Pada malam 28 Agustus 2025, Jakarta diguncang oleh insiden mengerikan yang menjadi sorotan nasional. Saat demonstrasi di kawasan Pejompongan, sebuah kendaraan lapis baja polisi, yang dikenal sebagai Barracuda, melindas dan membunuh seorang driver ojek online, Affan Kurniawan. Rekaman mengerikan yang beredar di media sosial menunjukkan kendaraan tersebut terus maju, menyeret korban beberapa meter, sementara warga berusaha membantu. Kendaraan itu tak berhenti, dan tak ada pertolongan segera diberikan kepada korban. Insiden ini menimbulkan pertanyaan serius tentang perilaku dan akuntabilitas aparat penegak hukum di Indonesia.Tragedi ini memicu kemarahan publik yang meluas. Platform media sosial dipenuhi dengan kecaman, dan organisasi masyarakat sipil menyerukan keadilan. Insiden ini menyoroti masalah-masalah yang telah lama ada dalam tubuh kepolisian, termasuk penggunaan kekuatan berlebihan, kurangnya akuntabilitas, dan budaya impunitas yang dirasakan. Kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum telah terkikis parah, dan tuntutan untuk reformasi sistemik semakin keras terdengar.
Liputan media internasional tentang insiden polisi melindas pengemudi ojek online di Jakarta tanggal 28 Agustus 2025 benar-benar bikin reputasi Indonesia jadi sorotan tajam. BBC menulis bahwa kasus ini menunjukkan makin menurunnya kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum, apalagi ketika video viral memperlihatkan mobil polisi sengaja enggak berhenti dan malah ninggalin korban. The Guardian menekankan bahwa aksi ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang serius, mengingat aparat yang seharusnya melindungi malah justru menghilangkan nyawa.
Al Jazeera juga menyoroti bahwa peristiwa tersebut bukan insiden tunggal, melainkan bagian dari pola panjang brutalitas polisi di Indonesia yang sebelumnya sering dikeluhkan masyarakat sipil. Mereka membandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara dimana tuntutan reformasi kepolisian sudah semakin kencang. Sementara itu, Reuters menyorot bahwa permintaan maaf dari pejabat tinggi dianggap nggak cukup, dan publik Indonesia menuntut adanya pertanggungjawaban lebih konkret—mulai dari proses hukum hingga kemungkinan pengunduran diri pejabat terkait.
Dengan framing semacam itu, media internasional menggambarkan Indonesia seolah-olah sedang menghadapi krisis kepercayaan besar terhadap lembaga kepolisian. Kalau dibiarkan tanpa tindakan nyata, bayangannya Indonesia bisa makin dipandang sebagai negara yang gagal mengontrol aparat sendiri. Jadi, bukan cuma masalah internal, tapi juga soal citra global yang kena getahnya.
Insiden Barracuda ini bisa dikategorikan sebagai pelanggaran HAM, khususnya terkait hak atas hidup. Menurut standar HAM internasional, setiap individu punya hak fundamental atas kehidupan, keselamatan, dan keamanan. Ketika aparat atau institusi penegak hukum bertindak dengan sengaja atau sembrono membahayakan nyawa warga—terutama jika tak ada usaha menolong setelah menyebabkan cedera atau kematian—ini termasuk pelanggaran serius terhadap hak tersebut.
Dari sisi hukum, tindakan melindas warga dan tak memberikan pertolongan bisa dilihat sebagai penghilangan nyawa secara sewenang-wenang, yang dilarang baik menurut hukum HAM internasional maupun peraturan domestik Indonesia mengenai hak asasi manusia dan hukum pidana. Apalagi jika disertai impunitas atau minimnya akuntabilitas, pelanggaran ini makin berat karena memberi sinyal bahwa aparat negara bisa membahayakan warga tanpa konsekuensi serius.
Singkatnya, insiden ini bukan cuma kriminal, tapi juga pelanggaran hak hidup yang fundamental, sehingga menuntut penyelidikan pidana dan mekanisme akuntabilitas HAM.
Salah satu aspek yang paling mengkhawatirkan dari krisis ini adalah keengganan pejabat Indonesia untuk mengundurkan diri di tengah tuduhan serius. Di banyak negara demokrasi, pejabat publik yang terlibat dalam kontroversi atau kegagalan besar sering kali mengundurkan diri untuk bertanggungjawab dan menjaga kepercayaan publik. Namun, di Indonesia, pengunduran diri semacam itu jarang terjadi. Norma budaya dan politik sering kali menghalangi pejabat untuk mundur, bahkan ketika tindakan atau kelalaian mereka telah menyebabkan kerugian publik.
Keengganan untuk mundur ini bukan hanya masalah akuntabilitas individu, tetapi juga mencerminkan masalah yang lebih serius dalam sistem politik. Ini menunjukkan kurangnya budaya akuntabilitas yang kuat dan kegagalan untuk menegakkan prinsip bahwa pejabat publik pada akhirnya bertanggungjawab kepada rakyat yang mereka layani. Tiadanya pengunduran diri di tengah insiden serius seperti tragedi Barracuda mengirimkan pesan yang mengkhawatirkan: bahwa mereka yang berkuasa dapat menghindari tanggungjawab tanpa konsekuensi.
Insiden Barracuda bukanlah kejadian terisolasi, melainkan bagian dari pola masalah yang lebih luas dalam sistem penegakan hukum dan politik Indonesia. Meminta maaf saja tidak cukup dalam kasus se-serius insiden Barracuda. Meskipun permintaan maaf bisa menunjukkan pengakuan atas kesalahan dan rasa penyesalan, hal itu tak menyelesaikan masalah kegagalan sistemik, akuntabilitas hukum, atau hilangnya nyawa. Publik dan keluarga korban butuh lebih dari kata-kata—mereka butuh tindakan nyata seperti investigasi menyeluruh, penuntutan hukum terhadap pelaku, sanksi disipliner, reformasi institusi, dan langkah-langkah pencegahan agar tragedi serupa tak terulang.
Singkatnya, permintaan maaf tanpa tindakan nyata bisa terlihat superfisial atau palsu, bahkan memperburuk ketidakpercayaan publik. Akuntabilitas sejati menuntut langkah konkret yang menggabungkan tanggungjawab moral, keadilan hukum, dan reformasi institusi.
Guna memulihkan kepercayaan publik dan memastikan akuntabilitas, reformasi komprehensif sangat diperlukan. Reformasi ini harus mencakup:
- Memperkuat Mekanisme Pengawasan: Badan independen harus diberdayakan untuk menyelidiki dan menahan aparat penegak hukum atas pelanggaran.
- Meningkatkan Transparansi: Operasi dan proses pengambilan keputusan kepolisian harus dibuat lebih transparan kepada publik.
- Mempromosikan Budaya Akuntabilitas: Pejabat publik harus dipegang pada standar etika yang tinggi, dan harus ada konsekuensi yang jelas atas pelanggaran.
- Mendorong Pengunduran Diri yang Tepat: Pejabat harus bersedia mengundurkan diri ketika tindakan mereka menyebabkan kerugian publik, sebagai contoh akuntabilitas.
Tragedi Barracuda menjadi pengingat yang tajam tentang tantangan yang dihadapi oleh sistem penegakan hukum dan politik Indonesia. Insiden ini menekankan perlunya reformasi institusi mendesak untuk mengatasi masalah akuntabilitas dan transparansi. Hanya melalui reformasi institusi semacam itu kepercayaan publik dapat dipulihkan dan integritas institusi publik dapat dijaga.

