Power tends to corrupt ...Mari kita pakai jas hujan investigasi. Versi KPK, skemanya gak pakai bumbu Marvel: sertifikat K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) yang semestinya cuma Rp275 ribu dibikin seret kayak sinyal Wi-Fi kosan, lalu “diselamatkan” dengan tarif spesial sampai kira-kira Rp6 juta per kepala. Ibarat ngurus SIM tapi jalurnya diubah jadi fast track berbayar: kalau mau lancar, siapin amplop. Dari level buruh yang kecekik, duitnya katanya ngalir ke koordinator yang—ini lucu—dijuluki “sultan”, dengan klaim pemasukan Rp69 miliar periode 2019–2024. Sang tokoh utama sendiri dituding nyomot sekitar Rp3 miliar, pas banget sama garasi yang mevvah: ada Nissan GT-R, duo Ducati, dan kawan-kawan—sekarang berjejer cakep di lobi KPK kayak pameran otomotif versi plot twist.Begitu episode OTT hari Rabu malam, 20 Agustus 2025, pecah, daftar pemainnya nambah: bukan solo karier, tapi band lengkap—sebagian laporan nyebut sebelas orang. Presscon KPK kayak tutorial “Cara Menyedot Rente untuk Pemula”: berkas diperlambat, formulir dibikin kusut, pengajuan “hilang,” lalu mendadak beres setelah ada salam tempel. Rasanya mirip langganan K3 Premium: tanpa iklan, tanpa antri, plus bonus aksesoris moge. Di luar timeline mainstream, komentar oposisi pecah dua: satu kubu teriak “bersih-bersih kabinet sekarang!”, kubu lain nyeletuk “jangan sampai KPK jadi properti politik.” Intinya: pelayanan publik rasa paywall.Jumat, 22 Agustus, nama-nama resmi diumumkan, rompi oranye jadi OOTD paling viral, dan momen minta maaf beterbangan kayak confetti di resepsi yang salah gedung. Di balik semua noise, ketukannya tetap sama: praktik gatekeeping kelas textbook, dikerjakan bertahun-tahun, dieksekusi sehalus batu bata nembus kaca. Jika Shakespeare nulis antikorupsi, ini Macbeth edisi “Garasi Sultan”.Bayangin coba, para kritikus ngebahas kasus OTT Wamenaker Immanuel Ebenezer—alias Noel—seperti sinetron epik di Medsos. Dulu doski semacam pahlawan buruh, bilang “lebih baik kehilangan jabatan daripada lihat buruh dipecat,” sekarang malah diciduk KPK karena diduga main duit sertifikasi K3. Serius, dramanya selevel sinetron kolonial: tiba-tiba jadi protagonis tragis yang terjungkal di episode super klimaks.Serikat buruh, khususnya bos KSPI, berekspresi dengan penuh rese—iya, lo dibaca bener, rese! Mereka bilang, sayang banget karena walaupun Noel sering pro-buruh, ternyata “godaan duit itu memang sering kejadian.” Bawaannya kaya punya guru agama yang ternyata jualan tikar—kan nyesek!Pokoknya, kritik mereka intinya: ini bukan cuma Noel yang kecolongan, tapi jadi cermin suram dari sistem—seperti nonton trailer Avengers tapi ternyata endingnya malah film horor domestic. Semua setuju: ironi ini epic! Sama kayak nonton drama terlarang—kamu nggak bisa mundur karena dramanya udah keburu mulai, dan endingnya makin bikin mata melotot.Ini si Noel beneran kayak karakter sinetron yang tiap kali ngomong pasti pake tagline, “Atas nama negara!”—udah kayak MC kondangan yang kebanyakan kopi. Tapi di balik layar, doi ternyata ngoleksi motor dan mobil seabrek, persis kolektor diecast tapi versi full tank. Netizen auto ngegas: kok bisa ya orang yang suka pake nama negara, gaya hidupnya malah kayak juragan showroom?Gosip pun makin rame: jangan-jangan ini bukan sekadar hobi, tapi ada skema setoran ala paket bulanan. Bayangin aja, kaya promo e-commerce: setor duit, dapet motor baru. Kritik makin pedes, karena drama ini udah bukan sekadar “wamen ketangkep tangan,” tapi berubah jadi reality show “Garasi Rahasia Pejabat.” Kalau Shakespeare masih hidup, doi mungkin geleng-geleng liat plot twist ini. Kalau netizen? Jelas, langsung bikin meme dan nge-remix jadi video TikTok viral.Sekali Termul, tetep aja Termul—hukum alam yang lebih konsisten daripada gravitasi dan sama-sama bikin nyesek. Mau dipakein jas branded, dikasih pena Montblanc, atau dikawal karpet merah protokoler, ujung-ujungnya ya tetep jadi makhluk yang inovasi tertingginya gak jauh-jauh dari bikin belacan dari sisa-sisa semalam. Para pengamat boleh ngoceh soal “reformasi birokrasi,” “capacity building,” sampai “strengthening institution,” tapi hasilnya mirip ngajarin merpati main biola: lucu buat ditonton, tapi pasti bubar jalan dengan bulu beterbangan. Jadi ya begitu, tontonan tetep jalan: para Termul gaya seakan pegang kendali negara, padahal kerajaan aslinya cuma dapur yang baunya teriak-teriak udang fermentasi.Ungkapan Lord Acton yang legendaris, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely,” kayaknya dibuat khusus buat kasus Wamenaker Noel. Bagian pertama—power tends to corrupt—udah jelas banget: jabatan Noel bukan level presiden, cuma kursi wakil menteri, alias “kelas deputy” di tengah belantara birokrasi. Tapi dengan kekuasaan secuil itu, doi diduga bisa nyulap tanggungjawab regulasi jadi gerbang tol pungli, nyedot duit buruh cuma buat sertifikat K3. Kalau posisi receh aja udah bikin ulah, kebayang gak kalau naik pangkat lebih tinggi lagi? Bisa makin gila-gilaan.Bagian kedua—absolute power corrupts absolutely—jadi semacam spoiler gelap. Kalau level deputi aja udah bisa diduga jadiin meja kerjanya pasar kaget, apalagi yang duduk di kursi kekuasaan lebih gede dengan pasukan loyalis? Skandal Noel akhirnya jadi semacam lakon moral: bukti kalau karakter bisa keropos bahkan dari jabatan kecil, dan kalau dibiarkan naik terus, bakal jadi monster politik full power. Jadi kasus ini bukan cuma urusan OTT dan garasi mobil mewah, tapi kayak peringatan keras: korupsi itu bukan langsung muncul di puncak, tapi mulai dari bawah, dari panggung kecil tempat orang belajar “coba-coba abuse power.”Ungkapan legendaris Lord Acton itu ternyata kagak keluar dari buku tebal atau kitab filosofi serius, tapi justru dari surat pribadi. Pada April 1887, beliau nulis surat ke Uskup Mandell Creighton, seraya nyinyirin sang uskup karena terlalu “baik hati” ama raja dan paus dalam tulisannya. Nah, di situ Acton nyeletuk kalimat emas: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men.” Jadi aslinya bukan quote yang lahir buat poster motivasi, tapi ocehan dari meja tulis yang bocor ke publik. Ironisnya, surat yang harusnya jadi curhatan akademis malah viral lintas abad, jauh lebih masyhur daripada karya ilmiah Acton sendiri. Kayak status medsos yang awalnya iseng, tapi malah jadi legacy.
Lord Acton (1834–1902) sering banget dijulukin sebagai sejarawan kebebasan, sosok pemikir yang tajem banget sampai bisa nembus lapisan luar sejarah dan bongkar motor tersembunyi yang nggerakin peradaban. Ia gak pernah capek nyari formula masyarakat yang bener-bener bebas, ngecek gimana ide soal kedaulatan diri dan kebebasan dipraktikkan—dari zaman kuno sampai abad yang dihuninya. Tapi meski nulis ratusan esai, review, surat, bahkan catatan kecil, buku agung yang seharusnya ngerangkum seluruh visinya tentang sejarah kebebasan gak pernah lahir. Gila bacanya, sehari bisa ngabisin satu buku, tapi tetep aja kalah cepat ama banjir tulisan di masanya. Pada akhirnya, capek banget sama beban itu, Acton nyerah juga. Jadinya, kini, meskipun warisannya segede gunung, orang lebih inget bukan dari tumpukan karyanya, tapi dari satu kalimat legendaris yang masih sering dipake sampe sekarang: “Kekuasaan itu ngerusak, dan kekuasaan absolut itu pasti ngerusaknya.”
Ada beberapa buku keren yang ngebahas serius soal pepatah Lord Acton tentang “kekuasaan itu ngerusak.” Salah satunya Power Tends To Corrupt: Lord Acton's Study of Liberty oleh Christopher Lazarski (2012, Northern Illinois University Press). Lazarski tuh bukan sekadar ngangkat quote "power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely" jadi tagline keren—tapi doi ngejelasin kalimat itu dalam bingkai pemikiran Acton yang jauh lebih dalam dan sistematis.Dalam Power Tends to Corrupt, Lazarski ngebangun ulang teori kebebasan Acton dari tulisan, surat, kuliah, sampai catatan kecilnya—nggak cuma ngegoreng quote doang. Doski nunjukin gimana Acton mikir bahwa kebebasan sejati lahir dari komunitas yang mandiri dan selalu terancam oleh otoritas pusat — inilah konteks yang bikin kutipan legendaris itu menjadi lebih bermakna.Nah, di bab terakhir buku tersebut—Acton’s Legacy and Lessons—Lazarski menyimpulkan implikasi praktis dari pemikiran Acton, dan di situ pulalah kutipan itu mendapat “tempat duduk” yang pas dalam narasi lengkap soal kebebasan politik. Lazarski mengemas warisan moral dan politik Acton jadi paket yang tajir. Pertama, ia menekankan kembali inti ajaran Acton: hukum itu bukan perintah penguasa, tapi cerminan nurani bangsa. Nafsu akan kekuasaan itu seperti virus: selalu siap menyerang manusia. Bagi Acton, kebebasan kagak bisa tumbuh tanpa perlindungan Gereja yang merdeka dan komunitas lokal yang kuat; tanpa itu, negara ujung-ujungnya balik lagi ke mode tirani.Lazarski juga pamerin metode Acton: doi gak mulai dari teori kekinian, tapi ngintip dulu masyarakat nyata, lalu ngebangun teori dari situ—mirip pendekatan Aristoteles. Dari cara itu, Acton sampai pada kesimpulan: kebebasan itu lahir dari komunitas lokal yang mandiri. Sistem federal, katanya, paling klop buat ngejaga keseimbangan kekuasaan pusat dan daerah. Akhirnya, Lazarski menempatkan Acton sebagai semacam nabi kebebasan sipil: ia ngajarin kita kalau melindungi kebebasan bukan soal retorika keren, tapi soal membangun kondisi dan institusi nyata yang bisa tahan gempa kekuasaan.Terus ada juga Gertrude Himmelfarb lewat bukunya Victorian Minds (1968, Knopf), yang ngebedah gimana para pemikir era Victoria, termasuk Acton, ngeh banget sama bahaya kekuasaan yang kelewat gede. Himmelfarb nunjukin kalau para pemikir era Victoria, termasuk Lord Acton, dihantui banget ama bahaya kekuasaan yang kelewat gede. Mereka ngeliat sejarah kayak berkali-kali nge-reminder, bahwa tiap kali otoritas makin meluas—entah lewat raja, parlemen, atau birokrasi—ujung-ujungnya pasti ada bibit korupsi dan tirani. Acton dengan kutipan legendarisnya ngerangkum keresahan itu jadi prinsip: makin besar kekuasaan, makin rawan rusaknya bukan cuma institusi, tapi juga moral orang yang megang kendali. Himmelfarb ngejelasin kalau keresahan orang di era Victoria ini bukan teori doang, tapi hasil baca sejarah dengan serius—kayak Revolusi Prancis, Kekaisaran Napoleon, sampai sentralisasi negara Inggris sendiri. Semua itu bukti kalau kebebasan gampang banget roboh jika ditimpa otoritas yang kelewat berat. Buat mereka, ngejaga kebebasan itu butuh kewaspadaan, pembagian kekuasaan, dan keseriusan moral yang gak bisa ditawar-tawar, bahkan kalau demi politik praktis. Makanya warisan Acton cs. itu masih nendang banget hari ini: kekuasaan yang gak dikontrol bukan cuma bikin politik ambyar, tapi juga bikin hati nurani manusia keropos.Himmelfarb ngejelasin kalau para pemikir era Victoria, termasuk Lord Acton, punya rasa curiga mendalam sama kekuasaan yang nggak dikasih rem. Buat mereka, otoritas yang kelewat gede itu bukan cuma masalah teknis, tapi racun moral yang bisa bikin jiwa masyarakat jadi busuk. Pepatah Acton yang melegenda, “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely,” dipandang Himmelfarb sebagai rangkuman paling pas dari ketakutan itu, tapi sebenarnya ia bukan satu-satunya. Para pemikir lain di masa itu juga kompak ngasih warning: kalau negara dibiarin tanpa batas, ia bakal ngunyah habis kebebasan sekaligus nurani. Tulisan-tulisan mereka nunjukin dunia dimana keseimbangan antara kebebasan dan otoritas jadi kunci peradaban sehat, dan dimana waspada terhadap tirani itu tugas utama setiap warga. Himmelfarb bilang, skeptisisme mereka bukan sinis, tapi lebih ke realisme waras—lahir dari pelajaran sejarah pahit soal kerajaan dan penguasa yang, karena tamak kekuasaan, malah ngerusak pondasi moral yang mereka pura-pura jaga.Himmelfarb nunjukin gimana para pemikir era Victoria, termasuk Lord Acton, punya kecurigaan level dewa terhadap kekuasaan yang kebablasan. Buat mereka, kekuasaan itu bukan alat netral, tapi kayak api unggun yang kalo gak dijaga bisa berubah jadi kebakaran hutan. Peringatan legendaris Acton—bahwa kekuasaan cenderung ngerusak dan kekuasaan absolut itu amat sangat dan pasti ngerusak—bukan cuma kata-kata keren, tapi hasil destilasi pengalaman generasi yang udah liat sendiri gimana kerajaan, pemerintahan, dan institusi bisa berbungkus tirani dengan label kemajuan atau moralitas. Himmelfarb ngegas banget nunjukin kalau benteng sejati peradaban bukan ada di kecerdasan penguasa, tapi di kewaspadaan masyarakat biar nggak kepincut ama bujuk rayu kekuasaan yang kelewat gede.Ada juga karya penting lain seperti Lord Acton oleh Roland Hill (2000, Yale University Press), biografi lengkap yang nunjukin gimana hidup Acton itu ibarat drama panjang antara kebebasan, moralitas, sama otoritas. Jadi, kutipan “Power tends to corrupt...” itu bukan kalimat receh atau asal ngecap, tapi hasil perenungan panjang seorang bangsawan intelektual yang udah kenyang ngeliat betapa gampangnya orang berubah jadi tiran kalau dikasih kekuasaan tanpa batas. Di bab tujuh belas berjudul “Power Tends to Corrupt...”, Hill ngebongkar lagi kutipan paling ikonik dari Lord Acton, yang ternyata bukan cuma kalimat keren buat dipajang di kaos, tapi hasil renungan panjang seumur hidup soal kebebasan dan tanggungjawab moral. Hill nunjukin gimana Acton, entah itu ngadepin raja atau rakyat, selalu curiga ama kekuasaan lantaran di dalamnya selalu ada godaan buat kelewat batas—dan nggak ada konstitusi atau lembaga yang bisa sepenuhnya nge-rem itu. Buat Acton, solusinya bukan sistem doang, tapi kewaspadaan moral yang kagak boleh kendor: pemimpin kudu diukur bukan dari seberapa sukses mereka, tapi seberapa setia mereka sama keadilan dan kebenaran. Hill ngegas bahwa pesan Acton ini gak ditujukan ke satu rezim doang, tapi berlaku universal: dimana pun kekuasaan numpuk tanpa kontrol, pasti ujung-ujungnya bikin karakter rusak. Intinya, bab ini nge-frame kutipan Acton bukan sekadar keresahan orang Victoria soal otoritas, tapi juga alarm abadi yang sampai sekarang masih relevan banget.Hill juga ngebongkar makna asli dari kalimat legendaris Acton yang sering dikutip orang. Hill jelasin kalau kecurigaan Acton terhadap kekuasaan yang gak punya rem itu bukan sekadar kalimat cool, tapi hasil sulingan puluhan tahun mikirin sejarah, politik, dan moral. Acton pakai prinsip ini dengan brutal—nggak cuma buat ngehajar tiran atau diktator, tapi juga tokoh-tokoh suci, cendekiawan, bahkan institusi besar. Intinya, buat Acton, kagak ada yang kebal dari penghakiman moral. Hal ini ngegas banget nunjukin kalau kalimat Acton itu punya dua fungsi: alarm buat ngingetin bahaya mabuk kekuasaan, dan kompas buat ngarahin tanggungjawab moral pemimpin maupun rakyat. Hill nutup dengan kesan bahwa peringatan Acton soal gampangnya kekuasaan bikin orang rusak itu masih nendang sampai sekarang, jadi kritik abadi buat otoritas yang jalan tanpa kontrol.Kalau Lord Acton punya pepatah “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely,” orang Jawa udah lama punya versi lokalnya: “Wong cilik nek nduwé kuwoso, dadi edan.” Alias, kalau orang kecil dapet kekuasaan, kadang jadi gila. Pas banget kan sama kisah Noel: doski bukan raksasa politik, cuma pejabat kelas “deputy,” tapi begitu nyicip kursi kekuasaan, langsung mabuk jabatan. Meja wamen berubah jadi kerajaan pungli, sertifikat K3 jadi semacam mata uang premium pass. Pepatah Barat dan Jawa akhirnya ketemu: kekuasaan, meskipun kecil, bisa jadi eliksir berbahaya. Dan makin kecil wadahnya, makin gampang tumpah ruah.Ada juga pepatah “Sepi ing pamrih, rame ing gawe”—harusnya tanpa pamrih, kerja sungguh-sungguh buat rakyat. Tapi Noel malah ngebolak-balik: pamrihnya segunung, gawe buat rakyatnya nihil, yang rame malah ngumpulin setoran. Jadi kalau Acton bilang korupsi itu bakal absolut kalau kekuasaannya absolut, orang Jawa udah ngewanti-wanti: benihnya tumbuh sejak jabatan receh. Kisah Noel akhirnya bukan sekadar OTT plus pameran garasi, tapi jadi parabel budaya: campuran kearifan Barat dan Jawa yang sama-sama nyinyir, “Kalau kekuasaan entu kagak ada rem, hasil akhirnya cuman ambyar.”

