[Bagian 2]Buat sebagian orang, bahagia itu segelas kopi hitam tanpa drama, scroll TikTok sambil rebahan, atau senyum dari si kecil pas pulang kerja. Murah, cepat, kagak ribet. Sederhana banget.Tapi buat yang lagi kejar deadline sambil mikirin cicilan, yang hidupnya masih jungkir-balik demi sesuap nasi dan secuil validasi—kalimat "bahagia itu sederhana" bisa terdengar kayak becandaan receh. Bahkan terasa menohok.Jadi, bahagia itu bisa sederhana… kalau hidup nggak lagi ribet. Tapi buat yang lagi berjuang keras di kerasnya dunia, kesederhanaan itu bisa menjadi kemewahan.Kalau dilihat dari perspektif filosofis, bahagia udah lama dianggap sebagai tujuan tertinggi manusia. Aristoteles dalam Nicomachean Ethics (abad ke-4 SM, edisi Penguin Classics 2004) bilang bahagia itu eudaimonia — jiwa yang berkembang lewat kebajikan dan akal sehat. Epicurus juga percaya kalau bahagia datang dari ketenangan dan bebas dari ketakutan, bukan dari pesta pora tanpa akhir. Versi modernnya, Jonathan Haidt di The Happiness Hypothesis (2006, Basic Books) nge-blend kebijaksanaan kuno dengan psikologi, nunjukin kalau bahagia lahir saat makna, kebajikan, dan emosi kita seimbang.
Jonathan Haidt membahas kebahagiaan bukan seperti pendeta yang ngotot satu ajaran, tapi lebih kayak peneliti kepo yang ngulik kearifan dari beragam zaman dan budaya. Dalam The Happiness Hypothesis, doski ngutip alegori Plato, ajaran Buddha, sampai visi moral Yesus, tapi gak asal comot buat dijadiin dalil; doi uji semuanya dengan riset psikologi dan neuroscience. Misalnya, metafora Plato tentang jiwa yang terbelah—kusir dengan dua kuda—Haidt pakai buat ngejelasin penelitian modern soal otak emosional dan otak rasional. Lalu ajaran Budha bahwa nafsu itu sumber penderitaan, Haidt tes lewat studi perilaku tentang gimana kesenangan materi itu cepat banget pudar (alias efek “hedonic treadmill”). Ketika bicara Yesus, Haidt gak lagi-lagi soal keselamatan jiwa, tapi tentang kekuatan nyata dari kasih, maaf, dan welas asih—tema yang ternyata klop banget dengan temuan psikologi positif dan perilaku prososial modern. Intinya, Haidt merajut filsafat dan sains bukan buat nunjukin siapa yang menang, tapi buat nyari titik temu—dimana intuisi kuno bisa ketemu bukti empiris, dan keduanya sama-sama bikin terang jalan hidup yang lebih bermakna.
Haidt ngebahas paradoks utama hidup modern: orang sibuk banget ngejar duit, sukses, dan kenikmatan, tapi ujung-ujungnya sering gak jadi lebih bahagia juga. Doi mulai dengan konsep psikologi tentang “set point kebahagiaan,” yang nunjukin kalau banyak rasa bahagia kita sebenarnya dipengaruhi genetik dan temperamen. Makanya, perubahan eksternal—kayak dapet kerjaan baru, gaji naik, atau pindah ke rumah lebih bagus—cuma bikin efek seneng sebentar. Untuk nguatkan ini, Haidt ngutip riset soal hedonic treadmill, ide bahwa manusia gampang banget beradaptasi terhadap kondisi, baik yang naik maupun turun, lalu balik lagi ke baseline kebahagiaan yang relatif sama.Tapi Haidt gak bikin semua jadi suram; doski justru bilang guru-guru kuno ada benernya waktu ngomong kalau kebahagiaan itu datengnya dari dalem, meski harus dikoreksi lewat sains modern. Doski nunjukin bahwa kekayaan di atas batas tertentu gak ngaruh banyak ke kebahagiaan, tapi ikatan sosial yang kuat, kerja yang bermakna, dan rasa tujuan hidup bisa ngasih efek bertahan lama. Nyambung ama peringatan Buddha tentang keterikatan, Haidt bilang psikologi modern memang ngebuktiin kalau ngejar kesenangan itu fana, tapi di sisi lain, ngejar cinta, keterlibatan, dan pelayanan ke orang lain bisa bikin bahagia yang lebih stabil. Jadi, ini sebenarnya ngerombak makna “pursuit of happiness”: bukan lagi lomba konsumtif, tapi perjalanan buat nyari keseimbangan—antara pencapaian luar dan pengolahan dalam, antara hasrat dan pengendalian, antara intuisi kuno dan bukti ilmiah.Dalam bukunya di bab Happiness Comes from Between, Jonathan Haidt ngasih salah satu argumen kunci: kebahagiaan itu bukan cuma ada di dalam diri, bukan pula sekadar datang dari harta atau barang, tapi lahir dari ruang “di antara”—antara orang, aktivitas, dan gagasan. Doi ngegas mitos populer bahwa bahagia itu cukup dicari di dalam hati lewat meditasi atau pikiran positif. Haidt bilang, rasa makna dan bahagia justru muncul ketika kita nyambung dengan orang lain, punya kerjaan yang bikin hidup bermakna, dan tersambung ama sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri.Haidt pakai metafora penunggang gajah buat nunjukin bahwa akal dan emosi kita hendaknya selaras dengan lingkungan sosial. Relasi, cinta, dan komunitas bukan sekadar bonus hidup, tapi inti dari kehidupan itu sendiri. Riset psikologi modern juga mendukung ini: orang yang punya ikatan sosial kuat, aktif di komunitas, dan berkomitmen pada tujuan di luar kepentingan pribadi ternyata konsisten merasa hidupnya lebih puas. Di sini Haidt nge-blend filsafat Aristoteles soal kebajikan dalam masyarakat, kearifan Buddha tentang keterhubungan, dan pesan Yesus tentang cinta serta pelayanan.Akhirnya, bab ini nyimpulin kalau bahagia itu lahir dari “antara” tiga dimensi utama: antara diri kita dan orang lain (lewat cinta, persahabatan, dan ikatan sosial), antara diri kita dan pekerjaan (lewat keterlibatan dan flow), serta antara diri kita dan sesuatu yang lebih besar (lewat spiritualitas, moralitas, atau pengabdian). Haidt ngasih insight bahwa hidup yang baik itu bukan sekadar ngatur isi kepala, tapi merajut hidup ke dalam jejaring makna—dimana manusia justru paling hidup ketika terhubung, bukan ketika sendirian.Haidt merajut semua benang filsafat, psikologi, dan sains buat nyimpulin bahwa rahasia kebahagiaan bukanlah milih satu kutub ekstrem, tapi belajar hidup dengan seimbang. Doi merefleksikan banyak kontras yang udah dibahas sepanjang bukunya—akal dan emosi, diri dan orang lain, kearifan kuno dan sains modern, hasrat pribadi dan kewajiban sosial—dan nyaranin kalau hidup yang makmur itu justru tercipta ketika semua dualitas itu nggak dilawan, tapi diseimbangkan. Buat Haidt, keseimbangan bukan kondisi diam, tapi latihan terus-menerus, kayak naik sepeda: butuh penyesuaian, kesadaran, dan usaha tanpa henti.Kesimpulannya, kebahagiaan lebih gampang dicapai kalau kita berhenti nyari “rumus tunggal” dan mulai belajar hidup di antara kebenaran-kebenaran yang kelihatan bertentangan. Para guru kuno benar waktu bilang hidup yang baik butuh kebajikan, disiplin, dan keterhubungan, tapi psikologi modern juga bener ketika nunjukin kalau kesenangan, emosi positif, dan pemenuhan diri itu penting. Kalau cuma milih satu sisi, hidup kita bakal pincang. Dengan ngerangkul keseimbangan—antara kerja dan cinta, memberi dan menerima, berjuang dan menerima—kita bisa bikin kondisi dimana sang penunggang dan sang gajah, alias akal dan hasrat, jalan bareng dengan selaras. Pesan penutup Haidt sederhana tapi dalam: kebahagiaan itu gak datang dari satu sumber, kagak bisa dipaksa hadir; ia tumbuh perlahan, dalam keseimbangan, ketika kita merajut diri ke dalam jaringan hubungan, komunitas, dan cita-cita yang lebih besar daripada diri kita sendiri.Dari kacamata ekonomi, bahagia sering diukur dari duit, konsumsi, dan well-being. Richard Layard dalam Happiness: Lessons from a New Science (2005, Penguin Books) nunjukin bahwa setelah titik tertentu, duit nggak lagi bikin hidup tambah bahagia. Justru ketimpangan, pengangguran, dan hidup tanpa tujuan yang nguras kebahagiaan, sementara kepercayaan sosial dan kesehatan mental jauh lebih ngaruh. Jadi dalam ekonomi, bahagia itu bukan soal numpuk harta, tapi soal kondisi hidup yang berkelanjutan dan bermartabat.Dalam Happiness: Lessons from a New Science, Richard Layard ngegas bahwa kebahagiaan itu bukan cuma perasaan sesaat kayak euforia habis dapet diskon 11.11, tapi tujuan utama hidup manusia yang seyogyanya diteliti serius kayak ekonomi atau politik. Buat doi, kebahagiaan itu kombinasi rasa positif plus minim sakit hati—sesuatu yang orang sendiri bisa nilai dari pengalamannya. Dengan ngulik psikologi, ilmu otak, sampai ilmu sosial, Layard bilang kebahagiaan bukan urusan individu doang, tapi juga tanggungjawab sosial, karena faktor kayak gaji, kerjaan, hubungan asmara, dan lingkungan komunitas ikut ngatur mood hidup kita. Yang paling nendang, doi tekankan bahwa setelah batas tertentu, duit nambah kagak otomatis bikin kita makin bahagia, soalnya manusia itu gampang beradaptasi dan hobi ngebandingin diri ama orang lain. Jadi, yang jauh lebih penting justru rasa percaya, keadilan, kesehatan mental, dan relasi pribadi yang kuat. Intinya, Layard nge-rebranding kebahagiaan bukan cuma urusan perasaan pribadi, tapi juga indikator sehat atau nggaknya sebuah masyarakat.Layard gak cuma berhenti di teori perasaan, tapi nyambungin langsung ke dunia kebijakan publik. Doski nyinyirin banget ama pemerintah yang terlalu ngejar GDP naik = negara sukses, padahal warganya belum tentu makin bahagia. Buat Layard, tugas pemerintah itu bukan cuma ngejar angka ekonomi, tapi juga ngecek “well-being” rakyatnya. Jadi yang kudu diprioritasin tuh layanan kesehatan mental yang gampang diakses, pendidikan yang bikin anak-anak tahan banting secara emosional, ama pasar kerja yang gak bikin orang insecure atau merasa hidupnya sia-sia. Doski juga ngegas soal kesenjangan, karena ketimpangan bikin orang gampang iri, minder, dan gak bahagia. Menurutnya, ilmu kebahagiaan ini semestinya jadi fondasi buat bikin masyarakat yang penuh rasa percaya, kerjasama, dan keadilan—bukan sekadar dampak sampingan dari ekonomi yang dibiarkan liar. Intinya, Layard ngajak politikus buat stop mikirin negara kayak manajemen keuangan perusahaan, tapi mulai mikirin gimana caranya bikin rakyat bisa hidup lebih “lega” lahir batin.Layard nyentil keras budaya konsumerisme, yang bikin orang kayak lagi lari di treadmill: ngos-ngosan ngejar barang baru, tapi gak pernah nyampe ke titik puas. Doski bilang, gaya hidup konsumtif itu ngajarin orang buat ngukur harga diri dari barang, status, dan seberapa kece dibanding orang lain. Tapi masalahnya, euforia barang baru itu kayak efek kopi sachet—cuma nendang bentar, abis itu jadi biasa aja. Fenomena ini sering disebut hedonic treadmill, alias makin dikejar malah makin capek, tapi gak bikin bahagia beneran. Layard bilang, siklus ini bukan cuma bikin individu kelelahan, tapi juga ngancurin solidaritas sosial, soalnya bikin orang lebih sibuk saingan ketimbang saling percaya dan bantu. Makanya doi ngajak buat geser budaya: jangan lagi ngukur hidup dari seberapa banyak yang kita beli, tapi dari seberapa kuat hubungan kita, seberapa hidup komunitas kita, dan seberapa bermakna kerjaan kita. Jadi, menurut Layard, konsumerisme itu racun buat kebahagiaan, dan obatnya ada di koneksi manusia, bukan di keranjang belanja.
Layard nggak cuma ngasih ceramah “jangan konsumtif,” tapi juga kasih resep praktis biar orang dan negara bisa keluar dari jebakan treadmill konsumerisme. Menurutnya, alih-alih ngejar duit dan status kayak main game tanpa tamat, masyarakat harus fokus ke fondasi asli kebahagiaan: kesehatan mental, keluarga yang stabil, kerjaan yang ada makna, dan komunitas yang solid. Buat level pribadi, Layard bilang trik simpel kayak bersyukur, rajin berbagi, dan jaga hubungan dekat jauh lebih manjur bikin bahagia ketimbang nambah isi keranjang belanja tiap bulan. Sementara di level negara, doi nuntut pemerintah serius nganggep kesehatan mental sama pentingnya kayak kesehatan fisik—akses terapi harus gampang, bukan mahal kayak cicilan iPhone baru. Doi juga ngedukung pajak progresif biar kesenjangan nggak makin lebar, karena rasa adil bikin masyarakat lebih saling percaya. Bahkan di dunia pendidikan, doi ngedorong sekolah buat ngajarin anak-anak resilience alias tahan banting, bukan cuma ngejar nilai doang. Jadi, resep Layard intinya: tukar kesenangan dangkal dari konsumsi dengan sumber bahagia yang lebih tahan lama—hubungan yang hangat, rasa adil, dan ketenangan batin.The Origins of Happiness: The Science of Well-Being over the Life Course (2018, Princeton University Press) karya Andrew E. Clark, Sarah Flèche, Richard Layard, Nattavudh Powdthavee, dan George Ward, ibarat tamparan halus buat dunia ekonomi yang selama ini sibuk ngitung angka duit dan konsumsi. Lewat data panjang yang diambil dari Inggris, Amerika, Jerman, dan Australia, para penulis nunjukin kalau yang bikin hidup manusia beneran bahagia bukan semata gaji yang makin tinggi, tapi kesehatan mental, hubungan yang sehat, dan kerjaan yang stabil. Intinya, mereka ngajak pemerintah berhenti menjadikan Produk Domestik Bruto (PDB atau GDP, Bross Domestic Product) sebagai “dewa ukuran kemajuan,” dan mulai bikin kebijakan yang fokus pada well-being dan stabilitas emosi. Mereka juga bongkar fakta kalau pengalaman masa kecil, sekolah, dan kondisi keluarga bisa nempel sampai dewasa, ngaruh besar banget ke level kebahagiaan. Jadi kalau negara mau invest di situ, efeknya bisa panjang dan nyata. Walau duit emang penting buat bikin hidup aman, ada batas dimana tambahan duit udah nggak bikin tambah bahagia, sementara ikatan sosial, rasa percaya, dan ketahanan mental tetep jadi bahan bakar utama buat hidup yang puas. Jadi, buku ini bukan cuma nambah koleksi ilmu tentang ekonomi kebahagiaan, tapi juga ngajak mikir ulang arti sukses zaman sekarang: bukan sekadar kaya raya, tapi benar-benar hidup dengan rasa tenang dan tumbuh sebagai manusia utuh.
Di Bab 16, The Origin of Happiness, para penulis ngerangkum semua bukti dari awal sampai akhir buku, lalu ngelempar satu kesimpulan yang cukup “menohok”: bahagia itu bukan terutama soal isi dompet yang tebal, tapi soal kondisi sosial dan psikologis yang ngebentuk hidup manusia dari kecil sampai tua. Mereka tekankan banget kalau kesehatan mental adalah faktor paling kuat buat menentukan kebahagiaan—jauh lebih penting daripada gaji, kondisi fisik, atau bahkan status kerja. Selain itu, kualitas hubungan pribadi—rasa dicintai, dipercaya, dan didukung—selalu jadi pemain utama dalam bikin orang merasa puas sama hidupnya. Bab ini juga nunjukkin kalau pengalaman masa kecil dan pendidikan ninggalin jejak panjang, sehingga intervensi di masa-masa awal punya efek paling besar buat kebahagiaan jangka panjang. Argumen mereka jelas: kalau pemerintah rela keluar duit gede buat ngejar pertumbuhan ekonomi, kenapa nggak serius juga bikin kebijakan yang nyokong kesehatan mental, memperkuat keluarga, dan menciptakan lingkungan sosial yang aman? Jadi, kesimpulan final mereka adalah bahwa “asal-usul kebahagiaan” itu lebih sedikit ada di pertumbuhan ekonomi, dan jauh lebih banyak ada di kebijakan serta praktik yang merawat ketahanan mental, kestabilan hubungan, dan peluang buat hidup penuh makna sepanjang perjalanan hidup.Kesimpulan Bab 16 itu bisa dibilang kayak “ngebanting meja” di depan konsep GDP yang selama ini dipuja-puja sebagai ukuran tunggal kemajuan negara. Para penulis ngegas dengan bilang, pertumbuhan ekonomi emang nunjukin banyaknya barang dan jasa yang diproduksi, tapi kagak otomatis bikin orang hidup lebih bahagia atau merasa hidupnya bermakna. Dari data yang mereka sodorin, jelas banget kalau setelah kebutuhan dasar aman, tambahan duit udah gak ngangkat level bahagia secara signifikan. Yang bener-bener ngatur rasa puas hidup justru kesehatan mental, hubungan yang sehat, dan rasa percaya di lingkungan sosial. Dari situ, mereka buka kartu kelemahan kebijakan publik yang cuma ngotot ngejar pertumbuhan ekonomi tapi lupa mikirin manusia di balik angka-angka.Agenda kebijakan yang dikejar dengan target GDP itu mirip lomba balapan yang cuma peduli kecepatan: negara dipaksa terus produksi dan konsumsi lebih banyak, tanpa peduli apakah semua itu beneran bikin hidup orang jadi lebih baik atau malah bikin stres. Dalam pola pikir ini, sukses cuma diukur dari angka produksi—pabrik makin ngebul, pasar makin luas, pendapatan makin naik—meskipun di balik layar ada harga mahal berupa tekanan mental, renggangnya hubungan sosial, atau kerusakan lingkungan. Sebaliknya, agenda kebijakan yang berfokus pada kesejahteraan batin ngubah arah kompas sepenuhnya. Pertanyaan utamanya bukan lagi, “Seberapa cepat kita tumbuh?” tapi, “Apakah orang beneran merasa hidupnya berkembang?” Dalam kerangka ini, layanan kesehatan mental dianggap sepenting jalan tol, rasa percaya di masyarakat dihitung sebagai infrastruktur sepenting listrik, dan pengasuhan anak dilihat sebagai investasi strategis setara bikin bandara baru. Bedanya ada di apa yang dianggap tujuan akhir dari kemajuan: yang satu ngeliat manusia sebagai roda penggerak mesin ekonomi, sedangkan yang lain ngeliat manusia sebagai tujuan utama dari mesin itu sendiri. Kontras ini nunjukkin kalau ngejar kebahagiaan bukanlah kemewahan, tapi redefinisi makna sejahtera itu sendiri, bikin kebijakan publik nyambung sama rasa bahagia yang nyata dalam hidup manusia.
Ngejar GDP itu ibarat ngejar “likes” di medsos: angka boleh naik, grafik bisa kelihatan keren, dan awalnya memang bikin deg-degan seneng. Tapi rasa euforianya cepat hilang, bikin orang ketagihan pengen lagi dan lagi, tanpa bener-bener ngerasain makna di baliknya. Sebaliknya, masyarakat yang ngejar well-being itu kayak punya satu atau dua sahabat sejati: jumlahnya mungkin nggak bikin heboh, tapi kualitasnya ngasih rasa percaya, dukungan, dan kebersamaan yang bikin hati adem bahkan setelah semua angka dilupain. Analogi ini nunjukkin perbedaan mendasar antara obsesi pada pertumbuhan permukaan dengan komitmen pada pertumbuhan manusia seutuhnya. Model yang pertama bikin kemajuan kayak pertunjukan, dihitung dari angka-angka yang bisa dipamerin; sementara model yang kedua bikin kemajuan jadi pengalaman hidup nyata, ditopang kesehatan mental, hubungan bermakna, dan keyakinan tenang bahwa hidup ini memang berjalan ke arah yang benar.
Pesannya tegas: pemerintah harus berani menjadikan well-being dan relasi sosial sebagai tujuan resmi, diukur dengan indikator yang nyata-nyata ngasih tahu kualitas hidup, bukan cuma angka produksi. Intinya, kebahagiaan bukan lagi urusan pribadi yang dianggap “bonus,” tapi target publik yang sah buat dibiayain negara, sama sahnya kayak jalan tol, sekolah, atau pertahanan. Kalau beneran dipraktikkan, ini bakal bikin masyarakat harus mikir ulang apa yang dianggap sukses dan apa yang layak dikejar di abad ke-21.
Wellbeing: Science and Policy (2023, Cambridge University Press) karya Richard Layard dan Jan-Emmanuel De Neve bisa dibilang usaha serius buat naruh kebahagiaan manusia di tengah panggung politik dan kebijakan publik. Dengan bekal riset panjang dari psikologi, ilmu saraf, sampai ekonomi, mereka bilang kalau well-being itu bukan sekadar angan-angan manis atau kata-kata motivasi, tapi sesuatu yang bisa diukur, dipelajari, dan ditingkatkan lewat kebijakan negara. Mereka nunjukkin kalau “subjective well-being”—alias pengalaman hidup yang dirasakan orang sendiri, seperti kepuasan hidup dan kondisi emosional—bisa dihitung dengan cukup akurat, bahkan bisa jadi indikator yang lebih masuk akal ketimbang GDP. Buku ini ngebedah faktor-faktor yang bikin orang bahagia, mulai dari kesehatan mental dan fisik, hubungan sosial, kerjaan, duit, sampai rasa kebersamaan di komunitas. Hasilnya jelas: terapi kesehatan mental, pendidikan berkualitas, dan tumbuhnya rasa saling percaya di masyarakat seringkali jauh lebih ngangkat kebahagiaan daripada sekadar nambah pertumbuhan ekonomi. Intinya, buku ini kayak manifesto politik baru: sukses bukan lagi dihitung dari seberapa besar dompet negara, tapi seberapa jauh masyarakat bisa hidup penuh arti, tenang, dan seneng beneran. Dengan ngasih peta sains pengukuran kebahagiaan plus alat kebijakan buat dipakai pemerintah, mereka ngajak pembaca ngebayangin masa depan dimana kebahagiaan manusia bukan bonus sampingan, tapi tujuan utama peradaban.
Kalau ditilik dari perspektif sosial, bahagia itu kental banget kaitannya sama relasi. Émile Durkheim dalam Suicide (1897, The Free Press edisi 1951) nunjukin kalau kekuatan ikatan sosial sangat menentukan rasa bahagia atau putus asa. Di era modern, Robert Putnam lewat Bowling Alone (2000, Simon & Schuster) cerita gimana lunturnya kebersamaan di Amerika bikin kepercayaan runtuh, orang makin kesepian, dan rasa bahagia kolektif makin surut. Jadi bahagia itu bukan cuma rasa pribadi, tapi jalinan sosial yang penuh keterikatan dan solidaritas.
Dalam konteks budaya, bahagia nggak pernah netral, selalu dibentuk nilai dan tradisi. Di Denmark, Meik Wiking lewat The Little Book of Hygge (2017, Penguin Life) nunjukin gimana bahagia nyelip di budaya ngopi, selimut hangat, dan kebersamaan. Di Bhutan, ada konsep Gross National Happiness yang dijelasin Karma Ura di The Introduction to Gross National Happiness (2009, The Centre for Bhutan Studies), yang nge-prioritasiin kebahagiaan rakyat lewat keseimbangan spiritual dan ekologi, bukan sekadar GDP. Jadi budaya ngeformat bahagia jadi ideal kolektif, cermin dari aspirasi terdalam masyarakat.
Kalau dijahit bareng, bahagia itu bukan sekadar rasa senang sesaat, tapi kondisi kompleks. Ia adalah pemenuhan filosofis, keseimbangan ekonomi, koneksi sosial, dan ekspresi budaya—semua nyatu dalam pencarian universal buat hidup yang baik.