian. Ketika seseorang melatih rasa syukur, hatinya bergerak dari rasa kurang menuju rasa cukup, dari ketakutan menuju kepercayaan, dari fokus pada diri menuju kesadaran yang berpusat kepada Allah. Ia menekankan bahwa bahkan dalam kesulitan, syukur membantu seorang mukmin memahami bahwa hikmah Allah selalu bekerja, dan setiap ujian membawa pintu tersembunyi menuju pertumbuhan spiritual.Lebih jauh, ia menyoroti bahwa syukur adalah pintu menuju cinta, karena semakin kita menyadari karunia-karunia Allah, semakin alami hati kita tumbuh mencintai Dia yang memberi tanpa batas. Melalui syukur, ibadah terasa lebih manis, kesabaran menjadi lebih ringan, dan hubungan seseorang dengan Allah semakin mendalam dan tulus. Helwa menyimpulkan bahwa syukur memiliki kekuatan besar karena syukur itu mengubah hal yang biasa menjadi momen-momen ajaib penuh dzikir, menyelaraskan jiwa dengan harapan, kerendahan hati, dan cinta Ilahi.Helwa membahas konsep “Ego” sebagai lapisan diri yang terfokus pada pengakuan duniawi, rasa takut, perbandingan, dan keinginan mengendalikan. Ia menjelaskan bahwa ego hidup dalam jarak dan pemisahan—mengidentifikasi diri melalui gelar, pencapaian, penampilan, dan persetujuan sosial, alih-alih menyadari asal-usul jiwa yang sesungguhnya dalam Cinta Ilahi. Menurut Helwa, ego sering membuat manusia percaya bahwa cinta harus diperoleh, dimenangkan, atau dimiliki, padahal cinta sejatinya adalah sesuatu yang melekat pada diri kita dan terus-menerus diterima dari Allah.Helwa menekankan bahwa ego dapat mendistorsi cinta dengan menjadikannya bersyarat. Misalnya, seseorang mungkin mencintai hanya ketika merasa aman, dikagumi, atau dicintai kembali, dan menarik diri saat merasa terancam, frustrasi, atau kecewa. Kondisionalitas ini, menurutnya, cerminan kebutuhan ego yang didorong rasa takut untuk melindungi diri, bukan cerminan dari keadaan alami jiwa, yang sesungguhnya telah terbenam dalam Cinta Ilahi.Ia menjelaskan bahwa pertumbuhan spiritual membutuhkan pengenalan dan pelunakan ego, sehingga hati dapat merasakan cinta yang tak bersyarat. Dengan melampaui batasan ego, manusia mulai memahami bahwa cinta sejati—Cinta Ilahi—tak perlu diperoleh, luas, dan penuh pengampunan. Helwa menegaskan bahwa ketika ego mengecil, hati terbuka, dan kapasitas seseorang untuk mencintai diri sendiri, orang lain, dan pada akhirnya Allah, semakin dalam. Intinya, menghadapi ego adalah kunci untuk menumbuhkan cinta sejati yang mencerminkan cinta Allah yang tak terbatas dan tak bersyarat.Helwa menyampaikan pesan yang langsung dan menenangkan: setiap manusia dicintai Allah secara inheren, terlepas dari kesalahan, kegagalan, atau perasaan tak layak. Ia menjelaskan bahwa cinta Allah tak bergantung pada pencapaian, kesempurnaan moral, atau status sosial kita; sebaliknya, cinta-Nya bersifat tak terbatas, konstan, dan melekat pada keberadaan kita. Helwa menekankan bahwa Cinta Ilahi inilah sumber dari segala bentuk cinta lainnya, termasuk kemampuan kita dalam mencintai diri sendiri, orang lain, bahkan kehidupan itu sendiri.Ia menyoroti bahwa banyak penderitaan manusia muncul karena lupa akan kebenaran dasar ini. Manusia sering mencari pengakuan, kasih sayang, atau persetujuan dari orang lain karena mereka belum benar-benar memahami kepastian dicintai Allah tanpa syarat. Menurut Helwa, menyadari “engkau dicintai” bersifat transformatif karena menata kembali hati ke keadaan alaminya: merasa dimiliki, aman, dan terpenuhi secara spiritual.Lebih jauh, Helwa menjelaskan bahwa menerima Cinta Ilahi memungkinkan manusia melampaui rasa takut, rasa bersalah, dan dorongan ego. Ketika seseorang benar-benar meyakini bahwa mereka dicintai Allah, hubungan mereka menjadi kurang bergantung pada balasan atau kontrol, dan lebih berakar pada kasih sayang, empati, dan kemurahan hati. Ia memandang pengakuan ini sebagai fondasi spiritual yang sejati: untuk mengetahui bahwa dicintai bukanlah sesuatu yang harus diperoleh, tetapi kenyataan yang menopang setiap napas, setiap momen, dan setiap pilihan kita. Intinya, terlepas dari keadaan duniawi, pergulatan identitas, atau keraguan batin, setiap jiwa senantiasa digenggam dan dicintai oleh Sang Ilahi.Pesan utama A. Helwa dalam Secrets of Divine Love adalah bahwa jiwa manusia secara inheren terhubung dengan Cinta Ilahi, dan menyadari hubungan ini merupakan kunci tercapainya pemenuhan spiritual, ketenangan batin, dan hubungan yang autentik. Helwa menekankan bahwa setiap manusia dicintai Allah secara melekat, dan segala kerinduan, keinginan, serta kemampuan untuk mencintai berasal dari sumber Ilahi ini. Ia mendorong pembaca agar melampaui dorongan ego, pengakuan duniawi, dan identitas yang dibentuk oleh ketakutan, sehingga dapat menemukan kembali diri sejati mereka sebagai jiwa yang ditiupkan oleh napas Allah.Menurut Helwa, menyadari bahwa kita dicintai Allah mengubah setiap aspek kehidupan. Hal ini memungkinkan kita mencintai diri sendiri tanpa rasa bersalah, mencintai orang lain tanpa keterikatan atau ekspektasi, dan menyikapi dunia tanpa putus asa atau rasa kekurangan. Cinta Ilahi, tegasnya, tak bersyarat atau bersifat transaksional—ia inti dari keberadaan kita, esensi yang menopang kehidupan, dan kekuatan yang menyembuhkan serta meninggikan hati. Dengan selaras pada cinta ini, manusia merasakan keamanan, tujuan hidup, dan sukacita yang tak bisa diberikan oleh pencapaian duniawi.Intinya, Helwa menempatkan Cinta Ilahi sebagai asal dan tujuan dari eksistensi manusia. Karya ini menyampaikan bahwa setiap bentuk ibadah, pengabdian, dan usaha spiritual pada akhirnya adalah ekspresi dari kebutuhan manusia akan cinta tak terbatas ini dan perjalanan kembali kepada-Nya. Dalam kerangka Helwa, Cinta bukan sekadar emosi—melainkan realitas inti semesta, benang yang mengikat hati manusia kepada Allah, dan prinsip yang mengubah penderitaan menjadi pertumbuhan serta rasa takut menjadi keyakinan.Dalam Islam: The Faith of Love and Happiness (2012, Kube Publishing Ltd), Haidar Bagir ngasih tahu kita kalau Islam itu nggak cuma soal ngikutin ritual doang atau aturan formal belaka, tapi lebih ke jalan buat kedamaian batin, happy secara spiritual, dan hidup beretika. Bagir bilang, cinta itu kunci buat ngertiin Islam yang sesungguhnya—cinta ke Allah sekaligus ke sesama manusia. Kalau prinsip-prinsip kayak kasih sayang, bersyukur, dan tanggungjawab moral bener-bener dijalanin, otomatis kita bakal ngerasain bahagia dan hidup punya makna. Intinya, Islam itu keren, hidup, dan bikin kita bertransformasi diri seraya berharmonisasi dengan lingkungan sekitar, karena praktek agama yang bener kagak bisa lepas dari menebar cinta, kebaikan, dan kebahagiaan sehari-hari.Menurut Haidar Bagir, cinta itu bukan cuma soal perasaan baper atau romantis doang, tapi prinsip dasar yang ngaruh ke segala aspek kehidupan dan praktik spiritual. Cinta itu mulai dari cinta Allah, yang bikin kita bersyukur, rendah hati, dan tanggungjawab secara moral. Dari cinta Allah ini lahir cinta ke sesama: welas asih, empati, dan kepedulian. Bagir bilang cinta itu kekuatan aktif yang bikin kita berperilaku baik, ngerawat hubungan sosial, dan akhirnya ngerasain bahagia yang asli. Jadi, cinta itu bukan cuma perasaan, tapi juga panduan hidup yang ngatur cara kita berinteraksi dengan diri sendiri, orang lain, dan dunia sekitar.Haidar Bagir berpendapat bahwa bahagia itu bukan cuma soal nyari seneng-seneng atau kenyamanan materi, tapi lebih ke rasa puas yang dalem dan tahan lama lntaran hidup yang selaras ama Allah dan etika. Bahagia bakal muncul kalau kita punya hubungan tulus sama Tuhan, tanggungjawab moral, dan kasih sayang ke orang lain. Nah, Bagir bilang bahagia itu enggak bisa dipisahin dari cinta: bahagia sejati muncul kalau hidup kita dipenuhi cinta—cinta ke Allah sekaligus ke sesama. Jadi, kalau cinta ngerajai pikiran, niat, dan tindakan kita, bahagia bakal datang sebagai efek samping hidup yang harmonis dan bermakna, bukan cuma perasaan sesaat atau pencapaian luar doang.Haidar Bagir bilang bahagia yang sejati itu saling nyambung dan muncul kalau kita hidup selaras dengan petunjuk Allah dan kebajikan moral. Cinta jadi kekuatan utama di balik semua rasa bahagia—dimulai dari cinta Allah, yang bikin kita bersyukur, rendah hati, dan damai di hati. Dari cinta Allah ini lahir cinta sesama, yang muncul lewat empati, kasih sayang, dan kepedulian, bikin hubungan sosial kuat dan hati nyaman. Bahagia juga muncul kalau kita belajar puas dan bersyukur atas nikmat Allah, hidup etis dan bertanggungjawab, serta sadar spiritual lewat refleksi, doa, dan mindfulness tentang Allah. Selain itu, kerja yang bermakna dan bantu orang lain bikin hidup berasa punya tujuan dan puas. Bagir nunjukin kalau bahagia itu bukan cuma perasaan sesaat atau pencapaian materi, tapi efek samping alami dari hidup yang penuh cinta, kebajikan, dan selaras sama kehendak Allah.
Haidar Bagir mengemukakan bahwa segala yang ada di dunia ini sebenernya nunjukin cinta Allah dan ngasih pesan buat manusia. Alam, hubungan sama orang lain, bahkan masalah dan tantangan yang kita hadapi, semua itu bentuk cinta Allah buat ngasih arahan, pelajaran, dan bikin kita berkembang. Menurut Bagir, kalau kita bisa nyadar tanda-tanda ini, hidup bakal keliatan penuh makna dan kesempatan buat tumbuh secara spiritual. Cinta di sini nggak cuma soal hubungan pribadi atau sosial, tapi nempel di segala aspek kehidupan, bikin kita bersyukur, mindful, dan hormat sama Allah serta ciptaan-Nya. Kalau bisa ngeliat semua hal sebagai tanda cinta, kita bakal lebih ngehargain hidup, ngerasa damai di hati, dan nyambung dengan Allah serta orang lain.
Menurut Haidar Bagir, melakukan apa yang indah (iḥsān) itu level tertinggi dalam etika dan spiritual, nggak cuma soal ngejalanin kewajiban atau aturan doang. Iḥsān itu artinya bertindak dengan excellence di segala aspek kehidupan, pake cinta, sadar sama Tuhan, dan niat tulus buat berbuat baik. Bagir bilang, iḥsān keliatan dari semua tindakan—besar atau kecil—kayak bersikap baik ke orang lain, ngerjain tanggungjawab dengan serius, dan ngejalanin hidup dengan mindful dan jujur. Jadi, iḥsān bukan cuma soal ritual atau ibadah yang dijalanin mekanis, tapi bikin setiap tindakan kita penuh kecantikan moral dan spiritual. Semua hal yang kita lakuin bisa jadi wujud cinta dan ibadah, bikin hidup kita harmonis dan juga ngefek ke orang sekitar.Haidar Bagir berpendapat, pernikahan itu jadi ujian iḥsān—level tertinggi dalam moral dan spiritual—karena nuntut kita buat nunjukin cinta, sabar, dan gak egois dalam hubungan manusia yang paling deket dan lama. Bagir bilang, pernikahan bakal nunjukin karakter kita, baik sisi baik maupun kelemahan, dan nuntut pasangan buat saling berbuat baik, adil, dan empati, bahkan pas lagi ribut atau susah. Jadi, pernikahan itu arena nyata buat latihan kesadaran spiritual dan tanggungjawab moral, dimana kemampuan kita buat nunjukin cinta Allah lewat tindakan etis selalu diuji. Sukses dalam pernikahan gak cuma soal nyaman atau harmonis, tapi soal usaha konsisten buat ngejaga iḥsān—niat, perilaku, dan saling perhatian yang maksimal.Haidar Bagir ngomongin Hidup Manusia sebagai Perjalanan Cinta, hidup itu jalur agar terus menerus berkembang secara spiritual dan moral, yang pandunya cinta ke Allah dan ke orang lain. Dari lahir sampe meninggal, tiap tahapan hidup ngasih kita kesempatan buat ngerasain, nunjukin, dan ngembangin cinta. Waktu kecil kita nerima cinta dan belajar percaya, remaja itu masa buat eksplorasi hubungan dan belajar empati, sementara dewasa nuntut kita buat jadi bertanggungjawab, welas asih, dan etis. Bagir juga bilang, kesulitan dan penderitaan itu bagian dari perjalanan, yang justru bikin kita tumbuh secara spiritual dan makin ngerti cinta Allah. Jadi, hidup itu bukan sekadar kumpulan kejadian atau pencapaian, tapi ekspedisi penuh makna dimana tiap interaksi dan pengalaman bisa jadi momen buat latihan cinta, kebaikan, dan bahagia sejati. Intinya, hidup manusia itu latihan terus-terusan buat sadar, refine moral, dan beribadah dari hati, dimana cinta jadi perjalanan sekaligus tujuan.
Di dunia ini, manusia membutuhkan dua hal: pertama, perlindungan dan pemeliharaan jiwa; kedua, perawatan dan pemeliharaan tubuh. Pemeliharaan jiwa manusia yang tepat, dicapai melalui pengetahuan dan cinta kepada Allah. Begitu ia terjerumus dalam cinta kepada apa pun selain Tuhan, ia pun runtuh. Tubuh dapat dianggap sebagai alat transportasi belaka dan akan lenyap, sementara jiwa tetap ada. Jiwa harus merawat tubuh sebagaimana seorang haji harus merawat untanya dalam perjalanan ke Mekah; jika ia gagal melakukannya, kafilahnya akan meninggalkannya dan ia akan mati di padang pasir.Kebutuhan tubuh manusia sederhana, hanya terdiri dari tiga hal: makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Namun, di dalam tubuhnya tertanam hawa nafsu dan keinginan jasmani yang perlu dipuaskan. Hasrat dan keinginan tersebut cenderung memberontak terhadap akalnya, yang hanya berkembang di bawah bayang-bayang hawa nafsu, dan perlu dikendalikan oleh hukum-hukum Allah yang diajarkan oleh para nabi. Mengenai dunia yang harus kita hadapi, kita mendapati dunia terbagi menjadi tiga bagian: hewan, tumbuhan, dan mineral. Produk dari ketiganya senantiasa dibutuhkan manusia dan telah berkembang menjadi tiga industri besar—pekerjaan para penenun, tukang bangunan, dan pekerja logam. Sekali lagi, ketiganya memiliki cabang cabangnya sendiri; seperti penjahit, tukang batu, dan pandai besi. Tiada yang bisa sepenuhnya independen satu sama lain, yang memunculkan beragam hubungan dagang dan seringkali berujung pada kebencian, iri hati, kecemburuan, dan penyakit spiritual lainnya. Akibatnya, pertengkaran dan perselisihan terjadi, yang memicu perlunya administrasi politik dan sipil, serta sistem hukum.Dunia ini, panggung, atau pasar, yang dikunjungi para musafir dalam perjalanan mereka menuju tempat lain. Walau banyak hal yang dapat dikemukakan dalam mengutuk dunia, perlu diingat bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang tak termasuk di dalamnya, semisal ilmu dan amal shalih. Seseorang akan membawa serta ilmu yang dimilikinya untuk akhirat. Amal shalihnya telah berlalu, tetapi pengaruhnya tetap menyertai, terutama melalui ibadah yang memungkinkannya agar senantiasa mengingat dan mencintai Rabb-nya. Semua ini dikelompokkan dalam 'amal shalih', yang diwahyukan dalam Al-Qur'an sebagai 'Al-Baqiyatush Shalihat' (amal shalih yang kekal). (QS. Al-Kahfi 18: 46).Ada hal-hal baik di dunia ini, semisal pernikahan, makanan, dan pakaian, yang bakal dapat digunakan dengan hemat oleh orang-orang yang berakal guna membantu mereka mencapai kebahagiaan di akhirat. Hal-hal lain, yang memikat pikiran dan memikat orang beriman untuk mencintai dunia ini dan mengabaikan akhirat, sesungguhnya hal yang keji. Ini disebutkan Rasulullah (ﷺ) dalam sabdanya:“الدنيا ملعونة، ملعون ما فيها إلا ذكر الله وما دعا إليه”“Dunia ini terkutuk, dan terkutuklah segala isinya, kecuali dzikir kepada Allah dan segala sesuatu yang mendekatkan seseorang kepada-Nya.” (dari As-Suyuti dalam Jami’ al-Saghir, meskipun sanadnya lemah, maknanya sesuai dengan prinsip Islam yang menekankan bahwa dunia bersifat fana, dan amal yang membawa kepada Allah (dzikir, ibadah, kebaikan) adalah yang bernilai abadi).

