Kamis, 18 Juli 2024

Ocehan Seruni (22)

"Adu-mulut antara Punakawan, Petruk dan Gareng, terus berlanjut. Perdebatan sengit mereka mencakup segala hal, mulai dari pembatasan BBM hingga pemindahan ibukota baru Sonyawibawa, utang nasional yang terus nambah, insiden penembakan Trump, dan ya, bahkan demokrasi.
'Menurut pendapat gua,' ucap Gareng, 'para elit di kerajaan loe, punya pendekatan yang terlalu disederhanakan. Ibarat kuda poni yang cuma punya satu trik, teriak 'demokrasi' seolah itu mantra ajaib. Paling enggak, mereka hafal yang namanya Demokrasi—tapi gak peduli isinya. Dan pliz deh, mari kita mulai dengan siapa pemegang kendali kekuasaan saat ini. Adilkah, atau bermanfaatkah buat rakyat? Okeh, kita bahas itu nanti. Trus, gimana dengan pemilu? Iya deh, kita ngomongin itu kemudian—kejujuran dan kepantasan bisa nunggu kok. Bagaimana dengan korupsi yang sepertinya loe biarin? Oke, itu masalah lain waktu."
Petruk, yang gak mau ngalah, meraih kitab mistiknya, primbon, buat ngebantah argumen Gareng. Sayang, ia gak nemu apa-apa yang substantif. Bukan karena primbon itu tak bermakna, melainkan lantaran Petruk tak tahu cara memanfaatkannya, ia sadar betul bahwa ia semata bergantung pada para pembisik dan konsultan-konsultannya.
'Gak perlu nyontek primbon," sindir Nala Gareng. "Lagian, boro-boro berdebat soal demokrasi, coba loe jawab, mata uang apa yang dipake di negeri Pewayangan? Loe kagak ngarti kaan?" Dengan itu, ego Petruk makin narsis. Dan begitulah, satire bersambung ...."

“Instatusi-institusi yang kuat bagaikan fondasi gedung pencakar langit yang kokoh. Tanpa fondasi yang kuat, bangunan itu bakal ambruk; demikian pula, sebuah negara tanpa lembaga yang kuat, takkan mampu mencapai stabilitas dan pertumbuhan yang langgeng. Institusi yang kuat adalah DNA demokrasi yang sehat, mengkodekan aturan, norma, dan praktik yang memungkinkan negara beroperasi secara efektif, beradaptasi dengan perubahan, dan mempertahankan vitalitasnya. Sama seperti tulang punggung yang menopang dan menstabilkan tubuh manusia, lembaga yang kokoh memberikan dukungan dan stabilitas yang diperlukan bagi sebuah negara, yang memungkinkannya berdiri tegak dan berfungsi secara efektif. Institusi yang kuat merupakan mesin yang mendorong sebuah negara agar maju. Ia memastikan bahwa mekanisme pemerintahan, ekonomi, dan masyarakat berjalan lancar, mendorong negara menuju pembangunan dan kesejahteraan," ucap Seruni sambil ia memandangi Tugu Pahlawan di Surabaya, Jawa Timur. Tugu Pahlawan mengenang Pertempuran Surabaya (1945), dimana para pejuang Indonesia dengan gagah berani melawan pasukan Inggris dan Belanda selama perjuangan kemerdekaan. Monumen ini diresmikan pada 10 November 1952, guna menghormati para pahlawan Surabaya yang gugur. Dikau dapat mengunjungi Tugu Pahlawan pada siang hari untuk memberikan penghormatan dan mempelajari lebih lanjut tentang sejarah Indonesia.

"Sebelum kita melangkah ke pembicaran ‘Institusi yang kuat,’ mari tinjau kembali pembicaraan kita sebelumnya tentang ‘Kekuatan Militer.’ Berikut ikhtisar negara-negara utama dan kekuatan militer mereka: Amerika Serikat, punya anggaran pertahanan terbesar secara global, AS mempertahankan kehadiran militer global yang luas dan berkemampuan teknologi canggih; China dengan cepat memodernisasi militernya, didukung oleh sejumlah besar personel dan pengaruh global yang berkembang; Rusia, dengan persenjataan nuklir yang berarti, teknologi militer yang canggih, dan posisi geografis yang strategis, Rusia tetap menjadi kekuatan yang tangguh; India berkekuatan militer besar, berpengaruh regional yang cukup besar, dan melanjutkan upaya modernisasi yang sedang berlangsung; Inggris dan Prancis, kedua negara ini menunjukkan kemampuan militer yang kuat, memelihara persenjataan nuklir, dan memainkan peran yang berpengaruh terhadap NATO dan organisasi internasional lainnya.
Mempertahankan militer yang kuat membutuhkan biaya yang mahal dan dapat membebani anggaran nasional. Menyeimbangkan pengeluaran pertahanan dengan kebutuhan publik lainnya, merupakan tantangan yang terus-menerus. Tindakan militer dapat mempengaruhi reputasi global sebuah negara, baik secara positif (melalui pemeliharaan perdamaian dan pembelaan hak asasi manusia) maupun secara negatif (melalui agresi atau intervensionisme yang dipersepsikan). Laju pesat kemajuan teknologi dalam kemampuan militer dapat menyebabkan perlombaan senjata, yang berpotensi mengganggu stabilitas keamanan global. Penggunaan kekuatan militer seyogyanya diatur oleh prinsip-prinsip etika dan hukum internasional agar menghindari penderitaan dan kerusakan tambahan yang tak perlu.

Nah, kita lanjut dengan Institusi yang kuat. Daron Acemoglu dan James A. Robinson mengkaji pertanyaan mendasar: Mengapa ada negara yang maju sementara yang lain tak berimprovisasi? Merujuk pada penelitian ekstensif dan contoh-contoh historis, mereka berpendapat bahwa kuncinya terletak pada Institusi. Menurut Acemoglu dan Robinson, beberapa contoh historis menggambarkan pengaruh dari institusi yang gagal. Lembaga ekstraktif Kekaisaran Romawi, pada akhirnya, berkontribusi pada kemundurannya. Institusi-institusi ini memusatkan kekuasaan di tangan beberapa elit, menghambat inovasi dan pertumbuhan ekonomi. Institusi politik dan ekonomi ekstraktif di negara-kota Maya menyebabkan kejatuhan mereka. Institusi ini menghambat pembangunan inklusif dan melanggengkan kemiskinan. Kemakmuran Venesia dikaitkan dengan lembaga inklusif yang mendorong perdagangan, namun seiring waktu, praktik ekstraktif mengikis vitalitas ekonominya. Lembaga ekstraktif terpusat Uni Soviet menghambat inisiatif dan inovasi individu, yang pada akhirnya menyebabkan keruntuhannya. Banyak negara Amerika Latin harus berjuang lantaran lembaga ekstraktif yang memihak para elit dan menghambat pembangunan berbasis luas. Transisi Inggris dari lembaga ekstraktif ke lembaga inklusif memainkan peran penting dalam kebangkitannya menuju kekuatan ekonomi. Lembaga ekstraktif telah menyebabkan kemiskinan dan konflik di berbagai negara Afrika, termasuk Angola, Mozambik, dan Sudan. Contoh-contoh ini menyoroti peran penting lembaga dalam membentuk nasib sebuah negara, baik dalam mendorong kemakmuran atau mengekalkan kegagalan.
Lembaga ekstraktif merujuk pada sistem, norma, dan praktik dalam masyarakat, yang memusatkan kekuasaan, sumber daya, dan manfaat di tangan segelintir orang, kerap dengan mengorbankan masyarakat luas. Lembaga-lembaga ini menghambat pertumbuhan ekonomi, membatasi kebebasan individu, dan melanggengkan ketimpangan. Contoh lembaga ekstraktif meliputi Kediktatoran, rezim otoriter yang menekan perbedaan pendapat, mengendalikan sumber daya, dan menolak hak politik warga negara; Monopoli, entitas yang mendominasi pasar, membatasi persaingan, dan mencegah akses yang adil bagi orang lain; Korupsi, praktik dimana pejabat publik menyalahgunakan kekuasaan mereka demi keuntungan pribadi, mengalihkan sumber daya dari kesejahteraan publik; Hak Istimewa yang Diwariskan, sistem yang melanggengkan keuntungan berdasarkan kelahiran termasuk , seperti aristokrasi atau masyarakat berbasis kasta; Hak Properti yang Tidak Setara, ketika hak properti tak dilindungi secara merata, yang mengarah pada perampasan tanah, eksploitasi, dan ketidakamanan.
Sebaliknya, lembaga inklusif mempromosikan partisipasi yang luas, melindungi hak properti, dan mendorong inovasi, pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Lembaga inklusif merupakan struktur, norma, dan kerangka kerja yang menggalakkan kesetaraan, partisipasi, dan representasi. Lembaga-lembaga tersebut memainkan peran penting dalam mencapai pembangunan berkesinambungan dan tak meninggalkan siapa pun. Contohnya, Parlemen Nasional. Parlemen inklusif memastikan representasi yang beragam, mengesahkan undang-undang yang melindungi hak asasi manusia, dan meminta pertanggungjawaban pemerintah. Atau, Pelatihan Kompetensi Budaya, program yang membantu para karyawan menghargai perbedaan budaya, termasuk praktik keagamaan, tradisi, dan hari raya.

Nepotisme dan politik dinasti sesungguhnya dipandang sebagai lembaga ekstraktif. Nepotisme mengacu pada favoritisme yang ditunjukkan kepada anggota keluarga atau teman dekat, terutama dalam hal pekerjaan, promosi, atau pengangkatan politik. Ketika nepotisme berlaku, posisi kekuasaan atau pengaruh sering diwariskan atau diberikan berdasarkan koneksi pribadi daripada prestasi. Hal ini merusak persaingan yang wajar dan melanggengkan ketidaksetaraan. Nepotisme dapat menghambat mobilitas sosial, menghalangi talenta berpartisipasi dalam kehidupan publik, dan melemahkan lembaga dengan mengutamakan loyalitas daripada kompetensi.
Politik dinasti terjadi ketika kekuatan politik terkonsentrasi dalam keluarga tertentu lintas generasi. Dinasti melanggengkan pengaruhnya melalui warisan, acapkali mengesampingkan individu lain yang memenuhi syarat. Hal ini membatasi proses demokrasi dan mencegah ide dan perspektif baru. Politik dinasti dapat menyebabkan kurangnya akuntabilitas, mengurangi persaingan, dan fokus pada mempertahankan kepentingan keluarga ketimbang melayani publik.
Mengatasi nepotisme dan politik dinasti secara efektif memerlukan beberapa upaya, antara lain menerapkan proses rekrutmen dan promosi yang transparan berdasarkan kualifikasi, keterampilan, dan pengalaman daripada koneksi pribadi (Sistem Berbasis Prestasi); Menegakkan peraturan yang melarang anggota keluarga menduduki posisi kunci dalam organisasi atau pemerintahan yang sama (Undang-Undang Anti-Nepotisme); Mendidik warga negara agar meningkatkan kesadaran tentang benturan nepotisme dan politik dinasti terhadap tatakelola, akuntabilitas, dan pembangunan. Memberdayakan mereka agar terlibat dalam politik, meminta pertanggungjawaban para pemimpin, dan menuntut transparansi (Partisipasi Aktif).
Upaya lain dapat berupa Reformasi-reformasi Politik seperti memperkenalkan— atau mempertahankan jika sudah ada—batasan masa jabatan bagi jabatan politik guna mencegah dinasti yang berlangsung lama; Mengatur pendanaan kampanye guna menyamakan kedudukan dan mengurangi pengaruh keluarga kaya. Bagi Masyarakat Sipil dan Media, termasuk mendukung jurnalisme independen yang menyelidiki dan mengungkap nepotisme dan praktik dinasti; Mendorong LSM dan kelompok advokasi agar memantau dan menantang praktik tersebut. Bagi para Pemuda dan calon Pemimpin-pemimpin baru, dapat berupa mempromosikan partisipasi pemuda dalam politik dan peran kepemimpinan untuk memutus siklus dinasti. Berinvestasi dalam program pelatihan guna membina pemimpin baru dengan perspektif baru.
Isu-isu ini membutuhkan komitmen kolektif dan upaya berkelanjutan dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif dan bertanggungjawab.

Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa kuncinya terletak pada institusi—inklusif atau ekstraktif. Institusi inklusif mendorong pertumbuhan ekonomi, melindungi hak milik, dan memungkinkan warga negara dalam berpartisipasi, sementara institusi ekstraktif menghambat pembangunan dan melanggengkan ketimpangan. Dengan menelaah contoh-contoh historis, mereka menyoroti peran penting yang dimainkan institusi dalam membentuk takdir suatu bangsa.
Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa Institusi yang kuat—yang melindungi hak milik, mendorong inovasi, dan memastikan persaingan yang adil—mendorong pertumbuhan ekonomi. Institusi inklusif memungkinkan warga negara berpartisipasi dalam ekonomi, yang mengarah pada kemakmuran. Institusi yang kuat memberikan stabilitas, memungkinkan sebuah negara menghadapi tantangan dan beradaptasi dengan keadaan yang berubah. Institusi ini membangun lingkungan yang dapat diprediksi bagi bisnis dan individu. Institusi yang gagal seringkali mengarah pada praktik ekstraktif, dimana para elit mengeksploitasi sumber daya demi keuntungan mereka sendiri. Institusi yang kuat mencegah eksploitasi semacam itu, mendorong pembangunan yang adil. Institusi inklusif mempromosikan kohesi sosial dengan memastikan bahwa setiap orang berkepentingan dalam keberhasilan bangsa. Ia menurunkan konflik dan mendorong gotongroyong. Institusi yang kuat merupakan tulangpunggung rakyat yang maju—lembaga yang menentukan apakah suatu bangsa akan meroket atau rungkad.

Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa kegagalan sebuah negara dapat dikaitkan dengan lembaganya. Ketika lembaga-lembaganya memusatkan kekuasaan di tangan beberapa elit, menghambat inovasi, dan melanggengkan ketimpangan, sebuah negara cenderung gagal. Lembaga ekstraktif ini, menghalangi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang luas. Sebaliknya, lembaga inklusif mendorong inisiatif individu, melindungi hak milik, dan memungkinkan orang memperoleh manfaat dari kerja keras mereka. Negara yang membina lembaga inklusif cenderung berkembang dan sejahtera. Nasib sebuah negara bergantung pada sifat lembaganya—apakah lembaga tersebut memberdayakan atau membatasi warganya.
Tesis Acemoglu dan Robinson bukannya tanpa kritik, misalnya mereka terlalu menekankan lembaga sebagai satu-satunya penentu keberhasilan atau kegagalan negara. Faktor lain, seperti geografi, budaya, dan konteks sejarah, juga memainkan peran penting; Menetapkan hubungan kausal antara lembaga dan hasil dapat menjadi tantangan. Sementara lembaga yang kuat berkorelasi dengan kemakmuran, membuktikan kausalitas itu rumit; Mereka berfokus pada contoh-contoh historis tetapi memberikan panduan terbatas tentang bagaimana negara dapat beralih dari lembaga ekstraktif ke lembaga inklusif. Menerapkan perubahan kelembagaan seringkali sulit dan menghadapi penolakan; beberapa kritikus berpendapat bahwa mereka terlalu menyederhanakan dinamika yang kompleks. Pembangunan ekonomi melibatkan interaksi multifaset di luar lembaga saja; kritikus lain berpendapat bahwa mereka secara selektif menyoroti kasus-kasus yang sesuai dengan tesis mereka, berpotensi mengabaikan contoh-contoh yang bertentangan.
Terlepas dari semua kritik itu, menurut the Inclusive Development Index oleh the World Economic Forum, beberapa negara menonjol karena lembaga-lembaga inklusif dan keberhasilan ekonomi mereka. Misalnya, Lithuania, diberi peringkat sebagai ekonomi paling inklusif, Lithuania telah diuntungkan dari keanggotaan UE dan berkinerja baik dalam pertumbuhan dan pembangunan. Hongaria, mengikuti dengan ketat di tempat kedua, menekankan proses inklusif yang berbagi kekayaan secara berkelanjutan dan menghindari membebani generasi mendatang. Pertumbuhan Swiss yang kuat, kesempatan kerja, standar hidup rata-rata yang tinggi, pengelolaan lingkungan yang kuat, dan utang publik yang rendah berkontribusi pada posisinya di peringkat ketiga.
Di tempat keempat, Latvia menunjukkan pula praktik inklusif yang kuat, berkontribusi pada ketahanan ekonominya. Polandia mengamankan tempat kelima, dengan fokus pada pertumbuhan dan pembangunan yang seimbang. Luksemburg, kinerja ekonominya yang kuat, inklusi sosial, dan keberlanjutan lingkungan berkontribusi pada peringkat keenam. Kroasia berada di peringkat ketujuh, menekankan inklusivitas dan proses ekonomi yang berkelanjutan. Negara kedelapan Uruguay, dan kesembilan, Chili. Rumania melengkapi sepuluh besar, dengan pertumbuhan dan hasil pembangunan yang positif.
Negara-negara ini memprioritaskan distribusi kekayaan yang adil dan berlanjut hingga jangka panjang, menjadikan lembaga mereka inklusif dan sukses.

Institusi yang kuat merujuk pada sistem, aturan, dan norma yang stabil, efektif, dan berfungsi dengan baik dalam masyarakat. Lembaga-lembaga ini, mencakup kerangka hukum, struktur tatakelola, hak milik, dan badan pengatur. Semuanya menyediakan lingkungan yang kondusif bagi inovasi sosial agar berkembang. Ketika lembaga bersifat transparan, adil, dan dapat diprediksi, akan mendorong kreativitas, pengambilan risiko, dan kolaborasi. Peradilan yang independen, perlindungan hak milik, dan birokrasi yang efisien merupakan contoh institusi yang kuat.
Institusi yang kuat menumbuhkan lingkungan tempat inovasi sosial dapat muncul. Sebaliknya, inovasi sosial yang berhasil dapat mengarah pada reformasi kelembagaan. Inovasi sosial merupakan solusi baru tergadap tantangan masyarakat. Inovasi sosial dapat berupa teknologi baru, model organisasi, kebijakan, atau praktik budaya yang mengatasi masalah yang mendesak.
Timo J. Hämäläinen dan Risto Heiskala menekankan bahwa inovasi sosial memainkan peran penting dalam membentuk hasil ekonomi dan sosial. Inovasi-inovasi ini dapat mengarah pada perubahan positif dalam lembaga, kebijakan, dan praktik. Inovasi sosial merupakan proses yang menentukan kinerja ekonomi dan sosial sebuah negara, kawasan, sektor industri, dan organisasi. Inovasi-inovasi ini memainkan peran penting dalam membentuk keberhasilan jangka panjang ekonomi industri, terutama selama transformasi ekonomi dunia saat ini. Inovasi sosial dapat sangat bervariasi di berbagai sektor dan wilayah. Di sektor-sektor seperti teknologi informasi, bioteknologi, dan energi terbarukan, inovasi sosial acapkali melibatkan teknologi yang mengganggu atau aplikasi baru. Contohnya termasuk perangkat lunak sumber terbuka, penyuntingan gen, dan proyek surya komunitas. Daerah perkotaan kerap memandang inovasi yang terkait dengan smart-city, transportasi umum, dan layanan digital. Di daerah pedesaan, inovasi dapat mengatasi produktivitas pertanian, pengelolaan air, dan akses layanan kesehatan.

Inovasi sosial mendorong perubahan positif dengan mengatasi kesenjangan atau inefisiensi dalam sistem yang ada. Mereka menantang status quo dan seringkali muncul sebagai respons terhadap kekurangan kelembagaan. Keuangan mikro (microfinance), open-source software semisal Linux, dan inisiatif layanan kesehatan berbasis komunitas adalah inovasi sosial.
Mari kita perhatikan hubungan antara institusi yang kuat dan inovasi sosial dalam konteks microfinance. Lembaga keuangan yang kuat, termasuk bank, badan pengatur, dan kerangka hukum, memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi. Dalam kasus keuangan mikro, lembaga keuangan yang diatur dengan baik memberikan stabilitas dan kepercayaan. Mereka memastikan bahwa peminjam punya akses ke fasilitas kredit dan tabungan.
Microfinance merupakan inovasi sosial yang muncul untuk mengatasi kurangnya layanan keuangan bagi individu berpenghasilan rendah. Lembaga keuangan mikro (LKM) menawarkan pinjaman kecil, rekening tabungan, dan asuransi kepada masyarakat yang terpinggirkan. Inovasi ini memberdayakan orang agar memulai bisnis, berinvestasi dalam pendidikan, dan meningkatkan mata pencaharian mereka. Dengan menyediakan inklusi keuangan, keuangan mikro berkontribusi pada pengurangan kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi. Awalnya, keuangan mikro menghadapi tantangan regulasi. Namun, ketika hasilnya tampak jelas, lembaga beradaptasi. Kerangka hukum disesuaikan mengakomodasi LKM. Keberhasilan keuangan mikro menunjukkan perlunya praktik pinjaman yang fleksibel. Hal ini mempengaruhi lembaga keuangan yang lebih luas dalam mengadopsi pendekatan yang sama.
Mungkinkah institusi yang kuat menyediakan keuangan mikro, atau keuangan mikrokah yang mendorong reformasi kelembagaan? Keduanya saling-berkait. Seiring berkembangnya LKM, mereka mendorong regulasi yang lebih baik. Pada saat yang sama, regulasi yang mendukung memungkinkan keuangan mikro berkembang pesat. Keuangan mikro mencontohkan bagaimana lembaga yang kuat dan inovasi sosial berkembang bersama, saling memperkuat bagi kemajuan masyarakat.

Indonesia punya beberapa lembaga keuangan mikro (LKM) aktif yang mendukung pertumbuhan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sekaligus meningkatkan inklusi keuangan. BPR-KSU (Bank Perkreditan Rakyat—Koperasi Serba Usaha) merupakan jenis LKM umum di Indonesia. Lembaga ini beroperasi sebagai koperasi, menyediakan pinjaman mikro, tabungan, dan bahkan produk asuransi mikro. BPR-KSU berfokus pada membantu anggota koperasi dan masyarakat setempat mengembangkan bisnis mereka. BMT (Baitul Maal wat Tamwil) merupakan LKM Islam berdasarkan prinsip Syariah. Lembaga ini menawarkan pembiayaan Syariah, tabungan, dan layanan keuangan lainnya, terutama di daerah pedesaan. Selain KSU, ada banyak BPR lain yang beroperasi di Indonesia. Bank-bank pedesaan ini, memainkan peran penting dalam mendukung pembangunan ekonomi lokal dengan melayani usaha kecil dan individu dengan akses terbatas ke lembaga keuangan formal. Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) mematuhi prinsip-prinsip keuangan  Islam dan menyediakan layanan keuangan bagi masyarakat yang terpinggirkan. LKMS berkontribusi pada inklusi keuangan dengan tetap menghormati pedoman agama. Maka, LKM ini memainkan peran penting dalam memberdayakan ekonomi lokal dan memastikan bahwa layanan keuangan menjangkau mereka yang sangat membutuhkannya.

Pinjaman online di Indonesia, yang dikenal sebagai 'Pinjol', punya beberapa kesamaan dengan keuangan mikro, tapi keduanya 'tidak' identik. Pinjol merujuk pada layanan keuangan yang disediakan melalui platform digital. Peminjam dapat mengajukan, menerima dana, dan mengelola pembayaran kembali secara daring. Pinjol mencakup berbagai jenis, termasuk pinjaman pribadi, pinjaman gaji, dan pinjaman peer-to-peer. Pinjol menawarkan kemudahan dan aksesibilitas, terutama bagi penduduk perkotaan dengan akses internet. Di sisi lain, Keuangan Mikro secara khusus menargetkan individu berpenghasilan rendah atau masyarakat terpinggirkan. Pinjaman ini mencakup pinjaman mikro, rekening tabungan, dan asuransi mikro. Keuangan mikro bertujuan memberdayakan masyarakat secara ekonomi dengan memungkinkan mereka memulai bisnis, berinvestasi, dan meningkatkan penghidupan. Pinjaman ini berpusat pada inklusi keuangan, terutama bagi mereka yang tak mendapatkan layanan perbankan konvensional.
Beberapa pemberi Pinjol berfokus pada jumlah pinjaman kecil, mirip dengan pinjaman mikro. Pinjol memanfaatkan platform digital, sementara keuangan mikro (microfinance) dapat beroperasi secara luring (misalnya, koperasi berbasis masyarakat). Keuangan mikro menekankan tujuan sosial di luar keuntungan, sedang pinjol mengutamakan efisiensi dan profitabilitas. Namun, pinjol kerap tak berfokus pada pengaruh sosial seperti halnya keuangan mikro. Sementara Pinjol bertujuan yang sama, yaitu menyediakan kredit, keuangan mikro bermisi yang lebih luas, yaitu inklusi dan pemberdayaan keuangan.

Ekosistem pinjaman online di Indonesia, 'pinjol', punya berbagai risiko yang harus diwaspadai oleh peminjam. Penyedia pinjol kerap mengenakan suku bunga yang lebih tinggi dan biaya tambahan dibanding bank konvensional. Hal ini disebabkan oleh risiko yang lebih tinggi yang mereka ambil dengan memberikan pinjaman tanpa pemeriksaan kredit yang menyeluruh. Peminjam dapat berakhir dengan membayar lebih banyak dari jumlah pokok, yang menyebabkan kesulitan keuangan.
Banyak pinjol berjangka waktu pembayaran yang pendek, terkadang hanya beberapa minggu atau bulan. Hal ini dapat memberikan tekanan pada peminjam agar membayar dengan cepat, yang dapat menyebabkan kesulitan jika mereka tak punya cukup dana yang tersedia. Beberapa pemberi pinjol menggunakan praktik penagihan utang yang agresif atau tak beretika. Peminjam mengalami pelecehan, ancaman, atau penghinaan di depan umum, yang dapat menyebabkan stres dan kecemasan yang berlanjut.
Peminjam diharuskan berbagi informasi pribadi dan keuangan dengan pemberi pinjol. Ada risiko pelanggaran data atau penyalahgunaan informasi pribadi jika pemberi pinjaman tak memiliki langkah-langkah perlindungan data yang kuat. Meskipun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia mengatur pinjol, masih banyak pemberi pinjaman yang tak berizin dan tak teregulasi yang beroperasi. Peminjam yang berurusan dengan pemberi pinjaman tak berizin takkan memberi jalan keluar jika mereka menghadapi masalah, dan pemberi pinjaman ini, boleh jadi tak mematuhi praktik peminjaman yang etis.
Peminjam dapat mengambil pinjaman baru membayar pinjaman yang sudah ada, yang menyebabkan munculnya utang yang bersiklus. Hal ini dapat menjebak individu dalam siklus peminjaman dan pembayaran yang berkelanjutan, yang memperburuk masalah keuangan mereka. Popularitas pinjol telah menyebabkan munculnya skema pinjaman yang curang. Peminjam dapat menjadi korban penipuan, kehilangan uang, atau informasi pribadi mereka dicuri. Beberapa pemberi pinjol mungkin tak transparan tentang syarat dan ketentuan pinjaman. Peminjam tak menyadari adanya denda yang tinggi jika pembayaran terlambat atau persyaratan yang tak menguntungkan lainnya, yang menyebabkan beban keuangan yang tak terduga. Dengan tak mampu membayar pinjol tepat waktu, dapat berpengaruh negatif pada skor kredit peminjam. Skor kredit yang lebih rendah dapat mempersulit akses kredit di masa mendatang atau mengakibatkan suku bunga yang lebih tinggi pada pinjaman lainnya.

Berbeda dengan Inggris, yang promosi keuangannya diatur ketat, Indonesia tak punya aturan ketat. Hampir semua orang boleh mempromosikan layanan keuangan, termasuk influencer medsos yang mendukung platform pinjol. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menerima banyak pengaduan terkait pinjol, termasuk pencairan tanpa persetujuan, ancaman, dan praktik penagihan yang tak pantas. Pesatnya pertumbuhan platform pinjol telah menyebabkan pemberi pinjaman ilegal beroperasi secara fraud.
Penegakan hukum menghadapi tantangan dalam menangani masalah ini dan melindungi korban. Kendati pinjol menawarkan kemudahan, peminjam harus berhati-hati dan terinformasi agar tak tenggelam ke dalam kesulitan keuangan. Alih-alih menjadi lembaga inklusif yang solid, pinjol berpotensi menjadi lembaga ekstraktif yang tak mendidik dan menelan banyak korban.

Institusi yang kuat menumbuhkan lingkungan tempat munculnya inovasi sosial. Sebaliknya, inovasi sosial yang berhasil dapat mengarah pada reformasi kelembagaan. Disaat institusi-institusi beradaptasi mengakomodasi inovasi, mereka menjadi lebih kuat. Pada gilirannya, lembaga yang kuat lebih lanjut mendukung inovasi. Institusi yang kuat dan inovasi sosial ibarat Ayam dan Telur. Terkadang, reformasi kelembagaan membuka jalan bagi inovasi (misalnya, perubahan hukum yang memungkinkan adopsi energi terbarukan). Di lain waktu, inovasi memaksa institusi agar beradaptasi (misalnya, platform digital yang menantang regulasi media tradisional). Institusi yang kuat dan inovasi sosial berevolusi bersama, saling memperkuat. Interaksi keduanya penting bagi pembangunan berkelanjutan dan kemajuan masyarakat.

Kita telah memperbincangkan arti pentingnya institusi yang kuat, pada episode selanjutnya, kita akan membicarakan beberapa karakteristik Institusi yang kuat, biidznillah."

Selanjutnya, Seruni membawakan sebuah karya tembang,

Just give me a reason,
[Kasih aja gua alesan]
just a little bit's enough
[dikit aja cukup]
just a second,
[biarpun sedetik,]
we're not broken, just bent
[kita gak rusak, cuman bengkok]
and we can learn to love again *)
[dan kita bisa belajar mencintai lagi]
Kutipan & Rujukan:
- Daron Acemoglu & James A. Robinson, The Narrow Corridor: States, Societies, and the Fate of Liberty, 2019, Penguin Press
- Timo J. Hämäläinen and Risto Heiskala, Social Innovations, Institutional Change and Economic Performance: Making Sense of Structural Adjustment Processes in Industrial Sectors, Regions and Societies, 2007, Sitra
- Brett King, Bank 4.0: Banking Everywhere, Never t a Bank, 2018, Marshall Cavendish International
*) "Just Give Me a Reason" karya Pink, Jeff Bhasker & Nate Ruess