Sabtu, 22 November 2025

Cinta: Perspektif Islam (2)

Ada sebuah kisah tentang seorang wanita shalihah yang akhirnya menjadi asisten rumah tangga. Ia punya kebiasaan berdoa dengan tekun setiap malam. Suatu malam, majikannya mendengar doa yang ia panjatkan dalam sujudnya. Ia berucap: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan cinta-Mu kepadaku, agar Engkau anugerahkan kepadaku ketekunan ibadah yang semakin mendalam di dalam qalbuku …”
Disaat ia selesai berdoa, sang majikan bertanya: “Bagaimana engkau tahu bahwa Tuhan mencintaimu? Mengapa engkau tak sekadar berkata, ‘Tuhan, aku memohon kepada-Mu dengan cintaku kepada-Mu’?”
Ia menjawab: “Wahai tuanku, kalau bukan karena cinta-Nya kepadaku, mengapa Dia membangunkanku di waktu seperti ini? Kalau bukan karena cinta-Nya kepadaku, mengapa Dia membangunkanku untuk berdiri dalam ṣholat menghadap-Nya? Kalau bukan karena cinta-Nya kepadaku, mengapa Dia menggerakkan bibirku untuk menyeru kepada-Nya?”

Islam sesungguhnya menumbuhkan hubungan penuh cinta dan kerinduan antara manusia dan Tuhan—seperti hubungan antara seorang pecinta dan yang dicintai (ʿāshiq dan maʿshūq).
Salah satu kata yang digunakan al-Qur’an untuk menyatakan cinta adalah wudd, yang dalam bahasa Arab merujuk pada bentuk cinta tertinggi. Kata ini disebut dalam al-Qur’an:

اِنَّ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ سَيَجْعَلُ لَهُمُ الرَّحْمٰنُ وُدًّا

“Sesungguhnya bagi orang-orang yang beriman dan beramal shalih, Tuhan Yang Maha Pengasih akan menciptakan bagi mereka cinta yang abadi.” (QS. Maryam 19:96)

Al-Wadūd—Yang Maha Pemberi wudd—adalah salah satu Asmaul Husna, bermakna Sumber Cinta. Allah telah menganugerahkan kepada manusia kapasitas tak terbatas untuk menumbuhkan cinta.
Dalam sejumlah ayat, Allah menegaskan bahwa cinta seharusnya menjadi dasar hubungan antara manusia dan Tuhan secara timbal balik—kali ini menggunakan kata lain yang bermakna serupa, yaitu ḥubb.
Ikatan cinta yang menyatukan sesama manusia dalam Islam disebut ṣilaturraḥim. Kata ini merupakan gabungan dari ṣilah dan raḥim. Ṣilah berasal dari akar kata yang bermakna “menghubungkan” atau “menyatukan”, ditujukan bagi mereka yang tercerai-berai. Sementara itu, raḥim, yang awalnya bermakna “rahmat”, kemudian berkembang menjadi “rahim”, karena anak dalam kandungan diliputi oleh cinta dan kasih sayang.

Dalam hal ini, Rasulullah (ﷺ) meriwayatkan dalam sebuah ḥadits qudsī: Allah berfirman, “Akulah ar-Raḥmān. Aku menciptakan Raḥim (yakni hubungan kekeluargaan) dan menurunkan namanya dari Nama-Ku. Maka siapa yang menjaganya, Aku akan menjaga hubungan dengannya; dan siapa yang memutuskannya, Aku akan memutuskan hubungan dengannya.”

Islam tuh sebenernya ngenalin konsep cinta dari awal banget, dan bikin cinta jadi pusat hubungan manusia dengan Allah, diri sendiri, dan orang lain. Bukti paling jelas ada di Surah Al-Fatihah dan Basmalah. Nama Allah, Ar-Rahman (Maha Pengasih) dan Ar-Rahim (Maha Penyayang), muncul di sini, nunjukin kalau cinta dan kasih sayang Allah itu kualitas pertama yang harus dikenalin ke orang beriman.
Dengan menyebut nama-Nya di awal tiap surah (kecuali satu, yakni di awal Surah At-Taubah) dan tiap kegiatan ibadah, Islam ngajarin kalau setiap tindakan, niat, dan interaksi harus dibayangin sama cinta dan kasih sayang Tuhan. Jadi, cinta di Islam nggak cuma soal perasaan atau romantisme, tapi prinsip utama yang ngatur hidup spiritual, moral, dan sosial. Cinta kepada Allah bikin kita bersyukur dan beribadah, yang otomatis bikin kita berperilaku etis, peduli sama orang lain, dan hidup seimbang di dunia.
Menurut ulama semisal Haidar Bagir, Qur’an terus nunjukin kasih sayang dan cinta sebagai prinsip utama hidup manusia, nunjukin kalau dari wahyu pertama, Islam ngenalin cinta sebagai asal-usul sekaligus tujuan hidup manusia. Jadi, Islam ngenalin followers-nya ke pemahaman cinta yang lengkap: cinta kepada Allah sebagai sumber, dan cinta manusia, perilaku etis, serta kebahagiaan spiritual sebagai wujud nyata dari cinta itu.

Didalam Al-Qur’an, Surah At-Taubah (Surah 9) unik karena satu-satunya surah yang kagak diawali Basmalah. Para ulama klasik dan kontemporer bilang, hal ini punya makna spiritual dan teologis penting. Berbeda sama surah lain, At-Taubah kebanyakan ngomongin konsekuensi buat kemunafikan, ngelanggar perjanjian, dan konfrontasi sama kaum musyrik. Nada surah ini lebih serius dan penuh peringatan, fokus ke tanggungjawab, keadilan, dan otoritas Allah. Makanya, bukaannya nggak pake frase rahmat dan kasih sayang Allah, karena tema utamanya soal peringatan dan tanggungjawab.
Beberapa ulama juga bilang, penghilangan ini sendiri jadi pengingat spiritual: Allah selalu penyayang, tapi ada konteks—terutama soal tanggungjawab moral dan kolektif—dimana manusia kudu nyadar dulu soal keadilan, kebenaran, dan tanggungjawab. Jadi, Al-Qur’an nunjukin kalo cinta dan kasih sayang Allah berimbang sama keadilan dan keseriusan etis, ngajarin kita kalau hidup itu tentang gabungan antara kasih sayang dan tanggungjawab.
Ketiadaan Basmalah di Surah At-Taubah bisa banget dikaitin sama tema cinta dengan cara yang terdalam. Cinta dalam Islam itu nggak cuma soal kasih sayang, perhatian, dan kenyamanan, tapi juga soal tanggungjawab, keadilan, dan etika buat memegang kebenaran. Surah At-Taubah ngomongin hal serius: ngelanggar janji, kemunafikan, dan tanggungjawab kolektif buat keadilan. Jadi, kagak diawalin Basmalah sebagai pengingat kalau cinta Allah itu enggak ngehapus prinsip moral dan keseriusan beretika.
Intinya, hal ini ngajarin kalau cinta sejati—baik cinta kepada Allah maupun cinta kepada manusia—mesti jujur, berani, dan bertanggungjawab. Cinta Allah, walaupun penuh rahmat, kadang muncul lewat ketegasan, peringatan, dan pertanggungjawaban, apalagi buat nuntun manusia ke jalan yang benar. Islam nunjukin kalau cinta itu berimbang: sekaligus penyayang dan menenangkan, tapi juga nuntut integritas, keberanian moral, dan komitmen keadilan. Ketiadaan Basmalah di At-Taubah ngejelasin sisi ganda cinta ini—rahmat dan keadilan, kasih dan tanggungjawab—ngasih pelajaran kalau cinta sejati nggak pernah naif; selalu sadar, bertanggungjawab, dan demi kebaikan yang lebih tinggi.

Menurut Henry Bayman dalam The Secret of Islam: Love & Law (2003, North Atlantic Books), cinta dan hukum dalam Islam itu bukan dua kubu yang saling sikut seperti fans K-Pop lagi perang tagar, tapi dua elemen yang saling nyawiji dan bareng-bareng nge-lead kita menuju Allah. Bayman melihat syariah itu bukan polisi rohani yang galak, tapi semacam pagar pengaman yang bikin hati kita tetep waras, ego tetep jinak, dan arena batin kita bersih dari drama internal, biar cinta kepada Allah dan sesama tumbuh tanpa jadi ilusi atau baper berlebihan.
Ia juga ngegas bahwa cinta tanpa aturan itu gampang banget berubah jadi mellow nggak jelas, sementara aturan tanpa cinta itu jadinya kayak robot: hidup, tapi gak ada ruh. Etika Islam yang “paripurna” justru muncul ketika ketaatan lahiriah pada syariah diisi oleh niat yang penuh cinta, keikhlasan, dan zikir. Bayman ngibaratin hubungan keduanya seperti lampu dan cahaya: hukum itu lampunya, cinta itu cahayanya. Tanpa lampu, cahaya bakal nyebar tanpa arah; tanpa cahaya, lampu cuma jadi pajangan. Dengan paduan ini, Islam, kata Bayman, menawarkan visi moral yang utuh, dimana karakter seorang mukmin kebentuk oleh kedisiplinan sekaligus kelembutan, sehingga ia bisa tampil sebagai pribadi yang penuh rahmat, rendah hati, dan matang secara spiritual.

Dalam pandangan Bayman, manusia itu sejajar banget di mata Allah—kagak ada yang lebih “VIP” secara eksistensial, karena semua hak dan martabat manusia datang dari Sumber Ilahi yang sama. Bayman bilang: kesetaraan di depan hukum manusia itu bukan asal-asalan, melainkan dibangun di atas kesetaraan di depan hukum Tuhan.
Lebih keren lagi, ia nggak cuma ngomong soal hukum kaku: kesadaran moral (“conscience”) kita—yang bikin kita tahu mana hak kita dan hak orang lain—tumbuh dari cinta. Bahkan kalau kita nggak baper sama seseorang (atau makhluk lain), kita tetap harus memperlakukan mereka “seolah-olah mencintai mereka”, karena hukum Tuhan menuntut penghormatan universal ke semua ciptaan-Nya.
Dan di balik semua itu, Bayman menggarisbawahi bahwa kemanusiaan sejati bukan tentang jadi “lebih unggul” dari orang lain, tapi justru soal menyadari tanggung jawab moral: kita punya hak, tapi juga punya kewajiban menjaga hak orang lain.

Buat Bayman, kesetaraan manusia itu bukan aturan sosial doang, bukan juga formalitas hukum; kesetaraan manusia itu fakta spiritual. Semua manusia berasal dari napas Ilahi yang sama, berdiri di depan Hukum Tuhan dengan status yang sama rata—jadi kagak ada istilah “anak emas” atau “VIP eksistensial”. Nah, di titik ini Bayman masuk: semua itu cuma masuk akal kalau fondasinya adalah cinta. Karena cinta, menurutnya, adalah akar dari hati nurani, empati, dan moralitas. Ketika cinta itu pondasinya, kesetaraan itu otomatis jadi ekspresi cinta dalam hubungan antar manusia.
Bayman juga ngejelasin bahwa kesetaraan baru kerasa maknanya kalau kita isi dengan cinta. Karena cinta itu yang bikin kita ngeh bahwa orang lain punya nilai, meskipun kita nggak suka atau nggak klik sama dia. Bahkan kalau nggak ada rasa sama sekali, hukum Tuhan tetap nyuruh: “perlakukan mereka seolah-olah engkau mencintai mereka.” Dari sini kesetaraan nggak cuma jadi teori, tapi jadi tindakan nyata. Dalam pandangan Bayman, kalau kita ngaku cinta sama Tuhan, kita wajib cinta sama ciptaan-Nya—dan semua manusia itu bagian dari ciptaan itu. Jadi kesetaraan itu pada dasarnya pernyataan cinta Tuhan yang merata ke semua.

Bila memakai kacamata Henry Bayman, dari buku The Secret of Islam: Love & Law, Islam itu gak ngebedain suku, ras, atau warna kulit. Semua manusia berasal dari sumber Ilahi yang sama, dan nilai moral atau spiritual seseorang gak ditentuin dari keturunan atau warna kulit, tapi dari perilaku, karakter, dan kesadaran mereka sama Tuhan. Syariah, kata Bayman, ngejamin prinsip ini: semua orang setara di mata Allah dan masing-masing bertanggungjawab atas tindakannya.
Bayman juga ngehubungin kesetaraan ini dengan cinta. Kalau kita cinta sama Allah, otomatis harus cinta sama ciptaan-Nya tanpa milih-milih. Diskriminasi karena fisik atau asal-usul, menurutnya, berarti gagal paham inti etis dan spiritual Islam. Moralitas Islam yang sejati itu universal: berlaku buat semua orang, dan menuntut kita memperlakukan setiap individu dengan respect, fairness, dan compassion, nggak peduli latar belakangnya. Jadi, nolak hierarki suku atau ras itu bukan cuma ideal sosial, tetapi merupakan ekspresi langsung dari cinta Ilahi dan tanggungjawab etis.

Islam itu ngeh kalau dunia penuh perbedaan agama, tapi tetap punya prinsip moral dan spiritual yang universal. Bayman bilang, Al-Qur’an dan tradisi Nabi ngajarin kita buat respek sama agama lain, karena petunjuk itu datangnya dari Tuhan, dan tiap orang tetap bertanggung jawab atas pilihan moralnya sendiri. Islam nggak nyuruh semua orang harus percaya sama hal yang sama, tapi lebih ngeremek hati nurani kita: cinta, etika, dan tanggung jawab moral, sambil tetap adil dan penuh kasih ke semua orang, apapun keyakinannya.
Bayman juga lihat syariah sebagai struktur yang ngarahin dorongan manusia secara etis, bukan paksa-memaksa. Dalam konteks beda agama, artinya umat Muslim harus tetep menghormati martabat dan hak orang lain, sambil tetep setia ama jalan spiritualnya sendiri. Kunci utama? Cinta. Kalau bener-bener mau beretika sama pemeluk agama lain, hendaknya lahir dari cinta dan respek, bukan dari takut, benci, atau prasangka. Jadi menurut Bayman, inti etika Islam itu inklusif tapi prinsipil: ngakuin perbedaan tanpa kompromi soal moral, dan ngajarin interaksi yang adil, penuh kasih, dan manusiawi.

Adanya perbedaan agama enggak bikin umat Islam lepas dari tanggungjawab dakwah, tapi justru nentuin cara etis bagaimana dakwah itu dijalankan. Bayman tegas: dakwah itu bukan soal paksaan, intimidasi, atau ngejailin orang supaya ikut Islam, tapi ajakan yang lahir dari cinta, respek, dan contoh nyata. Karena tiap orang punya kebebasan moral, Islam ngajarin umatnya buat nyampein pesannya lewat kearifan, kasih sayang, dan perilaku etis, bukan lewat rasa-takut atau tekanan.
Bayman juga hubungin ini sama prinsip cinta yang jadi dasar syariah. Dengan memperlakukan orang lain dengan martabat dan keadilan, dan mencontohkan rahmat serta integritas moral, umat Islam bisa ngajak orang lain mengenal Islam secara alami. Pesona Islam muncul karena nilai-nilai etika dan spiritualnya, bukan karena paksaan. Jadi, keberagaman agama itu bukan hambatan buat dakwah, tapi pengingat bahwa setiap interaksi hendaklah berlandaskan cinta, kesabaran, dan kepedulian tulus terhadap spiritual well-being orang lain.

Cinta kepada sesama manusia gak bisa dipisahkan dari tanggungjawab etis dan perlindungan hidup. Islam ngajarin bahwa setiap nyawa manusia punya martabat dan nilai-nilai yang melekat, dan ketidakadilan, penindasan, atau pembunuhan adalah pelanggaran mutlak terhadap hukum Tuhan dan moral. Cinta sejati gak bisa berdampingan dengan nyakitin orang: cinta itu nuntut kita ngeh hak mereka, respek keberadaan mereka, dan lawan segala bentuk kekejaman. Maka, pembunuhan warga sipil tak berdosa, semisal kasus konflik Israel-Palestina, jelas dikecam total. Ini bukan cuma soal politik atau sosial, tapi kegagalan moral dan spiritual yang bertentangan sama inti cinta dan etika dalam Islam.
Cinta itu bukan melankolis atau pasif, tapi harus diwujudkan lewat tindakan nyata yang melindungi weell-being orang lain. Supaya bener-bener cinta sama sesama, kita hendaknya bersuara melawan penindasan, bela yang tertindas, dan berjuang demi keadilan. Ajaran moral Islam membedakan antara cinta universal—yang mewajibkan perlindungan, empati, dan tindakan etis—dengan kekerasan yang merusak, menindas, atau membunuh. Jadi, cinta yang etis itu jadi ukuran moral: gak cukup cuma ngerasa sayang di hati, tapi harus terlihat dalam aksi nyata lawan kejahatan dan bela yang gak bersalah.

Dalam cara pandang Islam, cinta itu bukan bumbu tambahan dalam hidup spiritual, tapi justru detak jantungnya. Cinta jadi energi yang menghubungkan makhluk dengan Sang Pencipta, dan bikin kita sadar bahwa setiap manusia punya “segel Ilahi” dalam dirinya. Segala aturan, batasan, dan etika dalam Islam ujungnya buat menjaga dan mengangkat cinta ini, biar nggak jatuh jadi hawa nafsu yang murahan, tapi naik jadi hubungan yang penuh rahmat dan keadilan. Jadi, cinta dalam Islam itu sekaligus bahan bakar dan tujuan perjalanan hidup seorang mukmin.
Mencintai manusia lain dalam Islam berarti menghormati napas suci yang Allah tiupkan dalam diri mereka. Karenanya, persamaan derajat, harga diri, dan kasih sayang itu bukan slogan manis, tapi kewajiban moral yang serius. Kita enggak mencintai orang karena sukunya, warna kulitnya, atau “kelompoknya,” tapi karena mereka punya asal yang sama, potensi moral yang sama, dan kelemahan manusiawi yang sama. Cinta jadi landasan etika—karena menyakiti orang lain sama saja mengkhianati amanah suci dari Allah.

Tapi cinta dalam Islam bukan “cinta-cintaan mellow” tanpa batas; ia diatur oleh keadilan dan diarahkan oleh kebenaran. Al-Qur’an ngajarin bahwa cinta sejati kadang menuntut keberanian untuk menolak kezaliman. Islam mengutuk ketidakadilan bukan buat menciptakan perpecahan, tapi karena setiap tindakan yang merusak martabat manusia itu adalah serangan langsung terhadap cinta itu sendiri. Mencintai yang tertindas berarti membela mereka, dan mencintai sang penindas berarti mengajak mereka berhenti dari kejahatan yang merusak jiwa mereka.
Dalam hal perbedaan agama, cinta dalam Islam muncul sebagai ajakan, bukan paksaan. Seorang mukmin dianjurkan berdakwah dengan lembut, bijak, dan penuh penghormatan, karena hati itu nggak bisa dipaksa. Iman hanya berarti kalau dipilih dengan sadar, dan cinta cuma tumbuh kalau ada kebebasan. Karena itu, dakwah sejatinya bentuk peduli: keinginan agar semua orang bisa merasakan rahmat yang sudah dirasakan sang mukmin.

Pada level terdalam, cinta dalam Islam mengingatkan bahwa setiap kisah manusia berjalan di bawah tatapan Yang Maha Penyayang. Saat Muslim berbuat baik, menegakkan keadilan, dan memegang teguh kebenaran, mereka sedang memantulkan cinta Allah di dunia. Dan saat mereka tergelincir, mereka kembali kepada-Nya dengan taubat, yakin bahwa cinta-Nya cukup luas untuk memperbaiki apa pun. Dengan cara itu, Islam menumbuhkan cinta yang bukan naïf, bukan lembek, tapi cukup kuat untuk mengubah diri, dan cukup lembut untuk merangkul dunia.

[Bagian 1]