Senin, 15 Juli 2024

Ocehan Seruni (19)

"Petruk menyampaikan berita kepada Bagong, 'Gua denger kalo di negeri Ngalengkadiraja, Dasamuka menginginkan Kumbakarna dan Wisrawana jadi gubernur baru.'
Bagong berkomentar, 'Katanya seh, Dasamuka berencana menyiapkan 'surat suara ajaib' buat Pilkada mendatang.'"

“Secara umum, fungsi proyek negara punya beberapa tujuan utama yang berkontribusi terhadap pembangunan dan tatakelola keseluruhan sebuah negara. Proyek negara kerap berfokus pada pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur penting semisal jalan, jembatan, bandara, pelabuhan, sistem pasokan air, dan fasilitas energi. Proyek-proyek ini penting bagi pertumbuhan ekonomi, peningkatan kualitas hidup dan konektivitas di dalam dan antar wilayah.
Proyek-proyek negara bertanggungjawab menyampaikan layanan publik yang esensial, yang bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan. Hal ini mencakup fasilitas pendidikan, pusat kesehatan, perumahan umum, program kesejahteraan sosial, dan layanan darurat. Proyek-proyek ini dapat menstimulasi kegiatan ekonomi melalui investasi di bidang infrastruktur, yang menyediakan lapangan kerja, meningkatkan bisnis lokal, menarik investasi swasta, dan mendukung industri yang terkait dengan konstruksi dan manufaktur. Proyek-proyek negara juga bertujuan mendorong pembangunan sosial dengan mengatasi kesenjangan sosial, menyediakan akses terhadap layanan dasar bagi komunitas yang terpinggirkan, dan mendorong kohesi sosial melalui kebijakan pembangunan yang inklusif,” lanjut Seruni.

“Proyek-proyek negara selalu bertujuan mendorong pembangunan sosial dengan mengatasi kesenjangan sosial, menyediakan akses terhadap layanan dasar bagi komunitas yang terpinggirkan, dan mendorong kohesi sosial melalui kebijakan pembangunan yang inklusif. Beberapa proyek negara berfokus pada konservasi lingkungan, praktik pembangunan berkelanjutan, dan mitigasi dampak buruk aktivitas manusia terhadap kegiatan pada ekosistem alam. Hal ini mencakup proyek-proyek yang berkaitan dengan pengelolaan air, energi terbarukan, pengelolaan limbah, dan upaya konservasi. Ia sejalan dengan tujuan strategis nasional dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Tujuan-tujuan ini dapat mencakup pembangunan daerah, perencanaan kota, strategi industrialisasi, kemajuan teknologi, dan peningkatan daya saing nasional.
Proyek negara berfungsi sebagai sarana melaksanakan kebijakan, undang-undang, dan peraturan pemerintah. Ia menerjemahkan mandat legislatif menjadi tindakan nyata dan hasil yang bermanfaat bagi masyarakat dan mendukung tujuan kebijakan jangka panjang. Proyek-proyek negara tertentu, khususnya yang berkaitan dengan infrastruktur pertahanan, keamanan perbatasan, dan kesiapsiagaan bencana, berkontribusi dalam menjaga kedaulatan nasional, melindungi warga negara, dan memastikan ketahanan terhadap ancaman internal dan eksternal. Dalam beberapa hal, proyek negara berfokus pada pelestarian dan promosi situs warisan budaya, bangunan bersejarah, dan praktik tradisional yang merupakan bagian integral dari identitas nasional dan keanekaragaman budaya.

Proyek Strategis Nasional (PSN) Indonesia merupakan serangkaian inisiatif infrastruktur dan pembangunan yang bertujuan mempercepat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan konektivitas, dan kualitas hidup secara keseluruhan di negara ini. Proyek-proyek ini merupakan bagian dari visi yang lebih luas yang digariskan oleh pemerintah Indonesia mentransformasi lanskap infrastruktur negara. Tujuan utama PSN ialah mendukung pembangunan ekonomi Indonesia dengan mengatasi kesenjangan infrastruktur yang kritis. Ini termasuk transportasi, energi, sumber daya air, dan telekomunikasi.
Inisiatif ini diformalkan melalui Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016, yang kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017 dan Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2018. Peraturan ini mengatur kerangka kerja dalam mengidentifikasi, menentukan prioritas, dan melaksanakan proyek-proyek strategis. Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) dibentuk guna mengoordinasikan dan mengawasi pelaksanaan PSN. Badan ini memastikan bahwa proyek dilaksanakan secara efisien dan selaras dengan tujuan pembangunan nasional.

Proyek-proyek tersebut memiliki beberapa tujuan utama termasuk meningkatkan infrastruktur negara dalam meningkatkan konektivitas, mengurangi biaya logistik, dan mendukung kegiatan ekonomi di berbagai wilayah. Hal ini mencakup pembangunan jalan, jembatan, bandara, pelabuhan laut, jalur kereta api, dan sistem transportasi umum; meningkatkan produksi dan distribusi energi guna menjamin pasokan listrik dan bentuk energi lainnya yang stabil dan dapat diandalkan. Hal ini melibatkan pengembangan pembangkit listrik, proyek energi terbarukan, dan jaringan transmisi energi; mengembangkan dan mengelola sumber daya air agar menjamin pasokan yang memadai bagi pertanian, industri, dan keperluan rumah tangga. Hal ini mencakup pembangunan bendungan, sistem irigasi, dan fasilitas pengolahan air; memperluas dan meningkatkan infrastruktur telekomunikasi dan digital agar mendukung perekonomian digital negara dan meningkatkan penetrasi internet, khususnya di daerah terpencil dan kurang terlayani; mendorong pembangunan perkotaan dan menyediakan perumahan yang terjangkau untuk mengakomodasi pertumbuhan populasi. Hal ini termasuk pembangunan kawasan pemukiman baru, proyek perumahan umum, dan inisiatif pembaruan perkotaan.
Beberapa contoh yang sedang berjalan antara lain: Jalan Tol Trans-Sumatera, sebuah proyek infrastruktur besar yang bertujuan meningkatkan konektivitas di seluruh Pulau Sumatera. Jalan tol ini membentang sepanjang 2.700 kilometer, menghubungkan kota-kota besar dan pusat-pusat perekonomian. Sistem Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rail Transit (LRT) di Jakarta yang bertujuan mengurangi kemacetan lalu lintas dan menyediakan pilihan transportasi umum yang efisien. Ibu Kota Baru (Nusantara), rencana pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur yang disebut Nusantara bertujuan mengatasi permasalahan kelebihan penduduk dan lingkungan hidup di Jakarta serta memacu pembangunan di daerah lain. Berbagai proyek pembangkit listrik, termasuk batubara, gas, dan sumber energi terbarukan, guna meningkatkan kapasitas pembangkitan listrik dan menjamin keamanan energi. Dan juga, pengembangan sistem irigasi dan bendungan guna mendukung produktivitas pertanian dan pengelolaan air.
Tantangan dan kritik semakin berkembang terhadap proyek ini. Pemerintah seringkali bergantung pada kemitraan publik-swasta (KPS) dalam membiayai proyek-proyek ini. Mendapatkan pendanaan yang cukup dan menarik investasi swasta merupakan tantangan yang sangat berarti. Pengadaan lahan bagi proyek infrastruktur dapat menimbulkan perdebatan dan memakan waktu, acapkali menyebabkan penundaan dan perselisihan dengan masyarakat lokal.
Proyek infrastruktur berskala besar dapat memunculkan dampak lingkungan, termasuk penggundulan hutan, perusakan habitat, dan polusi. Menyeimbangkan pembangunan dengan kelestarian lingkungan sangatlah berfaedah. Proyek dapat mengakibatkan perpindahan masyarakat dan gangguan terhadap penghidupan masyarakat setempat. Memastikan kompensasi yang adil dan pemukiman kembali bagi masyarakat yang terkena dampak amatlah mendesak.

Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2), salah satu Proyek Strategis Nasional Indonesia (PSN), merupakan proyek pembangunan perkotaan berskala besar yang berlokasi di Jakarta Utara, Indonesia. Ia merupakan perluasan dari kawasan asli Pantai Indah Kapuk (PIK), yang telah memantapkan dirinya sebagai kawasan perumahan dan komersial terkemuka. PIK 2 bertujuan lebih meningkatkan daya tarik kawasan dengan membangun lingkungan perkotaan modern terintegrasi yang mencakup kawasan pemukiman, ruang komersial, sarana rekreasi, dan infrastruktur. Pengembangan Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) sebagai bagian dari Proyek Strategis Nasional Indonesia (Proyek Strategis Nasional atau PSN) diatur dengan peraturan khusus. Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional bertujuan mempercepat pelaksanaan proyek strategis nasional dengan memberikan kerangka kerja dalam menentukan prioritas, mendanai, dan mempercepat pembangunan infrastruktur utama dan inisiatif pembangunan di seluruh Indonesia. PIK 2, sebagai inisiatif pembangunan perkotaan yang penting, sejalan dengan tujuan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 dengan berkontribusi terhadap modernisasi perkotaan, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan daerah. Peraturan ini membantu memastikan bahwa PIK 2 menerima dukungan yang diperlukan dari otoritas pemerintah, termasuk percepatan perizinan dan persetujuan peraturan, guna memfasilitasi pengembangannya.
Proyek ini dikembangkan oleh Agung Sedayu Group dan Salim Group, dua pengembang properti terkemuka di Indonesia. Para konglomerat ini berpengalaman luas dalam pengembangan real estate dan telah turut dalam berbagai proyek penting di seluruh negeri. PIK 2 menawarkan beragam pilihan hunian, termasuk apartemen bertingkat tinggi, vila, dan townhouse, yang melayani berbagai segmen pasar. Proyek ini diharapkan dapat mendukung strategi pembangunan perkotaan Jakarta yang lebih luas, yang bertujuan untuk mengurangi kemacetan di pusat kota dan mendorong pertumbuhan regional yang seimbang.

BSD City (Bumi Serpong Damai) merupakan proyek pembangunan perkotaan berskala besar terkemuka yang terletak di Kabupaten Tangerang, Barat Daya Jakarta, Indonesia. Proyek ini dirancang membangun kota modern dan mandiri yang menawarkan beragam fasilitas perumahan, komersial, dan rekreasi. BSD City adalah salah satu pembangunan perkotaan terintegrasi terbesar di Indonesia dan merupakan komponen kunci Proyek Strategis Nasional (PSN). BSD City, sebagai inisiatif utama pembangunan perkotaan, sejalan dengan tujuan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 dengan berkontribusi terhadap modernisasi perkotaan, pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan wilayah.
BSD City dikembangkan oleh Sinarmas Land, anak perusahaan Sinarmas Group, salah satu konglomerat terbesar dan paling terdiversifikasi di Indonesia. Proyek ini telah dikembangkan sejak awal tahun 1980an dan telah berkembang selama beberapa dekade. BSD City menawarkan beragam pilihan perumahan, termasuk apartemen bertingkat tinggi, komunitas yang terjaga keamanannya, dan proyek perumahan terjangkau, yang melayani beragam penghuni. Proyek ini mencakup berbagai pusat perbelanjaan, kompleks perkantoran, kawasan bisnis, dan pengembangan serba guna dalam mendukung kegiatan ekonomi.

Engkau dapat membayangkan PIK 2 dan BSD City sebagai 'Venesianya Jakarta, tapi dengan para Naga', sebuah 'futuristic eco-friendly city' dengan gedung pencakar langit yang menawan dan rumah-rumah pintar yang mengantisipasi setiap kebutuhanmu. Saat dirimu menjelajahi kanal dengan gondola, dikau tak hanya akan diapit oleh butik kelas atas dan restoran gourmet, melainkan pula oleh instalasi seni digital yang menampilkan naga mistis—namun apakah naga ini mencerminkan cerita rakyat Indonesia atau rakyat yang mana, who knows?
BSD City mendapat kritik lantaran menggusur masyarakat lokal dan mengubah penggunaan lahan tradisional. Kekhawatiran telah dikemukakan mengenai dampak pembangunan terhadap lingkungan, termasuk hilangnya ruang hijau dan peningkatan polusi. Proyek ini terutama melayani masyarakat kelas menengah dan atas, sehingga berpotensi memperburuk kesenjangan ekonomi. Ada dugaan bahwa proyek ini, beroleh keuntungan dari koneksi politik dan perlakuan yang menguntungkan, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan fairness.
Perkembangan BSD City menyoroti kesenjangan antara perluasan perkotaan dan pelestarian pedesaan, sehingga berkontribusi terhadap tensi sosio-politik. Persepsi mengenai elite capture dan perlakuan istimewa dapat melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan pengembang, sehingga memicu ketidakpuasan sosial-politik. Pembangunan kantong-kantong perkotaan yang eksklusif dapat berdampak pada kohesi sosial, yang menyebabkan meningkatnya segregasi dan kesenjangan sosial-ekonomi.

Para kritikus berpendapat bahwa pengembangan PIK 2 telah menyebabkan tergusurnya warga lokal, khususnya mereka yang tinggal di desa nelayan tradisional dan kawasan pertanian. Terdapat kekhawatiran mengenai dampak lingkungan dari kegiatan reklamasi dan konstruksi skala besar, termasuk potensi hilangnya habitat alami dan peningkatan risiko banjir.
Beberapa kritikus menyoroti potensi proyek ini memperburuk kesenjangan ekonomi, sebab proyek ini terutama ditujukan bagi kelas menengah ke atas dan segmen masyarakat kaya. Terdapat dugaan bahwa koneksi politik dan perlakuan yang menguntungkan telah memfasilitasi persetujuan dan pengembangan proyek secara cepat, sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi dan tatakelola.
Persepsi mengenai perlakuan istimewa dan kurangnya transparansi dapat melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintah dan memicu tensi sosio-politik. Pengembangan kawasan perkotaan eksklusif seperti PIK 2 dapat berkontribusi terhadap fragmentasi sosial dan segregasi ekonomi, sehingga berdampak pada kohesi sosial. Proyek ini mencerminkan ketegangan yang lebih luas antara kebutuhan masyarakat lokal dan prioritas perencanaan terpusat, sehingga menyoroti tantangan dalam menyeimbangkan pembangunan daerah dengan strategi nasional.

Evaluasi yang dilakukan Dr. Ir. Muhammad Said Didu, menyajikan gambaran lebih mendalam tentang proyek ini. Said Didu (lahir 2 Mei 1962) adalah seorang Insinyur Indonesia, mantan Sekretaris BUMN periode 2005-2010, Komisaris Independen PTPN IV periode 2006-2008, Komisaris Utama PTPN IV tahun 2008, dan Komisaris PT Bukit Asam Tbk ( PTBA) tahun 2015 serta Staf Khusus Menteri ESDM tahun 2014.
Kritik terhadap proyek PIK 2 telah menimbulkan kekhawatiran mengenai penggusuran masyarakat lokal dan pembentukan daerah kantong eksklusif, yang serupa dengan proyek pendahulunya, PIK 1. Pembangunan proyek skala besar seperti PIK 2 seringkali mencakup pembebasan lahan dalam jumlah besar, yang dapat mengakibatkan perpindahan penduduk yang ada. Kritikus berpendapat bahwa penduduk lokal, terutama mereka yang berpenghasilan rendah, terpaksa pindah tanpa kompensasi atau dukungan yang memadai bagi relokasi. Gangguan ini dapat berakibat pada mata pencaharian mereka, jaringan sosial, dan akses terhadap layanan.

PIK 1 telah dikritisi lantaran komunitas eksklusif yang sebagian besar dihuni oleh penduduk Chinese-Indonesia yang kaya. Kawasan ini mengembangkan seperangkat peraturan dan fasilitasnya sendiri, yang secara efektif berfungsi sebagai 'negara dalam negara' yang mandiri.
Terma 'negara dalam negara' biasanya mengacu pada wilayah tertentu dalam sebuah negara yang beroperasi dengan tingkat otonomi yang tinggi, kerapkali memiliki undang-undang, pemerintahan, dan terkadang bahkan identitas budaya yang berbeda, terpisah dari kerangka nasional yang lebih luas. Hal ini dapat diwujudkan dalam berbagai cara, termasuk kawasan ekonomi khusus, enclave, atau kawasan dengan pengaturan administratif yang unik.
Wilayahnya mempunyai badan pemerintahan, sistem hukum, dan struktur administratif yang beroperasi secara independen dari pemerintah pusat. Hal ini dapat mencakup parlemen lokal, dewan, atau lembaga pengambil keputusan lainnya. Daerah tersebut mempunyai undang-undang dan peraturan yang sangat berbeda dengan peraturan di negara sekitarnya. Hal ini dapat mencakup bidang-bidang seperti perpajakan, praktik bisnis, peraturan lingkungan hidup, dan hak-hak sipil. Kawasan ekonomi khusus atau wilayah dengan otonomi ekonomi yang signifikan dapat mengembangkan kebijakan ekonomi yang berbeda, praktik perdagangan, dan menarik investasi asing dengan cara yang membedakannya dari wilayah lain di negaranya. Daerah tersebut beridentitas budaya, etnis, atau bahasa unik yang membedakannya dari populasi nasional yang lebih luas. Hal ini dapat menimbulkan rasa identitas daerah yang terasa terpisah dari identitas nasional. Wilayah ini berintegrasi yang terbatas dengan wilayah lain dalam hal infrastruktur, kebijakan sosial, atau layanan publik, sehingga semakin memperkuat kekhasannya.
Sebagai contoh, Hong Kong dan Makau (China), keduanya merupakan Daerah Administratif Khusus dengan sistem hukum, pemerintahan, dan kebijakan ekonomi masing-masing, yang beroperasi berdasarkan prinsip 'satu negara, dua sistem'. Greenland berpemerintahan mandiri dan otonomi yang luas atas sebagian besar urusan dalam negeri, meskipun Greenland tetap menjadi bagian dari Kerajaan Denmark. Wilayah Kurdistan punya pemerintahan sendiri, kekuatan militer, dan otonomi yang cukup besar dari pemerintah pusat Irak, termasuk kendali atas urusan dalam negerinya. Daerah seperti Shenzhen di China, yang memiliki kebijakan ekonomi dan kerangka peraturan berbeda yang dirancang menarik investasi asing dan memacu pertumbuhan ekonomi, terkadang dapat beroperasi dengan otonomi yang signifikan.

Dalam konteks PIK 1 dan PIK 2 di Indonesia, para kritikus menggunakan istilah 'negara dalam negara' untuk menyoroti beberapa permasalahan. PIK 1 telah dikritisi karena membangun komunitas eksklusif, yang sebagian besar melayani masyarakat Chinese-Indonesia kaya, yang dapat menyebabkan segregasi sosial dan kesenjangan ekonomi. Daerah-daerah ini mungkin mempunyai peraturan dan struktur tata kelola tersendiri, terpisah dari kerangka peraturan dan administrasi yang lebih luas di Jakarta atau Indonesia secara keseluruhan. Infrastruktur, layanan, dan komunitas di dalam PIK 1 (dan berpotensi pada PIK 2) boleh jadi tak terintegrasi dengan baik dengan lingkungan sekitar, sehingga menyebabkan keterpisahan fisik dan sosial. Investasi dan pembangunan ekonomi yang signifikan di wilayah-wilayah tersebut dapat membangun kantong-kantong kekayaan dan kemakmuran yang sangat berbeda dengan wilayah-wilayah sekitarnya, sehingga berpotensi menumbuhkan rasa kemandirian ekonomi dan sosial.
Bermunculannya kantong-kantong eksklusif dapat memperburuk kesenjangan sosial dan ekonomi, sehingga menyebabkan ketegangan antar komunitas. Daerah otonom dapat berbenturan dengan pemerintah pusat atau daerah terkait masalah yurisdiksi dan kebijakan, sehingga mempersulit tatakelola dan pengawasan peraturan. Pengembangan kawasan eksklusif tersebut dapat meminggirkan budaya dan komunitas lokal, sehingga menyebabkan homogenisasi budaya dan hilangnya pusaka peninggalan budaya lokal.

Keprihatinan muncul bahwa PIK 2 akan mengikuti pola yang sama, memperburuk segregasi sosial ekonomi dan membatasi akses terhadap pembangunan baru untuk segmen masyarakat yang lebih luas. Pembangunan kawasan eksklusif seperti ini, dapat menyebabkan homogenisasi budaya, dimana keberagaman lokal dibayangi oleh komunitas yang dominan. Para kritikus khawatir bahwa tatanan budaya unik di wilayah tersebut akan terkikis, dan cara hidup tradisional komunitas yang tergusur akan hilang.
PIK 1 dikritisi lantaran membangun daerah kantong eksklusif yang didominasi oleh warga keturunan Chinese-Indonesia yang kaya. Hal ini telah menyebabkan gentrifikasi, mendorong keluarnya penduduk berpenghasilan rendah yang tak mampu lagi tinggal di daerah tersebut. Pembangunan PIK 1 melibatkan pembebasan lahan dari warga, yang banyak di antaranya mendapat kompensasi dengan harga yang dianggap sangat rendah. Hal ini mengakibatkan terjadinya penggusuran masyarakat yang kesulitan mencari perumahan yang terjangkau di tempat lain. Proyek ini telah berkontribusi terhadap segregasi sosio-ekonomi, dimana masyarakat kaya tinggal di lingkungan yang berkembang dengan baik dan aman, sementara penduduk yang terlantar dan miskin pindah ke daerah yang kurang berkembang dan lebih rentan.
Pembangunan PIK 1 melibatkan reklamasi lahan yang krusial dan perusakan hutan bakau dan lahan basah. Ekosistem ini sangat penting bagi keanekaragaman hayati, perlindungan pantai, dan perikanan lokal. Perubahan bentang alam dan sistem drainase air telah meningkatkan risiko banjir di Jakarta. Kritikus berpendapat bahwa pembangunan tersebut telah memperburuk masalah banjir yang ada di kota tersebut dengan mengurangi pertahanan banjir alami. Konstruksi dan aktivitas perkotaan yang sedang berlangsung telah berkontribusi terhadap polusi di wilayah tersebut, mempengaruhi kualitas udara dan air serta menimbulkan masalah kesehatan bagi masyarakat lokal dan satwa liar.

Para kritikus berpendapat bahwa proses pengembangan PIK 1 kurang melibatkan partisipasi dan konsultasi masyarakat. Masyarakat lokal kurang dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, sehingga pengambilan keputusan tak sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan dan kekhawatiran mereka. Ada dugaan kolusi antara pejabat pemerintah dan pengembang swasta. Para kritikus menunjuk pada perlakuan baik yang diterima oleh pengembang, seperti persetujuan yang dipercepat dan keringanan peraturan, yang menunjukkan adanya potensi korupsi. Pengawasan dan penegakan peraturan yang tak memadai telah disorot sebagai permasalahan. Para kritikus berpendapat bahwa kurangnya peraturan dan pemantauan yang ketat telah memungkinkan terjadinya praktik-praktik yang merusak lingkungan dan perlakuan tak adil terhadap warga.
Urbanisasi dan transformasi yang pesat di PIK 1 telah menyebabkan hilangnya warisan budaya dan cara hidup tradisional masyarakat tergusur. Pembangunan ini memprioritaskan kehidupan modern dan kelas atas ketimbang melestarikan budaya dan sejarah lokal. Penggusuran dan segregasi akibat PIK 1 telah memecah belah masyarakat, mengganggu jaringan sosial dan sistem pendukung yang penting bagi kohesi dan ketahanan masyarakat.

Dugaan bahwa daerah-daerah tersebut mempunyai peraturannya sendiri menimbulkan pertanyaan mengenai tatakelola dan akuntabilitas. Jika PIK 2 dijalankan dengan peraturan yang berbeda, hal ini dapat membangun kesenjangan dalam penegakan hukum, pelayanan publik, dan tanggungjawab sipil, yang berpotensi melemahkan kewenangan pemerintah daerah dan nasional. Sejarah PIK 1, yang memiliki pola pembangunan dan dinamika masyarakat yang serupa, menjadi sebuah kisah peringatan bagi PIK 2. Eksklusivitas dan anggapan bahwa PIK 1 memiliki tatakelola mandiri telah menjadi preseden yang dikhawatirkan oleh para kritikus akan terulang di PIK 2.
Secara keseluruhan, meskipun PIK 2 menjanjikan modernisasi dan pertumbuhan ekonomi, kritik-kritik ini perlu diatasi dengan memastikan pembangunan yang inklusif, kompensasi yang adil bagi komunitas yang tergusur, dan kepatuhan terhadap peraturan nasional. Menyeimbangkan kemajuan dengan keadilan sosial akan menjadi kunci keberhasilan dan penerimaan proyek dalam jangka panjang.

Proyek PIK 2, mengingat skala dan lokasinya, sesunggguhnya telah menimbulkan keprihatinan mengenai potensi risiko terhadap pertahanan, kedaulatan, dan kohesi sosial Indonesia. PIK 2 terletak di sepanjang jalur laut kritis, yang tak semata penting bagi pelayaran komersial, melainkan pula berkepentingan strategis militer. Pembangunan dan pengoperasian pembangunan milik swasta yang begitu besar di kawasan ini dapat memunculkan tantangan terhadap pemantauan dan pengendalian lalulintas maritim oleh TNI Angkatan Laut, yang berpotensi membahayakan keamanan nasional.
Pengembangan PIK 2 melibatkan infrastruktur besar yang dapat dimanfaatkan bagi pengawasan atau kegiatan lain oleh lembaga swasta. Jika tak diatur secara memadai, dapat menyebabkan pemantauan pergerakan maritim tanpa perizinan, sehingga menimbulkan risiko terhadap strategi pertahanan nasional.
PIK 2 sepenuhnya dimiliki dan dioperasikan oleh para konglomerat, sehingga menimbulkan keprihatinan mengenai luasnya pengawasan dan kendali pemerintah. Dominasi kepentingan swasta di kawasan strategis tersebut, dapat melemahkan kedaulatan negara, apalagi jika tindakan konglomerat tersebut tak sejalan dengan kepentingan nasional. Konsentrasi kekuatan ekonomi di tangan konglomerat swasta dapat menimbulkan pengaruh yang tak proporsional terhadap politik lokal dan nasional. Hal ini dapat mengakibatkan pengambilan kebijakan yang memihak kepentingan swasta dibanding kesejahteraan masyarakat, sehingga melemahkan otoritas negara dan proses demokrasi. 
Berkembangnya komunitas eksklusif dan makmur di PIK 2 sehingga menjadikannya 'Proyek Sultan',  dapat memperburuk kesenjangan sosial ekonomi yang ada. Jika proyek menyebabkan penggusuran tanpa dukungan yang memadai, dapat menumbuhkan kebencian dan ketegangan sosial. Mirip dengan PIK 1, ada risiko bahwa PIK 2 hanya melayani kelompok demografi tertentu, sehingga berpotensi mengarah pada homogenisasi budaya. Hal ini dapat mengikis keragaman budaya dan tatanan sosial di wilayah tersebut, serta mengurangi rasa kebersamaan dan inklusivitas.
Guna mengatasi permasalahan ini, pemerintah Indonesia seyogyanya menerapkan kerangka peraturan dan mekanisme pengawasan yang kuat. Hal ini termasuk memastikan kompensasi yang transparan dan adil bagi komunitas yang tergusur; menetapkan pedoman yang jelas bagi keterlibatan sektor swasta di bidang-bidang strategis; meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam mengelola dan memantau proyek pembangunan; dan mendorong praktik pembangunan inklusif yang memprioritaskan kesetaraan dan kohesi sosial.

Terdapat beberapa potensi benturan negatif tambahan dari proyek PIK 2 terhadap Indonesia secara keseluruhan, selain dampak yang berkaitan dengan pertahanan, kedaulatan, dan kohesi sosial. Dampak ini mencakup perencanaan lingkungan, ekonomi, dan perkotaan. Pengembangan PIK 2 melibatkan reklamasi lahan dan konstruksi penting di sepanjang pantai. Hal ini dapat mengganggu ekosistem lokal, termasuk hutan bakau, lahan basah, dan habitat laut, sehingga menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati dan ketidakseimbangan ekologi. Pembangunan di wilayah pesisir, terutama di lahan reklamasi, dapat memperburuk risiko banjir. Perubahan pada aliran air alami dan pola drainase dapat membuat wilayah tersebut lebih rentan terhadap banjir, yang tak hanya berbenturan pada pembangunan itu sendiri, tetapi juga masyarakat sekitar. Konstruksi skala besar dan urbanisasi dapat menyebabkan peningkatan polusi, termasuk polusi udara, air, dan suara. Meningkatnya lalulintas kendaraan, aktivitas industri, dan konstruksi, dapat merusak lingkungan setempat dan memberikan akibat buruk terhadap kesehatan masyarakat.
Proyek PIK 2 dapat menimbulkan spekulasi real estat, sehingga menaikkan harga properti di dalam dan sekitar pembangunan. Hal ini dapat membuat perumahan menjadi tak terjangkau bagi banyak penduduk setempat, sehingga menyebabkan gentrifikasi dan perpindahan penduduk berpenghasilan rendah. Manfaat proyek PIK 2 sangat berpihak pada kelompok kaya dan terhubung, sehingga memperlebar kesenjangan ekonomi antara kelompok kaya dan miskin. Hal ini dapat mengakibatkan meningkatnya kesenjangan dan tensi sosio-ekonomi. Ketergantungan yang besar pada satu konglomerat untuk pembangunan sebesar itu dapat menciptakan kerentanan ekonomi. Jika konglomerat tersebut menghadapi kesulitan keuangan atau mengubah prioritasnya, hal ini dapat menimbulkan dampak besar terhadap perekonomian dan lapangan kerja lokal.

Pembangunan yang pesat dapat memberikan tekanan pada layanan publik dan infrastruktur yang ada, termasuk layanan kesehatan, pendidikan, transportasi, dan sanitasi. Bila tak direncanakan dan dikelola dengan baik, dapat menyebabkan kepadatan penduduk, penurunan kualitas layanan, dan peningkatan tekanan terhadap sumber daya lokal. PIK 2 dapat berkontribusi terhadap perluasan perkotaan, yang menyebabkan penggunaan lahan tak efisien dan peningkatan waktu perjalanan. Hal ini dapat mengakibatkan emisi karbon yang lebih tinggi, kemacetan lalulintas yang lebih besar, dan penurunan kualitas hidup penduduk. Pembangunan komunitas kelas atas dan eksklusif dapat menutupi budaya dan tradisi lokal. Masuknya masyarakat yang lebih homogen dan makmur akan meminggirkan praktik budaya lokal dan menghilangkan warisan budaya daerah.
Untuk mengatasi potensi dampak negatif ini, diperlukan pendekatan perencanaan dan pembangunan yang holistik dan inklusif. Hal ini dapat mencakup: penerapan peraturan lingkungan hidup yang ketat dan langkah-langkah konservasi; memastikan pilihan perumahan yang terjangkau dan melindungi penduduk dari ketergusuran; berinvestasi pada infrastruktur berkelanjutan dan layanan publik dalam mendukung pertumbuhan populasi; mendorong keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan melestarikan budaya lokal dan memenuhi kebutuhan seluruh penduduk. Dengan mempertimbangkan dan memitigasi potensi dampak negatif ini secara hati-hati, proyek PIK 2 dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan Indonesia sekaligus mendorong keberlanjutan, kesetaraan, dan kohesi sosial.

Jika lahan tersebut diperoleh dari penduduk dengan harga yang jauh di bawah harga (misalnya Rp 50.000 per m²) dan kemudian dijual dengan harga selangit (misalnya Rp 35.000.000 per m²), hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai fairness dan transparansi dalam proses akuisisi. Jika manfaat proyek lebih menguntungkan pengembang swasta atau pejabat pemerintah tertentu, menunjukkan adanya potensi konflik kepentingan. Hal ini dapat mencakup kontrak yang menguntungkan, perubahan peraturan yang menguntungkan, atau hak pembangunan eksklusif. Tiadanya catatan publik yang jelas mengenai proses pengadaan lahan, kompensasi kepada warga yang kehilangan tempat tinggal, dan prosedur pengambilan keputusan dapat mengindikasikan adanya potensi kolusi. Transparansi sangat penting memastikan akuntabilitas dan fairness. Jika proyek mengabaikan prosedur peraturan standar atau menerima persetujuan yang dipercepat tanpa pengawasan yang tepat, menunjukkan adanya pengaruh yang tak semestinya atau kolusi. Hubungan dekat antara pejabat pemerintah dan pengembang swasta, seperti ikatan keluarga, kemitraan bisnis, atau aliansi politik, dapat menimbulkan kecurigaan adanya kolusi.
Kolusi dapat memperburuk kesenjangan ekonomi dengan mentransfer kekayaan dan sumber daya dari masyarakat umum ke sekelompok kecil pihak swasta, sehingga menyebabkan masyarakat lokal dirugikan. Kolusi yang dirasakan atau nyata melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pemerintah dan dapat menimbulkan sinisme yang meluas terhadap keadilan dan integritas proses-proses publik. Penggusuran penduduk tanpa kompensasi yang adil dan pembentukan komunitas eksklusif dapat menyebabkan keresahan sosial, protes, dan peningkatan ketegangan antar kelompok sosial ekonomi yang berbeda. Kolusi dapat mengikis supremasi hukum dengan menjadi preseden bagi proyek-proyek di masa depan yang mana standar hukum dan etika dikompromikan demi keuntungan pribadi.

Kritikus mungkin memunculkan kekhawatiran mengenai proyek real estat berskala besar seperti PIK 2 yang berpotensi dipergunakan sebagai pencucian uang. Permasalahan ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti masuknya dana dalam jumlah besar, kurangnya transparansi dalam transaksi, dan keterlibatan investor terkemuka atau entitas dengan latarbelakang keuangan yang kompleks.
Transaksi real estate seringkali melibatkan uang dalam jumlah besar, sehingga menarik bagi pencucian dana terlarang. Properti dapat dibeli dan dijual dengan harga yang melambung atau di bawah nilai guna menutupi asal-usul dananya. Penggunaan perusahaan cangkang, perwalian, atau struktur kepemilikan kompleks lainnya, dapat mengaburkan pemilik properti tersebut yang sebenarnya, sehingga menyulitkan penelusuran sumber dana. Transparansi yang terbatas di pasar real estate, termasuk pembeli dan penjual anonim, dapat memfasilitasi pencucian uang. Transaksi yang dilakukan melalui uang tunai atau rekening luar negeri semakin mempersulit pelacakan.
Seringnya jual beli properti dalam jangka waktu singkat (flipping) dapat dimanfaatkan untuk pencucian uang. Transaksi cepat ini dapat membantu membersihkan dana haram dengan mengintegrasikannya ke dalam sistem keuangan yang sah. Metode pendanaan yang tak konvensional, semisal pembayaran tunai dalam jumlah besar, pinjaman dari sumber yang tak jelas, atau transaksi dengan dokumentasi yang minim, dapat mengindikasikan potensi aktivitas pencucian uang.
Pihak berwenang dan lembaga keuangan hendaknya melakukan uji tuntas yang lebih baik terhadap transaksi dan properti bernilai tinggi, terutama yang melibatkan struktur kepemilikan yang kompleks. Kolaborasi dengan lembaga-lembaga internasional dan berbagi informasi mengenai transaksi lintas batas dapat membantu melacak dana terlarang dan mencegah pencucian uang melalui real estate. Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai risiko pencucian uang di bidang real estate dan melindungi pelapor yang melaporkan aktivitas mencurigakan, dapat meningkatkan upaya deteksi dan pencegahan.

Tensi sosio-politik di Indonesia, khususnya yang melibatkan konglomerat Chinese-Indonesia, berakar sejarah yang dalam dan dinamika yang kompleks. Tensi sosio-politik mengacu pada ketegangan, konflik, atau perselisihan dalam masyarakat yang timbul dari perbedaan kepentingan, nilai, dan dinamika kekuasaan sosial, ekonomi, dan politik. Ketegangan ini dapat terwujud dalam berbagai bentuk, termasuk protes, pemogokan, ketidakstabilan politik, dan kerusuhan sosial. Memahami ketegangan sosial-politik sangat penting menganalisis dinamika masyarakat dan pemerintahannya.
Tingkat tensi sosio-politik yang tinggi dapat menyebabkan ketidakstabilan pemerintahan, seringnya pergantian kepemimpinan, dan tantangan terhadap otoritas negara. Ketegangan dapat menghalangi investasi, menurunkan pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan biaya menjalankan bisnis karena ketidakstabilan dan ketidakpastian. Protes, pemogokan, dan kerusuhan merupakan manifestasi umum dari tensi sosio-politik. Hal ini dapat mengganggu kehidupan sehari-hari dan menyebabkan kekerasan serta kerusakan properti. Ketegangan yang terus-menerus dapat mengikis kepercayaan dan kerjasama antar kelompok sosial yang berbeda, sehingga melemahkan tatanan sosial dan ikatan komunitas. Dalam upaya menekan perbedaan pendapat dan mengelola ketegangan, pemerintah akan mengambil tindakan keras yang melanggar hak asasi manusia dan kebebasan sipil.

Pada masa penjajahan Belanda, para imigran Chinese memainkan peran penting dalam perdagangan dan keuangan. Pemerintah kolonial sering memposisikan pedagang Chinese sebagai perantara, yang mendorong keberhasilan ekonomi namun juga membuka perpecahan sosial. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, peran orang Chinese di Indonesia tetap berpengaruh dalam perekonomian. Namun, keunggulan mereka seringkali menimbulkan rasa 'kurang berkenan' di kalangan masyarakat adat Indonesia (pribumi), yang merasa terpinggirkan secara ekonomi. Di bawah Presiden Suharto (1967-1998), pemerintah membina hubungan dekat dengan elit bisnis Chinese-Indonesia, termasuk konglomerat seperti Salim Group. Hubungan ini saling menguntungkan namun juga menimbulkan kecurigaan dan kekurangsetujuan masyarakat. Krisis Keuangan Asia tahun 1998 memperburuk ketegangan ini, yang berujung pada kerusuhan anti-Chinese dan pergolakan sosio-politik yang signifikan.
Kesenjangan kekayaan yang lebar antara warga keturunan Chinese-Indonesia dan masyarakat pribumi Indonesia merupakan sumber utama ketegangan. Keberhasilan ekonomi konglomerat Chinese-Indonesia kerap bertolakbelakang dengan kemiskinan relatif yang dialami banyak komunitas pribumi. Hubungan erat antara elit bisnis Chinese-Indonesia dan para pemimpin politik telah menimbulkan persepsi pilih-kasih, kronisme, dan korupsi. Hal ini melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan memicu ketidaksukaan. Warga Chinese-Indonesia menghadapi diskriminasi dan pertanyaan mengenai kesetiaan dan kewarganegaraan mereka. Meskipun mereka berkontribusi terhadap perekonomian, mereka sering dijadikan kambing hitam ketika terjadi ketidakstabilan politik dan ekonomi. Politisi terkadang mengeksploitasi ketegangan etnis dan ekonomi demi keuntungan politik, menggunakan retorika anti-Chinese untuk menggalang dukungan di kalangan pemilih pribumi. Hal ini memperburuk perpecahan sosial dan melemahkan kohesi nasional.

Pembangunan skala besar seperti BSD City seringkali memerlukan pembebasan lahan dalam jumlah besar, sehingga menggusur masyarakat lokal. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan, terutama jika kompensasi dianggap tidak memadai atau tidak adil. Proyek-proyek real estat kelas atas dapat menciptakan daerah-daerah makmur yang secara sosial dan ekonomi tidak terhubung dengan daerah-daerah di sekitarnya yang berpendapatan rendah. Segregasi ini dapat memperburuk ketegangan sosial dan memperkuat kesenjangan ekonomi. Degradasi lingkungan akibat pembangunan skala besar dapat berdampak pada masyarakat lokal, sehingga menimbulkan konflik penggunaan lahan dan pengelolaan sumber daya. Kritikus berpendapat bahwa manfaat dari proyek-proyek tersebut seringkali tidak menjangkau masyarakat yang terkena dampak.
Kesenjangan kekayaan yang lebar antara berbagai kelompok, khususnya antara elit bisnis Chinese-Indonesia dan masyarakat adat Indonesia, dapat menimbulkan kebencian dan konflik. Proyek seperti BSD City, yang melibatkan investasi besar dari konglomerat berpengaruh, dapat memperburuk kesenjangan ini jika tak dikelola secara inklusif. Pembangunan berskala besar seperti BSD City seringkali memerlukan pembebasan lahan dalam jumlah besar, sehingga menggusur masyarakat lokal. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan, terutama jika kompensasi dianggap tak memadai atau tidak fair. Proyek-proyek real estat kelas atas akan membangun daerah-daerah makmur yang secara sosial dan ekonomi tak terhubung dengan daerah-daerah di sekitarnya yang berpendapatan rendah. Segregasi ini dapat memperburuk ketegangan sosial dan memperkuat kesenjangan ekonomi. Degradasi lingkungan akibat pembangunan skala besar dapat berdampak pada masyarakat lokal, sehingga menimbulkan konflik penggunaan lahan dan pengelolaan sumber daya. Kritikus berpendapat bahwa manfaat dari proyek-proyek tersebut kerap tak menjangkau masyarakat yang terkena dampak.
Keberagaman penduduk Indonesia mencakup berbagai kelompok etnis dan budaya. Ketegangan bisa muncul ketika kelompok tertentu merasa terpinggirkan atau didiskriminasi. Secara historis, masyarakat Chinese-Indonesia telah menghadapi tantangan seperti ini, sehingga berkontribusi terhadap tensi sosio-politik. Para pemimpin politik mengeksploitasi ketegangan ini demi keuntungan pemilu, sehingga menyebabkan perpecahan yang semakin besar. Persepsi korupsi dan favoritisme dalam proyek-proyek pembangunan besar dapat semakin mengikis kepercayaan terhadap pemerintah dan memperburuk konflik.

Kohesi sosial merupakan kuatnya hubungan dan rasa solidaritas antar anggota suatu komunitas. Hal ini ditandai dengan rasa saling percaya, nilai-nilai bersama, dan rasa memiliki. Tensi sosio-politik dapat menyebabkan ketidakstabilan, kerusuhan, dan kekerasan, sehingga mengganggu keamanan dan stabilitas nasional. Agar suatu bangsa menjadi kuat, kohesi sosial sangatlah penting. Tensi sosio-politik tentunya akan merugikan baik warga Chinese-Indonesia (yang tentunya WNI) maupun warga bumiputera.
Menerapkan kebijakan yang mendorong pembangunan ekonomi yang adil dan mengurangi kesenjangan dapat mengatasi penyebab utama tensi sosio-politik. Hal ini mencakup dukungan terhadap usaha kecil dan menengah (UKM), penciptaan lapangan kerja, dan jaring pengaman sosial. Inisiatif yang mendorong integrasi dan kohesi sosial dapat membantu menjembatani kesenjangan etnis dan ekonomi. Hal ini mencakup pendidikan inklusif, program pertukaran budaya, dan kegiatan pembangunan komunitas. Transparansi dalam proses pengambilan keputusan dan peraturan dapat mengurangi persepsi korupsi dan pilih-kasih. Pengawasan independen dan akuntabilitas publik sangat penting untuk membangun kepercayaan. Memastikan bahwa proyek pembangunan mencakup dan memberikan manfaat bagi masyarakat lokal dapat membantu mengurangi ketegangan. Hal ini meliputi kompensasi yang adil bagi warga yang kehilangan tempat tinggal, investasi pada infrastruktur lokal, dan keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan.

Dalam konteks proyek pembangunan berskala besar seperti PIK 2 dan BSD City, strategi ini sering melibatkan pemanfaatan dukungan dari tokoh bisnis dan konglomerat berpengaruh. Pengembang dan konglomerat berskala besar, seperti mereka yang berada di belakang PIK 2 dan BSD City, punya sumber daya keuangan yang besar. Dukungan mereka sangat penting dalam kampanye politik, menyediakan dana iklan, demonstrasi, dan kegiatan kampanye lainnya. Kontribusi dari entitas-entitas ini dapat secara berarti mendukung kampanye kandidat atau partai. Sebagai imbalannya, perusahaan-perusahaan ini acapkali mengharapkan kebijakan dan lingkungan peraturan yang menguntungkan.
Tokoh-tokoh bisnis terkemuka yang mendukung kandidat politik dapat mempengaruhi persepsi publik dan mempengaruhi opini pemilih. Dukungan semacam ini dapat memberikan kredibilitas dan menarik suara dari demografi tertentu. Bisnis yang berkepemilikan media juga dapat menggunakan platform mereka mempromosikan kandidat pilihan dan membentuk wacana publik.
Dalam Pilkada, dukungan elite bisnis lokal bisa jadi penentu. Misalnya saja, di wilayah sekitar PIK 2 dan BSD City, kandidat yang sejalan dengan kepentingan proyek-proyek tersebut dapat memperoleh dukungan besar dari pengembang. Kandidat dapat berkampanye dengan janji membangun lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi melalui proyek-proyek ini, sehingga menarik pemilih lokal yang dapat memperoleh manfaat langsung. Pengembang dapat mendukung kandidat yang menjanjikan undang-undang zonasi dan kebijakan penggunaan lahan yang menguntungkan, sehingga memudahkan persetujuan dan perluasan proyek. Politisi akan menawarkan keringanan pajak atau insentif finansial lainnya agar menarik dan mempertahankan dukungan terhadap bisnis-bisnis tersebut.
Kedekatan hubungan antara politisi dan tokoh bisnis dapat menimbulkan kecurigaan adanya korupsi dan pengaturan quid pro quo, yaitu pertukaran bantuan politik dengan dukungan finansial. Kurangnya transparansi dalam urusan-urusan ini, dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap proses politik dan menyebabkan perlunya peraturan yang lebih ketat. Pengaruh kepentingan pebisnisnis yang kaya dapat mengganggu proses demokrasi, memberikan kekuasaan yang tak proporsional kepada sekelompok kecil elit dengan mengorbankan kepentingan publik yang lebih luas. Memprioritaskan kepentingan pengembang dapat memperburuk kesenjangan sosial, terutama jika proyek pembangunan menyebabkan penggusuran atau tak mampu menghadirkan manfaat bagi masyarakat lokal.

Seperti yang telah daku sebutkan sebelumnya, PIK 2 dan BSD City bisa diibaratkan 'Venesianya Jakarta, tapi dengan para Naga', menjanjikan keajiban perkotaan modern. Namun, di balik permukaan, dapat terlihat sebagai bidak catur politik dalam permainan kekuasaan dan pengaruh yang berisiko tinggi. Kendati PIK 2 dan BSD City mungkin menjanjikan kemegahan dan perkembangan seperti Venesia, membawa pula tantangan dan kontroversi yang tak terduga, sebuah 'fatamorgana modernisasi di tengah gurun pasir penggusuran', ibarat menghadapi fatamorgana di gurun pasir—yang bersifat ilusi dan berpotensi bahaya. Ia bisa berupa 'Utopia Perkotaan', atau boleh jadi, 'Permainan Gadai Politik', sehingga sumpah 'NKRI harga mati' cuma sekedar gonggongan yang membagongkan.
Secara keseluruhan, proyek-proyek negara memainkan peran penting dalam membentuk lanskap sosio-ekonomi sebuah negara, meningkatkan kualitas hidup warga negaranya, dan memajukan tujuan pembangunan berkesinambungan sembari mengatasi tantangan dan peluang dalam konteks nasional.

Pada episode selanjutnya, kita akan bincang tentang Kekuatan Militer. Negara-negara kuat kerap beraliansi strategis yang meningkatkan keamanan dan pengaruh global mereka. Militer yang kuat, mampu membela negara dari ancaman eksternal. Biidznillah.”

Lalu, Seruni pun bersenandung,

If you're looking for a sign
[Bila dirimu mencari sebuah pertanda]
Something to carry you back into the light
[Sesuatu yang membawamu kembali ke dalam cahaya]
Love is the answer
[Cintalah jawabnya]
Love is the answer *)
[Cintalah jawabnya]
Kutipan & Rujukan:
- M Said Didu (@msaid_didu), Manusia Merdeka-MSD, YouTube
- Hersubeno Point, Said Didu: Saya Sangat Khawatir PIK-2 Bisa Lepas dari NKRI, Seperti Singapura Lepas dari Malaysia!, YouTube
- Bambang Susantono, Arifin Rudiyanto, & Ananda B. Siregar, Indonesia's Infrastructure Development: Balancing Economic Growth and Environmental Sustainability, 2020, Asian Development Bank Institute
- Jonathan White, The Politics of Crisis: An Introduction to the Study of Crisis Politics, 2021, Oxford University Press
*) "Love is the Answer" karya Natalie Ann Howard & Armon Jay Cheek