Kamis, 07 Agustus 2025

Babad Tanah Indonesia

Semar menuturkan kisah, "Dulu banget, waktu Pulau Jawa masih “anak baru” di peta dunia, pulau ini kayak perahu lepas jangkar—ke kanan ke kiri, ke timur ke barat, dibawa arus seenaknya. Setiap hari tanahnya goyang, bikin penduduk (dan mungkin setan-setan lokal) pusing tujuh keliling. Dari atas langit, para dewa ngelirik ke bawah dan mikir, “Waduh, kalau gini terus, mana bisa orang bikin kerajaan, candi, atau rumah makan Padang?”

Batara Guru, bos besarnya para dewa, langsung rapat darurat sama kru dewa senior. “Kita harus pasang jangkar buat Jawa,” katanya. Mereka keliling alam semesta nyari gunung yang cukup perkasa buat dijadiin pasak, sampai nemu Gunung Meru—sang raja gunung yang katanya jadi poros dunia—di negeri India sana. Dengan tenaga ala dewa, Meru diangkat, dibawa terbang nyebrang langit, terus ditaruh pelan-pelan di Jawa.

Eh, masalahnya gunung ini berat banget sampai pulaunya jadi miring! Akhirnya, puncaknya dibagi dua; sebagian ditaruh di tempat lain, katanya sih jadi Gunung Penanggungan, ada juga yang bilang jadi Gunung Lawu. Kedua “pasak alam” ini jadi kayak paku raksasa yang ngejepit Jawa biar kagak geser-geser lagi. Sejak itu, walau masih kadang gemeter karena gempa, Jawa udah stay di tempatnya—siap jadi panggung naik-turunnya kerajaan, lahirnya legenda, dan jadi rumah buat jutaan orang yang nggak mau pindah.

Abis nge-pasak Jawa pake puncaknya Meru, para dewa mandangin “kalung mutiara” raksasa yang nanti bakal disebut Indonesia. Masing-masing pulau punya karakter sendiri. Sumatra itu gede dan cool, gunungnya ketutup hutan lebat, dalemnya ngepul ama gunung api. Kalimantan? Badannya gede kayak raksasa tidur, sungainya meliuk-meliuk kek pita perak, disinilah tempat tinggal Orangutan. Sulawesi bentuknya unik—kayak naga lentur yang dibentuk arus dan tanah berbentuk huruf k, sedangkan Papua, yang mirip burung Cendrawasih, berdiri jauh di timur, kayak penjaga kuno diselimuti kabut dan pepohonan purba.

Awalnya, semuanya cuma nyambung lewat laut. Masalahnya, lautnya tuh kagak bisa diem—badai lewat, ombak gede, bikin semua pulau, termasuk Jawa yang udah dipasak, tetep aja goyang. Rasanya kayak kakak-beradik yang lagi ngambek, duduk di kamar masing-masing, sibuk urusan sendiri-sendiri. Tapi para dewa tahu, di bawah semua itu, ada satu jalur rahasia yang nyatuin mereka: tulang punggung api alias deretan gunung berapi yang nyulam nasib seluruh kepulauan.

Jadi, meski Jawa dapet “paku sakti”, pulau lain juga dikasih pasaknya sendiri—gunung-gunung yang bikin mereka nempel di tempat, roh penjaga pantai, dan sungai-sungai yang ngiket hati penduduknya ke tanah kelahiran. Para dewa bisikin lewat angin: “Laut boleh misahin, tapi nasib kalian nyambung.” Kalau satu pulau gempa, yang lain bisa ikut kerasa; kalau satu nyanyi, suaranya bisa nyebrang ombak. Jadilah nusantara ini bukan sekedar kumpulan pulau, tapi keluarga—kadang ribut, kadang berantem, tapi tetep satu langit, satu cerita.

Waktu para dewa udah nge-pasak Jawa pake puncak Meru, mereka ngeliat pulau-pulau lain bukan cuma tanah, tapi kayak karakter film keluarga besar. Sumatra tuh kakak sulung—badan gede, sumber daya bejibun, tapi gampang ngomel kalau hartanya diambil tanpa ucapan terima kasih. Kalimantan? Anak pendiam yang sabar banget, suka nyimpen kekayaannya di bawah rindang hutan, tapi kalau ada yang ngegangguinnya kelewatan, bisa ngamuk juga. Sulawesi itu seniman nyentrik keluarga—cantik, unik, garis pantainya kayak coretan kuas di kanvas liar. Papua di ujung timur jadi penjaga tua, nyimpen cerita setua jagat raya, tapi sering ngerasa dianak-tirikan kalau keputusan keluarga dibuat tapi gak diajak ngomong.

Nah, Jawa ini anak yang duduk di kursi raja. Singgasananya di situ, pengumuman penting keluar dari situ, dan dewa-dewa kayaknya betah nongkrong di sana. Pulau-pulau lain sih dengerin, tapi nggak selalu setuju. Kadang mereka kirim “surat cinta” lewat ombak—minta keadilan, minta jatah rezeki, minta dihargai suaranya. Sesekali, meja makan keluarga nusantara ini bisa berubah jadi arena debat—bukan karena benci-bencian, tapi karena mereka nyatu, dan ikatan itu cukup kuat buat nahan ribut.

Para dewa, sambil nonton dari langit, ngingetin lewat gempa, badai, dan panen, bahwa nasib mereka nyambung. Mahkota boleh ada di satu kepala, tapi kerajaan cuma bisa tegak kalau semua tiangnya berdiri. Dan di kepulauan ini, tiap pulau adalah tiang—dibentuk bukan cuma oleh penguasa, tapi oleh laut, angin, dan keras kepalanya rakyat.

Pas masuk tahun ke-80 kemerdekaan, keluarga pulau-pulau ini “ngumpul”—bukan duduk di satu ruangan, tapi nyambung di hati. Laut yang misahin mereka itu sama aja kayak kabel Wi-Fi raksasa: nyalurin tembang, keluhan, ama canda-tawa dari pantai ke pantai. Sejak proklamasi, mereka udah berkali-kali debat, baikan, debat lagi—setiap ribut ninggalin pelajaran, setiap baikan nambahin jahitan di kain cerita mereka bareng.

Di ultah ini, mahkota masih di Jawa, tapi suara pulau-pulau lain udah makin lantang dan pede. Mereka gak mau lagi cuma jadi tiang penyangga yang diem aja; mereka mau didengerin, bukan sebagai tamu, tapi sebagai tukang bangun kerajaan bareng. “Keributan” yang sering terjadi sekarang bukan tanda lemah, tapi tanda hidup—keluarga yang berani ngomong, protes, nego, dan mimpi bareng.

Para dewa di langit gak matiin keributan ini. Mereka tahu, dalam perjalanan panjang sebuah bangsa, persatuan itu bukan berarti kagak pernah ribut, tapi kemampuan buat balik duduk di meja yang sama selepas badai reda. Jadi, di bawah langit khatulistiwa yang luas, pulau-pulau—kadang nyolot, kadang baper—tetep berdiri bareng, gak cuma megang kenangan kemerdekaan, tapi juga kerjaan abadi buat ngejaga sukmanya.

Dan begitulah, pas masuk ke-80 tahun kemerdekaan, pulau-pulau ini ngegas bareng bikin “sumpah” yang lebih tua dari UUD. Mereka janji, bukan ke muka-muka pemimpin yang gonta-ganti, tapi ke tanah, hutan, dan laut yang nyambungin mereka. Mereka komit buat ribut kalau ngerasa salah, mau ngedengerin kalau ternyata keliru, dan balik lagi nongkrong di meja yang sama buat ngebagi nasib nusantara kayak ngebagi piring nasi liwet. Mereka inget, mahkota tanpa tiang bisa jatuh, dan tiang tanpa mahkota bisa ambruk nyebur ke laut.

Para dewa, yang dengerin sumpah ini, cuma senyum capek—senyum makhluk yang udah pernah liat kerajaan-kerajaan bangkit terus nyungsep ditelan ombak. Mereka tahu keluarga pulau ini bakal ribut lagi—namanya juga saudara. Tapi mereka juga yakin, selama setiap ribut diakhiri sama tangan-tangan yang tetep bareng bangun rumah yang sama, nusantara bakal awet—lengkap dengan berisiknya, ketawanya, badai-badainya, dan hati keras kepala yang kagak bisa dipatahin.

Delapan puluh tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, Indonesia memang berdiri gagah sebagai negara berdaulat, kaya budaya, beragam, dan penuh sumber daya. Tapi buat banyak rakyat, makna merdeka itu bukan diukur dari bendera yang berkibar di halaman sekolah atau parade TNI, melainkan dari apakah hidup sehari-hari bisa dijalani tanpa terus-terusan dibayang-bayangi rasa was-was soal bertahan hidup. Pahlawan 1945 berjuang melawan penjajahan asing; perjuangan 2025 adalah melawan “penjajahan” yang lebih halus: kemiskinan, ketimpangan, dan sistem yang cuek sama rakyat kecil.

Di jalanan Jakarta, pedagang sayur yang mulai berjualan sejak subuh nggak bakal ngomong soal kemerdekaan pakai bahasa pidato. Buat doi, merdeka itu harga bahan pokok stabil, penghasilan cukup, dan ada sisa buat sekolahin anak tanpa utang. Di tepian sungai Kalimantan, nelayan mungkin melihat kemerdekaan sebagai hak untuk mencari nafkah tanpa sungainya tercemar limbah pabrik. Buat lulusan baru di Medan, merdeka itu bisa merencanakan masa depan dengan kerja yang sesuai kemampuan, bukan hidup ngegantung dari gaji kontrak ke kontrak.

Inti dari kemerdekaan itu seharusnya hak menentukan nasib sendiri—tapi mau menentukan apa kalau rakyat masih terjepit infrastruktur amburadul, layanan kesehatan timpang, dan harga kebutuhan yang bikin pusing tiap minggu? UUD 1945 sudah janji negara bakal melindungi seluruh rakyat dan memajukan kesejahteraan umum. Delapan puluh tahun kemudian, janji itu masih ada di atas kertas, tapi wujud nyatanya butuh perhatian ke masalah kecil tapi ngeselin yang dirasain rakyat setiap hari.

Makanya, ulang tahun kemerdekaan yang ke-80 ini jangan cuma jadi momen pidato, lagu, dan kembang api. Harus jadi audit hati nurani bangsa. Sudakah kita bikin negara dimana kemerdekaan itu hidup, bukan cuma diingat? Sudakah kita nutup jarak antara kebanggaan seremoni dan kekesalan sehari-hari rakyat? Sudakah kita ngepastiin manfaat kemajuan nyampe ke kampung nelayan paling ujung, kebun di pegunungan paling terpencil, dan gang kota paling padat?

Waktu Proklamasi Kemerdekaan dibacakan pada 17 Agustus 1945, itu bukan cuma pengumuman lepas dari penjajahan—itu janji. Janji ke orang yang masih hidup dan yang belum lahir, bahwa rakyat Indonesia nggak bakal lagi dirampas haknya buat ngatur nasib sendiri. Para pemimpin waktu itu, yang udah lelah dihantam kolonialisme dan perang, paham banget kalau merdeka itu bukan ide di awang-awang, tapi kondisi hidup yang harus dirawat tiap hari. Mereka bayangin negara dimana petani gak lagi nyangkul sambil bayar utang ke tuan tanah asing, anak-anak bebas sekolah tanpa dihantui biaya, dan desa nggak dibiarkan gelap sementara kota bersinar.

Delapan puluh tahun kemudian, merah putih tetep berkibar gagah tiap pagi 17 Agustus, tapi tolok ukur kemerdekaan udah ngegeser. Bukan lagi lawan tentara asing, tapi lawan hal-hal yang sering gak kelihatan tapi sama-sama nggerogoti: harga kebutuhan yang kagak stabil, infrastruktur berantakan, lingkungan rusak, dan ketimpangan yang bikin kesenjangan makin lebar. Musuhnya bukan lagi di medan perang, tapi di pasar, di jalan, di dapur—dan efeknya bisa bikin semangat merdeka kempes kayak ban bocor.

Kalau Bung Karno masih ada, mungkin beliau bakal tanya lantang: Apa artinya merdeka kalau ibu di pasar harus milih antara beli lauk bergizi atau bayar listrik? Kalau Bung Hatta, pejuang keadilan ekonomi, pasti gak habis pikir kenapa kekayaan alam segede ini masih belum bikin rakyatnya sejahtera merata. Dulu 1945, pertanyaannya soal ngusir penjajah; sekarang 2025, pertanyaannya: gimana caranya janji kemerdekaan gak tinggal jadi cuman hiasan dalam buku sejarah.

Di kampung nelayan Maluku, kemerdekaan itu bukan parade tapi laut yang tetap bersih dan berikan tangkapan. Di pegunungan Papua, kemerdekaan itu anak bisa jalan ke sekolah yang gurunya ada dan bukunya beneran. Di pinggiran kota besar Jawa, kemerdekaan itu lulusan muda bisa dapet kerja sesuai kemampuan tanpa harus buang harga diri. Di sinilah roh 1945 diuji lagi.

Ulang tahun ke-80 ini harusnya nggak cuma jadi pesta kenangan, tapi juga cermin besar buat negara. Pengorbanan yang bikin bendera naik di 1945 itu wajib bikin kita nanya: udakah setiap warga, dari gang sempit sampai pulau terluar, ngerasain manfaat berdaulat dalam hidup sehari-hari? Kemerdekaan bukan cuman bebas dari penjajah asing; juga bebas dari segala kendala—entah ekonomi, sosial, atau infrastruktur—yang bikin rakyat gak bisa hidup aman dan punya harapan.

Presiden Prabowo, masuk ke tahun bersejarah ini, mewarisi kemuliaan sekaligus PR besar kemerdekaan. Tugas beliau bukan ngulangin teks Proklamasi, tapi bikin isinya kerasa nyata: bikin merdeka hadir di dapur dengan harga stabil, di kelas dengan belajar yang layak, di rumah sakit dengan layanan yang ada, dan di pasar dengan mata pencaharian yang adil. Kalau itu bisa tercapai, barulah Indonesia bisa bilang, tanpa ragu, bahwa janji 1945 tetep hidup di tengah tantangan 2025.

Tantangan Presiden Prabowo di era pasca-80 tahun kemerdekaan ini adalah memindahkan kemerdekaan dari lapangan upacara ke dapur, ruang kelas, ruang rawat, dan pasar. Biar kemerdekaan itu jadi kondisi nyata tiap hari, bukan sekadar perayaan tahunan. Karena kemerdekaan yang paling hakiki bukan diukur dari berapa banyak parade yang digelar, tapi dari berapa banyak rakyat yang bangun pagi tanpa harus berjuang mati-matian demi martabat hidup yang layak.

Menjelang ulang tahun kemerdekaan yang ke-80, Indonesia rasanya kayak pasar tradisional menjelang Lebaran—ramai, panas, dan semua orang bicara sekaligus. Di bawah pemerintahan Presiden Prabowo, “keramaian” ini bukan kayak rusuh jalanan yang meledak, tapi kayak dengungan konstan di latar, hasil dari negara yang lagi tawar-menawar sama identitasnya sendiri. Kadang muncul lewat perdebatan ekonomi yang bikin menteri debat di TV, protes warga soal lingkungan yang rusak, perang komentar di medsos yang berakhir jadi headline, atau rapat DPR yang kayaknya setengah serius setengah sinetron.

Penyebabnya nggak cuma dari adu gengsi politik. Banyak yang muncul karena ekspektasi rakyat zaman sekarang yang mikir merdeka itu harus lebih dari sekadar upacara bendera setahun sekali. Harga kebutuhan hidup naik bikin dompet tegang, proyek infrastruktur gede kadang bentrok sama warga yang takut digusur, dan urusan keadilan—baik hukum maupun ekonomi—masih sering mampet. Di era digital, gosip kecil aja bisa meledak kayak petasan, karena disebar jutaan jempol di layar ponsel sampai kayak drama nasional.

Akhir-akhir ini, warga Indonesia makin sering garuk-garuk kepala: “Ini pejabat ngomong beneran nggak sih?” Soalnya, kok bisa-bisanya di tengah harga cabai ngegas, pengangguran makin jadi, dan anggaran pendidikan dipotong, malah ada menteri yang bilang, “Kalau gak suka, minggat aja dari Indonesia!” atau nyinyir soal rakyat yang “gelap.” Ini bukan sekadar keceplosan—ini udah kayak tontonan absurd yang dikemas jadi drama politik mingguan.

Kata para pengamat, ini bisa jadi bukan kesalahan, tapi taktik. Namanya strategi pengalihan isu—bikin rakyat heboh sama statement goblok biar lupa sama borok kebijakan. Jadi waktu rakyat lagi ngamuk soal BBM dicampur solar oplosan, atau UU TNI digodok diam-diam di hotel bintang lima, eh... tiba-tiba yang trending malah juru bicara bilang “kepala babi bisa dimasak.” Public discourse digeser, perhatian dialihkan, yang penting viral. Makin nyeleneh, makin manjur buat ngubur topik serius.
Tapi, apa iya? Bisa jadi nih, yang kita kira pejabat “lucu-lucu goblok” sengaja nge-distract rakyat, sebenernya ya… emang kagak bisa ngapa-ngapain. Kalo dalam teori komunikasi politik, kadang kita kebanyakan mikir mereka pinter nge-plot twist kayak mastermind, padahal aslinya lebih mirip pemain bola yang gak bisa passing, terus bilang “itu bagian dari strategi”. Banyak pejabat kerja di sistem birokrasi yang hadiahnya buat mereka yang paling setia, bukan yang paling pinter. Jadi skill mereka lebih ke “gimana menangin geng internal” daripada “gimana nyelesain banjir, harga beras, sama gaji guru.” Hasilnya, tiap ngomong, bukan bikin rakyat tercerahkan, tapi bikin rakyat ngelus dada. Ironisnya, meskipun itu murni karena gak kompeten, efeknya sama aja kayak kalau mereka sengaja ngibulin: rakyat makin kesel, fokus publik geser ke drama salah ngomong, dan masalah aslinya tetep nganggur di pojokan. Bedanya cuma satu—ini bukan strategi licik, ini murni chaos yang lahir dari kebodohan sistemik.

Bayangin aja nih: lima jagoan online sampai bisa ngalahin bandar judi, terus pas waktunya panen cuan, eh malah digrebek polisi. Scene-nya pasti dramatis banget—mulai dari senyum lebar di depan layar hape, langsung berubah jadi wajah panik pas pintu SRU kebuka. Gitu deh, dari stand-up comedy langsung bergeser ke sitkom kriminal. Tapi kenyataannya? Enggak ketemu berita itu sama sekali, cuma ada yang ditangkap operator, bandar, atau player biasa aja—enggak ada versi epiknya yang ‘berhasil kalahin bandar tapi malah ketangkep’.

Coba bayangin lagi, Indonesia, sebuah negeri yang vonis pengadilannya ditulis pakai tinta emas lalu disimpan di lemari kaca berdebu, hiduplah seorang sosok yang udah divonis bersalah karena bikin tersinggung seorang tokoh penting. Hakim paling top udah ketok palu dari bertahun-tahun lalu, hukumannya cukup bikin kalender hidupnya jadi flat tanpa plot twist. Tapi entah gimana, musim berganti, menteri gonta-ganti, doski masih bebas jalan-jalan kayak bintang tamu podcast, dan belakangan dilantik jadi Komisaris BUMN. Dengan gaya “udah damai kok” ala seleb yang baru baikan sama mantan, doi nyantai aja ngomong seolah hukum pidana itu kayak drama keluarga yang bisa kelar cuma gara-gara ngopi bareng. Jaksa? Kelihatannya lagi ikut kursus “Sabar Level Dewa”, nunggu timing pas—mungkin pas zaman es berikutnya—buat eksekusi hukuman. Sementara itu, rakyat yang udah mulai geleng-geleng kepala bertanya-tanya: hukum ini ditulis pakai tinta yang pudar sendiri atau penjara sekarang cuma buat member VIP yang namanya udah ada di daftar undangan?

Para kritikus di Indonesia tuh udah pada ngamuk banget sama kebijakan pemerintah yang ngizinin negara buat nyita tanah yang nganggur selama dua taun. Reaksi publik emang parah sih, banyak yang ngeliat ini kayak negara lagi serakah sama rakyatnya sendiri, apalagi awalnya keliatan kayak mau ngeburu semua jenis tanah. Tapi untungnya Kementerian ATR udah klarifikasi kalau peraturan PP No. 20/2021 ini cuma buat sertifikat HGU sama HGB doang, bukan SHM pribadi. Para ahli hukum sama LSM pada khawatir banget ini bisa disalahgunain dan kurang ada perlindungan buat pemilik tanah yang emang lagi kesulitan ngembangin propertinya karena masalah duit atau hal lain.
Nah kalau soal rumah warisan, para kritikus malah lebih panik lagi karena rumah sama tanah warisan bisa jadi milik negara kalau nggak dipake sesuai peruntukannya atau dibiarkan terbengkalai gitu aja. Ini bikin heboh banget dimana-mana, soalnya rumah warisan kan sering nggak kepake karena keluarga lagi ribet sama urusan legal atau kesulitan biaya buat ngerawatnya. Yang bikin kesel, netizen pada nyindir di medsos kalau rumah warisan aja bisa disita, tapi aset para koruptor malah kagak diapa-apain, jadi keliatan kayak penegakan aturannya pilih kasih banget deh.

Para kritikus di Indonesia udah pada frustasi dan bingung banget sama blunder-blunder yang sering dibuat pejabat pemerintah yang kebijakannya malah nyusahin rakyat daripada ngasih solusi. Seorang ustad sampe nanya tegas sama para pejabat, kenapa mereka yang udah sekolah mahal-mahal dan digaji negara malah kerjanya nyusahin rakyat terus. Kritikannya makin tajam soal kesalahan kebijakan yang baru-baru ini terjadi, dengan anggota DPR yang nekenan kalau pemerintah harus berhenti nyusahin warga, apalagi soal hal sensitif kayak aliran keuangan.

Blunder komunikasi di era Merah Putih tuh jadi sorotan banget dari kritikus sama pengamat politik. Gaya komunikasi pejabat publik di pemerintahan Merah Putih udah kena spotlight karena dianggap bermasalah, dari statement soal timnas yang kurang gizi sampe komentar kontroversial soal masak kepala babi. Presiden Prabowo sendiri ngaku kalau komunikasi pemerintahnya emang belum maksimal, bahkan anak buahnya aja susah ketemu beliau langsung. Seorang pengamat politik sampe bilang kabinet ini gemuk, tertutup, dan penuh sama pejabat yang gagal paham tugasnya, gara-gara gaya kepemimpinan presidennya yang tertutup dan komunikasi langsung sama pembantunya kurang banget.

Pola kesalahan kebijakan secara umum bikin publik makin gak puas, dengan kritikus yang nyatet kalau kebijakan pemerintah yang ugal-ugalan tanpa ketulusan, hati nurani, dan kepedulian sama rakyat terus bikin warga makin resah. Presiden Prabowo udah ngaku kalau masalah komunikasi pemerintahnya yang buruk itu kesalahannya sendiri karena terlalu fokus sama kerja, tapi kritikus bilang masalahnya lebih dalam dari sekedar gagal komunikasi dan nunjukin disconnect fundamental antara pembuat kebijakan sama realitas hidup rakyat biasa.
Analisis nunjukin pola yang bikin khawatir soal disconnect antara visi Presiden Prabowo sama pemahaman dan eksekusi visinya oleh para menteri di struktur kabinet Merah Putih. Para ahli udah ngewarning kalau kabinet yang kegedean malah bakal memperlambat pencapaian visi misi Presiden, sementara analis ekonomi dari Indef bilang kabinet yang bloated, termasuk adanya tujuh menko, bakal menghambat program ekonomi Presiden Prabowo. Masalah fundamental kayaknya dari mekanisme koordinasi yang buruk di struktur pemerintahan yang masif gini, terbukti dari kontroversi empat pulau antara Aceh sama Sumut yang nunjukin koordinasi buruk dalam Kabinet Merah Putih.
Disconnectnya makin keliatan pas ngeliat kontradiksi antara retorika presiden sama komposisi kabinetnya. Pidato pelantikan Presiden Prabowo ngegas banget soal komitmen membangun sistem antikorupsi dan pemberantasan korupsi, tapi pidato berapi-api itu terkesan cuma jargon yang bertolak belakang sama formasi Kabinet Merah Putihnya. Beberapa menteri udah terlibat kontroversi yang nyedot perhatian publik, dengan berbagai kebijakan dan kontroversi muncul bahkan sebelum 100 hari pemerintahan. Masalah strukturalnya diperparah ama pendekatan yang lebih transaksional daripada profesional dalam tatakelola, dengan pengamat yang nyatet perlunya pemerintahan yang mumpuni dan paham substansi, yang dijalankan ama profesional bukan appointees transaksional, sementara struktur kabinet yang bloated bikin konflik kewenangan yang gak perlu antara pejabat birokrasi di berbagai kementerian dan lembaga.

Analisis Kabinet Merah Putih nunjukin tantangan struktural yang serius, baik dari ukuran kabinet yang masif maupun kompetensi yang dipertanyakan dari beberapa menteri, meskipun nentuin persentase pasti antara pejabat yang "direkomendasikan" versus yang dipilih langsung masih susah karena info spesifiknya terbatas di sumber publik. Kabinet ini terdiri dari 48 menteri di berbagai portofolio, bikin struktur pemerintahan yang para ahli bilang ribet banget. Dalam 100 hari pertama, setidaknya delapan menteri dan wamen udah terlibat kontroversi, dengan Menteri HAM dapet rating kinerja terburuk dengan minus 113 poin dan dinilai paling layak diganti.
Masalah kompetensi keliatan parah banget di beberapa appointees yang nunjukin ketidakpahaman fundamental sama peran dan tanggungjawab mereka. Analis politik nyalahin blunder-blunder ini ke seleksi kabinet yang prematur, dimana Presiden Prabowo terkesan seolah lebih prioritasin show off proses seleksinya daripada beneran milih figur dengan integritas yang terjamin. Beberapa anggota kabinet punya track record bermasalah, termasuk mantan Wamen Kumham yang pernah jadi tersangka KPK karena dugaan suap dan gratifikasi. Polanya nunjukin sekitar 15-20% anggota kabinet udah nunjukin ketidakmampuan yang jelas atau latarbelakang kontroversial, meski breakdown pastinya antara appointees warisan dan pilihan langsung presiden masih gak jelas.
Kontroversi muncul di berbagai kementerian, dengan berbagai menteri bikin pernyataan kontroversial yang nyedot sorotan publik dalam hitungan hari setelah pelantikan. Masalah fundamentalnya adalah meski Presiden Prabowo mungkin punya visi yang jelas, ukuran kabinet yang gede banget ditambah proses appointment yang dipertanyakan udah bikin disconnect antara intent presidensial sama eksekusi menteri, entah apakah pejabat ini direkomendasikan dari pemerintahan sebelumnya atau dipilih personal ama presiden.

Para pengamat dan kritikus udah pada ngerekomendasiin reshuffle buat Kabinet Merah Putih, dengan dukungan publik yang luar biasa besar. Seorang analis politik bikin survei di platform X pada Februari 2025, hasilnya lebih dari 90% netizen ngedukung reshuffle kabinet. Tekanan buat ganti-ganti kabinet ini muncul karena ketidakpuasan yang numpuk sama kinerja para menteri, survei nunjukin 27,5% masyarakat gak puas ama pemerintahan Prabowo selama 100 hari pertama, dengan faktor penyumbang terbesar adalah perilaku menteri yang buruk banget.
Para pengamat politik udah cukup spesifik sama rekomendasinya buat perubahan kabinet. Analis politik udah ngingetin kalau menteri gak cuma harus diganti karena masalah manajemen kepemimpinan tapi juga masalah kebijakan, sementara studi Celios yang berjudul 'Rapor 100 Hari Prabowo-Gibran' ngasih rekomendasi termasuk menteri yang dinilai kinerjanya buruk dan layak diganti. Kritikannya udah cukup tajam, pengamat politik malah mendesak reshuffle kabinet segera sambil ngingetin Presiden Prabowo harus hati-hati milih menteri di tengah kondisi ekonomi global yang gak stabil, nekenan kalau reshuffle gak cuma ganti orang yang kagak punya wawasan atau gagal ngimplementasiin visi presiden.

Dalam kisah kuno Babad Tanah Jawi (The Chronicle of Java, The Revised Prose Version of C.F. Winter Sr., edited and translated by Willem Remmelink, 2022, Leiden University Press), Jawa dulu cuma kayak papan terapung di laut yang gak pernah tenang. Para dewa, ngeliat pulau ini goyang-goyang, mutusin buat bawa Gunung Meru dari India buat jadi pasaknya. Puncaknya dibagi-bagi jadi gunung lain kayak Penanggungan dan Lawu. Ini bukan cuma soal geografi, tapi pesan sakral: “Tenang, Jawa bakal berdiri kokoh, gak peduli badai.”
Sekarang, pas Indonesia berulang tahun ke-80, cerita pasak gunung ini kerasa banget relevannya. Republik ini, sama kayak Jawa dulu, awalnya goyah, dihantam ombak konflik, badai politik, sama arus nasib yang berubah-ubah. Tiap generasi kayak para dewa zaman dulu—pasang pasaknya masing-masing: konstitusi, lembaga negara, nilai bersama, semua buat bikin negeri ini tetep nyatu.
Tapi, sama kayak dalam babad, kerjaan ini kagak pernah kelar. Gunungnya sih udah ada, tapi lautnya nggak pernah tidur. Gempa ketidakpuasan, ombak perbedaan, angin perubahan bakal terus datang. Yang bikin nusantara ini tetep berdiri bukan karena gak ada masalah, tapi karena kita mutusin buat terus-menerus ngejaga pasaknya—inget kalau kemerdekaan itu bukan hadiah sekali jadi, tapi kerja bareng yang nggak boleh kendor.

Tantangan Presiden Prabowo ada di kemudi kapal negara di tengah ombak tanpa kebablasan arah. Tapi lucunya, “ribut-ribut” ini juga tanda demokrasi masih sehat. Negara yang diem bisa jadi negara yang takut; negara yang berisik, meski bikin pusing, tandanya hidup dan gak mau diem aja kalau ada yang kagak beres. Pertanyaannya di HUT ke-80 nanti: bisa gak ya energi ini diarahin buat ngebangun, bukan ngebongkar—buat nambahin rasa kebersamaan, bukan pecah-pecah jadi kubu? Soalnya semangat 1945 dulu lahirnya juga bukan dari keheningan, tapi dari ribut-ribut berani rakyat yang ogah dijajah maning."

“Dan buat nutup cerita,” kata Semar sambil siap-siap ngebungkus kisahnya, “coba deh dengerin potongan dari Babad Tanah Jawi. Bait ini tuh kayak doa yang dinyanyiin—gunungnya bukan cuma pemandangan, tapi bodyguard sakti yang siap ngejagain negeri biar tetep aman.”

Tanah Jawi iku kawengku déning para déwa,
[Tanah Jawa itu diperintah oleh para dewa,]
kinubeng gunung-gunung agung,
[dikelilingi oleh gunung-gunung besar,]
pucakipun ngemu mega,
[puncak-puncaknya tertutup awan,]
sungané mili nyawiji kaliyan sawah-sawah,
[sungai-sungainya mengalir bersama sawah-sawah,]
pinantek déning Gunung Meru saking tanah Hindhu,
[ditopang oleh Gunung Meru dari negeri Hindu,]
supados boten gumuling wonten ing segara.
[supaya gak nyemplung ke laut]