[Bagian 1]Seorang profesor tua pernah mengundang murid-muridnya ke rumah. Mereka melihatnya minum teh dari cangkir retak, padahal porselen mahal tertata rapi di rak. Salah seorang mahasiswanya penasaran bertanya, kenapa beliau malah pakai yang rusak? Sang profesor tersenyum seraya berkata, “Karena tetep bisa nampung teh. Bahagia itu bukan dari cangkirnya, tapi dari kehangatannya yang kita teguk.”Kalau dilihat dari perspektif filosofis, sederhana itu dipandang sebagai kebajikan, cara buat nyopot segala gangguan supaya kita bisa nemuin apa yang esensial. Para Stoic, Epicurus, sampai Henry David Thoreau dalam karyanya Walden (1854, Ticknor and Fields) bilang kalau dengan hidup sederhana, jiwa kita bebas dari nafsu yang gak perlu, dan justru nemuin kebebasan yang lebih dalam. Jadi sederhana itu bukan miskin, tapi jernih — nggak jadi budak dari berlebihan.Thoreau melihat kesederhanaan bukan sebagai hidup miskin atau sengsara, tapi sebagai pilihan sadar buat hidup lebih penuh makna. Menurutnya, kebanyakan orang justru jadi budak barang-barang gak penting, ekspektasi sosial, dan ngejar duit terus, yang akhirnya malah bikin mereka lupa sama inti kehidupan. Buat Thoreau, hidup sederhana itu kayak ngebuang "sampah-sampah" yang nggak perlu biar bisa balik nyambung lagi sama alam, pikiran, dan diri sendiri. Kekayaan sejati, katanya, bukan ada di numpukin harta, tapi di kesadaran, di momen hening pas refleksi, dan di kemampuan buat bahagia dengan yang secukupnya. Makanya doi ngungsi ke Walden Pond, nunjukin kalau manusia bisa hidup bermartabat, jernih, bahkan bahagia kalau berani nolak godaan society yang ribut dan penuh distraksi. Buat Thoreau, kesederhanaan itu bukan cuma gaya hidup, tapi juga bentuk perlawanan: hidup dengan sengaja, bukan sekadar ikut arus, dan ngukur hidup bukan dari apa yang dipunya, tapi dari seberapa dalam pengalaman yang dijalanin.Dalam A Philosophy of Simple Living (2020), Jérôme Brillaud nggak ngejual kesederhanaan kayak brosur minimalis yang isinya cuma tips buang barang-barang atau kabur dari dunia modern. Doski justru ngelihat kesederhanaan sebagai latihan hening, semacam seni ngecilin volume kebisingan hidup biar kita bisa bener-bener dengar suara lembut kehidupan itu sendiri. Hidup sederhana di sini bukan soal nyiksa diri atau jadi anti-materi, tapi soal hadir penuh tanpa dibebani ambisi, gengsi, atau nafsu yang nggak ada habisnya. Menurut Brillaud, inti dari hidup sederhana dimulai dari hati yang sederhana: hati yang ngasih tanpa hitung-hitungan, tanpa mikirin hasil, dan tanpa berharap tepuk tangan. Kesederhanaan itu berarti ngeluarin ego dari kursi supir, biar hidup bisa jalan dengan lebih ringan, anggun, dan siap menerima apapun.Brillaud juga bilang kalau kesederhanaan itu bukan perkara remeh-temeh. Malah, ia punya akar panjang dalam sejarah filsafat dan spiritualitas: dari Diogenes yang hidup kayak gelandangan tapi penuh makna, ke para biarawan Kristen awal, lalu ke Thoreau yang ngasingin diri di hutan, sampai ke gerakan slow living zaman now. Semua itu punya benang merah: keyakinan bahwa hidup, kalau dibersihin dari yang berlebihan dan ribetnya dunia, bakal lebih jernih, lebih jujur, dan lebih dekat dengan Sang Ilahi. Bagi Brillaud, kesederhanaan bukan cuma gaya hidup biar estetik, tapi juga kewaspadaan moral dan spiritual—semacam mode silent buat ego kita, biar dia berhenti jadi bos rewel dan lebih jadi kawan seperjalanan.Jadi, orang sederhana menurut Brillaud itu bukan yang punya rencana cadangan buat tiap skenario, tapi yang justru siap dengan apapun karena gak terikat ama skenario manapun. Kesederhanaan itu kayak sikap santai tapi sigap: bebas, fleksibel, tapi tetep teguh. Dengan itu, kita bisa hidup lebih adem, ngasih dengan senang hati, jalan dengan rendah hati, dan punya telinga buat bisikan halus kehidupan yang biasanya kalah ama riuhnya dunia modern.Singkatnya, berikut ini manifesto hidup sederhana ala Jérôme Brillaud,
Hidup sederhana bukan sekadar punya sedikit, tapi ingin sedikit,Menutup ego yang rewel, biar hidup bernafas lebih legit.Hati sederhana memberi bahagia tanpa hitung untung-rugi,Kesederhanaan bukanlah kekosongan, tapi keberlimpahan yang tak hura-hura lagi.Membuat kita siap tanpa kaku,Bebas melangkah tanpa harus serba mengatur selalu.Dalam sederhana, terdengar bisikan kehidupan yang lembut,Lebih jelas dari ambisi yang bising, kasar, dan kalut.Kalau dari sisi ekonomi, sederhana itu dilihat sebagai tandingan dari konsumerisme yang gak ada habisnya. Duane Elgin dalam bukunya Voluntary Simplicity (1981, Harper & Row) bilang kalau well-being itu gak melulu soal numpuk barang, tapi soal bisa hidup berkelanjutan dan penuh makna dengan kepemilikan yang lebih sedikit. Intinya, kekayaan tanpa batas bikin capek, sementara kesederhanaan bikin seimbang antara sumber daya dan kebahagiaan manusia.
Duane Elgin dalam Voluntary Simplicity menjelaskan bahwa hidup sederhana secara sukarela itu adalah pilihan sadar buat hidup dengan konsumsi materi lebih sedikit, tapi dapet kekayaan batin, koneksi sosial, dan kesadaran ekologi yang lebih dalam. Menurut Elgin, kesederhanaan itu bukan berarti hidup miskin atau sengsara, tapi justru nyambungin gaya hidup sama nilai yang bikin hidup lebih otentik dan penuh makna. Doski bilang, budaya konsumtif modern, yang isinya cuma ngejar barang baru terus, bikin manusia makin jauh dari kebahagiaan sejati dan malah ngerusak keseimbangan alam yang jadi fondasi kehidupan. Singkatnya, kesederhanaan sukarela ini sebenarnya bentuk kebebasan: keputusan buat cabut dari treadmill konsumerisme dan milih hidup yang lebih sehat buat diri sendiri sekaligus buat bumi.Hubungannya sama tantangan global? Nah, di sini Elgin tegas banget. Doi nyebut masalah kayak krisis iklim, kerusakan lingkungan, habisnya sumber daya, sampai kesenjangan global itu gak bisa beres cuma modal teknologi canggih atau reformasi politik. Yang dibutuhin itu perubahan kesadaran manusia. Hidup sederhana itu bukan cuma latihan pribadi buat hidup lebih berarti, tapi juga jawaban kolektif buat ngadepin krisis global. Kalau kita konsumsi lebih sedikit, lebih banyak kerja sama, dan puas dengan “cukup” bukannya “berlebih”, kita ikut ngurangin tekanan ke ekosistem dan bikin dunia lebih adil serta berkelanjutan. Visi Elgin ini. ngajak kita lihat kesederhanaan sukarela bukan cuma sebagai gaya hidup alternatif, tapi juga panggilan moral menghadapi tantangan global.Elgin ngenalin apa yang disebutnya sebagai filosofi kesederhanaan, yaitu semacam arah baru dalam hidup yang milih mundur dari kebiasaan berlebih-lebihan dan balik ke titik cukup yang penuh makna. Buat Elgin, sederhana itu bukan berarti nol hiburan atau hidup kayak pertapa, tapi pilihan sadar buat nyamain nilai batin dengan tindakan sehari-hari. Filosofi ini ngeliat kepuasan bukan dari numpuk barang, tapi dari hidup yang selaras, punya tujuan jelas, dan bisa nikmatin kekayaan sejati: kualitas hubungan kita, energi komunitas, dan keterhubungan sama alam.Filosofi ini dasarnya percaya bahwa manusia bisa hidup lebih berarti kalau berani lepas dari kegilaan konsumerisme dan nemuin lagi keseimbangan. Elgin nekenin kalau kesederhanaan itu harus lahir dari kesadaran batin, bukan paksaan luar. Doski menyebutnya “ekspresi dari keutuhan”—cara hidup yang nyatuin tubuh, pikiran, dan jiwa sambil tetep ngehormatin batas-batas ekologi bumi. Jadi dalam praktiknya, sederhana itu bukan sekadar milih lebih sedikit, tapi milih hal-hal yang beneran ngasih kehidupan, kreativitas, dan koneksi. Dengan begitu, kesederhanaan itu bukan kemiskinan, tapi justru kebebasan: bebas dari distraksi, bebas dari pemborosan, dan bebas buat hidup otentik di tengah dunia yang lagi dihajar krisis global.Elgin ngejelasin kalau ide voluntary simplicity atau voluntary living itu muncul karena banyak orang mulai muak ama gaya hidup konsumtif yang rakus sumber daya, bikin orang makin jauh dari makna hidup, dan ngerusak bumi. Elgin ngeliat, kendati barang-barang makin melimpah, justru makin banyak orang ngerasa kosong, kesepian, dan makin jelas kelihatan kerusakan alam di sekitar.Ada beberapa hal gede yang jadi latarbelakangnya. Pertama, krisis energi dan lingkungan di tahun 70-an, apalagi setelah oil shocks, bikin orang sadar kalau hidup boros energi dan barang nggak bakal bisa jalan terus tanpa ngerusak segalanya. Kedua, munculnya budaya tandingan (counterculture) dan gerakan spiritual di Amerika era 60–70an bikin orang cari alternatif: meditasi, deket sama alam, hidup lebih sederhana. Ketiga, perubahan sosial-ekonomi—kayak industrialisasi, urbanisasi, dan meledaknya kapitalisme konsumeris—bikin orang jenuh, pengen balik ke hidup yang lebih otentik.Elgin bilang kalau voluntary simplicity itu lahir bukan karena kepepet, tapi karena sadar. Doi nyebutnya “ekspresi luar dari transformasi batin” — pergeseran kesadaran batin yang akhirnya keliatan lewat pilihan sehari-hari. Intinya, voluntary living muncul karena gabungan antara krisis global, rasa muak sama budaya konsumtif, dan lahirnya kesadaran baru bahwa bahagia itu bukan soal “lebih banyak”, tapi soal “cukup” yang dijalani dengan penuh makna.Dari perspektif sosial, sederhana bisa jadi semacam “penyeimbang kelas,” bikin jarak antara kaya dan miskin berkurang karena nilai yang dijunjung bukan lagi pamer harta, tapi makna hidup. Richard Gregg di The Value of Voluntary Simplicity (1936, Pendle Hill Publications) nunjukin kalau pilihan hidup sederhana itu bisa nyuburin empati dan kebersamaan, bikin masyarakat lebih peduli dan gak terlalu hirarkis. Sederhana di sini jadi etika solidaritas.Gregg di tahun 1936 itu kayak lagi bilang: “Bro, hidup simpel tuh bukan cuma soal hati tenang, tapi juga strategi ekonomi biar gak ketipu sistem kapitalisme yang doyan bikin kita lapar mata.” Menurutnya, kalau orang mau sadar buat konsumsi secukupnya, otomatis mereka gak gampang jadi budak overproduksi dan iklan-iklan palsu yang bikin dompet bolong. Dengan hidup sederhana, duit yang tadinya kebuang buat barang-barang pamer bisa dialihin buat kebutuhan dasar, bahkan bikin distribusi kekayaan lebih adil. Gregg basically ngajarin kalau simpel itu bukan berarti anti-kemajuan, tapi lebih ke upgrade mindset biar kebutuhan sejalan ama cara hidup yang sustainable. Intinya: cukup itu lebih penting daripada rakus, martabat lebih keren daripada gengsi. Jadi, menurutnya, hidup simpel bikin kita lebih merdeka secara finansial, lebih tahan banting kalau krisis, dan bikin masyarakat bareng-bareng bisa lebih waras daripada terjebak budaya konsumerisme yang cuma bikin kosong batin.Kalau ditarik ke zaman sekarang, wejangan Richard Gregg soal hidup sederhana itu kayak pas banget buat kita yang tiap tahun digoda ganti HP terbaru atau tiap bulan tergoda flash sale online. Pola kayak gitu sebenernya persis jebakan konsumerisme yang bikin kita makin terikat cicilan, makin stres, dan makin pamer status doang. Sebaliknya, kalau kita berani hidup simpel—misalnya ikut tren “no buy challenge,” beli barang seperlunya aja, atau lebih milih kualitas ketimbang kuantitas—kita jadi bebas dari treadmill finansial yang nyedot energi dan duit. Hidup sederhana tuh ibarat bentuk perlawanan halus ke sistem ekonomi yang emang hidup dari sampah dan ketidakadilan. Dengan begitu, duit bisa dialihin buat hal-hal yang beneran bikin hidup aman, kaya pengalaman, atau malah bikin kebersamaan jadi lebih hangat. Jadi, kalau kata Gregg, hidup sederhana bukan cuma gaya minimalis ala Instagram, tapi strategi bertahan biar dompet selamat, pikiran tenang, dan hidup nggak dikontrol hasrat yang nggak ada habisnya.
Gregg tuh kayak lagi bilang: “Guys, hidup sederhana itu gak cuma bikin dompet aman, tapi juga bikin kita lebih nyambung sama orang lain.” Menurutnya, gaya hidup yang kebanyakan pamer barang dan ngejar kemewahan justru bikin iri-irian, kompetisi gak sehat, sampai bikin kelas sosial makin renggang. Sebaliknya, kalau orang-orang rela hidup simpel dan nurunin keinginan berlebihan, otomatis sumber daya bisa lebih merata, konflik sosial bisa reda, dan komunitas jadi lebih solid. Hidup sederhana bikin orang ketemu bukan karena gengsi atau isi dompet, tapi karena nilai bareng dan rasa saling respect. Gregg juga ngingetin kalau kesederhanaan itu semacam benteng dari efek toksik masyarakat industri modern yang bikin hubungan antar manusia jadi kayak transaksi. So, menurut doi, sederhana itu kayak lem perekat sosial—bikin persaudaraan lebih hangat, bikin solidaritas lebih kuat, dan ngegantiin budaya pamer yang cuma bikin kita makin kesepian.
Nah kalau dari perspektif budaya, sederhana sering muncul dalam tradisi yang ngerayain kerendahan hati dan keseimbangan. Dalam estetika Jepang misalnya, ada konsep wabi-sabi yang nganggep ketidaksempurnaan dan kesederhanaan sebagai jalan menuju keindahan. Shunmyo Masuno di The Art of Simple Living (2019, Penguin Books) bawa praktik Zen ke rutinitas sehari-hari, ngajarin kalau kesederhanaan budaya itu bukan nolak kekayaan hidup, tapi justru ngerangkul makna yang lebih dalam. Jadi budaya ngeubah sederhana jadi bahasa bersama tentang harmoni.
Kalau dirangkum, sederhana itu bukan cuma pilihan gaya hidup, tapi arah hidup. Ia adalah kejernihan dalam filsafat, pengendalian dalam ekonomi, empati dalam sosial, dan kerendahan hati dalam budaya — yang kalau dijalin, jadi cara hidup yang bikin manusia lebih damai.
“Bahagia itu gak ribet kok bro.” Serius deh, loe kagak perlu jet pribadi, rumah segede istana, atau outfit branded biar ngerasain senyum yang tulus. Kadang bahagia itu ya sesimpel ngopi di teras rumah sambil dengerin hujan, atau makan gorengan bareng sahabat sambil ketawa. Filosofis kayak Epicurus dan Thoreau aja udah bilang dari dulu, kalau bahagia itu bukan soal nambah-nambah terus, tapi ngehargain apa yang udah ada. Jadi kalau masih ada yang ngejar bahagia lewat drama duniawi, coba inget: bahagia tuh udah nungguin loe di hal-hal kecil yang sering banget diremehin.
“Bahagia itu emang sederhana, gak pake ribet.” Loe gak usah jungkir balik ngejar yang keliatan wow di medsos, karena seringnya yang bikin hati adem justru hal-hal receh yang kadang gak dipajang di feed Instagram. Bersyukur itu kayak filter terbaik, bikin hidup keliatan jernih tanpa editan berlebihan. Jadi jangan salah, bahagia bukan barang langka yang harus diburu mati-matian, tapi vibe sehari-hari yang udah nongkrong di sekitar loe, nunggu loe sadar dan bilang: “Oh, ternyata, gini ta rasanya bahagia.”

