Rabu, 20 Agustus 2025

Kemaslahatan dan Kemudharatan Pajak (4)

Di Indonesia, para anggota Dewan ngomong, “Kami gak naikin gaji kok, cuma tunjangan doang yang nambah dikit,” padahal duit yang mampir ke rekening jelas-jelas jadi lebih montok. Kata “gaji” dipreteli jadi cuma gaji pokok, biar kesannya sederhana, sementara yang gede-gede dikasih label “tunjangan”—seolah itu kayak uang kaget hadiah kuis TV. Trik bahasanya licin banget, kayak jualan bakso: harga semangkok tetap, tapi topping bakso urat, telur puyuh, dan tetelan naik semua. Ujung-ujungnya pelanggan bayar lebih, tapi tukang bakso bisa bilang, “Harga pokok nggak naik, kok.” Publik pun jadi bingung: ini nambah apa nggak sih? Ya jelas nambah, bro. Cuma dengan ganti label, kemarahan rakyat bisa diredam, sementara isi dompet pejabat makin semringah. Itulah seni ngegas dompet tanpa ngegas emosi publik—silat lidah yang lebih halus dari jurus Wiro Sableng. 

Jadi bener ya, ada tambahan duit nyangkut tiap bulan, tapi DPR maunya kita percaya itu bukan “kenaikan gaji,” cuma bonus tunjangan yang dibungkus pita birokrasi. Gaji pokok katanya sih nggak geser sepeser pun. Padahal kalau di obrolan warung kopi, kata “gaji” artinya jelas: semua yang nyemplung ke rekening—dari gaji pokok, tunjangan, sampe fasilitas yang sekarang udah disulap jadi duit cash. Nah, di sinilah trik sulapnya.
Versi pejabat: “Gaji kami kecil, cuma tujuh juta.” Yang ditunjuk itu angka kurus kering bernama gaji pokok. Versi rakyat: “Halah, yang bener aja, total take-home pay loe bisa tembus tujuh puluh juta per bulan.” Ya kan beda dimensi. Silat lidahnya cakep banget: asal jangan disebut “gaji,” kasih nama lain aja—tunjangan, fasilitas—maka amarah publik bisa di-mute.
Singkatnya gini: kalau ngomong gaji pokok, ya betul masih 6,5–7 juta, seolah mereka hidup prihatin. Tapi kalau ngomong gaji dalam arti sebenarnya—yang beneran nongol di rekening—ya jelas naik tahun ini, gara-gara tunjangan makin gemuk. Ini emang jurus klasik DPR buat “ngegas dompet” tanpa terlihat naikin gaji, tinggal ganti label aja. Kayak mie instan rasa soto yang diganti nama jadi “kuah rempah,” padahal tetep bikin kenyang.

Wah, reaksi publik tuh kayak nonton sinetron penuh drama komik. Ada dosen UGM yang langsung meledak—menyebut tunjangan rumah Rp 50 juta sebulan itu absurd banget, apalagi di tengah harga-harga selangit dan rakyat yang harus ngencengin ikat pinggang. Doi bilang, “Gaji PNS diam di tempat, rakyat kena PHK, tapi DPR santai-santai kumpulin tunjangan.” 
Terus, aktivis Jogja gak mau kalah kreatif. Mereka kirim korek kuping dan penghapus ke DPR sebagai simbol, sambil bilang, “Bersihin telinga dan hapus kebijakan absurd ini!” Mereka menyebut pendapatan sampai Rp 100 juta itu “nggak manusiawi” dan sama sekali nggak punya empati sama kondisi rakyat.
Selain itu, pakar properti juga angkat alis. Mereka nanya, “Ngapain kasih tunjangan besar kalau banyak anggota DPR sudah punya rumah?” Ide cemerlangnya: pakai konsultan properti independen supaya tunjangan perumahan tepat sasaran, nggak asal bagi duit. 
Intinya sih: kritikan publik berdengung keras—mulai dari soal bikin malu di tengah efisiensi anggaran, keharusan bikin DPR beneran kerja kencang kalau dapet fasilitas gede, hingga tumbuhnya rasa nggak percaya publik. Ini pengingat tajam, kalau duit itu cuma pindah nama-nama, saat dompet rakyat kempis, protesnya pasti pecah.

Kenaikan tunjangan anggota Dewan ini jelas bikin banyak orang misuh-misuh, rasanya kayak dikasih es teh basi di kondangan. Kritikus bilang langkah ini makin nunjukin kalau wakil rakyat itu hidup di dimensi lain—mereka enak-enakan nambah fasilitas, sementara rakyat kebanyakan lagi jungkir balik biar dapur tetap ngebul. Kesan negatif yang timbul ya jelas: para politisi ini keliatan lebih sibuk ngurusin isi dompet sendiri ketimbang mikirin isi perut rakyat. Buat banyak orang, DPR sekarang kayak lagi main Monopoli pakai duit pajak, bedanya papan mainannya itu Indonesia, dan dadu yang digelindingin gak pernah untung buat rakyat kecil.

Dalam kondisi ekonomi sekarang yang serba ngenes, kontras antara nikmatnya hidup anggota Dewan dengan deritanya rakyat jelata bikin kepala geleng-geleng. Para wakil rakyat bisa santai tiap bulan nerima paket hampir tujuh puluh juta plus bonus rumah, bensin, dan segala macam tunjangan, sementara rakyat di luar pagar Senayan pusing mikirin belanja harian, harga beras yang makin menggila, sampai tagihan pajak yang kayak hantu nggak pernah berhenti ngikutin. Rasanya kayak DPR hidup di dunia paralel, aman nyaman dalam bubble kemewahan, sementara rakyatnya jungkir balik bertahan di realita keras. Politik pun jadi nggak kelihatan lagi sebagai pengabdian, tapi lebih kayak privilege eksklusif, bikin jurang antara janji-janji manis dan kenyataan makin lebar dan makin nyelekit di hati rakyat.

Di negeri +62, pajak itu kayak mantra keramat—dibilang demi maslahat rakyat, biar jalanan mulus, sekolah berdiri, rumah sakit rame dan berfungsi. Tapi begitu duit itu nyasar ke kantong para Dewan yang sudah kenyang dengan tunjangan, narasi maslahat jadi kayak poster bekas yang ditempel asal di tembok retak. Rakyat tiap bulan ngos-ngosan bayar pajak, dari gaji UMR sampe warung kecil, sementara yang menikmati justru mereka yang duduk manis di kursi empuk parlemen. Alhasil, mudharat lebih banyak jatuh ke rakyat jelata, sementara maslahat malah jadi fasilitas eksklusif kaum elite. Ironinya, pajak yang seharusnya jadi jembatan keadilan malah jadi mesin ketidakadilan. Jadinya rakyat cuma bisa nyengir pahit sambil mikir: “Oh, jadi gini toh maksud maslahat versi pejabat—kita yang bayar, mereka yang kenyang.”

Kalau bicara pajak, pemerintah biasanya jual narasi bahwa itu demi maslahat—katanya buat bangun jalan, sekolah, sama bantu rakyat miskin. Tapi pas rakyat lihat wakil-wakil dewan dengan santainya nambahin tunjangan, kata maslahat itu jadi kayak khutbah basi yang diulang-ulang tanpa perasaan. Pajak yang mestinya kontrak sosial demi keadilan, malah kerasa kayak transaksi timpang yang jelas-jelas lebih nguntungin kaum elite. Di realitas sehari-hari, mudharat pajak itu kerasa banget: harga naik, tagihan numpuk, daya beli makin nyungsep, sementara janji maslahat entah ke mana, keburu nyaru jadi asap politik. Jadi, obrolan soal pajak udah nggak lagi soal filosofi tanggung jawab bareng, tapi lebih kayak pengingat sinis soal ketimpangan: bebannya buat rakyat, manfaatnya buat pejabat.

Dalam pemikiran Islam klasik, pajak itu sah kalau jelas ada maslahat-nya—alias ada manfaat nyata buat masyarakat luas, entah itu keamanan, layanan sosial, atau sekadar bikin infrastruktur publik nggak jeblok. Kalau prinsip ini dijaga, pajak bisa dianggap alat keadilan, karena fungsinya jadi kayak redistribusi kekayaan biar negeri gak cuma isinya jurang antara orang kaya yang kelewat makmur sama rakyat kecil yang tiap hari ngitung recehan. Tapi begitu pajak dipelintir jadi mesin pemerasan yang narik duit dari yang lemah buat menambah kenyamanan mereka yang udah kebanyakan fasilitas, mudharat-nya jadi lebih gede daripada faedahnya. Ujung-ujungnya, pajak gak lagi kerasa kayak kewajiban warga negara, tapi malah kayak upeti ke “bangsawan” modern yang duduk di kursi empuk. Dan di titik itulah, rakyat mulai lihat pajak bukan sebagai solidaritas, tapi sebagai alat penindasan yang dilegalkan negara.

Dalam pemikiran Islam klasik, pajak itu ibarat timbangan antara maslahat sama mudharat. Kalau duit pajak dipakai buat bikin jalan, sekolah, rumah sakit—ya itu maslahat, karena rakyat ikut merasakan hasilnya. Tapi kalau duit itu malah ngumpul di dompet elite, jadi fasilitas hidup mewah buat mereka sementara rakyat cuma kebagian debu—nah, itu jelas mudharat. Pajak jadinya bukan iuran gotong royong, tapi kayak “subsidi kemewahan” buat pejabat. Akhirnya, rakyat ngerasa kayak kerja rodi modern: setor tiap bulan lewat pajak, tapi hasilnya nggak balik, malah dipamerin lewat gaji gede, tunjangan menggunung, dan rapat-rapat di hotel bintang lima. Jadi, bedanya tipis antara pajak sebagai alat maslahat dan pajak sebagai pengingat pahit bahwa keadilan bisa disulap jadi jargon kosong.

Dalam obrolan publik, kontras antara “maslahat” pajak yang digembar-gemborkan negara dan “mudharat” yang ditanggung rakyat kecil makin kelihatan kalau isu tunjangan Dewan ikut nongol. Negara selalu nyanyi lagu lama: pajak itu ibadah sosial, buat bangun jalan tol, rumah sakit, sampai masa depan bangsa. Tapi mudharatnya kebaca jelas banget pas duit pajak itu malah ngalir buat nyetirin mobil mewah, jalan-jalan studi banding ke luar negeri, dan nambahin tunjangan buat pejabat yang udah kenyang fasilitas. Timbangan maslahat-mudharat ala fikih jadi terasa kayak timbangan bengkok: beban ditimpain ke rakyat, enaknya diangkut pejabat. Orang jadi mikir, khutbah soal keadilan dan kemakmuran itu beneran buat rakyat, atau cuma jadi parfum bahasa biar bau busuk ketidakadilan nggak terlalu nyegrak?

Dari perspektif filosofis, pajak itu mestinya jadi simbol tanggungjawab bareng-bareng, kayak semua orang iuran buat bikin hidup lebih adil. Tapi begitu duit pajak malah dipakai pejabat buat hidup mewah, rasa keadilan itu kayak dibanting di depan mata. Secara politik, pajak tuh ibarat kontrak sosial: rakyat kasih duit, negara kasih layanan. Begitu duitnya malah jadi sumber tunjangan DPR yang bikin mereka makin nyaman, kontraknya kayak dirobek sendiri. Dari sisi ekonomi, pajak harusnya jadi alat buat meratakan rezeki, biar yang kaya bantu yang miskin lewat negara. Tapi kalau rakyat lihat keringat mereka cuma bikin kursi empuk buat elite, ya malah makin timpang, bukan makin adil. Secara sosial, pajak harusnya bikin rasa kebersamaan, kayak “kita bareng-bareng bangun negeri.” Tapi kalau realitanya pejabat pesta pora, solidaritas itu langsung ambyar, berubah jadi sakit hati dan curiga. Dari sisi budaya, pajak di Indonesia punya beban sejarah panjang, dari zaman kolonial sampai birokrasi ribet yang sering bikin orang trauma. Jadi wajar aja kalau sekarang rakyat ngerasa sejarah terulang lagi: yang atas-atas makin enak, yang bawah-bawah dicekik. Pajak pun akhirnya dipandang bukan sebagai kewajiban mulia, tapi cuma beban buat nyokong sistem yang udah jelas gak adil.

Dari kacamata filosofis, pajak sering dibela sebagai kewajiban moral, kontribusi kolektif yang mencerminkan prinsip keadilan dengan memastikan kekayaan didistribusikan untuk kebaikan bersama. Tapi ketika rakyat melihat pajaknya dipakai bukan untuk kesejahteraan masyarakat, melainkan buat memanjakan elite politik, fondasi moral pajak langsung retak, kayak rumah dibangun di atas pasir. Secara politis, pajak mestinya jadi darah kehidupan negara, jalur yang bikin negara bisa bertahan dan dapet legitimasi. Tapi kalau darah itu malah dipompa buat memperkaya penguasa, pajak bukan lagi simbol tanggung jawab warga, tapi berubah jadi alat eksploitasi, kayak mesin ATM elit ketimbang representasi rakyat. Secara ekonomi, pajak seharusnya jadi penyeimbang pertumbuhan, ngedistribusiin sumber daya biar ketimpangan berkurang dan rakyat kecil bisa naik kelas. Tapi kenyataannya, pajak justru jadi beban yang mencekik UMKM dan pekerja, sementara kelas istimewa bisa ngulik celah dan loophole biar mereka aman dari kontribusi. Secara sosial, pajak seharusnya memperkuat ikatan solidaritas, ngingetin kalau kita ini bagian dari tenunan besar yang saling menopang. Tapi kalau yang terasa malah pengorbanan rakyat dipakai buat beliin kemewahan elit, pajak bukan lagi pemersatu, tapi malah bikin benci dan curiga. Secara budaya, pajak seharusnya bisa dijual sebagai bagian dari narasi gotong royong membangun bangsa, pengorbanan kolektif demi masa depan bareng. Tapi di negeri yang politiknya korup dan penuh pamrih, pajak lebih mirip upeti wajib buat raja-raja modern yang tinggal di istana, sementara rakyatnya kelelep utang.

Dari perspektif filosofis, pajak bisa dianggap kayak dilema klasik antara kewajiban sama keadilan, semacam kontrak nggak tertulis antara individu dan masyarakat. Idealnya sih, pajak itu bentuk keren dari solidaritas: duit pribadi dikasih buat bikin sekolah, rumah sakit, sama jalan yang jelas nggak bisa kita bangun sendirian. Tapi kalau sistemnya malah dipelintir jadi alat eksploitasi, pajak langsung berubah jadi paksaan, bukan lagi keadilan. Jadi muncul pertanyaan jadul: bener nggak sih pengorbanan banyak orang imbang sama pelayanan segelintir elite?

Secara politik, pajak itu alat ukur sahnya kekuasaan. Negara yang narik pajak dengan adil kelihatan berwibawa, tapi yang ngerjainnya dengan arogan malah jatuh jadi otoriter. Duit pajak dipakai buat apa itu kayak kaca pembesar, nunjukin apakah penguasa kerja buat rakyat atau cuma buat kenyangin diri sendiri. Kalau anggota dewan leha-leha dengan fasilitas premium sementara rakyat megap-megap bayar pajak, ya jelas pajak jadi simbol keterasingan, bukan pemerintahan.

Secara ekonomi, pajak itu pedang bermata dua. Satu sisi, bisa menjadi mesin pembangunan, modal redistribusi, dan penyangga stabilitas. Tapi sisi lainnya, kalau kebablasan atau salah kelola, pajak bisa ngerem kreativitas, bikin inovasi mandek, dan bikin yang miskin makin susah sementara yang kaya tetap aman. Alih-alih muter roda kemakmuran, jadinya kayak roda macet: narik duit dari bawah tanpa balik lagi dalam bentuk manfaat nyata.

Secara sosial, pajak itu mestinya lem perekat masyarakat, bukti bahwa semua orang ikut patungan buat kesejahteraan bareng. Teorinya sih bisa bikin jarak kaya-miskin mengecil karena semua dapat akses layanan publik. Tapi kalau korupsi udah merajalela, trust langsung ambyar. Pajak malah bikin warga sinis, ngerasa duitnya hilang entah ke mana. Alih-alih bikin rasa kebersamaan, jadinya malah nambah jurang perpecahan.

Secara budaya, pajak itu cermin moral bangsa. Di beberapa tempat, pajak dianggap kewajiban mulia, simbol tanggung jawab bareng. Di tempat lain, malah dianggap beban nggak adil, bikin orang males bayar. Akhirnya cara orang lihat pajak—apakah itu alat keadilan atau tanda penindasan—lebih ditentukan sama narasi budaya daripada pasal hukum itu sendiri.

Dari kacamata filosofis, pajak itu ibarat kontrak tak tertulis antara rakyat dan penguasa, dimana warga rela ngasih sebagian duit pribadinya buat dapetin rasa aman dan janji keadilan. Tapi kalau tunjangan anggota dewan makin bengkak kayak balon ketemu kompresor, kontrak itu jadi kayak janji palsu. Yang dikorbanin rakyat kecil malah nyangkut di kantong segelintir elit, bikin dasar etika pajak kayak rumah di atas pasir—gampang ambles.

Secara politis, pajak itu mestinya bikin demokrasi makin legit dengan cara buktiin bahwa duit negara dikumpulin secara adil dan dipake secara transparan. Tapi pas berita yang nongol malah soal tunjangan jumbo, kesannya demokrasi berubah jadi oligarki—jabatan politik jadi mirip kursi pijat, enak buat pejabatnya tapi bikin rakyat cuma jadi penonton setia di kursi plastik.

Secara ekonomi, pajak itu alat buat redistribusi biar jurang kaya-miskin bisa diseimbangin lewat fasilitas publik. Tapi kalau duit pajak malah nyantol ke tunjangan elite, redistribusinya jadi kebalik—yang miskin justru nge-subsidiin gaya hidup empuk orang-orang yang seharusnya ngurusin mereka. Jadi kayak orang beli tiket konser, tapi yang dapet kursi VIP justru panitia sendiri.

Secara sosial, pajak itu semacam benang yang ngejahit solidaritas—semua orang patungan buat kepentingan bersama. Tapi kalau tunjangan pejabat naik terus, rasa adilnya malah sobek. Solidaritas berubah jadi dengki, kayak lagi main Mobile Legends tapi yang dapet skin keren cuma elit, sementara rakyat cuma kebagian hero gratisan.

Secara budaya, pajak itu cerminan nilai bareng-bareng tentang kewajiban, pengorbanan, dan peran negara. Tapi kalau tunjangan dewan makin gede sementara kemiskinan masih nongkrong di mana-mana, jadinya malah bikin orang sinis. Pajak nggak lagi kerasa kayak tugas mulia, tapi kayak dagelan budaya—di mana rakyat udah capek nanggung beban, tapi yang di atas malah ketawa-tawa sambil ngopi di kursi empuk.

Secara filosofis, pajak itu harusnya jadi lambang kontrak sosial, kewajiban moral dimana rakyat ikut nyumbang buat kebaikan bersama dan negara bagi-bagi adil supaya hidup tetap stabil. Tapi kalau wakil rakyat yang dipercaya malah ngegas pake duit pajak buat gaya-gayaan, konsep keadilan berubah jadi lawakan murahan. Dari sisi politik, pajak itu simbol sahnya pemerintahan karena jadi bahan bakar negara yang katanya kerja buat rakyat. Eh, pas hasil keringat rakyat malah dijadiin properti buat nambah tunjangan pribadi, demokrasi jadi kehilangan muka dan politik cuma kayak panggung privilege. Dari sisi ekonomi, pajak mestinya buat ngurangin kesenjangan dan nyokong pembangunan, tapi di tangan mereka malah jadi corong yang bikin yang udah kenyang makin gendut, sementara rakyat biasa nambah beban tanpa suara. Secara sosial, pajak seharusnya bikin kita ngerasa bareng-bareng nanggung tanggung jawab, tapi kenyataannya malah jadi pengingat pahit kalau yang bawah gampang dikorbanin sementara yang atas hidup enak kayak punya cheat code. Secara budaya, bayar pajak itu harusnya bikin kita merasa bagian dari bangsa, tapi di negeri dimana DPR lebih doyan pamer kenyamanan ketimbang nahan diri, pajak jadinya bukan tanda solidaritas, tapi ritual pahit tunduk pasrah. Dan yang bikin tambah kocak sekaligus nyesek, anggota DPR kayak buta dan tuli sama penderitaan rakyat, karena kenaikan tunjangan itu disambut bukan dengan debat serius, tapi malah dengan joget bareng, dimotori oleh anggota dewan yang memang profesinya pelawak alias jester politik, ngeledek rakyat yang ngebayarin pesta mereka, termasuk sajian Snack tiap dua jam sekali.

[Bagian 5]
[Bagian 3]