Selasa, 09 Juli 2024

Ocehan Seruni (14)

"Usai mendengarkan berita dibebaskannya salah seorang tersangka pembunuhan, Cangik bertanya pada Limbuk, 'Oknum polisi yang gak mau bangun dari tempat tidurnya, disebut apa Limbuk?'
'Polisi undercover,' jawab Limbuk."

"Sumber daya manusia merupakan jantung yang berdetak kencang, memompa vitalitas dan kreativitas ke dalam sistem sosial dan ekonomi. Rakyat yang terampil dan terdidik merupakan kelompok ahli yang mendorong inovasi dan pengambilan keputusan, yang mengarahkan bangsa ke tingkat lebih tinggi.
Sumber daya alam ibarat pembuluh vena emas yang mengalir ke seluruh sarira negeri, memberinya kekayaan dan kekuatan. Sumber daya alam berfungsi sebagai lahan subur darimana kemakmuran suatu bangsa tumbuh, memelihara ekonominya dan mendukung rakyatnya.
Sumber daya alam dan manusia bersama-sama membentuk pilar kembar yang menjunjung kekuatan dan stabilitas bangsa, menyokong struktur dan masa depannya. Sumber daya alam merupakan akar yang melabuhkan bangsa, sedang sumber daya manusia adalah ranting-ranting yang menjangkau langit, melambangkan pertumbuhan dan ekspansi, " lanjut Seruni.

"Apa saja hal-hal kunci yang dilakukan para manajer? Julian Birkinshaw dan Ken Mark mengeksplorasi kepemimpinan melalui berbagai model dan prinsip yang menyoroti tindakan dan perilaku penting dari pemimpin yang efektif. Pertama, Birkinshaw dan Mark mengatakan bahwa para manajer membuat keputusan tentang pengalokasian orang dan uang secara efektif. Kebanyakan Pengambilan keputusan tidaklah rasional seperti yang kita harapkan. Kedua, sebagian besar manajemen yang efektif, tentang memotivasi orang lain agar melakukan pekerjaan dan melakukannya secara efektif, jadi apa yang berhasil bagi seseorang, boleh jadi tak sukses terhadap orang berikutnya. Yang terakhir, manajemen melibatkan upaya mewujudkan perubahan. Dalam organisasi besar, terdapat cara kerja yang standar dan rutin, yang membuat semua orang merasa nyaman, sehingga dengan menjaga agar segala sesuatunya tetap berjalan sesuai arah, merupakan hal yang teramat penting, namun sebaliknya, mengalihkan fokus ke arah lain akan menyulitkan manajemen.
Kita sering membedakan antara manajemen dan kepemimpinan, dimana manajemen adalah tentang menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain, dan kepemimpinan ialah proses pengaruh sosial. Setiap eksekutif seyogyanya benar-benar menguasai kedua-duanya, lantaran merupakan aktivitas yang saling melengkapi. Namun menjadi pemimpin yang efektif itu sulit, sebab, pada akhirnya tergantung pada bagaimana orang lain memandangmu. Oleh karenanya, agar menjadi pemimpin yang baik, dikau perlu mengenal diri sendiri sebaik dirimu mengenal orang-orangmu. Sebagiannya tentang kecerdasan emosional. Pula, tentang beroleh feedback orang lain.

Sebelum kita lanjut dengan perbincangan tentang 'sumber daya manusia dan alam', daku hendak mengajakmu mencermati fenomena yang menarik dalam ranah perpolitikan Indonesia. Terdapat fenomena selebriti dan komedian yang dilamar menjadi calon kepala daerah atau legislator di Indonesia. Isu beraneka-segi ini, punya beragam implikasi dan mencerminkan tren yang lebih luas dalam politik dan masyarakat.
Selebriti dan komedian kerap memiliki tingkat pengakuan dan popularitas publik yang tinggi. Basis penggemarnya yang telah mapan, dapat menjadi basis pemilih yang menarik, karenanya mereka lebih unggul bila dibandingkan dengan politisi tradisional yang, boleh jadi, tak begitu dikenal. Karisma dan kemampuan mereka dalam berkomunikasi dengan publik, menjadikannya kandidat yang atraktif. Hal ini sangat penting di daerah-daerah dimana daya tarik personal dan keterlibatan langsung dengan konstituen, sangat penting bagi keberhasilan politik.

John Street melakukan kajian tentang hubungan rumit antara politik dan berbagai bentuk budaya populer. Ia berargumen bahwa politik dan budaya populer terkait erat, sehingga menantang batas-batas tradisional yang memisahkan keduanya. Ia menegaskan bahwa budaya populer tak semata mencerminkan realitas politik, melainkan pula secara aktif membentuk dan mempengaruhi gagasan, perilaku, dan identitas politik. Street menyoroti bahwa budaya populer, melalui musik, televisi, film, dan media lainnya, berfungsi sebagai platform yang kuat bagi ekspresi politik. Para artis dan entertainer acapkali menggunakan platform mereka mengomentari isu-isu politik, memobilisasi opini publik, dan mengadvokasi perubahan sosial.
Street mengeksplorasi bagaimana budaya populer dapat melibatkan masyarakat secara politik, terutama mereka yang mungkin tak tertarik pada proses politik formal. Ia berpendapat bahwa melalui satire, entertainment, dan storytelling, budaya populer dapat membuat politik lebih mudah diakses dan relevan, sehingga mendorong keterlibatan masyarakat yang lebih besar.
Ia menganalisis bagaimana pesan-pesan politik tertanam dalam berbagai bentuk budaya populer, kerap dengan cara yang lembut. Misalnya, film, acara televisi, dan musik, dapat membawa ideologi dan nilai-nilai politik implisit yang mempengaruhi keyakinan dan sikap penonton. Street juga membahas bagaimana selebriti dan ikon budaya pop seringkali menjadi tokoh politik. Persona dan dukungan publik mereka dapat mempengaruhi opini publik, kampanye politik, dan membentuk perdebatan kebijakan.
Street menunjukkan bahwa kampanye dan gerakan politik adakalanya mengadopsi estetika dan strategi budaya populer agar menarik khalayak yang lebih luas, sehingga mengaburkan batas antara wacana politik dan hiburan.

Para selebriti berpengaruh dan punya jangkauan yang amat berarti, menjadikannya efektif dalam menarik perhatian terhadap isu-isu politik dan memobilisasi opini publik. Street mengkaji bagaimana platform mereka dapat digunakan menyoroti isu-isu dan mempengaruhi perdebatan politik. Selebriti kadangkala berdampak budaya dan sosial yang besar, sehingga memungkinkan mereka meningkatkan kesadaran dan mendorong perbincangan mengenai masalah politik dengan cara yang, barangkali, tak dapat dilakukan oleh politisi tradisional.
Street secara kritis mengevaluasi dampak keterlibatan selebriti dalam politik. Ia mempertanyakan apakah hal ini mengarah pada keterlibatan politik yang berarti atau hanya berfungsi mengkomersialkan dan mengabaikan isu-isu politik yang lebih teruk. Ia mengeksplorasi kompleksitas dan kontradiksi dalam politik selebriti, termasuk risiko penyederhanaan isu politik yang berlebihan dan potensi mengurangi keterlibatan politik hanya sekedar fandom (lebih cenderung pada fans atau penggemarnya).

Akan tetapi, Street tak mengambil sikap yang menentukan apakah selebriti harus terus berkecimpung dalam politik, melainkan menawarkan analisis yang berbeda mengenai kompleksitas dan konsekuensi keterlibatan mereka. Ia menyadari bahwa para selebriti dapat memainkan peran beragam dalam masyarakat dan bahwa keterlibatan mereka dalam politik hanyalah salah satu jalur potensial. Ia mengakui bahwa selebriti dapat berkontribusi kepada masyarakat dengan berbagai cara, termasuk melalui seni, hiburan, dan filantropi, tanpa mesti terlibat dalam advokasi politik.
Salah satu kekhawatiran utama yang diangkat oleh Street ialah potensi keterlibatan selebriti mengabaikan isu-isu politik yang lebih lajat, mengurangi perdebatan yang kompleks menjadi narasi yang sederhana atau dangkal. Ada risiko mengkomodifikasi gerakan politik ketika selebriti ikut mengambil peran, yang berpotensi merusak keaslian dan sifat aktivisme politik di tingkat akar rumput. Nuansa pendekatan ini, memungkinkan pemahaman yang lebih mendalam tentang peran budaya populer dalam membentuk lanskap politik.

Lauren Berlant dan Jennifer Hall mengkaji titik temu antara budaya selebriti dan kehidupan politik, mengeksplorasi bagaimana gagasan 'star power (kekuatan bintang)' mempengaruhi persepsi publik dan lanskap politik. Berlant dan Hall mendefinisikan 'kekuatan bintang' sebagai modal budaya dan pengaruh para selebriti, yang dapat dimanfaatkan merajai wacana dan aksi politik. Kekuatan ini muncul dari kombinasi visibilitas, personal branding, dan kemampuan membangkitkan hubungan emosional dengan publik. Mereka berargumentasi bahwa selebriti telah mahir membangun personal brands yang dapat diterima oleh beragam audiens. Branding ini tak cuma sebatas hiburan, namun meluas ke ranah politik dimana selebriti dapat memanfaatkan pengaruhnya merajai opini publik dan diskusi kebijakan. Mereka juga menekankan bahwa selebriti acapkali membangkitkan respons emosional yang kuat, yang dapat diwujudkan dalam keterlibatan politik. Kemampuan mereka membangkitkan empati, kemarahan, atau harapan, dapat memobilisasi dukungan publik terhadap tujuan atau kandidat politik.
Berlant dan Hall membahas fenomena politisi yang mengadopsi taktik selebriti, termasuk pengembangan persona publik yang memprioritaskan karisma, keterhubungan, dan pemahaman media dibandingkan kualifikasi politik tradisional. Kaburnya batas-batas ini telah mengubah cara penilaian kredibilitas politik oleh masyarakat. Mereka menyoroti bahwa keterampilan media, seperti komunikasi yang efektif, kehadiran media sosial, dan manajemen citra, sangatlah penting bagi keberhasilan politik. Politisi yang unggul dalam bidang-bidang ini dapat memperoleh perhatian dan pengaruh yang besar, serupa dengan rekan-rekan selebriti mereka.
Berlant dan Hall berpendapat bahwa dinamika selebriti-politisi mempengaruhi cara pemilih memandang dan mengevaluasi kandidat politik. Citra dan daya tarik emosional dapat menutupi posisi dan keahlian pembuat kebijakan, sehingga berpotensi mengarah pada pemahaman yang lebih dangkal mengenai isu-isu politik. Mereka melihat politisi yang beralih dari hiburan ke politik, seperti Ronald Reagan dan Arnold Schwarzenegger. Berlant dan Hall menganalisis bagaimana tokoh-tokoh ini memanfaatkan status selebriti mereka untuk mendapatkan daya tarik politik dan membentuk persona publik mereka.
Kekhawatiran penting yang muncul ialah ketegangan antara keterlibatan politik yang autentik dan tindakan performatif yang dirancang agar menarik perhatian media. Mereka mempertanyakan apakah fokus pada gambar dan tontonan mengurangi wacana dan tindakan politik yang bermakna. Mereka mengeksplorasi implikasi etis dari penggabungan budaya selebriti dengan politik, termasuk potensi manipulasi, terkikisnya norma-norma demokrasi, dan komodifikasi kehidupan politik. Berlant dan Hall berpendapat bahwa meskipun keterlibatan selebriti dalam politik dapat mendemokratisasi akses terhadap wacana politik, namun menimbulkan pula kekhawatiran mengenai kualitas dan kedalaman peran demokrasi.

Mark Wheeler mengeksplorasi meningkatnya persinggungan antara budaya selebriti dan proses politik. Wheeler berpendapat bahwa batasan antara budaya selebriti dan kehidupan politik semakin kabur. Ia mengeksplorasi bagaimana politisi mengadopsi strategi selebriti guna membangun persona publik mereka, sementara para selebriti terlibat dalam aktivisme politik dan bahkan mencalonkan diri. Para selebriti menggunakan platform mereka mempromosikan pesan-pesan politik, seringkali mengabaikan saluran media tradisional. Pergeseran ini mengubah dinamika kampanye politik dan keterlibatan pemilih.
Wheeler mengkaji bagaimana politik selebriti berkontribusi terhadap kebangkitan politik identitas dan populisme. Selebriti kerapkali menyelaraskan diri dengan tujuan sosial atau politik tertentu, sesuai dengan demografi tertentu. Keselarasan ini dapat mengarah pada bentuk populisme dimana karisma pribadi dan kehadiran media menjadi lebih penting ketimbang kualifikasi politik tradisional.

Wheeler menyoroti peran penting media sosial dalam politik selebriti. Platform seperti Twitter dan Instagram memungkinkan selebriti berkomunikasi langsung dengan para followernya, sehingga membangun hubungan yang lebih intim dan langsung. Keterlibatan langsung ini membentuk kembali wacana politik dan mempengaruhi opini publik. Ia mengeksplorasi bagaimana para selebriti mendukung kandidat atau tujuan politik, memanfaatkan ketenaran mereka mempengaruhi opini publik. Wheeler menganalisis berbagai kasus dimana dukungan selebriti berdampak signifikan terhadap pemilu dan keputusan kebijakan.
Wheeler mengajukan pertanyaan tentang implikasi etis dan legitimasi keterlibatan selebriti dalam politik. Ia meneliti apakah selebriti berpengetahuan dan berpengalaman yang diperlukan untuk mempengaruhi isu-isu politik dan potensi konsekuensi dari memprioritaskan daya tarik selebriti dibandingkan diskusi kebijakan substantif.
Ia memasukkan banyak studi kasus dan contoh selebriti yang terjun ke dunia politik atau menggunakan pengaruhnya mempromosikan tujuan politik. Studi kasus ini memberikan gambaran rinci tentang bagaimana selebriti menavigasi lanskap politik dan dampak keterlibatan mereka. Wheeler mendalami konsep aktivisme selebriti, dimana selebriti menggunakan ketenarannya mengadvokasi isu-isu sosial atau politik. Ia mengeksplorasi motivasi di balik aktivisme selebriti, strategi yang digunakan, dan dampaknya terhadap kesadaran publik dan perubahan kebijakan.

Analisis Wheeler tak terbatas pada Amerika Serikat; ia juga mempertimbangkan peran politik selebriti di negara lain. Ia membahas bagaimana para selebriti global terlibat dalam aktivitas politik dan berbagai dampaknya dalam konteks politik dan budaya yang berbeda. Wheeler menganalisis peran para selebriti dalam politik di beberapa negara, dengan fokus pada negara demokrasi Barat dan wilayah lain dimana pengaruh selebriti berdampak yang signifikan.
Wheeler membahas bagaimana AS menjadi pionir dalam menggabungkan budaya selebriti dengan politik. Ia mengeksplorasi kasus-kasus seperti Ronald Reagan, Arnold Schwarzenegger, dan Donald Trump, yang semuanya beralih dari status selebriti ke peran politik yang penting. Pengaruh Hollywood, peran media dalam membentuk persona politik, dan dampak dukungan selebriti terhadap pemilu dan pengambilan kebijakan merupakan tema utama topik ini.
Wheeler mengkaji lanskap politik di Inggris, dimana pengaruh selebriti sangat berarti namun cara kerjanya berbeda dibanding Amerika Serikat. Ia mengamati tokoh-tokoh seperti Boris Johnson, yang memanfaatkan persona medianya memajukan karier politiknya, dan selebriti yang terlibat dalam aktivisme politik. Peran media Inggris, interaksi antara hiburan dan politik, dan dampak budaya selebriti terhadap persepsi publik terhadap politisi merupakan tema-tema kuncinya.
Italia terkenal karena lanskap politiknya yang unik, dimana tokoh-tokoh seperti Silvio Berlusconi mengaburkan batasan antara raja media, selebriti, dan politisi. Integrasi kepemilikan media dan kekuatan politik, penggunaan daya tarik selebriti dalam kampanye politik, dan pengaruh media terhadap politik Italia merupakan tema utama topik ini.

Wheeler membahas peran selebriti dalam politik Prancis, dimana ikon budaya sering terlibat dalam perdebatan dan aktivisme politik. Ia mengamati bagaimana intelektual publik dan selebriti mempengaruhi wacana politik. Tradisi selebriti intelektual Perancis, peran media dalam membentuk opini publik, dan dampak dukungan selebriti terhadap gerakan politik berperan sebagai tema utama.
Di Jerman, Wheeler mengeksplorasi bagaimana selebriti turut dalam advokasi politik dan dampak budaya selebriti terhadap komunikasi politik. Pendekatan yang hati-hati terhadap politik selebriti di Jerman, peran media dalam keterlibatan politik, dan pengaruh aktivisme selebriti terhadap isu-isu sosial merupakan tema yang kuat.
Wheeler menganalisis peran penting para selebriti Bollywood dalam politik India, termasuk bagaimana aktor dan aktris beralih ke peran politik atau mendukung tujuan politik. Keterkaitan antara sinema dan politik, pengaruh dukungan selebriti terhadap pemilu, dan peran media dalam mempromosikan pesan-pesan politik melalui selebriti memainkan tema-tema penting.
Wheeler mengamati peran selebriti di Afrika Selatan pasca-apartheid, dimana tokoh-tokoh terkemuka dari industri hiburan ikut dalam aktivisme politik dan advokasi sosial. Pengaruh budaya selebriti terhadap perubahan sosial, peran media dalam komunikasi politik, dan dampak dukungan selebriti terhadap isu-isu politik dan sosial merupakan tema-tema kuncinya.
Di Australia, Wheeler mengkaji bagaimana selebriti mempengaruhi wacana politik dan terlibat dalam advokasi berbagai isu sosial dan politik. Peran selebriti dalam debat publik, dampak media terhadap keterlibatan politik, dan pengaruh budaya selebriti dalam diskusi kebijakan merupakan tema yang cukup menentukan.
Wheeler mengeksplorasi peran selebriti dalam politik Rusia, dimana tokoh-tokoh seperti Vladimir Putin telah memanfaatkan strategi media yang khas dari budaya selebriti guna meningkatkan dukungan politik. Penggunaan media untuk propaganda politik, pengaruh tokoh politik yang mirip selebriti, dan peran dukungan selebriti dalam membentuk opini publik merupakan tema-tema utama.
Wheeler menyinggung berbagai negara Amerika Latin dimana selebriti, khususnya dari industri hiburan, telah memainkan peran penting dalam politik dan gerakan sosial. Dampak dari dukungan selebriti terhadap pemilu, peran media dalam advokasi politik, dan pengaruh budaya selebriti terhadap komunikasi dan aktivisme politik sangatlah signifikan.
Di negara-negara tersebut, Wheeler menekankan peran media dalam mempromosikan budaya selebriti dan integrasinya ke dalam komunikasi politik. Dampak politik selebriti berbeda-beda tergantung konteks budaya, dan negara-negara berbeda menunjukkan cara unik selebriti mempengaruhi wacana politik dan opini publik. Politik selebriti tak semata terjadi di satu wilayah, namun merupakan fenomena global yang mempengaruhi komunikasi dan keterlibatan politik di seluruh dunia.

Wheeler mengkaji berbagai motivasi yang mendorong selebriti terlibat dalam aktivitas politik, mulai dari kepentingan pribadi dan pengaruh sosial hingga tren budaya dan politik yang lebih luas. Banyak selebriti yang termotivasi oleh keyakinan pribadi yang kuat dan keinginan mengadvokasi tujuan sosial atau politik yang mereka sukai. Ketenaran mereka memberi platform untuk meningkatkan kesadaran dan mendorong perubahan pada isu-isu yang sangat mereka pedulikan. Selebriti seperti Bono dan Angelina Jolie menggunakan pengaruh mereka mengadvokasi isu-isu semisal kemiskinan global dan hak-hak pengungsi.
Selebriti sering memasuki dunia politik untuk memperluas pengaruhnya di luar bidang utama mereka. Keterlibatan politik memungkinkan mereka memanfaatkan popularitas mereka melakukan perubahan dalam skala yang lebih besar dan menjangkau khalayak baru. Arnold Schwarzenegger, mantan aktor, menjadi Gubernur California, menggunakan popularitasnya melakukan transisi ke peran yang dapat mempengaruhi kebijakan dan pemerintahan.
Maraknya media sosial dan siklus berita 24 jam telah meningkatkan visibilitas dan ekspektasi terhadap selebriti mengambil sikap publik terhadap isu-isu politik dan sosial. Pergeseran budaya ini seringkali menekan selebriti agar terlibat dalam politik. Selebriti seperti Colin Kaepernick, yang berlutut saat lagu kebangsaannya dikumandangkan untuk memprotes ketidakadilan rasial, terdorong ke dalam aktivisme politik karena tekanan masyarakat dan budaya agar mengambil sikap terhadap isu-isu penting.
Turut dalam berpolitik dapat memberikan selebriti perhatian dan publisitas media yang signifikan, sehingga semakin meningkatkan profil publik dan brand mereka. Keterlibatan politik kerapkali menarik liputan media yang dapat meningkatkan karier dan visibilitas publik mereka. Keterlibatan Donald Trump dalam politik, yang awalnya melalui kampanye tingkat tinggi dan penampilan di media, secara berarti meningkatkan keterpaparannya di hadapan publik, yang berpuncak pada terpilihnya ia sebagai Presiden Amerika Serikat. Meskipun motivasi ini terkadang menimbulkan kritik terhadap oportunisme, motivasi ini menyoroti hubungan simbiosis antara media dan status selebriti dalam keterlibatan politik.
Beberapa selebriti memasuki dunia politik didorong oleh ambisi pribadi dan keinginan untuk meninggalkan warisan abadi. Jabatan atau aktivisme politik memungkinkan mereka membangun dampak yang lebih besar dan bertahan lama dibandingkan yang bisa mereka capai hanya melalui karier di dunia hiburan. Ronald Reagan bertransisi dari karier akting yang sukses ke dunia politik, hingga akhirnya menjadi Presiden Amerika Serikat dan secara signifikan membentuk sejarah politik Amerika.
Selebriti mungkin ikut dalam politik karena frustrasi terhadap sistem politik yang ada dan keyakinan bahwa sistem tersebut dapat membawa perubahan yang diperlukan. Perspektif dan platform unik mereka dapat menawarkan alternatif terhadap aktor politik tradisional. Oprah Winfrey sering menggunakan platformnya bersuara mengenai isu-isu politik, yang mencerminkan rasa frustrasinya terhadap status quo dan keinginan mempengaruhi perubahan.
Selebriti kerap memiliki 'celebrity capital (modal selebriti)' yang amat penting—kombinasi ketenaran, pengaruh, dan sumber daya keuangan—yang dapat mereka manfaatkan guna mencapai tujuan politik. Modal ini dapat menjadi alat yang ampuh dalam kampanye politik dan upaya advokasi. Selebriti semisal George Clooney telah menggunakan sumber daya keuangan dan pengaruhnya untuk mendukung upaya kemanusiaan dan kampanye politik, memanfaatkan modal selebriti mereka demi tujuan politik.
Selebriti seringkali menjadi bagian dari jaringan politik dan sosial yang luas, mendorong keterlibatan politik. Hubungan dengan individu lain yang aktif secara politik dapat menginspirasi dan memfasilitasi keterlibatan mereka dalam politik. Aktivisme politik selebriti semisal Jane Fonda didukung oleh jaringan individu dan organisasi yang berpikiran sama, sehingga memfasilitasi keterlibatan politik mereka.

Wheeler menyajikan analisis mendalam mengenai dampak politik selebriti, dengan mengidentifikasi aspek positif dan negatif. Selebriti sering memberikan perhatian pada isu-isu politik yang mungkin diabaikan. Pengaruh mereka dapat melibatkan khalayak yang lebih luas, khususnya kelompok demografi muda yang mungkin tak mengikuti wacana politik tradisional. Selebriti seperti Leonardo DiCaprio dan Emma Watson menggunakan platform mereka agar meningkatkan kesadaran tentang isu lingkungan dan kesetaraan gender.
Keterlibatan selebriti dapat memobilisasi dukungan publik dan sumber daya bagi tujuan sosial, sehingga menghasilkan perubahan nyata dan meningkatkan visibilitas terhadap isu-isu penting. Dampak global dari kampanye seperti #MeToo, yang didukung oleh selebriti terkenal, membawa perhatian luas terhadap isu-isu pelecehan seksual dan ketidaksetaraan gender.
Selebriti dapat membantu memecah isu-isu politik yang kompleks menjadi narasi yang lebih relevan dan mudah dipahami, sehingga menjadikan politik lebih mudah diakses oleh masyarakat umum. Selebriti yang turut mengambil peran dalam aktivisme iklim acapkali menyederhanakan data ilmiah menjadi informasi yang mudah dicerna, sehingga mendorong partisipasi yang lebih luas dalam gerakan lingkungan.
Keterlibatan selebriti terkadang dapat meningkatkan nilai-nilai demokrasi dengan mendorong keterlibatan masyarakat dan partisipasi pemilih. Kampanye yang mendorong pendaftaran dan partisipasi pemilih, seperti yang didukung oleh selebriti seperti Taylor Swift dan Beyonce, berdampak positif terhadap partisipasi demokratis. Selebriti dapat menggunakan kehadiran media mereka agar mendorong perubahan sosial yang positif dan mempengaruhi opini publik demi mendukung kebijakan progresif. Inisiatif seperti advokasi George Clooney untuk tujuan kemanusiaan di Darfur, telah menarik perhatian dan dukungan media yang signifikan.

Namun di sisi lain, boleh jadi, selebriti terlalu menyederhanakan isu-isu kompleks, mengurangi perdebatan politik menjadi sekadar sound bites (kalimat atau frasa pendek yang mudah diingat, kerap disertakan dalam pidato seorang politisi dan diulang-ulang di koran, televisi, dan radio) dan slogan. Resikonya, kampanye yang didorong oleh selebriti kurang mendalam saat mengatasi berbagai permasalahan, sehingga menghasilkan solusi yang tak lengkap atau dangkal.
Fokus pada persona selebriti dapat menutupi diskusi politik dan analisis kebijakan yang lebih berat, sehingga menjadikan politik cuma sekedar hiburan. Fokus media pada status selebriti Donald Trump acapkali menutupi diskusi kebijakan substantif selama masa kepresidenannya.
Keterlibatan selebriti terkadang dapat melemahkan peran para ahli dan profesional dalam wacana politik, sebab mereka lebih memprioritaskan ketenaran dibanding kualifikasi. Selebriti seperti Gwyneth Paltrow, yang mempromosikan saran-saran tentang kesehatan yang kontroversial, dapat menutupi suara-suara ilmiah dan menyebabkan misinformasi.
Penggunaan taktik selebriti dalam politik dapat mendorong populisme dan demagoguery (aktivitas atau praktik politik yang mencari dukungan dengan memanfaatkan keinginan dan prasangka orang awam, bukan dengan menggunakan argumen rasional), dimana karisma dan kehadiran media menjadi lebih penting daripada kompetensi pembuat kebijakan. Munculnya tokoh-tokoh politik yang sangat bergantung pada daya tarik media dan taktik selebriti, semisal Silvio Berlusconi di Italia, dapat mengarah pada gaya pemerintahan populis.
Keterlibatan selebriti dalam politik menimbulkan pertanyaan etis mengenai legitimasi mereka dan potensi konflik kepentingan. Selebriti yang berkepentingan finansial atau pribadi dalam kebijakan tertentu, dapat mempengaruhi keputusan politik dengan cara yang lebih menguntungkan kepentingan mereka dan bukan kepentingan publik.
Gerakan politik yang digerakkan oleh selebritis mungkin tak punya komitmen jangka panjang, sehingga isu-isu tersebut ditinggalkan begitu minat media berkurang. Kampanye selebriti berumur pendek, sehingga tak dapat mempertahankan momentum atau mencapai perubahan kebijakan yang bertahan lama.

Aspek positif paling berarti dari politik selebriti adalah meningkatnya keterlibatan dan kesadaran politik yang dipupuknya. Selebriti dapat menarik perhatian terhadap isu-isu penting dan memobilisasi khalayak yang mungkin tak terlibat dalam proses politik. Keterlibatan ini dapat meningkatkan partisipasi pemilih, advokasi yang lebih besar bagi tujuan sosial, dan masyarakat yang lebih aktif dan terinformasi.
Kerugian terbesarnya ialah risiko mengkal dan terkikisnya wacana politik yang lebih kritis. Fokus pada tokoh selebriti dan tontonan media dapat menutupi perbincangan tentang kebijakan yang rumit dan melemahkan pentingnya keahlian dalam politik. Tren ini dapat menjadikan politik hanya sekedar hiburan, dimana fokus pada citra dan kehadiran media mengalihkan perhatian dari perdebatan kebijakan substantif dan pengambilan keputusan yang bijak.

Selebriti dan komedian mungkin membawa perspektif segar dan ide-ide inovatif ke dalam politik. Pengalaman dan latar belakang mereka yang beragam dapat berkontribusi pada lanskap politik yang lebih dinamis dan representatif. Keterlibatan mereka dalam politik dapat menarik pemilih muda dan mereka yang mungkin tak terlibat dalam proses politik, sehingga meningkatkan partisipasi dan minat pemilih secara keseluruhan terhadap isu-isu sipil.
Kritikus berpendapat bahwa selebriti dan komedian bisa jadi kurang memiliki pengalaman, keahlian, dan pemahaman mengenai isu-isu politik, ekonomi, dan sosial yang kompleks. Pemerintahan yang efektif memerlukan lebih dari sekedar popularitas dan karisma; pemerintahan yang efektif memerlukan pengetahuan kebijakan dan kemampuan menavigasi seluk-beluk operasional pemerintahan. Terdapat risiko bahwa kandidat-kandidat tersebut akan bergantung pada retorika dan janji-janji populis yang sulit dipenuhi saat menjabat, sehingga berpotensi menimbulkan kekecewaan di kalangan pemilih. Fokus pada tokoh-tokoh dunia hiburan akan menutupi perdebatan kebijakan yang berat dan isu-isu kritis, sehingga mengarah pada wacana politik yang lebih cetek.

Selebriti dan komedian dapat membawa ide-ide inovatif dan pendekatan baru dalam pemecahan masalah, yang berpotensi menghasilkan solusi kreatif terhadap masalah-masalah yang sudah lama ada. Akan tetapi, ada kekhawatiran bahwa selebriti tak memiliki keahlian yang diperlukan guna mengatasi permasalahan kebijakan yang kompleks secara efektif. Keberhasilan mereka dalam politik seringkali bergantung pada kemampuan mereka memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan bagi pemerintahan yang efektif. Fokus pada kandidat selebriti terkadang dapat mengarah pada wacana politik yang lebih sempit, dimana citra dan popularitas menutupi diskusi kebijakan yang substantif. Hal ini dapat mengakibatkan fokus pada keuntungan jangka pendek dan langkah-langkah populis ketimbang solusi jangka panjang dan berkelanjutan.
Selebriti dan komedian kerap berasal dari latarbelakang yang tak berhubungan dengan politik, sehingga dapat mengakibatkan pembelajaran yang sulit disaat mereka masuk arena politik. Pembuatan kebijakan yang efektif memerlukan pemahaman mendalam tentang isu-isu kompleks, termasuk ekonomi, hukum, administrasi publik, dan hubungan internasional. Boleh jadi, para selebriti akan kesulitan memahami kompleksitas ini, sehingga menyebabkan kebijakan yang terlalu disederhanakan atau tidak efektif. Menavigasi seluk-beluk proses legislatif dan struktur birokrasi memerlukan pengalaman dan pengetahuan yang tak dimiliki banyak selebritis. Hal ini dapat menghambat kemampuan mereka membuat undang-undang yang bermakna dan mewakili konstituen mereka secara efektif.
Tanpa keahlian yang diperlukan, politisi selebriti akan menjadi sangat bergantung pada penasihat dan pembantunya, yang dapat menimbulkan masalah tatakelola jika penasihat tersebut tak mempertimbangkan kepentingan terbaik rakyat. Terdapat risiko bahwa kebijakan-kebijakan yang diusulkan oleh politisi selebriti lebih berfokus pada popularitas jangka pendek ketimbang keberlanjutan dan efektivitas jangka panjang.

Fenomena selebriti dan komedian memasuki dunia politik di Indonesia merupakan tren yang kompleks dan terus berkembang, yang mencerminkan perubahan yang lebih luas dalam lanskap politik dan budaya. Meskipun hal ini memberikan peluang meningkatkan keterlibatan pemilih dan keterwakilan yang beragam, juga menimbulkan tantangan terkait tatakelola dan keahlian kebijakan. Daya-tarik politisi selebriti seringkali terletak pada karisma dan persona publik mereka, yang akan mengarahkan fokus pada langgam ketimbang substansi dalam wacana politik. Selebriti menggunakan platform mereka membuat janji-janji besar dan populis yang sulit atau tak mungkin dipenuhi. Hal ini dapat menimbulkan kekecewaan masyarakat jika janji-janji tersebut tak terpenuhi. Ada kecenderungan memprioritaskan citra dan penampilan media dibanding pembahasan kebijakan yang lajat, sehingga dapat mengurangi kualitas perdebatan politik dan pengambilan keputusan. Janji-janji yang tak realistis dan fokus pada pencitraan dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik ketika harapannya tak terpenuhi. Retorika populis dapat berkontribusi pada meningkatnya polarisasi, sebab retorika tersebut kerap melibatkan emosi dan sensasionalisme dibanding mendorong dialog konstruktif dan kompromi.
Selebriti dapat memprioritaskan isu-isu yang sejalan dengan personal publik mereka daripada menangani kebutuhan paling mendesak dari konstituen mereka. Politisi selebriti akan fokus pada isu-isu penting dan ramah media yang sejalan dengan citra publik mereka, mengabaikan bidang-bidang yang kurang glamor namun sama pentingnya, semisal infrastruktur, layanan kesehatan, dan pendidikan. Terdapat risiko bahwa politisi selebriti akan menggunakan posisi mereka memajukan kepentingan pribadi atau karier ketimbang melayani kepentingan publik. Persoalan-persoalan penting namun kurang terlihat mungkin diabaikan demi inisiatif-inisiatif yang lebih menarik perhatian. Pencampuran personal branding selebriti dengan agenda politik dapat menimbulkan konflik kepentingan dan pertanyaan tentang motivasi politisi.

Tatakelola yang efektif memerlukan keterampilan kepemimpinan yang kuat dan kemampuan mengelola organisasi dan sistem yang kompleks, boleh jadi tak dimiliki oleh banyak selebritis. Selebriti kurang berpengalaman dalam kepemimpinan dan manajemen yang diperlukan untuk menjalankan departemen pemerintah atau memimpin upaya legislatif secara efektif. Pengambilan keputusan yang efektif dalam politik kerap melibatkan keseimbangan kepentingan yang bersaing dan pengambilan keputusan yang sulit, terkadang tidak populer. Selebriti akan kesulitan dengan aspek kepemimpinan ini jika mereka terbiasa mengambil keputusan berdasarkan popularitas publik daripada pertimbangan praktis. Kurangnya keterampilan kepemimpinan dan manajemen dapat menyebabkan tatakelola yang tak efektif dan penyampaian layanan publik yang buruk. Selebriti akan kesulitan membuat diri mereka sendiri dan orang lain bertanggungjawab atas keputusan dan tindakan mereka, sehingga menyebabkan kurangnya transparansi dan tanggungjawab dalam tatakelola.

Perhatian media yang dibawa oleh para selebriti terkadang menutupi diskusi dan perdebatan kebijakan yang gawat, sehingga mengalihkan fokus ke topik-topik yang lebih dangkal. Media lebih fokus pada kehidupan pribadi dan skandal politisi selebriti ketimbang posisi kebijakan dan kinerja mereka, sehingga menyebabkan terabaikannya wacana politik. Keterlibatan selebritis dapat mengalihkan fokus wacana publik dari isu-isu kebijakan yang penting ke topik-topik yang lebih sensasional atau jangkat. Pembahasan penting mengenai kebijakan dibayangi oleh berita-berita yang berhubungan dengan selebriti, sehingga menyebabkan masyarakat pemilih kurang terinformasi. Fokus pada hal-hal sepele dapat berkontribusi pada sinisme masyarakat terhadap proses politik dan menurunkan kepercayaan terhadap institusi politik.

Munculnya politisi selebriti terkadang dapat melemahkan nilai-nilai kunci demokrasi dengan mengalihkan fokus dari kualifikasi dan pengetahuan kebijakan ke popularitas dan kehadiran media. Penekanan pada status selebriti ketimbang kualifikasi dapat melemahkan prinsip-prinsip seleksi berdasarkan prestasi dan pemungutan suara. Para pemilih lebih mengharapkan hiburan dan karisma dari para politisi daripada keahlian dan integritas kebijakan, sehingga berpotensi menurunkan kualitas kepemimpinan politik secara keseluruhan. Fokus pada kandidat selebriti dapat mengikis norma-norma pemerintahan demokratis dan mengarah pada budaya politik yang lebih menghargai hiburan dibanding kepemimpinan yang efektif. Keterputusan antara politik yang didorong oleh selebriti dan pemerintahan yang efektif, dapat menyebabkan kekecewaan pemilih dan penurunan partisipasi dalam proses demokrasi.

Meskipun keterlibatan para selebriti dan komedian dalam politik membawa sejumlah manfaat potensial, namun memunculkan pula sejumlah tantangan dan kritik yang berarti. Hal ini mencakup kekhawatiran mengenai kurangnya keahlian dalam bidang kebijakan, fokus pada populisme dan pencitraan, potensi prioritas yang keliru arah, serta benturannya terhadap nilai-nilai demokrasi dan wacana politik. Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, diperlukan keseimbangan yang cermat antara memanfaatkan aspek-aspek positif dari keikutsertaan para selebriti dan memastikan bahwa kepemimpinan politik tetap berlandaskan ilmu, integritas, dan komitmen melayani kepentingan publik.

Perbincangan akan kita teruskan di episode selanjutnya, biidznillah."
Kutipan & Rujukan:
- Julian Birkinshaw & Ken Mark, 25 Need-to-Know MBA Models, 2017, Pearson
- Lauren Berlant & Jennifer Hall, Star Power: The Impact of Branded Celebrity and Politicians, 2023, University of Chicago Press
- John Street, Politics and Popular Culture, 2013, Polity
- Mark Wheeler, Celebrity Politics: Image and Identity in Contemporary Political Communications, 2013, Polity