Dalam hening yang menyusul kegaduhan, kita belajar bahwa kenangan itu, bukanlah barang dagangan, sebab ia tak berdiam di pasar harta, melainkan di ruang batin, tempat tangan keserakahan tak mampu meraih dan badai politik tak sanggup menghapus.Mengatakan bahwa kenangan itu bukanlah barang dagangan berarti mengumandangkan perlawanan diam terhadap kerajaan hiruk-pikuk. Ia pengingat bahwa sekalipun rumah dijarah, dan nama tercampak dalam debu amarah, ruang keramat dalam memori tetap tak tersentuh. Kekuasaan bisa goyah, pemerintahan bisa retak, dan arak-arakan janji bisa larut jadi asap, namun kenangan tentang kebaikan, tentang roti yang dibagi, tentang doa yang berbisik di kamar temaram, tetap teguh seperti lilin yang menolak padam diterpa angin.
Malam setelah gejolak menyimpan kelengangan yang aneh, sepi yang tak melupakan riuh jalanan, melainkan menyerapnya hingga ke sumsum negeri.Wajah-wajah kuasa mungkin bersinar di bawah lampu buatan konferensi pers, namun mata rakyat menyala berbeda, bagai lentera yang bergetar di tengah badai.Dalam keheningan itu, sebuah bangsa mendengar detak jantungnya sendiri, bukan lagi sebagai tabuhan amarah, melainkan denyut ragu dari sesuatu yang masih hidup dan merindu.
Ada syair aneh dalam riuh demokrasi, dimana suara bertabrakan laksana gelombang, namun entah bagaimana pasang tetap menemukan iramanya.
Dan di tengah amarah serta curiga, orang belajar bahwa bahkan kekecewaan adalah bentuk peduli, sebab hanya yang cinta mendalam bisa merasa dikhianati begitu dalam.
Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, sebab ia adalah harta yang tak bisa dipajaki kekuasaan, tak bisa disita penguasa, dan tak bisa dihanyutkan badai sejarah.
Anak muda yang letih, yang berjalan di bawah beban poster dan teriakan, mungkin kelak sadar bahwa jejak mereka takkan pernah hilang, melainkan terukir bagai pahatan dalam sukma sejarah.
Sementara itu, orang-orang tua yang mengintip dari jendela, membisikkan doa ke dalam malam, mengingatkan kita bahwa iman bukanlah diam, melainkan daya tahan yang menyamar dalam ketenangan.
Pertanyaannya bukanlah apakah badai akan datang lagi—ia selalu kembali—melainkan sudahkah rakyat belajar menari di antara tetes hujannya.
Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, karena ia tinggal di arsitektur hati, terukir diam-diam dalam tawa yang pernah pecah, dalam luka yang pernah membekas, dan dalam bisikan harapan yang tak mau padam.
Sebab damai bukanlah ketiadaan riuh, melainkan kehadiran makna, benang yang mengikat luka agar sembuh menjadi bekas yang bisa bercerita.
Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, karena ia menolak logika uang, sebab nilainya tidak diukur dengan emas, melainkan dengan air mata, senyum, dan doa yang terucap ketika dunia terasa terlalu berat untuk dipikul.
Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, sebab meski kota bergetar oleh teriakan demonstrasi, meski spanduk menantang langit besi, yang tersisa bukanlah riuh itu, melainkan ingatan lembut tentang alasan mengapa kita berjalan bersama.
Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, karena setiap manusia menapaki sejarah bukan hanya dengan langkahnya, melainkan juga dengan gema dari mereka yang mendahului, meninggalkan jejak tak kasat mata namun abadi.
Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, karena ia mengingatkan kita bahwa seusai jalan-jalan dibersihkan dan mikrofon dimatikan, akan selalu ada suara sunyi di dalam diri, menceritakan kembali kisah martabat dan kerinduan.
Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, karena ia menjahit kain bangsa yang terkoyak, membisikkan bahwa keadilan bukanlah komoditas, dan kebenaran, meski ditunda, tak bisa selamanya dikubur.
Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, sebab ia bukan milik penguasa atau pemenang, melainkan milik mereka yang bertahan, mereka yang berdiri di bawah hujan, mereka yang diamnya menyimpan seribu kata tak terucap.
Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, karena beratnya air mata seorang ibu, getar harapan seorang ayah, tawa anak-anak yang masih berani bermimpi—semua ini adalah mata uang yang tak dikenal pasar, namun abadi dalam kebenaran.
Ketika riuh telah reda dan gema slogan larut menjadi ingatan, kita tetap akan berkumpul di meja kenangan. Di sana, cerita menjadi roti, dan tawa menjelma perisai yang lebih kuat dari segala dekrit. Kenangan bukanlah barang dagangan, karena ia bukan komoditas; ia adalah pusaka suci, ditenun ke dalam jiwa kita laksana benang cahaya. Di dalamnya kita temukan ketangguhan, bisikan lembut bahwa bahkan di malam tergelap sejarah, jiwa manusia masih menyimpan cahaya fajar yang dirindukan.
Kenangan bukanlah barang dagangan, sebab ia tak ditempa dari koin atau ditakar oleh rakusnya pasar, melainkan terukir dalam lorong sunyi hati manusia. Ketika jalanan bergemuruh oleh teriakan dan spanduk bergetar melawan angin, yang abadi bukanlah riuhnya massa, melainkan kelembutan ingatan tentang arti sebuah harapan. Tak seorang perampok pun mampu mencuri harum fajar masa kecil, dan tak ada kekerasan yang bisa menghapus hangatnya pelukan ibu ketika dunia di luar tengah dilalap gelisah.
Kenangan bukanlah barang dagangan, sebab ia terukir di dinding rahasia jiwa tempat tak ada koin yang bisa menjejak. Ia serpihan cahaya mentari yang tersangkut di daun bergetar, bisikan tawa yang masih tinggal di lorong waktu, dan duka perpisahan yang terus bergaung lama selepas langkah pergi. Tiada pasar yang bisa menakar, sebab ia berdiam di luar jangkauan dagang, tak tersentuh riuh tawar-menawar. Ia warisan tak kasatmata yang menautkan kita pada kemanusiaan, pengingat bahwa bahkan di tengah badai putus asa, ada benang lembut makna yang tak pernah bisa direnggut.
Di sisa kerusuhan, ketika jalan masih bergetar oleh gema teriakan dan asap menempel di udara senja, kenangan datang tanpa diundang. Ia hadir bukan sebagai barang dagangan, melainkan saksi bisu: genggaman tangan dalam ketakutan, air mata jatuh tanpa terlihat, senyum yang terbagi dalam perlawanan. Ia mengingatkan kita bahwa di luar politik dan perebutan kuasa, mata uang sejati kehidupan terletak pada apa yang kita simpan di dalam—momen keberanian, kebaikan, dan ketangguhan. Melupakannya sama saja menjual sebagian jiwa, namun menjaganya berarti merebut kembali martabat dari kekacauan.
Maka, berbisik “kenangan itu bukanlah barang dagangan” merupakan sebuah pemberontakan lembut terhadap dunia yang terobsesi pada kepemilikan. Ia memeluk erat kisah-kisah yang membentuk kita, bukan sebagai piala, melainkan bara hidup yang terus menghangatkan langkah di hari-hari tak menentu. Di dalamnya, kita temukan luka kehilangan sekaligus obat penawar harapan, pengingat bahwa nilai hidup tak dihitung oleh harta atau ketenaran, melainkan oleh rapuh indahnya apa yang pernah kita jalani dan rasakan.Dalam hening selepas gejolak, manusia menyadari bahwa kekayaan sejati hidup bukanlah diukur oleh harta atau jabatan yang singkat, melainkan oleh kenangan yang kita bawa di dalam diri. Inilah harta yang tak dapat dibeli, tak dapat dijarah, tak dapat berkurang meski waktu terus berjalan. Mengucap “Kenangan bukanlah barang dagangan" menegaskan bahwa apa yang terukir di dalam hati, melampaui semua pasar dunia, menolak segala bentuk komodifikasi oleh kuasa maupun harta.
Tatkala jalanan bergema dengan amarah dan udara dipenuhi keputusasaan, kenangan menjadi tempat perlindungan. Ia mengingatkan kita pada saat-saat sederhana, pada tawa yang terpatri di bawah senja yang memudar, pada suara-suara yang telah lama tiada namun masih hidup di hati kita. Dalam ingatan semacam itu terletak ketangguhan, sebab tiada rezim, tiada kerusuhan, tiada kehancuran yang dapat menghapus aroma dari sesuatu yang dulu begitu kita sayangi.
Dunia boleh mengejar emas, lahan, atau pengaruh yang fana, namun kenangan adalah satu-satunya mata uang yang tak mengenal inflasi. Ia mempertahankan nilainya lintas dekade, bahkan abad, diwariskan dari satu generasi ke generasi lain bagaikan doa yang berbisik. Menjual kenangan adalah hal yang mustahil, sebab hakikatnya tertanam dalam keintiman suci antara hidup dan jiwa.
Dalam sisa-sisa protes dan kegelisahan, kenanganlah yang menyembuhkan. Sebab ketika seseorang mengingat wajah-wajah orang tercinta, hangatnya kebaikan yang pernah diberi, momen kebersamaan yang pernah terasa, maka luka hari ini mulai melunak. Ungkapan “Kenangan bukanlah barang dagangan" dengan demikian menjadi sekaligus peringatan dan penghiburan: peringatan terhadap mereka yang ingin mengkomodifikasi kemanusiaan, dan penghiburan bagi mereka yang masih percaya pada kesuciannya.
Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, sebab ia harta diam yang terukir di dinding hati, tak tersentuh hiruk pikuk pasar atau genggaman kuasa. Ia tetap tinggal saat spanduk runtuh, kala pekikan melebur dalam nyenyat, ketika bara amarah diganti bening fajar. Pada akhirnya, yang bertahan di balik asap demonstrasi dan debu kerusuhan bukanlah reruntuhan kaca atau batu, melainkan serpihan ingatan yang kita dekap dalam jiwa.
Di dunia tempat suara bertabrakan dan emosi membara, kenangan menjelma perlawanan yang lembut, sebuah cara untuk berkata: kami pernah ada, kami merasa, kami bermimpi. Ia tak diperdagangkan dengan koin, tak dipamerkan di etalase, sebab ia bersemayam dalam lipatan rahasia waktu. Setiap kenangan berbisik tentang ketahanan manusia, mengingatkan kita bahwa bahkan di tengah kekacauan, masih ada sesuatu yang tak retak, tak terbeli, dan tetap suci.
Teriakan massa mungkin bergema lalu lenyap, tetapi kenangan tentang alasan mereka berkumpul akan tetap abadi. Ia terukir bukan hanya dalam foto atau rekaman, melainkan dalam denyut yang dibagi mereka yang berdiri berdampingan. Dan meski badai politik datang silih berganti, kenangan tetaplah arsip kebenaran yang sunyi, melawan tangan yang berusaha menghapusnya.
Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, lantaran ketika semua spanduk telah lusuh dan semua suara serak hilang, yang tertinggal hanyalah arsip abadi dalam diri, tak tersentuh, tak terbeli, tak terlupakan.
Dan barangkali, di musim rapuh ini, kita bisa menemukan bahwa persatuan bukan semata keseragaman, melainkan keharmonisan, laksana nada-nada berbeda yang berani berada dalam lagu yang sama.
Ada saatnya ketika duka harus melepaskan cengkeramannya, ketika kita mesti bangkit dari debu kekecewaan dan menatap ke depan dengan mata yang jernih. Terlalu lama kita berdiam dalam perih kemarin hanyalah mengikat diri pada bayangan, yang takkan pernah bisa membangun hari esok. Air mata yang jatuh telah menyirami tanah; kini saatnya kita menanam benih persatuan, kasih mengasihi, dan tekad di atasnya.
Makna kemerdekaan bukan sekadar mengenang pengorbanan mereka yang telah mendahului, melainkan menghormatinya dengan merajut hari ini agar pantas bagi keberanian mereka. Kita mesti berkumpul bukan dengan bahasa amarah, melainkan dengan irama kerja bersama, mengangkat bangsa ini bukan sebagai serpihan, tapi sebagai satu batang tubuh.
Jangan biarkan napas kita habis dalam ratapan yang tak berujung; serahkanlah napas itu pada nyanyian pembaruan, pada kerja keras membangun, pada jembatan kesepahaman antarhati. Sebab kemerdekaan tak pernah selesai; ia selalu menjadi tugas abadi, diperbarui setiap generasi, menunggu tangan-tangan yang sudi memikulnya dengan keluhuran.
Maka, marilah kita move on, bukan dengan melupakan, melainkan dengan mengubah luka menjadi tujuan, perpecahan menjadi kebersamaan, dan putus asa menjadi tekad. Panggilan zaman ini bukanlah perpecahan, melainkan kebersamaan. Cakrawala itu terbentang luas, tanpa retak, berbisik bahwa kisah bangsa ini belum selesai dituliskan—dan kitalah yang menggenggam penanya.
Minggu, 31 Agustus 2025
Kenangan itu bukanlah Barang Dagangan
Sabtu, 30 Agustus 2025
Antara ‘Tolol’ dan Krisis Kepercayaan
Rocky Gerung pernah bilang—“Amok” tuh salah satu kata dari Bahasa Indonesia yang berhasil nyelonong masuk ke Advanced Webster English Dictionary. Bung Rocky gak sempat nyebutin kata yang kedua, tapi versi ahli kata pinjaman menunjukkan kalau kata itu adalah “latah”.Kata “amok” itu asalnya dari amuk—langsung ngewakilin sensasi ngamuk masal, rusuh, chaos total, alias orang marah udah kelewat batas sampai gak bisa dikendalikan. Sementara “latah” adalah fenomena khas Asia Tenggara: reaksi refleks mencontoh secara berlebihan saat orang kaget atau malu, mirip kayak bayi refleks ngeloyor gitu.Kalau dikaitkan sama kondisi sekarang, kata “amok” tuh paling pas menggambarkan bagaimana kemarahan rakyat meledak pas DPR bilang rakyat “tolol” dan polisi nabrak ojol. Ini bukan sekadar marah biasa, tapi semacam krisis emosi nasional—bener-bener ngamuk bareng-bareng.Sedangkan “latah” punya makna tersembunyi yang sama satirenya: kadang institusi cuma “ikut-ikutan” minta maaf atau bikin penyelidikan, padahal hati dan kredibilitas belum bener-bener disembuhin. Mereka cuma tiru ritual permintaan maaf, tanpa bener-bener berubah, kayak rebutan main konten viral soal ketidakpekaan, tapi setelah itu ya... gitu doang.Jadi, dua kata sumbangan Bahasa Indonesia—amok dan latah—ironisnya jadi metafora pas banget buat drama politik sekarang. Satu nunjukin letupan kemarahan rakyat, satunya lagi nunjukin reaksi onani institusi yang rapuh dan cuma gaya-gayaan. Bahasa kita ternyata udah ngasih label yang pas buat chaos dan kepura-puraan di zaman now.Kata “amok” (atau amuck) emang beneran masuk kamus Inggris, lho—misalnya di Merriam-Webster. Kata itu, yang akar etimologisnya dari Bahasa Jawa, kemudian menyebar melalui bahasa Melayu, diambil dari amuk yang maknanya “tiba-tiba ngamuk total”, jadi nggak cuma masuk bahasa sehari-hari, tapi udah jadi frasa idiom “run amok” yang dipake sejak abad ke-17.Nah, kata “latah” juga beneran nongol di kamus Inggris, biasanya di bagian medis atau psikologi. Merriam-Webster ngejelasin kalau latah adalah kondisi neurotik yang bikin orang ikut-ikutan, ngomong atau lakuin hal yang didengar tanpa sadar—pas sering kejadian di budaya Melayu. Banyak kamus lain—kayak Collins atau Dictionary.com—juga nyampein definisi serupa: reaksi reflex mimik secara berlebihan kalau kaget.Jadi klaim Rocky Gerung soal dua kata ini bener banget. Amok sama latah emang bener-bener udah nyampe ke kamus Inggris, dan bukan sekadar jargon antar budaya—tapi punya makna penting yang ngegambarin emosi publik dan reaksi reflektif institusi dalam skala global.Dalam panggung ruwet politik Indonesia, dua kata “amok” dan “latah” jadi simbol yang nancep banget pas dibawa ke drama DPR dan Kepolisian. “Amok” itu ledakan emosi rakyat yang udah gak ketahan lagi, kayak pas ada anggota DPR nyeletuk nyebut rakyat “tolol,” atau pas mobil Barkuda polisi malah nabrak driver ojol—kemarahan jadi kayak bom meledak di jalanan. Tapi di sisi lain ada “latah,” refleks asal nyeplos tanpa mikir yang persis kayak gaya sebagian pejabat dan aparat, yang cuma nge-echo alasan klise tanpa isi, seolah lagi playback rekaman basi. Jadinya kombinasi serem: rakyat ngamuk dari bawah, elit latah dari atas, bikin teater absurd penuh ketidakpercayaan. Inilah momen dimana jurang antara rakyat dan institusi makin menganga, karena satu pihak marah betulan, sedangkan pihak satunya cuma nge-jawab dengan kebiasaan kosong.
Sejarah tuh penuh drama, guys. Banyak banget contoh dimana lembaga kayak Senat, DPR, atau Parlemen jadi bulan-bulanan rakyat sendiri gara-gara dianggep cuek bebek ama penderitaan orang kecil. Lihat aja Revolusi Prancis: awalnya rapat akbar bernama Estates-General tahun 1789 itu buat ngewakilin rakyat. Tapi apa yang terjadi? Para wakilnya malah terlalu lama debat, sibuk mikirin diri sendiri, gak ngeh kalau rakyat udah kelaparan. Akhirnya massa ngamuk, Bastille diserbu, dan sistem kerajaan runtuh kayak kartu domino.Di Romawi kuno juga sama. Senatnya awalnya dihormati, tapi makin lama makin korup, makin elitis, dan ogah dengerin rakyat jelata. Ada tokoh Gracchi bersaudara yang coba reformasi, eh malah dibunuh. Dari situ jelas banget, Senat udah lost touch, rakyat jadi nempel ke tokoh populis kayak Julius Caesar, dan boom—Republik hancur, diganti Kekaisaran.Lompat ke era modern, Duma Rusia tahun 1917 juga bernasib apes. Lagi-lagi karena gagal ngurusin krisis pangan dan tuntutan pekerja plus tentara. Akhirnya rakyat udah nggak tahan, Tsar dijatuhin, dan Duma ikut tersapu revolusi. Jadi bisa dibilang polanya sama: begitu wakil rakyat merasa lebih pinter dari rakyat, atau nganggep rakyat cuma gangguan, ujung-ujungnya rakyat yang “ngasih tanda tangan” terakhir lewat jalanan, bahkan kalau perlu nge-reset seluruh sistem politiknya sekalian.Asia juga punya banyak kisah epic soal DPR atau parlemen yang kelewat songong sampai akhirnya disikat rakyat. Di Korea Selatan era 1980-an, Majelis Nasional kayak cuma jadi stempel basah buat penguasa militer. Mahasiswa sama buruh ngamuk di jalanan, capek karena aspirasinya dicuekin. Demo besar yang disebut June Struggle tahun 1987 bikin pemerintah akhirnya nyerah dan bikin reformasi. Dari situ, parlemen mereka jadi beneran lebih representatif, bukan sekadar pajangan.Di Taiwan juga begitu. Puluhan tahun, Legislative Yuan dikuasai Partai Kuomintang yang ngaku mewakili seluruh Tiongkok, tapi malah cuek sama rakyat Taiwan sendiri. Akhirnya, demo gede-gedean tahun 80-an dan 90-an memaksa mereka buka pintu demokratisasi.Nah, kalau Thailand malah lebih drama lagi. Parlemen di sana berkali-kali dibubarin, bahkan digulingin. Rakyat muak karena anggota parlemen lebih sibuk ngurus kepentingan elite ketimbang dengerin suara rakyat. Demo, pendudukan gedung parlemen, sampai kudeta, semua jadi reaksi langsung atas politisi yang nganggep suara rakyat kayak sampah. Jadi, cerita-cerita Asia ini intinya sama: kalau lembaga wakil rakyat kebablasan, sok pintar, dan makin jauh dari rakyat, biasanya rakyat nggak segan kasih pelajaran—kadang lewat kotak suara, kadang lewat aksi jalanan.Kalau kita taruh kerusuhan Indonesia Agustus 2025 di peta sejarah dunia, polanya tuh kayak deja vu. Kayak Prancis 1789, wakil rakyat sibuk debat sementara rakyat kelaparan; atau kayak Senat Romawi yang makin sok elit sampai nggak nyambung sama rakyat. Nah, DPR RI juga lagi dituding ngikutin jalur itu. Bayangin aja, mereka ngusulin tunjangan rumah 50 juta per bulan, sementara rakyat ngelawan harga pangan, biaya sekolah, sama ancaman PHK. Udah jelas citranya jadi kayak benteng privilege, bukan lagi rumah wakil rakyat. Tragedi Affan Kurniawan yang dilindas rantis pun langsung berubah jadi simbol jurang antara penguasa dan rakyat jelata.Kondisi ini mirip banget sama Korea Selatan era 80-an atau Taiwan sebelum reformasi. DPR kita sekarang lagi diuji: kalau cuek dan nganggep protes cuma ribut-ribut receh, siap-siap aja ribut itu jadi raungan gede yang nggak bisa dibungkam. Tapi kalau mereka belajar dari sejarah, masih ada jalan buat berubah jadi lembaga yang beneran dengerin rakyat, ikut ngerasain susahnya rakyat, dan akhirnya dipercaya lagi. Sejarah dari Prancis, Roma, Rusia, Korea, Taiwan, sampai Thailand udah kasih warning keras: begitu parlemen nganggep rakyat kayak gangguan, rakyat nggak diem—mereka ngumpul, mereka bangkit. Jadi, keramaian di luar pagar Senayan itu bukan sekadar ribut, tapi alarm: kalau pondasi kepercayaan hancur, atap politik bisa runtuh kapan aja.Sejarah dunia udah sering banget nyatet momen dimana polisi, yang harusnya jadi pelindung rakyat, malah jadi musuh publik nomor satu. Di Amerika tahun 1992 misalnya, kasus pemukulan Rodney King sama polisi LA yang pelakunya bebas di pengadilan bikin kota kebakar beneran. Rakyat ngamuk, jalanan penuh api, gedung-gedung dijarah, dan seragam polisi jadi simbol kekerasan, bukan lagi perlindungan.Di Mesir tahun 2011 juga lebih gila lagi. Polisi yang udah lama terkenal brutal, korup, dan doyan nangkep orang sembarangan akhirnya kena karma. Tanggal 28 Januari yang dikenal sebagai “Jumat Kemarahan,” rakyat nyerbu kantor-kantor polisi, bakar markas, dan bikin aparat kabur dari jalanan. Dari situ rezim Mubarak langsung goyah. Amarah rakyat bukan soal politik di atas kertas, tapi soal ketakutan sehari-hari sama aparat yang harusnya ngasih rasa aman.Dekat ke Asia Tenggara, Filipina zaman Marcos juga punya kisah kelam. Polisi di sana, yang udah nyatu sama militer, terkenal ganas ngegas demo dan nindas oposisi. Pembunuhan Benigno Aquino Jr. plus serangkaian pelanggaran aparat bikin rakyat meledak. People Power Revolution tahun 1986 pun pecah, jalanan dipenuhi warga yang ngelawan tank sama barisan polisi cuma dengan keberanian. Dari situ jelas banget: begitu polisi berubah dari pelindung jadi predator, kepercayaan rakyat bisa rontok seketika.Polanya kelihatan jelas: satu insiden aja—entah itu pemukulan brutal, penembakan di depan umum, atau tragedi orang dilindas mobil taktis—bisa jadi pemantik revolusi massal.Tragedi Affan Kurniawan 28 Agustus 2025 itu kerasa banget kayak deja vu sejarah dunia. Bukan sekadar kecelakaan, tapi pemicu yang buka borok hubungan antara aparat dan rakyat. Di Los Angeles tahun 1992, pemukulan Rodney King plus vonis bebas polisi yang mukulin doi bikin rakyat merasa sistem udah total nyebelin. Jalanan pun meledak, karena rasa sakit rakyat dianggap sepele sama penguasa.Di Kairo tahun 2011, “Jumat Kemarahan” jadi titik balik. Puluhan tahun polisi ngasih teror dan represi, akhirnya rakyat nyerbu kantor-kantor polisi, bakar markas, dan aparat dianggap udah nggak punya legitimasi. Demo di sana bukan lagi soal politik abstrak, tapi tentang pengen bebas dari ketakutan tiap kali ketemu seragam.Indonesia versi 28 Agustus juga punya makna simbolik serupa. Kematian Affan di bawah ban rantis brimob nggak dilihat sebagai kecelakaan, tapi sebagai lambang keangkuhan dan ketidakpedulian. Sama kayak video pemukulan Rodney King atau kantor polisi Mesir yang diserbu, peristiwa itu bikin duka berubah jadi kemarahan kolektif. Pesannya jelas: polisi bukan penguasa, tapi pelayan masyarakat. Dan polanya bikin merinding: percikan memang tiba-tiba, tapi bensinnya udah ditumpuk lama—dari represi, dari arogansi, dari rasa rakyat dianggap remeh.Sejarah dunia punya banyak contoh wakil rakyat atau elit politik yang kelewat belagu, ngeledekin rakyatnya sendiri sebagai tolol, bego, atau nggak paham apa-apa. Hasilnya? Malah bikin rakyat ngamuk habis-habisan. Di Prancis sebelum Revolusi, para bangsawan dan anggota dewan sering ngeremehin kaum jelata, bilang mereka nggak ngerti urusan negara. Padahal rakyat cuma minta roti murah dan pajak adil. Ejekan itu jadi bensin tambahan, akhirnya Bastille diserbu, dan rezim tua rontok. Jadi jelas banget, nyebut rakyat bodoh itu biasanya jadi blunder terakhir penguasa.Di Inggris abad ke-19 juga ada cerita serupa. Anggota Parlemen ngejek aktivis kelas pekerja dari gerakan Chartist, bilang mereka cuma “massa nggak berpendidikan.” Tapi bukannya bubar, malah makin kompak dan bikin tuntutan hak pilih makin kuat. Hinaan itu malah jadi vitamin perjuangan, dan akhirnya reformasi mereka masuk ke sistem demokrasi Inggris.Lebih deket lagi, saat Arab Spring, politisi Tunisia dan Mesir sering nyinyirin demonstran, dibilang “anak kecil” atau “orang bego yang gampang diprovokasi.” Ada anggota parlemen Tunisia yang bahkan nyepelein aksi bakar diri Bouazizi sebagai hal konyol. Hasilnya? Dalam hitungan minggu, hinaan itu jadi gema revolusi yang ngejatuhin presiden sekaligus ngeguncang seluruh kawasan.Pesannya gampang: kalau DPR atau parlemen nyebut rakyatnya tolol, mereka kira udah ngebungkam suara rakyat. Padahal yang mereka lakuin cuma nulis prolog buat drama kejatuhan mereka sendiri.Kalau ditarik benang merah dari Prancis 1789, Inggris abad 19, Tunisia 2011, sampai Indonesia 2025, polanya jelas banget: tiap kali wakil rakyat malah ngehina rakyat, hinaan itu berubah jadi bibit pemberontakan. Di Prancis, bangsawan dan anggota dewan ngatain rakyat jelata bego dan nggak ngerti apa-apa, tapi justru “petani tolol” itu yang ngegulingin kerajaan. Di Inggris, Chartist diejek cuma massa lugu, tapi justru ide mereka yang akhirnya jadi fondasi demokrasi modern. Di Tunisia, aksi putus asa Bouazizi ditertawain politisi, dianggap nggak ada artinya, eh malah jadi api yang nyulut revolusi seluruh dunia Arab. Dan sekarang di Indonesia, sebutan “tolol” dari seorang anggota DPR kena pas banget di hati rakyat yang udah kepedesan sama krisis ekonomi dan muak sama politik yang nggak karuan.Polanya gampang dibaca: makin pongah mulut penguasa, makin gampang marah rakyat berubah jadi gerakan. Kata-kata yang dilontarkan di gedung parlemen mungkin terdengar kecil, tapi gaungnya paling kenceng di jalanan, tempat kekuatan asli rakyat ada. Sejarah udah bolak-balik ngasih warning: ngehina rakyat bukan tanda kekuatan, tapi pembukaan babak kejatuhan.Hinaan yang saling dilontarkan di kursi DPR dan kekerasan yang tumpah dari barisan polisi itu bukan sekadar emosi dadakan, tapi gejala dari penyakit yang lebih dalam: hilangnya kepercayaan. Begitu rakyat curiga bahwa anggota DPR hanya menganggap mereka pion, dan polisi melihat mereka sebagai penghalang ketimbang orang yang harus dilindungi, kontrak sosial yang rapuh itu goyang hebat. Kepercayaan adalah mata uang tak kasat mata dalam demokrasi; begitu dihambur-hamburkan, bahkan institusi paling megah pun jadi telanjang, kehilangan wibawa di depan rakyatnya.Di zaman ketika teknologi bikin informasi melesat lebih cepat dari gosip di warung kopi, pejabat Indonesia harus hati-hati banget sama omongan mereka. Kata-kata yang dulu bisa ditelan mentah-mentah sama masyarakat, sekarang udah langsung diiris, dipretelin, dan dicek faktanya cuma dalam hitungan menit sama rakyat yang modalnya cuman HP dan kuota. Kebiasaan ngeremehin kecerdasan publik dengan janji-janji kosong, narasi ngaco, atau celetukan asal-asalan udah nggak laku lagi di era keterbukaan digital. Satu kalimat yang niatnya cuma lewat bisa langsung jadi kontroversi nasional, ngebuka borok ketidakbecusan, keangkuhan, atau bahkan kebohongan. Jadi, bukan cuma saran, tapi udah keharusan buat pejabat ngomong dengan akurat, rendah hati, dan penuh hormat, kalau nggak mau ucapannya jadi senjata makan tuan.Akan tetapi, di antara kata-kata sembrono dan krisis kepercayaan, masih ada peluang untuk ditebus. DPR bisa belajar lagi rendah hati, polisi bisa balik ke tugas utamanya melindungi, dan bangsa bisa ketemu lagi rasa persatuannya. Tapi kalau keangkuhan masih dipelihara, sejarah sudah berkali-kali ngasih spoiler bahwa akan datang waktunya rakyat berkata: cukup sudah, game over.
Di tengah riuhnya rakyat bentrok sama DPR dan polisi, tiba-tiba nongol sebuah pernyataan nyentrik: “Prabowo nggak mampu jaga keamanan, jadi harus mundur.” Yang bikin heboh, ucapan itu bukan datang dari gerakan rakyat biasa atau kelompok reformis, tapi dari mereka yang menamai diri Laskar Cinta Jokowi—gabungan kata yang kedengarannya romantis, tapi sebenernya sarat ambisi politik. Pernyataan itu terasa bukan sebagai ajakan tulus buat ngejagain stabilitas, melainkan provokasi yang sengaja ditata biar bikin resah, seolah-olah kekacauan bukan lagi gejala tapi sudah vonis. Dengan label penuh cinta-cintaan itu, mereka coba bungkus manuvernya biar tampak manis dan loyal, padahal di balik branding mesra itu ada permainan politik keras, yang kesannya bukan buat beresin masalah, tapi buat bikin jalan cerita bahwa chaos ini wajar dijadikan alasan buat ngegeser kekuasaan.Teringat film Hollywood Air Force One (1997), Wapres yang diperanin Glenn Close emang nggak langsung nusuk Presiden, tapi film itu nunjukin jelas banget kalau posisi Wapres bisa super rapuh—di antara loyalitas total sama Presiden sama godaan atau kebutuhan buat ambil alih kekuasaan kalau lagi krisis. Ketegangan ala film ini mirip banget sama politik nyata, dimana jabatan Wapres nggak pernah lepas dari kecurigaan. Pas keadaan lagi gonjang-ganjing, publik dan orang-orang di lingkaran politik biasanya ngelihat Wapres bukan cuma sebagai deputi setia, tapi juga kayak pewaris diam-diam yang siap naik tahta kalau mesin kepemimpinan mulai macet. Di persimpangan tipis antara loyalitas dan ambisi ini, politik keliatan kayak teater rapi—setiap gerakan, lirikan, dan kata dianalisis sebagai kode niat tersembunyi.Dalam Absolute Power (1997), Clint Eastwood bukan cuma main film—doski masuk ke sarang kekuasaan yang penuh jebakan. Di sana, bukan Wapres yang jadi dalang, tapi orang-orang dekat Presiden yang main dua kaki. Intrik politiknya? Lebih ribet dari skenario sinetron jam prime time. Kalau di Indonesia, mungkin udah ada adegan lempar map dan tatapan tajam sambil bilang, “Saya kecewa, Pak Presiden…”Lanjut ke 24, serial TV yang cocok ditonton sambil makan mi instan tengah malam. Di sini, Wapres bukan cuma ambisius—doi ikut plot kudeta! Kalau ini sinetron lokal, pasti ada adegan Wapres berdiri di balkon Istana, angin meniup jasnya, lalu berkata pelan, “Sudah waktunya saya memimpin negeri ini…”Hollywood tahu betul: Wapres itu karakter yang gurih. Harusnya jadi “second-in-command”, tapi bisa berubah jadi “second-to-betray”. Cocok banget buat drama—penuh ambisi, penuh rahasia, dan selalu siap bilang, “Saya hanya ingin yang terbaik untuk negeri ini…” sambil senyum tipis penuh makna.
Jumat, 29 Agustus 2025
Tragedi Barracuda: Krisis Polisi Indonesia
Pada malam 28 Agustus 2025, Jakarta diguncang oleh insiden mengerikan yang menjadi sorotan nasional. Saat demonstrasi di kawasan Pejompongan, sebuah kendaraan lapis baja polisi, yang dikenal sebagai Barracuda, melindas dan membunuh seorang driver ojek online, Affan Kurniawan. Rekaman mengerikan yang beredar di media sosial menunjukkan kendaraan tersebut terus maju, menyeret korban beberapa meter, sementara warga berusaha membantu. Kendaraan itu tak berhenti, dan tak ada pertolongan segera diberikan kepada korban. Insiden ini menimbulkan pertanyaan serius tentang perilaku dan akuntabilitas aparat penegak hukum di Indonesia.Tragedi ini memicu kemarahan publik yang meluas. Platform media sosial dipenuhi dengan kecaman, dan organisasi masyarakat sipil menyerukan keadilan. Insiden ini menyoroti masalah-masalah yang telah lama ada dalam tubuh kepolisian, termasuk penggunaan kekuatan berlebihan, kurangnya akuntabilitas, dan budaya impunitas yang dirasakan. Kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum telah terkikis parah, dan tuntutan untuk reformasi sistemik semakin keras terdengar.
Liputan media internasional tentang insiden polisi melindas pengemudi ojek online di Jakarta tanggal 28 Agustus 2025 benar-benar bikin reputasi Indonesia jadi sorotan tajam. BBC menulis bahwa kasus ini menunjukkan makin menurunnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum, apalagi ketika video viral memperlihatkan mobil polisi sengaja enggak berhenti dan malah ninggalin korban. The Guardian menekankan bahwa aksi ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius, mengingat aparat yang seharusnya melindungi malah justru menghilangkan nyawa.
Al Jazeera juga menyoroti bahwa peristiwa tersebut bukan insiden tunggal, melainkan bagian dari pola panjang brutalitas polisi di Indonesia yang sebelumnya sering dikeluhkan masyarakat sipil. Mereka membandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara dimana tuntutan reformasi kepolisian sudah semakin kencang. Sementara itu, Reuters menyorot bahwa permintaan maaf dari pejabat tinggi dianggap nggak cukup, dan publik Indonesia menuntut adanya pertanggungjawaban lebih konkret—mulai dari proses hukum hingga kemungkinan pengunduran diri pejabat terkait.
Dengan framing semacam itu, media internasional menggambarkan Indonesia seolah-olah sedang menghadapi krisis kepercayaan besar terhadap lembaga kepolisian. Kalau dibiarkan tanpa tindakan nyata, bayangannya Indonesia bisa makin dipandang sebagai negara yang gagal mengontrol aparat sendiri. Jadi, bukan cuma masalah internal, tapi juga soal citra global yang kena getahnya.
Insiden Barracuda ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, khususnya terkait hak atas hidup. Menurut standar HAM internasional, setiap individu punya hak fundamental atas kehidupan, keselamatan, dan keamanan. Ketika aparat atau institusi penegak hukum bertindak dengan sengaja atau sembrono membahayakan nyawa warga—terutama jika tak ada usaha menolong setelah menyebabkan cedera atau kematian—ini termasuk pelanggaran serius terhadap hak tersebut.
Dari sisi hukum, tindakan melindas warga dan tak memberikan pertolongan bisa dilihat sebagai penghilangan nyawa secara sewenang-wenang, yang dilarang baik menurut hukum HAM internasional maupun peraturan domestik Indonesia mengenai hak asasi manusia dan hukum pidana. Apalagi jika disertai impunitas atau minimnya akuntabilitas, pelanggaran ini makin berat karena memberi sinyal bahwa aparat negara bisa membahayakan warga tanpa konsekuensi serius.
Singkatnya, insiden ini bukan cuma kriminal, tapi juga pelanggaran hak hidup yang fundamental, sehingga menuntut penyelidikan pidana dan mekanisme akuntabilitas HAM.
Salah satu aspek yang paling mengkhawatirkan dari krisis ini adalah keengganan pejabat Indonesia untuk mengundurkan diri di tengah tuduhan serius. Di banyak negara demokrasi, pejabat publik yang terlibat dalam kontroversi atau kegagalan besar sering kali mengundurkan diri untuk bertanggungjawab dan menjaga kepercayaan publik. Namun, di Indonesia, pengunduran diri semacam itu jarang terjadi. Norma budaya dan politik sering kali menghalangi pejabat untuk mundur, bahkan ketika tindakan atau kelalaian mereka telah menyebabkan kerugian publik.
Keengganan untuk mundur ini bukan hanya masalah akuntabilitas individu, tetapi juga mencerminkan masalah yang lebih serius dalam sistem politik. Ini menunjukkan kurangnya budaya akuntabilitas yang kuat dan kegagalan untuk menegakkan prinsip bahwa pejabat publik pada akhirnya bertanggungjawab kepada rakyat yang mereka layani. Tiadanya pengunduran diri di tengah insiden serius seperti tragedi Barracuda mengirimkan pesan yang mengkhawatirkan: bahwa mereka yang berkuasa dapat menghindari tanggungjawab tanpa konsekuensi.
Insiden Barracuda bukanlah kejadian terisolasi, melainkan bagian dari pola masalah yang lebih luas dalam sistem penegakan hukum dan politik Indonesia. Meminta maaf saja tidak cukup dalam kasus se-serius insiden Barracuda. Meskipun permintaan maaf bisa menunjukkan pengakuan atas kesalahan dan rasa penyesalan, hal itu tak menyelesaikan masalah kegagalan sistemik, akuntabilitas hukum, atau hilangnya nyawa. Publik dan keluarga korban butuh lebih dari kata-kata—mereka butuh tindakan nyata seperti investigasi menyeluruh, penuntutan hukum terhadap pelaku, sanksi disipliner, reformasi institusi, dan langkah-langkah pencegahan agar tragedi serupa tak terulang.
Singkatnya, permintaan maaf tanpa tindakan nyata bisa terlihat superfisial atau palsu, bahkan memperburuk ketidakpercayaan publik. Akuntabilitas sejati menuntut langkah konkret yang menggabungkan tanggungjawab moral, keadilan hukum, dan reformasi institusi.
Guna memulihkan kepercayaan publik dan memastikan akuntabilitas, reformasi komprehensif sangat diperlukan. Reformasi ini harus mencakup:
- Memperkuat Mekanisme Pengawasan: Badan independen harus diberdayakan untuk menyelidiki dan menahan aparat penegak hukum atas pelanggaran.
- Meningkatkan Transparansi: Operasi dan proses pengambilan keputusan kepolisian harus dibuat lebih transparan kepada publik.
- Mempromosikan Budaya Akuntabilitas: Pejabat publik harus dipegang pada standar etika yang tinggi, dan harus ada konsekuensi yang jelas atas pelanggaran.
- Mendorong Pengunduran Diri yang Tepat: Pejabat harus bersedia mengundurkan diri ketika tindakan mereka menyebabkan kerugian publik, sebagai contoh akuntabilitas.
Tragedi Barracuda menjadi pengingat yang tajam tentang tantangan yang dihadapi oleh sistem penegakan hukum dan politik Indonesia. Insiden ini menekankan perlunya reformasi institusi mendesak untuk mengatasi masalah akuntabilitas dan transparansi. Hanya melalui reformasi institusi semacam itu kepercayaan publik dapat dipulihkan dan integritas institusi publik dapat dijaga.
Rabu, 27 Agustus 2025
Maksim Lord Acton: Power Tends to Corrupt ... (4)
[Bagian 1]Bayangin, ada tiga sobat lagi ribut mau nongkrong makan malam. Level pertama kekuasaan gampang banget dilihat: satu orang langsung sotoy bilang, “Kita makan ayam geprek aja,” terus yang lain pasrah. Level kedua lebih licik: sebelum debat dimulai, temennya udah nge-hide semua pilihan resto kecuali warung bakso, jadi topik ayam geprek langsung nggak ada di meja. Level ketiga lebih halus lagi dan paling ngeri: ada satu temen yang dari dulu udah sukses nge-brainwash gengnya kalau makan sushi itu lebay, kemahalan, dan nggak cocok buat “kita anak kos,” jadi ide itu nggak pernah muncul sama sekali. Nah, inilah yang dimaksud Steven Lukes: kadang kita kira pilihan kita bebas, padahal udah lama dikondisikan. Ibaratnya, bukan cuma siapa yang milih lagu di Spotify, tapi siapa yang bikin loe percaya kalau genre tertentu itu “nggak keren.”Power: A Radical View karya Steven Lukes itu ibarat buku wajib buat siapa pun yang mau paham gimana kekuasaan main di balik layar. Di edisi keduanya tahun 2005 (yang upgrade dari versi 1974), Lukes nggak cuma bahas kekuasaan yang kelihatan—kayak siapa yang ambil keputusan—tapi juga yang licik dan nyelip di balik tirai.Doski bilang, kekuasaan itu punya tiga “muka”. Muka pertama: yang terang-terangan, kayak bos bilang “kita meeting jam 9,” dan semua nurut. Muka kedua: yang ngatur agenda, jadi isu-isu penting bisa sengaja nggak dibahas. Misalnya, kenapa harga tahu naik tapi nggak pernah masuk headline. Muka ketiga (yang paling ngeri): yang ngatur isi kepala orang—bikin kita percaya sesuatu yang sebenernya nggak nguntungin kita. Kayak kita mikir “kerja lembur itu loyal,” padahal cuma bikin burnout.Edisi kedua buku ini makin tajam karena Lukes juga ngebalas kritik dan ikut nimbrung di debat kekinian. Makanya, buku ini jadi semacam “kitab suci” buat anak politik, sosiologi, atau filsafat yang pengen tahu gimana kekuasaan bisa jalan tanpa suara, tanpa bentrokan, tapi tetep bikin orang nurut.Yang bikin Lukes keren bukan cuma teorinya, tapi karena doi nunjukin bahwa dominasi itu kerap kagak kelihatan—karena udah masuk ke cara kita mikir dan ngerasa. Kekuasaan bukan cuma soal siapa yang menang debat, tapi siapa yang bisa bikin kita nggak sadar kalau kita udah kalah dari awal.Kalau dibawa ke gaya Indonesia, bayangin politik kayak gini. Level pertama kekuasaan itu paling kelihatan: ada pejabat tampil di TV dengan gaya tegas bilang, “Kebijakan ini final, titik!” Rakyat cuma bisa geleng-geleng sambil nyeruput kopi sachet. Level kedua lebih kalem tapi beracun: sebelum sidang DPR mulai, para orang kuat udah duluan nge-filter topik, jadi kasus panas kayak korupsi kroni mereka otomatis nggak masuk daftar pembahasan. Level ketiga yang paling serem sekaligus halus: lewat bertahun-tahun kampanye media, kurikulum sekolah, sampai jargon budaya, rakyat dibikin percaya kalau kritik sama pemerintah itu sama aja kayak kurang ajar, bahkan bisa bahaya. Akhirnya orang jadi auto-censor, mikir dua kali sebelum ngomong, padahal belum sempet demo udah takut duluan. Nah, inilah “tiga wajah kekuasaan” versi Steven Lukes kalau dibungkus politik lokal: bukan cuma soal siapa yang teriak paling keras, tapi juga siapa yang ngatur playlist isi kepala kita.
Dalam The Anatomy of Power (1983, Houghton Mifflin), John Kenneth Galbraith berusaha ngebongkar aura mistis di balik kekuasaan dan nunjukin kalau aslinya gaya-gaya kuasa itu ada resepnya. Menurutnya, power itu nggak satu paket sakti mandraguna, tapi pecah jadi tiga gaya. Pertama ada condign power, yaitu kuasa yang maksa orang nurut karena takut dihukum atau kena sanksi—kayak kalau lo nggak patuh, siap-siap kena mental atau dompet bolong. Kedua ada compensatory power, yaitu kuasa yang bikin orang mau ikut karena ada imbalan—bisa duit, jabatan, atau sekadar tepukan bahu biar kelihatan keren. Nah, yang paling halus tapi paling ngeri adalah conditioned power, yaitu kuasa yang nge-set pola pikir dan bikin orang nurut tanpa sadar kalau sebenernya lagi diarahkan—biasanya lewat media, pendidikan, atau budaya populer. Galbraith nunjukin kalau di dunia modern, gaya ketiga inilah yang paling dominan, karena bikin orang merasa memilih sendiri padahal lagi di-orientasiin. Framework ini sampai sekarang masih relate banget buat ngejelasin gimana negara, korporasi, bahkan influencer bisa ngatur arah hidup kita.
Dalam The Craft of Power, Ralph Siu membuat perbedaan mendalam dari apa yang disebutnya “persons of power” dan “conventional executives.” Bedanya orang berkuasa sama eksekutif konvensional itu ibarat beda antara pemain bola biasa sama coach sekaligus pemilik klub. Eksekutif konvensional ya kayak manajer kantor: rajin, rapi, jalanin SOP, bikin laporan mingguan, pokoknya main sesuai aturan yang udah ada. Mereka penting, tapi tetep aja levelnya “pegawai elit.” Nah, orang berkuasa itu beda kelas—mereka bukan cuma ikut main di lapangan, tapi bisa ngatur kapan pertandingan digelar, bikin aturan baru kalau perlu, bahkan ganti wasit kalau situasi menuntut. Jadi kalau eksekutif konvensional tugasnya jaga mesin tetap nyala, orang berkuasa bisa ngerombak mesin, bahkan bikin pabrik baru. Siu mau bilang: satu sibuk ngejaga status quo, satunya lagi yang pegang kunci buat nentuin masa depan permainan.Dalam gaya pop kultur Indonesia, “The Craft of Power” itu maksudnya kayak ilmu jurus pamungkas buat main di level atas kekuasaan. Siu pengen bilang kalau power itu bukan cuma hasil hoki, bukan juga sekadar warisan dari bapak moyang, tapi sesuatu yang bisa dipelajari, diasah, dan dikuasai kayak orang latihan silat atau jadi DJ handal. Loe nggak cukup cuma punya jabatan atau suara keras; loe kudu ngerti kapan ngomong, kapan diem, kapan ngegas, dan kapan main halus. It’s not about gaya preman, tapi lebih ke seni: seni ngatur timing, seni baca lawan, seni bikin orang lain nurut tanpa sadar kalau mereka lagi diarahkan. Jadi, “The Craft of Power” itu kayak manual book rahasia buat jadi dalang wayang politik—yang ngerti kapan narik benang, kapan melepas, dan gimana bikin semua penonton percaya bahwa yang mereka lihat itu natural, padahal semuanya udah settingan.The Craft of Power itu kayak jurusnya karakter cerdik di Game of Thrones atau Naruto. Di Westeros, eksekutif konvensional ya kayak Ser Davos—setia, rajin, tapi tetep aja main di level “anak buah.” Sementara orang yang ngerti The Craft of Power itu kelasnya kayak Tyrion atau Littlefinger: mereka nggak cuma ikut main, tapi bisa bikin aturan sendiri, ngatur kapan sekutu jadi lawan, dan kapan lawan jadi sekutu. Di dunia Naruto juga sama: ninja biasa yang cuma bisa jurus standar itu eksekutif konvensional, tapi Shikamaru, dengan otak encer dan taktiknya, jelas contoh orang yang mainin The Craft of Power. Siu mau kasih kode keras: kalau mau beneran jadi pemain besar, jangan andelin otot doang atau teriak paling kenceng, tapi perlakukan kekuasaan kayak seni—main halus, penuh perhitungan, dan bikin semua orang nggak sadar kalau mereka udah masuk ke dalam skenario loe.
Dalam The End of Power (2013, Basic Books), Moisés NaÃm bilang kita hidup di zaman dimana dapetin kekuasaan itu jauh lebih gampang, tapi ngejaga sama makainya justru makin ribet. Menurut doski, globalisasi, teknologi, sama banjir informasi bikin monopoli lama yang dulu bikin penguasa, korporasi, atau lembaga bisa duduk manis bertahun-tahun sekarang udah luntur. Zaman now, siapa aja yang punya niat, akses ke digital tools, dan ide gokil bisa langsung bikin ribut hierarki lama dan sebentar doang nyomot spotlight kekuasaan. Tapi justru gara-gara kekuasaan makin nyebar, orang yang udah dapet power malah gampang ditantang, dikekang transparansi publik, dan dipretelin ama perubahan yang super cepat. Intinya, kata NaÃm, kekuasaan hari ini kayak mie instan: gampang dimasak, enak sebentar, tapi cepet abis dan gampang direbut orang lain.
Korupsi, kalau kata vibe-nya Moisés NaÃm, nggak melulu soal pejabat yang lagi mabuk jabatan atau sok-sokan berkuasa, tapi juga bisa lahir karena kekuasaan zaman sekarang gampang banget pecah dan nggak stabil. Di dunia dimana gampang banget nyomot spotlight tapi susah banget bikin kursi itu langgeng, banyak pejabat hidup dalam ketakutan kalau besok-besok posisi mereka bisa ambyar. Dari situ muncul godaan buat main kotor: bukan cuma demi kantong pribadi, tapi juga buat nyari loyalitas, beli stabilitas, atau ngejaga diri biar tetap relevan di tengah politik yang kayak roller coaster. Jadi, korupsi itu sekarang bukan cuma tanda orang kelewat kuasa, tapi juga bukti kalau kekuasaan makin ringkih dan gampang retak.
Nah, lantaran itulah bisa banget dibilang kalau kasus Wamenaker ini jadi alarm buat Presiden Prabowo biar ngecek ulang siapa aja yang duduk di kursi menteri, wamen, atau pejabat lain. Soalnya kalau yang baru aja dilantik udah bikin ulah, gimana yang udah bertahun-tahun pegang kuasa? Kuasa itu kayak kopi kental—semakin lama diseduh, makin pahit jadinya. Emang sih, ada beberapa menteri lama yang jago banget, kapabilitasnya oke, dan kerja kerasnya terbukti. Tapi pepatah klasik tetep ngehantuin: “absolute power corrupts absolutely.” Jadi, penyegaran kabinet bukan cuma soal strategi politik, tapi juga vaksin biar kekuasaan nggak makin keropos moralnya.Kalau ada orang kelamaan duduk di kursi kekuasaan—entah itu presiden, menteri, atau pejabat publik lainnya—demokrasi yang tadinya segar bisa pelan-pelan berubah jadi kerajaan gaya baru. Sistem yang mestinya rotasi jabatan malah jadi kayak “kursi empuk” yang ditempati turun-temurun. Lama-lama, jabatan publik nggak lagi dianggap sebagai amanah, tapi udah kayak harta pribadi yang bisa diwarisin. Hasilnya? Demokrasi jadi feodalisme modern, dimana loyalitas bukan ke institusi negara, tapi ke sosok yang berkuasa.Sementara itu, meritokrasi—yang harusnya ngasih tempat buat orang-orang berbakat—ikut rusak karena lingkaran kekuasaan lebih milih orang yang loyal ketimbang orang yang kompeten. Dari situ lahirlah nepotisme, di mana keluarga dan kerabat ditempatkan di posisi strategis, plus kronisme, di mana kawan lama dan geng politik dikasih jabatan penting meskipun skill-nya pas-pasan. Sejarah udah banyak nunjukin hal ini: raja yang awalnya dipilih rakyat jadi penguasa turun-temurun, tokoh revolusi yang teriak “merdeka” tapi malah bikin dinasti politik, sampai pemimpin republik yang nyambi jadi raja kecil. Intinya jelas: makin lama kekuasaan dipegang satu orang atau kelompok, makin gampang demokrasi berubah jadi drama feodalisme, dan meritokrasi luntur jadi ajang bagi-bagi kursi.Kalau kacamata Lord Acton dipake, keberlanjutan para menteri lama di era Presiden Prabowo tuh ibarat konser lama yang cuma ganti vokalis tapi pemain band-nya tetep. Kalau kata Acton, “power tends to corrupt,” maka otomatis makin lama orang-orang itu nongkrong di kursi empuk kekuasaan, makin mereka lengket dengan sistem, jaringan, dan loyalitas lama yang udah bikin mereka nyaman. Jadi jangan heran kalau bukannya muncul reformasi baru, yang ada malah polesan doang dari status quo lama. Intinya, rezim baru bisa keliatan kayak mobil baru, tapi mesinnya masih bekas, dan mesin bekas ini udah penuh karat kroni, nepotisme, sama gaya feodal. Kata Acton, bukan cuma pemimpinnya yang rawan korup, tapi sistem kekuasaan yang dibiarin tanpa ganti oli akan keropos pelan-pelan. Jadi jangan kaget kalau nanti Presiden Prabowo malah jadi kejebak dalam tarikan gravitasi kekuasaan yang lebih kuat daripada niat buat berubah.
Kalau nurutin maksim Lord Acton, para menteri dan pejabat lama yang masih nongkrong di kabinet Prabowo itu ibarat “old crew” yang udah keenakan duduk manis di kursi empuk. Bukannya jadi booster energi baru, mereka malah rawan jadi “penjaga status quo” yang tugasnya lebih ke melindungi warisan rezim lama ketimbang bikin terobosan. Lama-lama, kekuasaan itu berubah kayak sinetron panjang yang tokohnya enggak pernah ganti: cerita mentok, plotnya basi, dan penonton alias rakyat cuma bisa ngelus dada. Bahayanya jelas, Presiden Prabowo bisa terjebak dalam pusaran loyalitas lama yang bikin kabinetnya enggak gesit, demokrasi malah makin kaku, dan meritokrasi berubah jadi drama kroni-kronian. Jadi, bukan cuma masalah keberlanjutan, tapi soal apakah pemerintahannya beneran jalan ke depan, atau malah nyangkut di benang kusut kepentingan lama.Bayangin kayak gini: Prabowo jadi Presiden tapi kabinetnya masih diisi “pemain lama” yang udah betah banget nongkrong di kursi empuk kekuasaan. Ya, mereka bisa aja bilang setia sama Presiden baru, tapi dalam hati tetep punya utang budi, geng lama, dan kepentingan pribadi yang udah nempel kayak lem super. Lord Acton ngingetin kalau kekuasaan yang nggak pernah dirotasi itu gampang banget berubah jadi sarang korupsi. Jadi kalau Presiden Prabowo biarin orang-orang lama tetap bercokol, pemerintahannya bisa macet kayak lagu lama yang diputer terus tanpa henti. Demokrasi jadi hambar, reformasi jadi basi, dan pada akhirnya negeri ini bisa kayak nonton sinetron dengan plot yang nggak pernah ganti: tokoh lama, konflik lama, ending yang udah ketebak. Pemerintahannya bisa tampak stabil di permukaan, tapi aslinya rapuh karena masih kebayang-bayang rezim sebelumnya.
Ini kayak ganti presiden tapi cast sinetronnya masih sama semua. Setelah Suharto jatuh, orang-orang mikir bakal ada perubahan total, kayak reboot film lama jadi lebih segar. Eh ternyata pemain lama masih nongkrong di kursi masing-masing: jenderal, pebisnis, birokrat. Mereka cuma ganti baju, ganti jargon, tapi kelakuan sama aja. Akhirnya Reformasi jadi kayak nonton konser yang katanya “new era”, tapi lagunya tetep playlist lawas. Jadi kalau Prabowo nggak tegas bikin jarak dengan aparat warisan rezim sebelumnya, nanti pemerintahannya dicap cuma sebagai “season baru” dari sinetron lama, bukan benar-benar cerita baru.
Contoh dari luar negeri datang dari Afrika Selatan pasca-apartheid. Pas Mandela naik, dunia heboh kayak band lama akhirnya punya vokalis baru yang lebih soulful. Tapi masalahnya, manajer, label rekaman, sama pemilik hak cipta lagunya masih sama aja kayak dulu. Jadi meskipun lirik baru dibawain, aransemennya tetep gak jauh beda, dan fans mulai sadar kalau konsernya tetep diatur sama orang lama di balik layar. Mandela memang lebih milih damai daripada ribut lagi, tapi akhirnya ketidakadilan ekonomi kayak bass line yang fals tetap terdengar sampai sekarang. Jadi intinya: sekuat apa pun aura pemimpin baru, kalau kru lama masih ngatur sound system, hasilnya ya tetep nggak fresh.Di Amerika Latin, ini kayak drama sinetron panjang dimana tiap musim ada tokoh baru yang masuk dengan janji bikin alur jadi lebih seru. Lula masuk kayak karakter protagonis yang katanya bakal nyelametin kampung dari penindasan. Tapi begitu episodenya jalan, ternyata doski masih harus deal sama sutradara lama, sponsor iklan, dan aktor senior yang nggak mau tersingkir. Akhirnya, plotnya tetep muter-muter, konfliknya itu-itu aja, dan penonton mulai sadar kalau sistem produksinya yang bikin drama nggak pernah benar-benar fresh. Sama halnya dengan Argentina, dimana presiden baru kayak bintang tamu yang dijanjikan bakal bikin rating naik, tapi tetap aja dikurung skrip lama yang ditulis produser bayangan. Jadi meskipun pemain berganti, panggungnya tetap dikuasai orang lama yang pegang remote.Di Eropa Timur, ini kayak cerita serial yang katanya reboot total dari versi lama, tapi ternyata cuma ganti judul dan pemainnya. Yeltsin dulu tampil kayak tokoh utama baru yang diiklankan bakal bikin cerita fresh dan penuh kejutan. Tapi begitu masuk, eh yang jadi kameramen, editor, sampai penulis naskahnya masih tim lama dari produksi era sebelumnya. Di Ukraina dan Rumania, seolah ada season baru dengan tema revolusi—kayak promo sinetron, “kali ini beneran beda, guys!”—tapi pas ditonton, ternyata antagonisnya sama aja, cuma pakai kostum lain. Jadi penonton alias rakyat mulai ngerasa, ini bukan franchise baru, tapi cuma remake malas-malasan yang bikin mereka bosan karena endingnya bisa ditebak: yang berkuasa tetep orang-orang lama.Kutipan Lord Acton soal “kekuasaan cenderung ngerusak, dan kekuasaan absolut ngerusaknya absolut” udah kayak meme politik abadi. Ini bukan cuma punchline tajam, tapi alarm moral yang ngingetin siapa pun—baik penguasa maupun rakyat—bahwa kalau kekuasaan nggak ada remnya, pasti lama-lama bikin mabuk, salah jalan, dan rusak akhlak. Intinya, Acton tuh bukan sekadar bikin kalimat keren, tapi kayak kasih diagnosa soal gimana manusia gampang kepleset kalau kebanyakan “minum” kuasa.Dan jujur aja, peringatan Acton makin relevan sekarang ketimbang abad ke-19 dulu. Pemerintahan makin ribet kayak sinetron bersambung, teknologi pengaruh makin nyusup sampai ke HP di saku, dan godaan buat jadi diktator kecil-kecilan makin seksi. Kalau kita cuek, siap-siap aja kebebasan pelan-pelan dikebiri dan ketakutan dijadiin soundtrack sehari-hari.Tapi Acton bukan sekadar pesimis sama kekuasaan, ia juga idealis banget soal kebebasan. Buatnya, sejarah bukan cuma daftar raja dan perang, tapi ujiannya: seberapa kuat manusia bisa ngejaga moral pas dikepung ambisi dan nafsu dominasi. Doski percaya kebebasan bukan hadiah dari penguasa, tapi kayak gym membership buat nurani—harus dijaga dan dilatih terus, kalau nggak ototnya kendor.Kalau dipikir-pikir, ucapan Acton juga nyorot ke kita, bukan cuma ke elite. Korupsi tuh bukan cuma penyakit menteri atau presiden, tapi bisa nyangkut ke siapa aja yang ngerasain enaknya posisi strategis, entah di kantor kelurahan atau di panggung internasional. Jadi kalau ngutip Acton, itu artinya kita janji buat nggak nyembah kekuasaan kayak idola K-Pop, tapi nimbangin kekuasaan pake timbangan keadilan dan kebenaran.Pada akhirnya, Acton ngasih kita bukan cuma peringatan, tapi prinsip hidup: selalu waspada. Kata-katanya masih hidup karena nyentuh bahaya universal sekaligus kewajiban universal. Dimana ada kekuasaan ngumpul, di situ kudu ada curiga nongol—bukan karena sirik, tapi karena bijak. Sehatnya sebuah masyarakat bukan ditentukan dari seberapa banyak kekuasaan dikumpulin, tapi seberapa pintar kekuasaan itu dikekang.Maksim Lord Acton itu bukan sekadar kalimat keren buat dipajang di status medsos, tapi peringatan serius kalau kekuasaan itu harus dikasih pagar. Pesannya jelas: institusi harus lebih kuat daripada individu, dan pemimpin sehebat apa pun tetep butuh batasan, kontrol, dan diingatkan kalau mereka juga bisa keliru. Tanpa itu semua, kekuasaan gampang banget berubah dari alat buat ngelayani rakyat jadi senjata buat ngatur seenaknya.Dalam demokrasi, maksim ini jadi kompas moral: nggak ada jabatan, segede apa pun, yang boleh kebal dari kritik. Kesetiaan ke rakyat harus lebih tinggi dari kesetiaan ke geng atau kroni sendiri. Kalau pemimpin lupa ini, ya mereka bukan cuma ngkhianatin mandat, tapi juga ngerecokin fondasi demokrasi yang bikin mereka naik.Kata-kata Lord Acton juga ngingetin kalau korupsi nggak selalu lahir dari niat jahat, tapi sering muncul karena terlalu nyaman duduk lama di kursi empuk. Kekuasaan bikin orang merasa akrab, dan akrab bikin lupa kalau kursi itu sebenernya sementara. Begitu pemimpin ogah turun, demokrasi diam-diam nyungsep jadi feodalisme, dan janji kesetaraan diganti sama privilese elitis.Karenanya, penjaga kebebasan yang sejati itu bukan cuma para pemimpin, tapi rakyat yang selalu siaga minta pertanggungjawaban. Maksim ini kayak wake-up call: jangan sampai rasa kagum bikin kita buta, jangan biarkan rasa terima kasih bikin kita diam, dan jangan lupa kalau sehebat-hebatnya pemimpin, tetep manusia yang bisa khilaf—dan korup.Akhirnya, maksim ini bukan ramalan gelap, tapi peta kewaspadaan. Ia ngasih tahu kalau kekuasaan memang berbahaya, tapi bahayanya bisa dikelola lewat transparansi, rotasi jabatan, dan keberanian buat legowo. Kalau masyarakat serius ngejalanin ini, kekuasaan bisa tetap jadi pelayan keadilan, bukan jadi tuannya.
[Bagian 3]
Selasa, 26 Agustus 2025
Maksim Lord Acton: Power Tends to Corrupt ... (3)
[Bagian 4]Banyak orang yang ngegas ke Jokowi bilang, “dosa-dosa” doi tuh bukan sekadar salah ngurus proyek atau salah ngomong di depan publik, tapi udah level ngerusak fondasi demokrasi. Yang paling bikin panas, tentu aja soal manuver biar anaknya, Gibran, bisa duduk manis di kursi wapres, yang dianggep orang kayak nepotisme terang-terangan, kayak lagi main game keluarga di atas panggung negara. Lalu ada juga cerita soal KPK yang udah dipreteli sampai ompong, padahal dulu Jokowi sempat dielu-elukan sebagai simbol pemimpin bersih. Ekonomi pun digedor lewat utang gede-gedean dan proyek tambang serta infrastruktur yang dituding cuma nguntungin para oligark, sementara rakyat kecil sama lingkungan malah jadi korban. Makanya, banyak yang udah nggak puas lagi sekadar nyinyir; mereka teriak kalau Jokowi pantasnya bukan pensiun tenang, tapi diadili bahkan dipenjara, karena udah khianatin semangat reformasi yang dulu bikin rakyat percaya.Di mata para pengkritik, salah satu “dosa besar” Jokowi ada di caranya ngurusin proyek-proyek infrastruktur raksasa. Awalnya dielu-elukan sebagai tulang punggung masa depan ekonomi Indonesia, tapi ujung-ujungnya banyak yang kebobolan biaya, molor, atau bahkan diragukan manfaatnya. Lebih parah lagi, pembiayaannya nempel ke utang luar negeri, terutama dari China, bikin Indonesia kayak ketagihan minjem. Nah, ini nyambung langsung ke APBN, karena bayar cicilan utang makan porsi makin besar, jadi duit negara buat pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial jadi kepotong. Yang bikin waswas, kalau proyek-proyek itu gak balik modal, Indonesia bisa kejebak punya “gajah putih”—proyek kelihatan megah tapi isinya cuma bikin beban. Makanya, bagi para pengkritik, obsesi Jokowi sama mega-proyek bukan cuma salah hitung, tapi dosa strategis yang bisa bikin ekonomi Indonesia kedodoran dalam jangka panjang.Salah satu contoh paling ngejreng dari “gajah putih” ala Jokowi ya proyek kereta cepat Jakarta–Bandung. Dulu dijualnya kayak simbol Indonesia modern, tapi kenyataannya malah kebanjiran biaya, sering molor, dan bikin orang mikir, “Emang bakal balik modal enggak sih?” Soalnya jaraknya cuma 142 km, tiketnya mahal, dan banyak orang masih nyaman sama mobil atau kereta biasa. Bukannya jadi mesin duit, malah jadi beban utang negara yang sebagian ditopang pinjaman luar.Jadi ceritanya nih, si kereta cepat Whoosh—yang awalnya diklaim bakal jadi simbol kemajuan bangsa—malah bikin BUMN jungkir balik. Konsorsium yang ngejalaninnya, PSBI, catet rugi Rp 4,195 triliun di 2024, terus nambah lagi Rp 1,625 triliun di semester awal 2025. Nah, karena KAI paling gede nyokong sahamnya, kebagian bayar sekitar Rp 951 miliar dari rugi itu. Jadi bukan cuma KAI yang terdampak, tapi keuangan nasional keteter berat.Di permukaan, kabarnya sih kas negara aman—ngasih kesan surplus yang gagah. Tapi di balik selubung itu, neracanya penuh lubang. Pajak rakyat yang dibayar selama ini mestinya buat bantu bangun jembatan, sekolah, atau jalan, tapi malah nyantol bayar utang, bunga pinjaman, dan ke China sana sini.Intinya, pajak yang dulu kita anggep pelayan negara kini malah jadi makhluk yang disedot terus ke proyek jeblok. Rakyat tetep bayarin, cerita kemajuan tetep dikibarin, tapi anggaran makin diteposin, dan kata “surplus” ya cuma kedengerannya keren — padahal defisit nyata sudah dipamerin.Trus ada lagi proyek Ibu Kota Baru Nusantara. Jokowi jualan mimpinya kayak solusi Jakarta yang macet dan ambles, tapi para pengkritik bilang duit gede yang digelontorin lebih mirip proyek elitis buat developer sama pejabat doang. Belum lagi deretan jalan tol, pelabuhan, sampe kawasan industri yang diresmikan heboh-heboh, tapi sering nggak nyambung sama kebutuhan ekonomi nyata. Jadi kesannya, lebih buat ninggalin legacy politik ketimbang nyari solusi buat rakyat. Buat para pengkritik, ini bukan sekadar salah ngitung, tapi udah level ngkhianatin akal sehat fiskal, bikin negara kejerat utang, sementara rakyat jelata masih jungkir balik mikirin harga beras sama biaya sekolah anak.Ketergantungan ke duit asing, khususnya dari China, bikin banyak orang ngerasa proyek-proyek gede Jokowi diam-diam ngegerus posisi tawar Indonesia. Kereta cepat sering dijadiin contoh gimana pengaruh Beijing makin nempel kalau negara penerima udah ketagihan utang dan kontraktor mereka. Indonesia akhirnya dipaksa renegosiasi biaya bengkak dengan syarat yang lebih nguntungin kreditur China—kayak main bola di kandang sendiri tapi wasitnya milih lawan. Proyek Ibu Kota Baru pun dijual Jokowi ke investor dunia, tapi para pengkritik khawatir Indonesia malah kayak ngegadaiin kedaulatan, karena nawarin insentif gede-gedean, tax holiday, sampai hak lahan buat asing. Yang bikin makin merinding, bukan cuma angka utangnya, tapi juga ketergantungan struktural yang tercipta—seolah masa depan ekonomi Indonesia ditambatin ke pemain luar, bukan ditopang kekuatan dalam negeri. Buat para pengkritik, warisan Jokowi bukannya infrastruktur megah, tapi kayak jual murah kedaulatan bangsa demi pencitraan politik jangka pendek.Konsekuensi sosial dari hobi Jokowi ngegas proyek raksasa, kata para pengkritik, justru lebih pahit daripada brosur promosi yang penuh janji. Gedung-gedung tinggi berdiri, jalan tol memanjang, kereta cepat diresmikan dengan pita warna-warni, tapi rakyat biasa jarang kecipratan hasilnya. Petani malah tergusur gara-gara lahan dibeli paksa, warga miskin kota makin kepepet di pinggiran, dan buruh cuma dapat kerjaan kontrak serabutan. Yang kaya malah makin kaya, karena duit proyek ngalir ke kroni politik, kontraktor gede, dan para oligark. Sementara utang yang numpuk bikin APBN ketat, jadi anggaran buat subsidi, kesehatan murah, atau pendidikan terjangkau makin terjepit. Alhasil, proyek yang dijual manis sebagai kemenangan pembangunan malah jadi simbol eksklusi—pameran kemegahan yang nutupin jurang makin lebar antara elit dan rakyat. Buat para pengkritik, ini ironi paling kejam dari kepemimpinan Jokowi: masa depan yang dibangun dari beton dan baja, tapi ninggalin manusia yang harusnya diangkat derajatnya.Buat para pengkritik paling keras, ironi kepemimpinan Jokowi—pembangunan megah buat segelintir orang, tapi utang dan keterpinggiran buat mayoritas—udah kelewat batas, dari sekadar salah urus jadi level pengkhianatan publik. Mereka bilang, kalau sumber daya negara digiring terus-menerus buat nguntungin elit sementara rakyat kecil ditinggal, itu bukan cuma salah manajemen, tapi pengkhianatan mandat rakyat. Ada yang bahkan nyebut ini sebagai penyalahgunaan kekuasaan, karena jabatan publik dipakai bukan buat ngurus bangsa, tapi buat ngekokohin politik dinasti dan ngisi kantong lingkaran dekat. Di mata mereka, gaya kepemimpinan begini bukan sekadar mengecewakan, tapi berbahaya, karena bikin korupsi bisa disamarkan jadi “kemajuan,” dan demokrasi kosong isi dengan alasan pembangunan. Itulah kenapa tuntutan supaya Jokowi diadili atau bahkan dipenjara terdengar kenceng: bukan sekadar nyari balas dendam ke satu orang, tapi sinyal peringatan keras kalau pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat harus ada ganjarannya di republik yang ngaku-ngaku masih berdiri di atas semangat reformasi.Sejarah di berbagai negara nunjukin, kalau seorang pemimpin udah mulai goyah legitimasinya, biasanya mereka buru-buru bikin proyek gede biar kelihatan masih kuat. Di Argentina zaman Perón, di Mesir era Mubarak, sampai China dengan pameran Belt and Road-nya, proyek-proyek raksasa sering lebih jadi panggung show power ketimbang solusi buat rakyat. Dari luar kelihatan wow, tapi di dalamnya institusi udah rapuh, hukum dilemahkan, dan rakyat makin apatis.Di China, memang sih, di negeri Tirai Bambu ini masih berlaku hukuman mati buat korupsi dalam skala super besar—tapi sebenernya acapkali itu lebih kayak “pertunjukan kekuasaan” daripada langkah sungguhan buat ngebersihin sistem dari korupsi.Dalam kasus bos bank besar di China, hukuman mati itu sebenarnya lebih mirip drama sinetron politik ketimbang niat tulus beresin korupsi. Bayangin aja: pejabat bank ditampilin di TV, dihujat habis-habisan, bahkan diancam eksekusi, biar publik mikir negara ini “tegas banget.” Tapi kalau ditelisik lebih dalem, yang kena biasanya cuma orang-orang yang udah kehabisan “backing politik” atau jadi beban buat kelompok yang lebih kuat. Jadi ancaman hukuman mati bukan bikin sistem bersih, tapi lebih kayak kode keras ke elit lain: “Jangan coba-coba mbalelo, setia aja sama penguasa.” Akhirnya korupsinya tetep lanjut, cuma pindah tangan, sementara rakyat dibikin tepuk tangan nonton tontonan hukuman yang seram tapi kosong makna.Contoh paling geger adalah Lai Xiaomin, mantan bos besar Huarong. Doi dieksekusi cepet banget di 2021, setelah divonis korupsi Rp4 triliun-an (US$277 juta) dan nabung 100 mistres—semua prosesnya kilat, dari persidangan sampe dihukum mati, tanpa hukuman merangkak dua tahun. Foto brankas penuh duitnya jadi simbol dramatis “kita tegas” tapi juga sinetron anti-korupsi.Terus ada juga Bai Tianhui, satu lagi eks-eksekutif Huarong, yang diputus mati meski bantu aparat. Ini makin nunjukin kalau pada panggung kekuasaan, kepatuhan nggak selalu bikin aman.Lalu ada Tian Huiyu, mantan presiden China Merchants Bank, yang dapet hukuman mati dengan penundaan dua tahun. Maksudnya biar keliatan keras, tapi ujung-ujungnya dinyatain seumur hidup di jeruji, tanpa kemungkinan bebas.Dari kasus-kasus tersebut jelas: hukuman mati dalam kasus korupsi di China bukan soal adil atau kagak, tapi soal efek panggung—bikin takut elit lain dan meyakinkan rakyat bahwa negara “enggak main-main.” Drama hukuman ini lebih soal kecipratan citra daripada bersih-bersih sistem secara serius.Nah, para pengkritik Jokowi bilang Indonesia sekarang lagi main di pola yang sama: jalan tol, kereta cepat, sampai ibu kota baru bukan semata pembangunan, tapi juga kamuflase buat nutupin krisis legitimasi karena nepotisme, korupsi, dan hilangnya kepercayaan rakyat. Jadinya, perbandingan ini bukannya bikin bangga, malah bikin tragis, karena ngasih sinyal Indonesia rawan masuk daftar negara yang rajin bangun monumen beton, tapi diam-diam ngubur demokrasinya di balik bayangan.Dalam perjalanan panjang kepemimpinannya, Jokowi sering tampil dengan gaya ngomong yang sederhana, santai, dan seolah dekat dengan rakyat. Tapi di balik itu, banyak ucapannya justru jadi blunder atau malah dianggap menyesatkan. Misalnya, doi pernah bilang “Indonesia nggak punya masalah utang,” padahal angka utang negara makin naik gila-gilaan dan langsung diprotes para ekonom. Di lain kesempatan, doski ngeklaim bahwa “nggak ada lagi lahan yang dikuasai oligarki,” padahal faktanya lahan-lahan besar tetep dikuasain orang dekat kekuasaan. Jadilah gap gede antara omongan Jokowi dan realita di lapangan.Yang paling bikin orang geleng-geleng, doi pernah berkali-kali bilang “saya nggak kepingin berkuasa lebih dari masa jabatan,” eh ujung-ujungnya malah ada skenario politik yang bikin anaknya jadi wakil presiden dan lingkarannya makin kuat cengkeramannya. Omongan yang dulu dipuji sebagai sikap rendah hati demokratis, belakangan ketahuan cuma janji manis doang. Kebiasaan bilang, “Sabar aja, pembangunan butuh waktu,” juga sering dianggap cara halus buat membungkam kritik rakyat, biar semua masalah dianggap soal mental nunggu, bukan soal tanggung jawab pemerintah. Jadi kalau dibilang “dosa-dosa” Jokowi soal ucapannya, itu bukan sekadar salah ngomong, tapi udah kayak bagian dari panggung politik: bikin citra sederhana, tapi nutup-nutupin hal yang sebenarnya jauh lebih rumit dan kontroversial.Selama masa kepresidenannya, Jokowi sering kejebak sama ucapannya sendiri. Janji-janji yang dulu diucapkan dengan penuh semangat di panggung kampanye, ujung-ujungnya banyak yang lenyap entah kemana atau malah berbalik arah. Dulu doi ngomong keras-keras soal menolak politik dinasti, tapi kenyataannya anak sama menantunya malah naik pangkat politik gede-gedean. Dosli juga bilang bakal bela petani sama nelayan, tapi kok kebijakan lahan dan reklamasi pantai lebih sering nguntungin korporasi besar. Soal utang negara, Jokowi bilang aman-aman aja, padahal grafiknya terus naik kayak harga tiket konser Coldplay. Trus ada lagi, doi bilang nggak bakal ikut campur urusan hukum, tapi kok manuver politik di kasus-kasus besar bikin orang mikir “ini beneran netral nggak sih?” Semua ini bikin gambaran presiden yang retorikanya manis kayak iklan minuman dingin, tapi praktiknya sering bikin rakyat ngerasa digantung di tengah jalan.Akhirnya, moral dari drama kontradiksi Jokowi ini bukan cuma soal janji yang nggak ditepati, tapi lebih ngeri lagi: kita jadi terbiasa nganggep ketidakkonsistenan sebagai hal biasa. Begitu kata-kata presiden udah nggak ada bobotnya, kepercayaan publik pelan-pelan luntur, dan politik berubah jadi tontonan alih-alih tanggung jawab. Pemimpin yang keseringan plin-plan ujung-ujungnya bikin negara kayak panggung teater, di mana tepuk tangan lebih penting daripada prinsip. Buat rakyat, ini alarm gede: demokrasi nggak bisa dijalankan kayak nonton sinetron, duduk manis sambil ngikutin plot twist. Kita harus kritis, karena kalau dibiarkan, kebiasaan ngomong A tapi ngerjain B bakal jadi standar baru, dan demokrasi bisa pelan-pelan mati ketiban kontradiksi tiap hari.Warisan paling bikin kening berkerut dari Jokowi tuh bukan cuma janji-janji yang plin-plan, tapi kondisi anggaran negara yang udah “cekak” alias tipis banget. Buat Presiden Prabowo, ini kayak nerima rumah gede tapi isinya kosong melompong—gaya bisa, tapi buat belanja sehari-hari susah. Setiap program ambisius yang dia gembar-gemborkan bakal ketahan sama bayangan utang numpuk, cicilan bunga yang makin mencekik, dan ruang fiskal yang makin sempit. Ujung-ujungnya, bukan cuma presiden yang puyeng, tapi rakyat juga bakal kena getahnya: subsidi makin seret, pelayanan publik makin keteteran, dan harga-harga makin bikin dompet nangis. Singkatnya, anggaran cekak hari ini = hidup lebih berat besok buat negara dan rakyatnya.Warisan Jokowi ke Prabowo tuh ibarat ngasih mobil mewah yang kinclong, velg chrome, body masih cling, tapi tangki bensinnya udah hampir kosong dan lampu indikator oli nyala merah. Dari luar sih keliatan gagah, tapi pas dikendarain, baru sadar: percuma keren kalau bensinnya tinggal setetes. Nah, anggaran “cekak” itu persis kayak gitu—citra makmur, isi kere. Buat Prabowo, artinya beliau nyetir mobil yang orang harap bisa ngebut di jalan tol, padahal realitanya cuma bisa nyeret-nyeret kayak odong-odong. Dan buat rakyat? Ya ikut duduk di jok belakang, perjalanan mandek, tapi tetep disuruh nombok ngisi bensin.Tapi anehnya, di tengah semua drama cekak ini, Jokowi masih sempet dapet keplo'an meriah plus teriakan “Hidup Jokowi!”, seolah-olah ninggalin warisan emas. Kayak nonton pesulap yang abis ngeluarin sapu tangan warna-warni dari lengan bajunya, terus kabur pas triknya hampir ketahuan. Aplaus itu jelas nggak bikin tangki bensin tiba-tiba penuh atau cicilan negara lunas, tapi minimal bikin sang pemain merasa kayak juara. Begitulah politik—bisa turun panggung sambil disorakin kayak rockstar, padahal yang naik setelahnya harus ngejalanin naskah bolong-bolong.Teriakan “Hidup Jokowi!” jadinya malah kedengeran kayak tawa maksa penonton acara komedi TV yang udah dikasih kode dari belakang kamera. Sorak-sorai itu bukan karena aksinya jenius, tapi karena orang udah kebiasaan tepuk tangan kalau disuruh. Faktanya, yang ditinggal bukan kejayaan, tapi jebakan—anggaran cekak plus utang numpuk. Nggak ada jumlah teriakan yang bisa nutupin bolongnya kas negara. Intinya, itu aplaus buat pencitraan, bukan karena ada isi yang beneran bisa dibanggain.Tapi, bisa jadi, teriakan “Hidup Jokowi!” itu sebenernya bukan pujian, tapi satire halus—semacam sindiran bareng-bareng dimana kekesalan malah dikeluarin lewat sorakan lebay. Di iklim politik kayak gini, ngejelek-jelekin terang-terangan bisa dianggap nggak sopan atau langsung kena sensor, jadi lebih aman kalau kritiknya dibungkus aplaus. Jadi, sorak kenceng itu kadang nggak lebih dari keluhan yang disamarkan: mending teriak “Hidup!” ketimbang nekad teriak “Turun!” dan kena masalah.Kadang, teriakan “Hidup Jokowi!” itu lebih mirip standing ovation buat komedi tragis—aplaus yang dikasih bukan karena kagum, tapi karena nggak habis pikir betapa absurdnya pertunjukan yang lagi dimainkan. Sorakan yang makin kenceng justru makin terasa getir, kayak orang ketawa di tengah drama yang nggak selesai-selesai. Itu satire yang pura-pura jadi perayaan, cara buat nunjukin ketidakpuasan tanpa harus melanggar aturan sopan santun. Politik jadi kayak teater, dimana sindiran nyamar jadi pengabdian.Boleh jadi, teriakan “Hidup Jokowi!” itu sebenernya bukan doa panjang umur, tapi trik psikologis ala reverse psychology—kayak bilang, “yaudah hidup terus aja, biar kita bisa nonton drama ini sampe tamat.” Sorakan itu penuh ironi, seolah yang ditepuki bukan kemenangan, tapi tontonan absurd yang makin lama makin kocak pahit. Dengan nyebut namanya, rakyat kayak ngubah kekesalan jadi pertunjukan, nyamarin sindiran jadi perayaan, dan ninggalin getir khas bangsa yang lebih milih muji ketimbang maki karena udah lelah total.Soal “dosa” Jokowi yang nyangkut ke OCCRP, bukan karena doski nemu duit di bawah kasur, tapi karena rakyat ngerasa institusi negara yang seharusnya jadi tameng buat korupsi malah dipretelin satu per satu demi kepentingan politik dinasti. KPK dilemahkan, pengadilan dan hukum diputer di Babelan, dan jalur demokrasi diakalin biar anaknya bisa meluncur ke kursi wapres—semua ini bikin orang mikir: “Wah, ini udah sistemik, bukan kasus curi proyek lagi.”OCCRP cuma bilang: “Iya, kita nggak punya bukti doski nyogok bank, tapi masyarakat ngerasa korupsi udah jadi budaya, dan itu alarm keras buat kita semua.” Jokowi balik bilang itu fitnah politik, “Buktikan dulu kalau mau bilang korupsi!” Tapi masyarakat tetep bilang: “Loe boleh nggak ditangkep, tapi persepsinya udah busuk, dan itu dosa yang bakal terus digendong oleh bangsa dan negeri ini.”Dalam panorama sejarah Indonesia modern, para pengkritik ngegas kalau “dosa politik” terbesar Jokowi bukan soal beton yang dituang atau utang yang ditandatangani, tapi warisan pahit yang ditinggalin buat generasi ke depan. Alih-alih memperkuat institusi demokrasi yang susah payah dibangun pasca-Suharto, Jokowi justru bikin kosong isinya, ngelegitimasiin politik dinasti, dan ngegandengin ekonomi ke kreditur asing plus kepentingan oligarki. Jalan tol, kereta cepat, sampe ibu kota baru mungkin bakal berdiri megah, tapi warisan yang lebih dalam, kata mereka, adalah republik yang makin rapuh, makin timpang, dan makin nggak bebas. Buat mereka, kepemimpinan Jokowi bukan cuma kesempatan yang kebuang, tapi malah kemunduran, kayak khianatin harapan reformasi yang dulu jadi nyawa perjalanan Indonesia pasca-98. Itulah kenapa “dosa-dosa” ini dianggap nggak bisa dimaafin: bukan semata milik Jokowi sebagai individu, tapi karena dampaknya harus ditanggung jutaan rakyat lama setelah ia turun dari panggung kekuasaan.Refleksi akhirnya, bagi yang ngikutin naik-turun era Jokowi, bukan semata soal nyalahin satu orang, tapi mikirin: masyarakat kayak apa sih yang bikin “dosa-dosa” kayak gini bisa tumbuh subur? Pelajaran moralnya jelas: demokrasi itu nggak jalan otomatis, harus dijaga terus sama rakyat yang melek, yang nggak gampang dibuai proyek beton atau acara peresmian yang penuh kembang api. Republik ini kuat bukan karena monumen atau jalan tol, tapi karena institusi yang melindungi keadilan, kesetaraan, dan akuntabilitas. Kalau itu semua dikorbanin demi pembangunan instan, ya proyek mewah tadi cuma topeng buat nutupin busuk di dalam. Jadi, orang Indonesia mesti paham kalau kemajuan sejati bukan diukur dari tinggi gedung atau cepetnya kereta, tapi dari apakah rakyat paling miskin merasa dilindungi, dihargai, dan ikut punya masa depan. Moral dari era Jokowi? Jangan pernah lagi gadaiin demokrasi demi ilusi pertumbuhan, dan jangan biarkan masa depan bangsa dipajakin cuma buat vanity project penguasa.
[Bagian 2]
Senin, 25 Agustus 2025
Bagaimana Unjuk Rasa Tanpa Kekerasan Dapat Memajukan Bangsa
Dalam negara demokrasi, unjuk rasa itu kayak konser gratis di jalanan—cuma bedanya bukan buat nonton band, tapi buat nunjukin isi hati rakyat. Itu jadi panggung buat orang-orang biasa yang biasanya gak kedengaran suaranya, biar para pejabat kagak lupa kalau kursi empuk yang mereka dudukin itu sebenernya titipan rakyat. Demo juga bikin orang sadar kalau keluhan mereka bukan drama pribadi doang, tapi bagian dari cerita besar soal keadilan, kesetaraan, atau perubahan. Kadang, demo yang damai bisa bikin berita jadi heboh sampe internasional, bikin pemerintah kelabakan dan gak bisa pura-pura budeg. Intinya, unjuk rasa itu semacam reminder keras kalau demokrasi itu bukan hadiah dari atas, tapi harus terus dijaga dan diperjuangin dari bawah.Sejarah unjuk rasa itu panjang banget, kayak drama seri yang kagak ada habisnya. Zaman Romawi kuno aja udah ada, lho. Waktu itu rakyat jelata alias plebeian bosen banget dikuasai kaum bangsawan, jadi mereka rame-rame cabut dari kota—semacam aksi #kaburajadulu atau sama dengan walk out jaman dulu. Eh, gara-gara itu, para elit akhirnya luluh juga, terus bikin aturan baru biar suara rakyat gak dianggep angin lalu. Lanjut ke abad pertengahan, muncul lagi di Inggris tahun 1381, pas rakyat kecil kesel banget ama pajak yang nyekik, langsung deh ngegempur pemerintah, kayak demo akbar zaman feodal.
Masuk ke era modern, unjuk rasa makin naik level, jadi bagian penting demokrasi. Prancis punya momen epic tahun 1789 dengan penyerbuan Bastille—udah kayak trailer resmi lahirnya demokrasi modern. Amerika juga gak kalah heboh dengan Boston Tea Party, semacam demo kreatif buang teh ke laut, yang akhirnya jadi awal kemerdekaan dari Inggris. Abad 19–20, demo makin rapi: buruh nuntut gaji adil, perempuan nuntut hak pilih, dan aktivis kulit hitam ngebongkar rasisme sistemik.
Pas dunia udah masuk era pasca-kolonial, unjuk rasa makin berwarna. India punya Gandhi dengan Salt March tahun 1930—demo jalan kaki doang tapi ngefek banget, bikin Inggris kelabakan. Indonesia juga punya episode pamungkas tahun 1998: Reformasi. Demo mahasiswa dan rakyat waktu itu berhasil ngejatuhin Orde Baru yang udah kayak boss level. Dari Afrika Selatan yang ngelawan apartheid sampe Arab Spring yang ngeguncang Timur Tengah, unjuk rasa terbukti jadi bahasa universal demokrasi—gak peduli negaranya beda, budayanya beda, generasinya beda, tapi semangatnya sama: rakyat pengen didengar.
Warisan unjuk rasa di Indonesia itu masih kenceng banget, nggak cuma jadi kenangan Reformasi ’98 doang. Waktu mahasiswa dan rakyat ngegulingin Orde Baru, itu kayak season finale yang bikin demokrasi akhirnya dapet spotlight. Sejak itu, demo jadi menu wajib demokrasi Indonesia. Tentu ada alesannya: dari ngelawan korupsi, ngebela lingkungan, sampe nolak UU yang bikin rakyat ngelus dada. Turun ke jalan, bawa spanduk, pekikan peringatan, itu justru bukti kalau demokrasi kita masih hidup—nggak mati gaya cuma gara-gara elit asyik sendiri.
Puncaknya, tanggal 25 Agustus 2025, rakyat balik lagi bikin episode baru: demo besar-besaran nolak kenaikan gaji DPR. Bayangin aja, rakyat masih jungkir balik bayar harga beras, listrik, dan ongkos hidup, eh anggota dewan malah asyik nambahin isi kantong. Buat banyak orang, ini bukan cuma soal angka di slip gaji, tapi udah kayak tamparan moral—tanda kalau wakil rakyat makin budeg sama jeritan rakyatnya. Aksi itu gokil banget: ada spanduk, ada yel-yel, bahkan ada aksi simbolis nyobek slip gaji bohongan di depan umum, kayak performance art yang bikin media nggak bisa tutup mata.
Demo 25 Agustus 2025 ini nunjukin kalau semangat rakyat buat ngejaga demokrasi nggak pernah padam. Pesannya jelas: demokrasi nggak cukup cuma nyoblos lima tahun sekali, tapi harus dijagain tiap kali ada yang nyolong start. Kayak generasi dulu yang ngelawan kolonialisme dan Orde Baru, rakyat sekarang juga siap ngelawan "keserakahan gaya baru" [nanti akan kita perbincangkan ini, terinspirasi dari ide Presiden Prabowo tentang "serakahnomics". Jadi ya jangan heran, jalanan di Indonesia itu bukan sekadar buat macet dan jualan cilok, tapi juga jadi panggung utama buat rakyat nunjukin: “Halloouw, demokrasi ini punya kita, bukan punya mereka yang doyan nambahin gaji sendiri!”
Unjuk rasa jangan cuma dilihat dari sisi ribut-ributnya aja, apalagi langsung ditempelin label “bikin onar”. Padahal, kalau dijalanin tanpa anarkisme, demo itu sebenernya wujud paling nyata kalau rakyat masih peduli ama demokrasi. Iya sih, ada sejarah demo yang rusuh bikin orang trauma, tapi jangan gara-gara itu terus semua aksi rakyat dianggep sama. Demo damai tuh ibarat jembatan, bukan batu sandungan—cara rakyat ngobrol langsung sama pemerintah di panggung jalanan. Jadi kalau ada yang bilang “nyusahin”, coba pikir lagi: ini sebenernya tabungan buat masa depan, biar anak cucu kita gak dipimpin pejabat yang budeg sama aspirasi rakyat.
Soal macet? Ya wajar sih orang kesel, tapi bandingin deh: lebih mending tahan macet beberapa jam, apa tahan hidup bertahun-tahun di bawah kebijakan ngawur? Demo damai itu rakyat yang rela capek-capek turun ke jalan bukan buat gaya-gayaan, tapi buat ngebela nilai yang penting banget—keadilan, keterbukaan, dan tanggungjawab pemerintah. Jadi dukung demo damai itu bukan berarti seneng lihat jalan macet, tapi ngerti kalau demokrasi itu nggak jalan sendiri. Kalau kita diem aja, harga yang harus dibayar bisa lebih mahal daripada bensin habis di tengah kemacetan.
Karenanya, yuk ubah cara pandang kita. Jangan buru-buru ngecap peserta demo damai sebagai pengacau, tapi lihat mereka sebagai penjaga api demokrasi. Mereka itu pengingat keras kalau negeri ini punya rakyat, bukan cuma milik segelintir elit yang sibuk nambahin gaji sendiri. Kalau kita dukung unjuk rasa tanpa anarkisme, berarti kita lagi ikut jaga warisan demokrasi yang sehat—bukan cuma buat hari ini, tapi buat masa depan. Jadi lain kali kena macet gara-gara demo damai, coba tarik napas dan bilang: “Oke deh, ini macet yang ada gunanya.”
Bayangin aja demo damai itu kayak macet gara-gara konser Coldplay di GBK. Semua orang kesel sih sama jalanan stuck, tapi tetep rela karena tau ada hiburan, ada vibe, ada rasa kebersamaan. Nah, demo damai juga gitu—bikin jalanan jedug sebentar, tapi isinya bukan lagu galau, melainkan suara rakyat yang ngejaga demokrasi. Suara toa dan teriakan mungkin bikin kuping panas, tapi di balik itu ada harmoni yang lebih dalam: rakyat bareng-bareng bilang, “Wahai pemerintah, jangan engkau seenaknya!” Jadi ini macet sementara demi tujuan yang permanen.
Kalau mau dibandingin sama bencana, gampang aja. Banjir ninggalin lumpur, listrik mati bikin kesel karena gak bisa nge-charge HP. Tapi demo damai ninggalin peluang—pemerintah dipaksa dengerin, rakyat punya ruang ngomong, dan negara bisa naik level. Jadi pas kejebak macet gara-gara demo, coba mikirnya kayak gini: “Oh, ini negeri lagi tarik napas sebentar biar bisa ngomong jujur.” Begitu selesai, bukan cuma jalan yang kembali lancar, tapi ada semangat baru menggema di udara.
Jadi intinya, demo damai itu mirip tukang bangunan lagi renovasi rumah. Bising, berdebu, bikin ribet. Tapi kalau tahan dikit, hasilnya rumah jadi lebih kokoh dan cakep. Demokrasi juga sama, kadang butuh ribut-ribut biar nggak ambruk. Jadi kalau macet gara-gara demo damai, anggap aja itu suara palu buat ngejaga pondasi negeri ini—bukan cuma buat hari ini, tapi buat masa depan.
Ada banyak rujukan keren yang bisa jadi “senjata ilmiah” buat ngebuktiin kalau demo damai itu punya nilai penting buat demokrasi. Charles Tilly lewat Social Movements, 1768–2004 (2004) nunjukin kalau protes massa udah jadi motor penggerak politik modern dari zaman dulu banget. Jadi kalau ada yang bilang demo itu cuma ganggu jalan, Tilly udah punya jawaban: demo justru bagian inti dari demokrasi.
Dalam bukunya, cerita Tilly itu bisa dibaca kek gini: Dari dulu sampai sekarang, demo itu bukan sekadar hura-hura massa yang turun ke jalan, tapi justru mesin utama yang ngebentuk politik modern. Menurut Tilly, awalnya di Eropa abad ke-18, protes masih berupa kerusuhan dadakan atau ngamuk bareng karena harga roti naik. Tapi lama-lama, rakyat belajar bikin gerakan lebih rapi: ada tuntutan jelas, ada orasi, ada solidaritas lintas kelas, dan semuanya diarahkan buat ngegas pemerintah biar dengerin.
Pas masuk abad ke-19, demo makin lengket ama perjuangan warga negara. Dari hak pilih, buruh, sampai kebangkitan bangsa, semua lewat aksi massa yang bikin para elite kagak bisa lagi tutup kuping. Protes itu akhirnya jadi semacam “fitur wajib” demokrasi modern, kayak aplikasi yang nggak bisa dihapus dari sistem politik.
Naik level ke abad ke-20, demo makin global dan makin canggih. Ada dekolonisasi, civil rights, feminisme, sampai lingkungan hidup. Media massa dan birokrasi bikin gerakan jadi lebih profesional, tapi intinya sama: rakyat rame-rame ngelawan kalau ada yang nggak adil. Bahkan di bawah represi negara, demo nggak pernah bener-bener mati, malah makin kreatif.
Pas sampai abad ke-21, kata Tilly, politik modern itu udah nggak bisa dibayangin tanpa aksi kolektif. Kadang menang, kadang kalah, tapi efeknya selalu bikin peta politik berubah. Negara, partai, bahkan korporasi sekarang udah mikir dulu sebelum rakyat marah dan turun ke jalan. Jadi intinya: politik hari ini itu lahir dari spanduk, seruan, dan solidaritas massa yang gak pernah mau diam.
Menurut Tilly, demo itu yang bikin politik modern jadi rame dan penuh drama, bukan lagi urusan elite doang. Di Eropa abad ke-18, awalnya orang protes cuma meledak spontan karena harga roti mahal, tapi lama-lama mereka bikin pola yang lebih canggih: ada spanduk, ada tuntutan, ada aksi bareng, kayak “template” demo zaman now. Karena negara makin gede dan ide demokrasi makin nyebar, rakyat pun merasa punya alasan sekaligus panggung buat ngomong banter.
Masuk abad ke-19, demo jadi mesin utama lahirnya hak politik. Hak pilih, hak buruh, sampai kemerdekaan bangsa, semuanya lahir bukan karena kebaikan hati pemerintah, tapi karena rakyat nggak berhenti nge-push lewat aksi massa. Protes ini bikin aturan main politik berubah, kayak update software yang maksa sistem menyesuaikan diri.
Di abad ke-20, demo jadi makin internasional dan makin keren. Dari dekolonisasi, civil rights, feminisme, sampai isu lingkungan, gerakan sosial jadi global campaign yang bisa bikin negara superpower pun keringetan. Media massa dan sistem birokrasi bikin demo makin profesional, tapi jiwa ngelawannya tetap sama. Meski ditekan habis-habisan, gerakan rakyat selalu nemu cara buat tetep hidup dan bikin isu mereka masuk headline.
Pas nyampe abad ke-21, kata Tilly, politik modern udah nggak bisa dipisahin dari aksi kolektif. Bahkan kalau nggak langsung menang, demo selalu ninggalin jejak: bikin batas wacana politik geser, bikin pemerintah was-was, dan bikin rakyat sadar kalau power itu nggak pernah absolut. Jadi intinya, sejarah politik modern itu sebenernya sejarah spanduk, orasi, dan solidaritas yang nggak pernah habis bensinnya.
Tilly dengan jelas bilang bahwa demo itu bukan sekadar “gangguan jalanan” yang bikin macet, tapi justru cara utama rakyat nunjukin eksistensi politik mereka, baik di negara yang demokrasinya udah mapan maupun yang setengah matang. Demo jadi kayak panggung raksasa tempat warga yang nggak punya akses langsung ke kekuasaan bisa nunjukin jumlah, kekompakan, dan tekad mereka secara visual dan dramatis. Jadi jangan kira itu cuma keributan, karena sebenarnya demo itu ritual politik dimana rakyat ngingetin penguasa: “Loe bisa berkuasa karena kami ada dan kami bisa bersuara.” Di negara demokrasi kuat atau demokrasi nanggung, demo jadi ujian rutin—apakah pemerintah masih mau denger atau malah pura-pura budeg. Akhirnya, demo itu kayak soundtrack wajib dari politik modern: selalu hadir, bikin suasana rame, dan bikin elite nggak bisa lagi ngerasa aman di kursinya.
Ada juga Sidney Tarrow dengan Power in Movement (2011). Doski ngejelasin gimana demo bisa bikin jaringan solidaritas dan jadi pemicu perubahan politik besar. Tarrow ngingetin kalau demo itu bukan sekadar ekspresi kekesalan, tapi strategi rakyat buat bikin elit politik nggak bisa tidur nyenyak. Jadi anggapan demo itu “sekadar macet berjamaah” jelas keliru.Tarrow basically ngomong gini: demo itu bukan cuma soal teriak-teriak di jalan, tapi mesin pembuat solidaritas yang bisa nge-trigger perubahan politik lebih gede. Begitu orang-orang kumpul bareng, unek-unek pribadi mereka langsung naik level jadi perjuangan kolektif. Dari situ muncul rasa percaya, identitas bareng, dan ikatan emosional yang bikin gerakan makin solid. Demo juga kayak “template” aksi yang gampang ditiru, jadi satu kelompok bisa belajar dari kelompok lain, lalu konek bikin koalisi gede. Pas suara protes dipamerin di ruang publik, ketidakadilan jadi dramatisasi yang gampang bikin orang lain ikut tergerak. Efek domino pun jalan: makin banyak yang gabung, makin susah penguasa pura-pura nggak denger. Jadi simpelnya, demo itu kayak playlist viral—sekali trending, semua orang pengen join, dan lama-lama jadi kekuatan politik yang bisa maksa perubahan nyata.Terakhir, buat versi kekinian, ada Donatella della Porta dan Mario Diani dengan Social Movements: An Introduction (2020). Mereka bilang demo itu nggak cuma alat perlawanan, tapi juga sarana belajar demokrasi. Lewat demo, rakyat belajar debat, negosiasi, dan nuntut transparansi. Jadi ya, macet karena demo itu kalah jauh dibanding manfaatnya: bikin rakyat makin dewasa secara politik.Donatella della Porta dan Mario Diani basically bilang kalau demo itu kayak sekolah politik jalanan. Bukan cuma ajang teriak-teriak marah, tapi tempat rakyat belajar skill penting: gimana cara debat, gimana negosiasi, sampai gimana nuntut pemerintah biar lebih transparan. Demo itu kayak kelas gratis di ruang publik, dimana orang biasa—yang biasanya nggak dikasih mic di parlemen—bisa latihan ngomong, meyakinkan orang lain, dan ngajarin pejabat kalau kekuasaan itu harus bisa dipertanggungjawabkan. Jadi kalau dipikir-pikir, demo itu bukan sekadar aksi, tapi semacam “kursus kilat demokrasi” yang bikin rakyat makin jago nuntut hak dan bikin elite nggak bisa lagi sembunyi di balik tembok birokrasi.Sebenernya ada banget sih rujukan yang bisa dijadiin “kitab panduan” biar demo nggak cuma rame doang, tapi juga efektif. Yang paling legendaris tentu aja karya Gene Sharp, The Politics of Nonviolent Action (2020, The Albert Einstein Institution). Isinya gokil: ada 198 cara protes damai, dari boikot sampe aksi simbolis, semua dijelasin detail gimana biar demo punya efek ke publik dan bikin penguasa keringetan. Buku ini sering disebut “manual revolusi tanpa darah” dan udah dipake gerakan di Eropa Timur sampe Asia Tenggara.Sharp itu intinya bilang: demo bakal efektif kalau bukan cuma marah-marah spontan, tapi dijalanin dengan disiplin, strategi, dan organisasi yang rapi. Penguasa itu bisa kuat karena rakyat nurut, mau kerjasama, dan diem aja. Begitu semua itu dicabut—kagak amu nurut, kagak mau kerja sama, gak diem—kekuasaannya mulai keropos. Jadi demo dan aksi non-kekerasan itu berhasil kalau rasa sebel rakyat yang tercecer diubah jadi tekanan kolektif yang terkoordinasi: mogok kerja, boikot, aksi jalanan, semua dipakai buat ngehantam fondasi rezim. Kuncinya bukan cuma ngedrama soal moral, tapi pinter ngatur langkah biar lawan makin nggak bisa ngatur. Intinya, kata Sharp, kekuasaan itu bukan tembok beton, tapi hubungan timbal balik; kalau rakyat bareng-bareng bilang “nggak nurut lagi,” bahkan penguasa paling sangar pun bisa dipaksa mundur.Terus ada This Is an Uprising (2016, Nation Books) karya Mark dan Paul Engler. Mereka ngasih resep rahasia suksesnya demo besar: strategi lebih penting daripada spontanitas. Mereka ngambil contoh dari gerakan hak sipil di Amerika dan Revolusi People Power di Filipina. Intinya, demo efektif itu bukan ledakan emosi sesaat, tapi kampanye rapi dengan tujuan jelas.Mark dan Paul Engler basically bilang: demo yang efektif itu bukan sekadar “ledakan marah” yang bikin trending sehari terus hilang. Demo yang beneran nendang itu kayak konser tur band besar—ada jadwal, ada koreografi, ada pesan yang jelas mau dibawa, dan semua aksi nyambung jadi satu cerita besar. Emosi marah boleh jadi pemantik, tapi yang bikin gerakan awet itu organisasi yang disiplin dan tujuan yang jelas. Demo jalanan, aksi duduk, sampai civil disobedience, semuanya harus nyatu dalam alur narasi yang bikin tekanan makin lama makin tinggi, bikin simpatisan makin banyak, dan akhirnya bikin penguasa kepaksa ngasih konsesi. Kalau cuma spontan doang, energinya gampang habis; kalau terlalu kaku tanpa emosi, orang juga nggak akan ikut. Jadi intinya, demo yang berhasil itu kayak mixtape rap battle politik: penuh emosi, tapi tetep terstruktur, dan terus diputer sampai lawan kehabisan cara buat ngeles.Buat era medsos, ada juga Twitter and Tear Gas (2017) dari Zeynep Tufekci. Doski jelasin gimana Twitter, Facebook, dan medsos lain bisa bikin orang kumpul dalam sekejap, tapi juga ngingetin kalau tanpa perencanaan, demo bisa cepet kempes kayak balon bocor. Jadi perlu kombinasi: mobilisasi cepat dari dunia maya, plus strategi jangka panjang ala old school.
Kalau dirangkum, semua rujukan ini ngajarin kalau demo itu bukan sekadar “bikin jalanan rame,” tapi bisa menjadi pertunjukan sipil yang terstruktur rapi—semacam teater rakyat di jalanan—yang beneran bisa ngubah arah sejarah tanpa harus rusuh.
Kalau disarikan dari Gene Sharp, duo Engler, dan Zeynep Tufekci, ada semacam “jurus sakti” biar demo gak cuma rame sebentar tapi beneran ngefek. Pertama, soal disiplin. Demo damai yang tertib itu punya aura moral yang gede banget. Orang jauh lebih simpati liat massa berdiri tenang dengan spanduk, ketimbang chaos yang bikin panik. Kedua, tuntutan harus jelas. Jangan muter-muter, cukup satu-dua poin yang gampang diingat, biar rakyat paham dan pemerintah kagak bisa ngeles. Ketiga, pake simbol yang kuat. Kostum nyentrik, aksi teatrikal, atau benda-benda ikonik bisa bikin pesan demo nempel di kepala orang lama-lama.Tapi jangan lupa, organisasi itu kunci. Kerumunan spontan memang bisa trending, tapi kalo gak ada struktur, bakal bubar jalan. Demo yang punya koordinator, logistik jelas, dan rencana jangka panjang bisa berubah jadi gerakan berkelanjutan. Selain itu, makin inklusif makin mantap. Kalau yang turun bukan cuma mahasiswa, tapi juga buruh, emak-emak, sampai pensiunan, itu nunjukin isu yang diangkat bukan milik segelintir orang, tapi jeritan bangsa. Dan tentu aja, fleksibel itu wajib. Pemerintah biasanya pinter ngeles atau nge-distract, jadi demo juga kudu siap ganti taktik.Nah, di zaman medsos, jurus pamungkasnya ada di kombinasi online dan offline. Twitter, TikTok, dan Instagram bisa ngumpulin massa dalam hitungan jam, tapi biar nggak cepet kempes, tetep perlu obrolan tatap muka ala old school. Kalau semua elemen ini disatuin—disiplin, tuntutan jelas, simbol kuat, organisasi, inklusif, fleksibel, plus strategi digital—demo bakal jadi lebih dari sekadar bikin macet. Bisa berubah jadi “kelas terbuka demokrasi” yang bikin rakyat belajar, pemerintah mikir, dan sejarah berbelok.Contoh paling legendaris aksi simbolik ada di India tahun 1930: Salt March-nya Gandhi. Bukannya ngamuk atau ngelempar batu, Gandhi malah jalan kaki ratusan kilometer buat bikin garam sendiri di pinggir laut. Kelihatannya receh banget, tapi itu jadi tamparan telak buat Inggris yang monopoli garam. Aksi simpel ini jadi simbol perlawanan yang bikin dunia gempar. Senjata? Kagak perluu. Kreativitas plus moral? Itu udah cukup buat ngeguncang kerajaan.
Di Amerika tahun 60-an, ada juga momen “flower power” yang epic. Pas demo anti-perang, para aktivis naruh bunga di moncong senjata tentara. Bayangin aja: alat buat nembak tiba-tiba berubah jadi vas bunga dadakan. Foto itu langsung jadi ikon dunia—ngasih pesan kalau damai bisa lebih kuat daripada peluru. Simbol keindahan ngelawan kekerasan, hasilnya abadi dalam sejarah.
Di era yang lebih deket, Hong Kong punya “Umbrella Revolution”. Awalnya payung cuma dipake buat nangkis gas air mata dan semprotan polisi, tapi lama-lama jadi simbol perlindungan dan solidaritas. Lautan payung warna-warni di jalanan bikin pesan politik yang lembut tapi tegas: rakyat nggak gampang dibungkam. Payung yang biasanya dipake buat hujan, mendadak jadi ikon demokrasi.
Semua contoh ini nunjukin kalau demo nggak melulu soal jumlah orang atau seberapa banter teriakannya. Imajinasi itu kunci. Simbol yang kuat bisa bikin pesan demo nyampe lebih jauh, nyangkut di kepala orang, bahkan ngalahin bahasa. Kadang, satu bunga, sebutir garam, atau sebuah payung bisa lebih tajam dari pidato yang berbusa-busa.
Demo itu kalau dilepasin dari rusuh-rusuhan dan bakar-bakaran, sebenarnya bisa jadi seni keren dalam partisipasi warga negara. Bukan cuma soal ngelawan, tapi juga cara biar suara orang kecil nggak terus ditelen ama yang gede-gede. Demo tanpa anarkisme itu ibarat marah tapi tetep elegan—energi rakyat disalurin jadi kekuatan teratur, yang bikin orang lain hormat, bukan takut. Kalau rapi, berwibawa, dan solid, perjuangan kita kelihatan jelas: ini bukan kerusuhan, tapi tuntutan keadilan. Bahkan bisa bikin pejabat yang tadinya cuek jadi mikir, karena kelihatan banget persatuan lebih kuat kalau nggak dikotori kekerasan.
Dalam hal ini, jalanan tuh nggak cuma macet doang gara-gara demo. Jalanan bisa jadi panggung demokrasi, dimana spanduk lebih sakti daripada pentungan, dan teriakan massa lebih nyaring dari kekacauan. Orang-orang yang demo dengan sabar dan berprinsip itu nggak lagi jadi penghambat kemajuan bangsa, malah justru bahan bakar buat kemajuannya. Bareng-bareng turun ke jalan dengan damai, tanpa bikin kerusakan, artinya ngingetin penguasa: ngatur negara itu bukan hak istimewa segelintir orang, tapi tanggungjawab ke semua rakyat.
Sejarah pun udah ngebuktiin: demo damai ninggalin jejak yang lebih dalem daripada ribut-ribut bakar ban. Pesannya lebih lama ngena, lebih jauh nyebar, dan lebih banyak bikin orang terinspirasi. Kalau rakyat Indonesia bisa buang anarkisme dari demo, mereka bisa nunjukkin kalau aksi sipil itu kekuatan moral yang jagain keadilan sekaligus ketertiban. Dunia tuh nggak inget jendela yang pecah, tapi selalu inget suara-suara berani yang naik levelnya lebih sopran dari kebisingan.
Kalau rakyat turun ke jalan dengan rapi dan terukur, bukan cuma marah-marah tanpa arah, demo itu nggak lagi dianggap bikin ribet tapi malah jadi kelas gratis tentang pendidikan kewarganegaraan. Buku-buku kayak Rules for Radicals karya Saul Alinsky (1971, Vintage Books) sama This Is an Uprising karya Mark dan Paul Engler (2016, Nation Books) ngajarin bahwa demo yang efektif itu butuh strategi, simbol, dan disiplin non-kekerasan biar bisa ngubah opini publik tanpa bikin orang lain illfeel. Demo yang gak kebablasan jadi rusuh justru punya wibawa moral, dan di negara demokrasi, wibawa itu sering lebih berat bobotnya daripada sekadar jumlah massa atau suara toa yang kenceng. Contohnya demo 25 Agustus 2025 di Indonesia, pas rakyat protes kenaikan gaji DPR: yang jalan santai tapi konsisten malah dapet banyak simpati ketimbang yang blokir semua jalan sampe bikin orang nyumpahin. Jadi, kalau mau demo nggak cuma jadi ajang pelampiasan, tapi juga ngobrol serius sama penguasa, ya kudu belajar supaya bisa ngarahin emosi mentah jadi perubahan sosial yang tahan lama.











