Kamis, 04 Juli 2024

Ocehan Seruni (9)

"Seorang guru bertanya kepada muridnya, 'Ada yang tahu gak, dimana gajahnya ditemukan?'
Gareng yang suka iseng, unjuk jari, menjawab, 'Gajahnya gedhe banget Bu, gak mungkin ilang!'"

“Pemimpin sipil itu, para arsitek, yang merancang kerangka kebijakan dan strategi keamanan nasional, sementara militer bertindak sebagai pembangun, menyusun dan melaksanakan rencana tersebut dengan presisi dan keahlian. Pengawasan sipil ibarat tukang taman, yang merawat lahan demokrasi dan memastikan bahwa militer tumbuh dalam batas-batas yang ditentukan, sedangkan militer berperan sebagai penjaga, menjaga taman kepentingan nasional dari ancaman luar,” lanjut Seruni.

“Thomas C. Bruneau dan Scott D. Tollefson mengeksplorasi tantangan dan mekanisme untuk memastikan pengawasan demokratis terhadap militer. Mereka menjawab pertanyaan kritis tentang bagaimana masyarakat demokratis dapat mempertahankan kontrol yang efektif atas angkatan bersenjata mereka sambil tetap menghormati perlunya otonomi militer dalam urusan operasional. Mereka membahas kompleksitas hubungan sipil-militer di negara-negara demokratis, menekankan perlunya pendekatan seimbang yang menjaga prinsip-prinsip demokrasi sekaligus menjamin keamanan nasional .Mereka mengacu pada Niccolo Machiavelli, dalam risalahnya yang hebat tentang The Art of Rule, Il Principe, menekankan perlunya para pemimpin sipil berperan dan mengembangkan keahlian dalam hal penggunaan kekuatan bersenjata, tak semata di masa perang, melainkan pula di masa-masa perdamaian.
Berbeda dengan otokrat hipotetis di Eropa pada abad ke-16, para pemimpin demokratis di dunia modern tentu saja harus punya banyak topik, pemikiran, dan subjek kajian selain peperangan saja, namun seorang presiden atau perdana menteri yang mengabaikan topik tersebut, mungkin akan mempertaruhkan keamanan atau kedaulatan negaranya.

Bruneau dan Tollefson menekankan bahwa hanya melalui lembaga-lembaga yang dibentuk secara demokratis, penjaga keamanan negara yang bersenjata dapat terlindungi dari dorongan organisasi mereka mengambil-alih kendali pemerintahan. Hanya melalui perancangan dan penggunaan institusi-institusi ini secara efektif maka masyarakat sipil dapat memperoleh kendali. Sesungguhnya bahwa 'the devil is in the details', dan hanya masyarakat sipil yang memahami rincian tersebut, yang akan mampu merancang dan memelihara institusi sedemikian rupa sehingga dapat memainkan peran sentral dalam proses pembuatan kebijakan.
Para politisi jarang tertarik menjadi ahli di bidang keamanan nasional dan angkatan bersenjata. Selain itu, sebagian besar negara tak memiliki lembaga pegawai negeri yang dapat memberikan kesinambungan dan stabilitas karir bagi para ahli di bidang keamanan dan pertahanan nasional yang akan mendorong mereka mengisi posisi di cabang eksekutif (terutama, namun tak eksklusif, di kementerian pertahanan) dan badan legislatif. Akibatnya, kendali sipil atas angkatan bersenjata di sebagian besar negara demokrasi Dunia Ketiga lebih merupakan sebuah aspirasi daripada kenyataan.

Beragamnya peran dan misi militer saat ini, tak semata meningkatkan kebutuhan akan keterlibatan aktif warga sipil dalam pengambilan keputusan keamanan nasional, namun juga meningkatkan kemungkinan bahwa warga sipil tanpa pengalaman militer dapat mengembangkan keahlian yang diperlukan untuk memainkan peran utama dalam keamanan nasional. Dalam beberapa operasi, seperti dukungan militer kepada otoritas sipil dan analisis intelijen, pakar sipil bisa dengan mudah memiliki pengetahuan yang sama dengan perwira militer. Dalam bidang lain, seperti operasi dukungan perdamaian, tugas militer sangat terspesialisasi pada tingkat operasional, namun implikasi kebijakan luar negeri, ekonomi, dan sosial dari misi tersebut berarti bahwa warga sipil berperan yang sangat penting dalam keberhasilan misi tersebut. Umumnya hanya dalam pertahanan teritorial tradisional dan pada spektrum tempur tingkat tinggi, warga sipil sering kali tak punya pengetahuan dan pengalaman seperti yang dibanggakan oleh anggota militer. Namun para perwira militer sering kali meremehkan keahlian warga sipil yang harus bekerja sama dengan mereka.
Para pembuat kebijakan sipil dan anggota parlemen seyogyanya memenuhi dua syarat jika mereka ingin mengatasi penolakan militer yang kredibel terhadap kerjasama. Yang pertama adalah menarik perhatian dan mendidik masyarakat sipil mengenai isu-isu ini, dan yang kedua, melembagakan sistem pelayanan publik dimana para spesialis ini dapat mendapatkan pekerjaan yang stabil dimana keahlian mereka akan dihargai. Pendidikan warga sipil dapat dicapai melalui pelatihan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pembentukan pegawai negeri sipil yang profesional merupakan sebuah rintangan yang lebih sulit, namun salah satu pendekatan yang bisa dilakukan ialah dengan menawarkan bantuan militer asing kepada negara-negara lain khususnya untuk membangun dan bahkan mendanai sementara posisi-posisi tersebut.

Di tingkat internasional, kendali sipil di negara-negara demokrasi kini sudah menjadi hal yang diharapkan dan menjadikan interaksi dalam urusan militer antara negara-negara kecil dan besar, termasuk Amerika Serikat, menjadi lebih mudah. Banyak misi militer internasional harus mempertimbangkan organisasi-organisasi sipil pemerintah dan non-pemerintah serta media, tugas-tugas yang umumnya lebih mudah dilakukan oleh warga sipil ketimbang perwira militer. Di dalam negeri, keterlibatan dan kendali warga sipil dalam isu-isu pertahanan dapat meningkatkan persepsi legitimasi militer dan mengarah pada perbaikan di bidang-bidang utama semisal pendanaan dan perekrutan. Jika masyarakat di negara demokrasi memandang tentara sebagai sesuatu yang asing dari masyarakat sipil, sisa-sisa dari masa lalu yang buruk, atau tak memiliki tujuan yang nyata, maka tak mengherankan jika angkatan bersenjata mengalami kesulitan dalam merekrut perwira berkualitas tinggi dan memperoleh sumber daya peralatan. pelatihan, dan operasi. Pejabat terpilih di lembaga eksekutif dan legislatif, yang didukung oleh kader penasihat ahli, hendaknya tertarik dan mendapat informasi mengenai keamanan dan pertahanan nasional jika mereka hendak mempertahankan kendali atas organisasi militer yang efektif.
Ketika dunia semakin mengecil melalui jaringan komunikasi global, pasar keuangan yang saling bergantung, dan protokol perdagangan yang semakin kuat, negara-negara demokratis dan lembaga-lembaga dalam negerinya diharapkan bekerjasama lebih erat di bidang militer, melalui operasi dukungan perdamaian dan stabilitas, intelijen bersama, aksi polisi internasional, dan perang koalisi. Untuk bertindak sebagai mitra yang efektif, negara-negara ini hendaknya memiliki etos kontrol sipil yang demokratis atas angkatan bersenjata dan mendukung struktur internal yang memungkinkan mereka melakukan hal tersebut. Semakin baik kita memahami alasan mengapa hubungan sipil-militer bisa berkembang atau gagal, maka semakin baik negara-negara demokrasi lama dan lebih stabil dalam membantu negara-negara demokrasi baru membentuk lembaga-lembaga yang memungkinkan mereka berhasil dalam tugas yang menantang ini.

Hubungan antara institusi demokrasi dan kekuatan militer sangat penting bagi stabilitas, keamanan, dan integritas demokrasi suatu negara. Dalam negara demokrasi, hubungan sipil-militer bertujuan menjaga kontrol sipil yang jelas dimana para pemimpin sipil yang dipilih secara demokratis, punya kendali penuh atas militer guna menegakkan prinsip-prinsip demokrasi dan mencegah militer mendapatkan pengaruh yang tak semestinya dalam urusan politik dan membangun institusi yang kuat, semisal badan legislatif, yang dapat melakukan pengawasan yang efektif terhadap kegiatan dan anggaran militer agar memastikan akuntabilitas dan transparansi.
Peran utama militer semestinya pada pertahanan dan keamanan nasional. Melibatkannya pada peran sipil dapat mengalihkan perhatian dari misi ini dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Keterlibatan militer dalam peran sipil dapat mengarah pada politisasi, dimana militer menjadi alat tujuan politik dan tak menjadi pembela negara yang netral.
Militer dapat memainkan peran yang berharga dalam keadaan darurat, semisal bencana alam, dimana kemampuan logistik dan sumber dayanya dapat memberikan dukungan penting kepada otoritas sipil. Pada saat darurat kesehatan masyarakat, seperti pandemi, kemampuan organisasi militer dapat membantu logistik, dukungan medis, dan menjaga ketertiban. Keterlibatan militer dalam peran sipil hendaknya diatur dengan pedoman yang jelas dan dibatasi pada tugas-tugas sementara dan jelas. Hendaklah ada strategi keluar yang jelas untuk mengembalikan militer ke peran pertahanan utamanya. Bahkan ketika militer menjalankan peran sipil, otoritas sipil seyogyanya mempertahankan kepemimpinan dan kekuasaan pengambilan keputusan untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi ditegakkan. Keterlibatan militer yang berkepanjangan atau ekstensif dalam peran sipil dapat melemahkan kontrol sipil dan menyebabkan terkikisnya institusi demokrasi. Masyarakat mungkin mulai memandang militer sebagai aktor politik, yang dapat merusak reputasi militer sebagai lembaga yang tak memihak dan profesional yang berdedikasi pada pertahanan negara.
Dalam negara demokratis, peran utama militer seharusnya menjaga pertahanan dan keamanan nasional dengan tetap menghormati pengawasan sipil dan supremasi hukum. Meskipun militer mungkin memainkan peran dalam tugas-tugas sipil tertentu, terutama dalam keadaan darurat, keterlibatan tersebut harus dibatasi, bersifat sementara, dan dilakukan di bawah kendali sipil yang ketat untuk mencegah terkikisnya prinsip-prinsip demokrasi dan memastikan bahwa militer tetap menjadi kekuatan yang netral dan profesional yang berdedikasi pada kepentingan sipil. perlindungan negara dan warga negaranya.

Persoalan bolehkah petugas polisi atau personel militer menduduki posisi atau jabatan masyarakat sipil merupakan topik yang kompleks dan sering diperdebatkan. Pendapat mengenai hal ini sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh konteks budaya, hukum, dan politik.
Personil polisi dan militer kerap memiliki keterampilan kepemimpinan yang kuat, disiplin, dan komitmen terhadap pelayanan publik, yang dapat berguna dalam posisi sipil. Pengalaman mereka dalam menangani krisis dan keadaan darurat dapat bermanfaat dalam peran yang memerlukan pengambilan keputusan cepat dan ketenangan di bawah tekanan. Mereka dapat berkontribusi untuk meningkatkan keselamatan dan keamanan publik, terutama dalam peran yang berkaitan dengan manajemen darurat, keselamatan publik, atau pertahanan. Memperbolehkan para veteran atau pensiunan polisi beralih ke peran sipil dapat memfasilitasi reintegrasi mereka ke dalam kehidupan sipil, sehingga memberikan mereka peluang kerja yang berarti. Pengalaman langsung mereka di bidang keamanan dan penegakan hukum dapat memberikan wawasan berharga dalam pembuatan kebijakan, khususnya di bidang-bidang seperti keamanan dalam negeri atau keselamatan publik.

Akan tetapi, ada argumen yang menentang diperbolehkannya personel polisi atau militer menduduki posisi sipil. Ada kekhawatiran mengenai pemisahan yang jelas antara peran militer/polisi dan pemerintahan sipil untuk menghindari pengaruh yang tak semestinya atau militerisasi masyarakat sipil. Pelatihan dan pengalaman mereka dapat menimbulkan bias yang dapat mempengaruhi kinerja mereka dalam peran sipil, khususnya di bidang yang memerlukan netralitas dan keahlian yang berbeda, seperti pendidikan atau layanan sosial. Kehadiran militer atau polisi dalam peran pemerintahan sipil dapat menyebabkan terkikisnya proses demokrasi, meningkatkan risiko otoritarianisme atau penindasan terhadap kebebasan sipil. Warga negara mungkin melihat adanya konflik kepentingan atau merasa tak nyaman dengan personel militer atau polisi yang menduduki posisi otoritas sipil, karena takut kurangnya pengawasan dan akuntabilitas sipil. Posisi sipil seringkali memerlukan keahlian dan pendekatan yang berbeda dibandingkan dengan peran militer atau polisi. Transisi ini mungkin tidak selalu mulus dan efektif.
Beberapa negara memiliki peraturan dan praktik yang ketat membatasi atau melarang personel militer dan polisi memegang peran sipil guna memastikan pemisahan yang jelas antara fungsi militer dan sipil. Di Amerika Serikat, berlaku Posse Comitatus Act, yang membatasi penggunaan militer dalam penegakan hukum domestik. Personil militer yang bertugas aktif dilarang memegang jabatan sipil terpilih. Hal ini untuk mencegah militer memperoleh pengaruh yang tak semestinya terhadap pemerintahan sipil dan untuk menjaga proses demokrasi. Veteran dan pensiunan personel militer dapat mencalonkan diri dan mengambil peran sipil setelah mereka tak lagi aktif dalam dinas militer.
Konstitusi Jerman (Grundgesetz) dengan tegas memisahkan fungsi militer (Bundeswehr) dari penegakan hukum domestik dan fungsi sipil. Pemisahan ini dilakukan pasca Perang Dunia II untuk mencegah militer mempengaruhi politik dan untuk melindungi demokrasi. Militer hanya dapat membantu dalam keadaan darurat dalam negeri berdasarkan pedoman konstitusi yang ketat.
Konstitusi Jepang mencakup pembatasan ketat terhadap peran Pasukan Bela Diri, dan terdapat pemisahan yang jelas antara fungsi militer dan sipil. Reformasi pasca-Perang Dunia II bertujuan untuk mencegah militerisme dan memastikan bahwa militer tidak ikut campur dalam urusan sipil. Pasukan Bela Diri hanya dapat dikerahkan untuk tanggap bencana domestik di bawah kendali sipil.
Swedia menerapkan pemisahan yang jelas antara peran militer dan sipil, dengan peraturan ketat mengenai keterlibatan militer dalam urusan dalam negeri. Hal ini untuk memastikan kontrol sipil atas militer dan mencegah pengaruh militer dalam politik. Militer jarang terlibat dalam peran sipil dan fokus utamanya pada pertahanan nasional dan misi internasional. Korea Selatan menerapkan pembagian ketat antara personel militer dan posisi pemerintahan sipil untuk mencegah pengaruh militer terhadap politik. Hal ini berasal dari sejarah pemerintahan militer dan bertujuan untuk mempertahankan pemerintahan demokratis dan pengawasan sipil. Pensiunan personel militer dapat mencalonkan diri untuk menjabat, tetapi ada pembatasan terhadap anggota dinas aktif.
Negara-negara totaliter seperti China, Rusia, dan Myanmar mengizinkan personel militer dan polisi memegang jabatan sipil, baik selama atau setelah bertugas, seringkali karena alasan sejarah, politik, atau budaya. Namun ada juga negara demokratis yang memperbolehkannya, seperti Indonesia, Turki, dan Mesir.
Pemisahan peran militer dan polisi dari peran sipil merupakan elemen penting di banyak negara demokrasi untuk melindungi terhadap pengaruh yang tak semestinya dan memastikan bahwa pemerintahan sipil tetap independen dan efektif. Negara-negara dengan peraturan yang ketat biasanya bertujuan menegakkan prinsip-prinsip demokrasi, mencegah otoritarianisme, dan menjaga garis yang jelas antara berbagai lapisan masyarakat.

Terdapat beberapa pertimbangan tambahan tak diperbolehkannya personel militer dan polisi mengambil posisi dalam peran masyarakat sipil, selain yang telah disebutkan sebelumnya. Pertimbangan-pertimbangan ini kerap berkisar pada kebutuhan mempertahankan pemerintahan yang demokratis, menjamin profesionalisme pelayanan publik, dan mencegah konflik kepentingan. Pelatihan militer dan polisi menekankan otoritas dan disiplin, yang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi seperti akuntabilitas, transparansi, dan hak-hak individu. Kehadiran mereka dalam peran sipil dapat menghasilkan kebijakan dan praktik yang memprioritaskan keamanan ketimbang kebebasan sipil. Membolehkan personel militer dan polisi menduduki jabatan sipil dapat menyebabkan pemusatan kekuasaan dan berpotensi mendorong pemerintahan otoriter, yang melemahkan institusi dan proses demokrasi.
Pengenalan personel militer dan polisi ke dalam peran sipil dapat mengalihkan fokus lembaga-lembaga ini dari pelayanan publik dan kesejahteraan kepada keamanan dan kontrol, sehingga mengubah sifat fundamentalnya. Militerisasi lembaga-lembaga sipil dapat melemahkan etos dan dinamika operasional pelayanan sipil, yang biasanya diarahkan melayani masyarakat secara lebih fleksibel dan inklusif.
Personil militer dan polisi mungkin memprioritaskan masalah keamanan dibandingkan kepentingan umum, sehingga menghasilkan kebijakan yang mungkin tak sejalan dengan kebutuhan masyarakat sipil. Keterlibatan mereka dalam peran sipil dapat mengakibatkan konflik kepentingan, khususnya dalam hal-hal yang berkaitan dengan penegakan hukum atau pertahanan. Pasukan militer dan polisi seringkali beroperasi berdasarkan mekanisme akuntabilitas yang berbeda dibanding dengan lembaga sipil. Mengintegrasikan mereka ke dalam peran sipil tanpa pengawasan yang kuat dapat meningkatkan potensi penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi.
Personel militer dan polisi mungkin kurang memiliki keahlian khusus dan etika profesional yang diperlukan bagi peran sipil, sehingga dapat membahayakan efektivitas dan integritas layanan publik. Pegawai negeri sipil diharapkan dapat beroperasi secara independen dari pengaruh militer dan keamanan. Memperkenankan personel militer dan polisi menduduki jabatan sipil dapat melemahkan kemandiriannya, sehingga berdampak pada pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan.
Keterlibatan aparat militer dan polisi dalam peran sipil dapat mengubah persepsi masyarakat, sehingga menimbulkan budaya ketakutan dan kecurigaan ketimbang kepercayaan dan kerjasama dengan lembaga-lembaga publik. Kehadiran personel militer dan polisi dalam peran sipil dapat memunculkan kesenjangan di antara berbagai lapisan masyarakat, terutama jika peran tersebut dianggap sebagai alat mempertahankan kendali dan bukan melayani masyarakat.
Mengintegrasikan personel militer dan polisi ke dalam peran sipil dapat menimbulkan ketegangan antara institusi militer dan sipil, terutama jika terdapat perbedaan dalam prioritas dan pendekatan operasional. Kehadiran personel militer dalam peran sipil dapat menantang otoritas para pemimpin dan institusi sipil, sehingga berujung pada perebutan kekuasaan dan ketidakstabilan.
Membolehkan personel militer dan polisi mengambil peran sipil dapat mengakibatkan politisasi lembaga-lembaga tersebut, sehingga lembaga-lembaga tersebut menjadi selaras dengan agenda atau faksi politik tertentu. Keterlibatan personel militer dan polisi dalam politik dapat mempolarisasi masyarakat dan melemahkan tata kelola pemerintahan yang demokratis, sehingga berujung pada ketidakstabilan dan konflik.

Di banyak negara, konstitusi atau kerangka hukum mengamanatkan pemisahan yang jelas antara peran militer dan sipil. Membolehkan personel militer dan polisi menduduki jabatan sipil dapat melanggar norma-norma ini dan menimbulkan tantangan hukum. Integrasi personel militer dan polisi ke dalam peran sipil dapat melemahkan supremasi hukum dengan menimbulkan struktur otoritas paralel yang beroperasi di luar kerangka hukum tradisional.
Personil militer dan polisi mungkin kurang memiliki keterampilan dan pengalaman yang diperlukan bagi peran sipil, sehingga menyebabkan inefisiensi dan kinerja yang buruk. Mengintegrasikan personel militer dan polisi ke dalam peran sipil dapat mengganggu efektivitas operasional lembaga-lembaga sipil, sehingga menyebabkan keterlambatan dan inefisiensi dalam pemberian layanan.
Kehadiran personel militer dan polisi yang menduduki jabatan sipil dapat menghambat warganya berkarir di layanan sipil, sehingga berdampak pada rekrutmen dan retensi. Integrasi personel militer dan polisi ke dalam peran sipil dapat menyebabkan hilangnya talenta layanan sipil, karena individu mungkin mencari peluang di militer atau polisi.

Kita lanjutkan bincang kita pada episode berikut, biidznillah."

Kemudian Seruni bersyair,

Warga sipil memimpin dengan visi yang jelas dan bijaksana,
Sementara tentara bertahan di bawah langit terbuka.
Secara harmonis, mereka memandu kekuatan bangsa,
Dengan hukum dan rasa hormat, dengan ketat memegang kendali mereka.
Masing-masing punya peran berbeda, namun terikat oleh kebaikan bersama,
Demi perdamaian dan keadilan, mereka berdiri sebagaimana mestinya.
Kutipan & Rujukan:
- Thomas C. Bruneau and Scott D. Tollefson (Eds.), Who Guards the Guardians and How: Democratic Civil-Military Relations, 20, University of Texas Press
- Michael C. Desch, Civilian Control of the Military: The Changing Security Environment, 1999, The Johns Hopkins University Press