[Bagian 4]Banyak orang yang ngegas ke Jokowi bilang, “dosa-dosa” doi tuh bukan sekadar salah ngurus proyek atau salah ngomong di depan publik, tapi udah level ngerusak fondasi demokrasi. Yang paling bikin panas, tentu aja soal manuver biar anaknya, Gibran, bisa duduk manis di kursi wapres, yang dianggep orang kayak nepotisme terang-terangan, kayak lagi main game keluarga di atas panggung negara. Lalu ada juga cerita soal KPK yang udah dipreteli sampai ompong, padahal dulu Jokowi sempat dielu-elukan sebagai simbol pemimpin bersih. Ekonomi pun digedor lewat utang gede-gedean dan proyek tambang serta infrastruktur yang dituding cuma nguntungin para oligark, sementara rakyat kecil sama lingkungan malah jadi korban. Makanya, banyak yang udah nggak puas lagi sekadar nyinyir; mereka teriak kalau Jokowi pantasnya bukan pensiun tenang, tapi diadili bahkan dipenjara, karena udah khianatin semangat reformasi yang dulu bikin rakyat percaya.Di mata para pengkritik, salah satu “dosa besar” Jokowi ada di caranya ngurusin proyek-proyek infrastruktur raksasa. Awalnya dielu-elukan sebagai tulang punggung masa depan ekonomi Indonesia, tapi ujung-ujungnya banyak yang kebobolan biaya, molor, atau bahkan diragukan manfaatnya. Lebih parah lagi, pembiayaannya nempel ke utang luar negeri, terutama dari China, bikin Indonesia kayak ketagihan minjem. Nah, ini nyambung langsung ke APBN, karena bayar cicilan utang makan porsi makin besar, jadi duit negara buat pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial jadi kepotong. Yang bikin waswas, kalau proyek-proyek itu gak balik modal, Indonesia bisa kejebak punya “gajah putih”—proyek kelihatan megah tapi isinya cuma bikin beban. Makanya, bagi para pengkritik, obsesi Jokowi sama mega-proyek bukan cuma salah hitung, tapi dosa strategis yang bisa bikin ekonomi Indonesia kedodoran dalam jangka panjang.Salah satu contoh paling ngejreng dari “gajah putih” ala Jokowi ya proyek kereta cepat Jakarta–Bandung. Dulu dijualnya kayak simbol Indonesia modern, tapi kenyataannya malah kebanjiran biaya, sering molor, dan bikin orang mikir, “Emang bakal balik modal enggak sih?” Soalnya jaraknya cuma 142 km, tiketnya mahal, dan banyak orang masih nyaman sama mobil atau kereta biasa. Bukannya jadi mesin duit, malah jadi beban utang negara yang sebagian ditopang pinjaman luar.Jadi ceritanya nih, si kereta cepat Whoosh—yang awalnya diklaim bakal jadi simbol kemajuan bangsa—malah bikin BUMN jungkir balik. Konsorsium yang ngejalaninnya, PSBI, catet rugi Rp 4,195 triliun di 2024, terus nambah lagi Rp 1,625 triliun di semester awal 2025. Nah, karena KAI paling gede nyokong sahamnya, kebagian bayar sekitar Rp 951 miliar dari rugi itu. Jadi bukan cuma KAI yang terdampak, tapi keuangan nasional keteter berat.Di permukaan, kabarnya sih kas negara aman—ngasih kesan surplus yang gagah. Tapi di balik selubung itu, neracanya penuh lubang. Pajak rakyat yang dibayar selama ini mestinya buat bantu bangun jembatan, sekolah, atau jalan, tapi malah nyantol bayar utang, bunga pinjaman, dan ke China sana sini.Intinya, pajak yang dulu kita anggep pelayan negara kini malah jadi makhluk yang disedot terus ke proyek jeblok. Rakyat tetep bayarin, cerita kemajuan tetep dikibarin, tapi anggaran makin diteposin, dan kata “surplus” ya cuma kedengerannya keren — padahal defisit nyata sudah dipamerin.Trus ada lagi proyek Ibu Kota Baru Nusantara. Jokowi jualan mimpinya kayak solusi Jakarta yang macet dan ambles, tapi para pengkritik bilang duit gede yang digelontorin lebih mirip proyek elitis buat developer sama pejabat doang. Belum lagi deretan jalan tol, pelabuhan, sampe kawasan industri yang diresmikan heboh-heboh, tapi sering nggak nyambung sama kebutuhan ekonomi nyata. Jadi kesannya, lebih buat ninggalin legacy politik ketimbang nyari solusi buat rakyat. Buat para pengkritik, ini bukan sekadar salah ngitung, tapi udah level ngkhianatin akal sehat fiskal, bikin negara kejerat utang, sementara rakyat jelata masih jungkir balik mikirin harga beras sama biaya sekolah anak.Ketergantungan ke duit asing, khususnya dari China, bikin banyak orang ngerasa proyek-proyek gede Jokowi diam-diam ngegerus posisi tawar Indonesia. Kereta cepat sering dijadiin contoh gimana pengaruh Beijing makin nempel kalau negara penerima udah ketagihan utang dan kontraktor mereka. Indonesia akhirnya dipaksa renegosiasi biaya bengkak dengan syarat yang lebih nguntungin kreditur China—kayak main bola di kandang sendiri tapi wasitnya milih lawan. Proyek Ibu Kota Baru pun dijual Jokowi ke investor dunia, tapi para pengkritik khawatir Indonesia malah kayak ngegadaiin kedaulatan, karena nawarin insentif gede-gedean, tax holiday, sampai hak lahan buat asing. Yang bikin makin merinding, bukan cuma angka utangnya, tapi juga ketergantungan struktural yang tercipta—seolah masa depan ekonomi Indonesia ditambatin ke pemain luar, bukan ditopang kekuatan dalam negeri. Buat para pengkritik, warisan Jokowi bukannya infrastruktur megah, tapi kayak jual murah kedaulatan bangsa demi pencitraan politik jangka pendek.Konsekuensi sosial dari hobi Jokowi ngegas proyek raksasa, kata para pengkritik, justru lebih pahit daripada brosur promosi yang penuh janji. Gedung-gedung tinggi berdiri, jalan tol memanjang, kereta cepat diresmikan dengan pita warna-warni, tapi rakyat biasa jarang kecipratan hasilnya. Petani malah tergusur gara-gara lahan dibeli paksa, warga miskin kota makin kepepet di pinggiran, dan buruh cuma dapat kerjaan kontrak serabutan. Yang kaya malah makin kaya, karena duit proyek ngalir ke kroni politik, kontraktor gede, dan para oligark. Sementara utang yang numpuk bikin APBN ketat, jadi anggaran buat subsidi, kesehatan murah, atau pendidikan terjangkau makin terjepit. Alhasil, proyek yang dijual manis sebagai kemenangan pembangunan malah jadi simbol eksklusi—pameran kemegahan yang nutupin jurang makin lebar antara elit dan rakyat. Buat para pengkritik, ini ironi paling kejam dari kepemimpinan Jokowi: masa depan yang dibangun dari beton dan baja, tapi ninggalin manusia yang harusnya diangkat derajatnya.Buat para pengkritik paling keras, ironi kepemimpinan Jokowi—pembangunan megah buat segelintir orang, tapi utang dan keterpinggiran buat mayoritas—udah kelewat batas, dari sekadar salah urus jadi level pengkhianatan publik. Mereka bilang, kalau sumber daya negara digiring terus-menerus buat nguntungin elit sementara rakyat kecil ditinggal, itu bukan cuma salah manajemen, tapi pengkhianatan mandat rakyat. Ada yang bahkan nyebut ini sebagai penyalahgunaan kekuasaan, karena jabatan publik dipakai bukan buat ngurus bangsa, tapi buat ngekokohin politik dinasti dan ngisi kantong lingkaran dekat. Di mata mereka, gaya kepemimpinan begini bukan sekadar mengecewakan, tapi berbahaya, karena bikin korupsi bisa disamarkan jadi “kemajuan,” dan demokrasi kosong isi dengan alasan pembangunan. Itulah kenapa tuntutan supaya Jokowi diadili atau bahkan dipenjara terdengar kenceng: bukan sekadar nyari balas dendam ke satu orang, tapi sinyal peringatan keras kalau pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat harus ada ganjarannya di republik yang ngaku-ngaku masih berdiri di atas semangat reformasi.Sejarah di berbagai negara nunjukin, kalau seorang pemimpin udah mulai goyah legitimasinya, biasanya mereka buru-buru bikin proyek gede biar kelihatan masih kuat. Di Argentina zaman Perón, di Mesir era Mubarak, sampai China dengan pameran Belt and Road-nya, proyek-proyek raksasa sering lebih jadi panggung show power ketimbang solusi buat rakyat. Dari luar kelihatan wow, tapi di dalamnya institusi udah rapuh, hukum dilemahkan, dan rakyat makin apatis.Di China, memang sih, di negeri Tirai Bambu ini masih berlaku hukuman mati buat korupsi dalam skala super besar—tapi sebenernya acapkali itu lebih kayak “pertunjukan kekuasaan” daripada langkah sungguhan buat ngebersihin sistem dari korupsi.Dalam kasus bos bank besar di China, hukuman mati itu sebenarnya lebih mirip drama sinetron politik ketimbang niat tulus beresin korupsi. Bayangin aja: pejabat bank ditampilin di TV, dihujat habis-habisan, bahkan diancam eksekusi, biar publik mikir negara ini “tegas banget.” Tapi kalau ditelisik lebih dalem, yang kena biasanya cuma orang-orang yang udah kehabisan “backing politik” atau jadi beban buat kelompok yang lebih kuat. Jadi ancaman hukuman mati bukan bikin sistem bersih, tapi lebih kayak kode keras ke elit lain: “Jangan coba-coba mbalelo, setia aja sama penguasa.” Akhirnya korupsinya tetep lanjut, cuma pindah tangan, sementara rakyat dibikin tepuk tangan nonton tontonan hukuman yang seram tapi kosong makna.Contoh paling geger adalah Lai Xiaomin, mantan bos besar Huarong. Doi dieksekusi cepet banget di 2021, setelah divonis korupsi Rp4 triliun-an (US$277 juta) dan nabung 100 mistres—semua prosesnya kilat, dari persidangan sampe dihukum mati, tanpa hukuman merangkak dua tahun. Foto brankas penuh duitnya jadi simbol dramatis “kita tegas” tapi juga sinetron anti-korupsi.Terus ada juga Bai Tianhui, satu lagi eks-eksekutif Huarong, yang diputus mati meski bantu aparat. Ini makin nunjukin kalau pada panggung kekuasaan, kepatuhan nggak selalu bikin aman.Lalu ada Tian Huiyu, mantan presiden China Merchants Bank, yang dapet hukuman mati dengan penundaan dua tahun. Maksudnya biar keliatan keras, tapi ujung-ujungnya dinyatain seumur hidup di jeruji, tanpa kemungkinan bebas.Dari kasus-kasus tersebut jelas: hukuman mati dalam kasus korupsi di China bukan soal adil atau kagak, tapi soal efek panggung—bikin takut elit lain dan meyakinkan rakyat bahwa negara “enggak main-main.” Drama hukuman ini lebih soal kecipratan citra daripada bersih-bersih sistem secara serius.Nah, para pengkritik Jokowi bilang Indonesia sekarang lagi main di pola yang sama: jalan tol, kereta cepat, sampai ibu kota baru bukan semata pembangunan, tapi juga kamuflase buat nutupin krisis legitimasi karena nepotisme, korupsi, dan hilangnya kepercayaan rakyat. Jadinya, perbandingan ini bukannya bikin bangga, malah bikin tragis, karena ngasih sinyal Indonesia rawan masuk daftar negara yang rajin bangun monumen beton, tapi diam-diam ngubur demokrasinya di balik bayangan.Dalam perjalanan panjang kepemimpinannya, Jokowi sering tampil dengan gaya ngomong yang sederhana, santai, dan seolah dekat dengan rakyat. Tapi di balik itu, banyak ucapannya justru jadi blunder atau malah dianggap menyesatkan. Misalnya, doi pernah bilang “Indonesia nggak punya masalah utang,” padahal angka utang negara makin naik gila-gilaan dan langsung diprotes para ekonom. Di lain kesempatan, doski ngeklaim bahwa “nggak ada lagi lahan yang dikuasai oligarki,” padahal faktanya lahan-lahan besar tetep dikuasain orang dekat kekuasaan. Jadilah gap gede antara omongan Jokowi dan realita di lapangan.Yang paling bikin orang geleng-geleng, doi pernah berkali-kali bilang “saya nggak kepingin berkuasa lebih dari masa jabatan,” eh ujung-ujungnya malah ada skenario politik yang bikin anaknya jadi wakil presiden dan lingkarannya makin kuat cengkeramannya. Omongan yang dulu dipuji sebagai sikap rendah hati demokratis, belakangan ketahuan cuma janji manis doang. Kebiasaan bilang, “Sabar aja, pembangunan butuh waktu,” juga sering dianggap cara halus buat membungkam kritik rakyat, biar semua masalah dianggap soal mental nunggu, bukan soal tanggung jawab pemerintah. Jadi kalau dibilang “dosa-dosa” Jokowi soal ucapannya, itu bukan sekadar salah ngomong, tapi udah kayak bagian dari panggung politik: bikin citra sederhana, tapi nutup-nutupin hal yang sebenarnya jauh lebih rumit dan kontroversial.Selama masa kepresidenannya, Jokowi sering kejebak sama ucapannya sendiri. Janji-janji yang dulu diucapkan dengan penuh semangat di panggung kampanye, ujung-ujungnya banyak yang lenyap entah kemana atau malah berbalik arah. Dulu doi ngomong keras-keras soal menolak politik dinasti, tapi kenyataannya anak sama menantunya malah naik pangkat politik gede-gedean. Dosli juga bilang bakal bela petani sama nelayan, tapi kok kebijakan lahan dan reklamasi pantai lebih sering nguntungin korporasi besar. Soal utang negara, Jokowi bilang aman-aman aja, padahal grafiknya terus naik kayak harga tiket konser Coldplay. Trus ada lagi, doi bilang nggak bakal ikut campur urusan hukum, tapi kok manuver politik di kasus-kasus besar bikin orang mikir “ini beneran netral nggak sih?” Semua ini bikin gambaran presiden yang retorikanya manis kayak iklan minuman dingin, tapi praktiknya sering bikin rakyat ngerasa digantung di tengah jalan.Akhirnya, moral dari drama kontradiksi Jokowi ini bukan cuma soal janji yang nggak ditepati, tapi lebih ngeri lagi: kita jadi terbiasa nganggep ketidakkonsistenan sebagai hal biasa. Begitu kata-kata presiden udah nggak ada bobotnya, kepercayaan publik pelan-pelan luntur, dan politik berubah jadi tontonan alih-alih tanggung jawab. Pemimpin yang keseringan plin-plan ujung-ujungnya bikin negara kayak panggung teater, di mana tepuk tangan lebih penting daripada prinsip. Buat rakyat, ini alarm gede: demokrasi nggak bisa dijalankan kayak nonton sinetron, duduk manis sambil ngikutin plot twist. Kita harus kritis, karena kalau dibiarkan, kebiasaan ngomong A tapi ngerjain B bakal jadi standar baru, dan demokrasi bisa pelan-pelan mati ketiban kontradiksi tiap hari.Warisan paling bikin kening berkerut dari Jokowi tuh bukan cuma janji-janji yang plin-plan, tapi kondisi anggaran negara yang udah “cekak” alias tipis banget. Buat Presiden Prabowo, ini kayak nerima rumah gede tapi isinya kosong melompong—gaya bisa, tapi buat belanja sehari-hari susah. Setiap program ambisius yang dia gembar-gemborkan bakal ketahan sama bayangan utang numpuk, cicilan bunga yang makin mencekik, dan ruang fiskal yang makin sempit. Ujung-ujungnya, bukan cuma presiden yang puyeng, tapi rakyat juga bakal kena getahnya: subsidi makin seret, pelayanan publik makin keteteran, dan harga-harga makin bikin dompet nangis. Singkatnya, anggaran cekak hari ini = hidup lebih berat besok buat negara dan rakyatnya.Warisan Jokowi ke Prabowo tuh ibarat ngasih mobil mewah yang kinclong, velg chrome, body masih cling, tapi tangki bensinnya udah hampir kosong dan lampu indikator oli nyala merah. Dari luar sih keliatan gagah, tapi pas dikendarain, baru sadar: percuma keren kalau bensinnya tinggal setetes. Nah, anggaran “cekak” itu persis kayak gitu—citra makmur, isi kere. Buat Prabowo, artinya beliau nyetir mobil yang orang harap bisa ngebut di jalan tol, padahal realitanya cuma bisa nyeret-nyeret kayak odong-odong. Dan buat rakyat? Ya ikut duduk di jok belakang, perjalanan mandek, tapi tetep disuruh nombok ngisi bensin.Tapi anehnya, di tengah semua drama cekak ini, Jokowi masih sempet dapet keplo'an meriah plus teriakan “Hidup Jokowi!”, seolah-olah ninggalin warisan emas. Kayak nonton pesulap yang abis ngeluarin sapu tangan warna-warni dari lengan bajunya, terus kabur pas triknya hampir ketahuan. Aplaus itu jelas nggak bikin tangki bensin tiba-tiba penuh atau cicilan negara lunas, tapi minimal bikin sang pemain merasa kayak juara. Begitulah politik—bisa turun panggung sambil disorakin kayak rockstar, padahal yang naik setelahnya harus ngejalanin naskah bolong-bolong.Teriakan “Hidup Jokowi!” jadinya malah kedengeran kayak tawa maksa penonton acara komedi TV yang udah dikasih kode dari belakang kamera. Sorak-sorai itu bukan karena aksinya jenius, tapi karena orang udah kebiasaan tepuk tangan kalau disuruh. Faktanya, yang ditinggal bukan kejayaan, tapi jebakan—anggaran cekak plus utang numpuk. Nggak ada jumlah teriakan yang bisa nutupin bolongnya kas negara. Intinya, itu aplaus buat pencitraan, bukan karena ada isi yang beneran bisa dibanggain.Tapi, bisa jadi, teriakan “Hidup Jokowi!” itu sebenernya bukan pujian, tapi satire halus—semacam sindiran bareng-bareng dimana kekesalan malah dikeluarin lewat sorakan lebay. Di iklim politik kayak gini, ngejelek-jelekin terang-terangan bisa dianggap nggak sopan atau langsung kena sensor, jadi lebih aman kalau kritiknya dibungkus aplaus. Jadi, sorak kenceng itu kadang nggak lebih dari keluhan yang disamarkan: mending teriak “Hidup!” ketimbang nekad teriak “Turun!” dan kena masalah.Kadang, teriakan “Hidup Jokowi!” itu lebih mirip standing ovation buat komedi tragis—aplaus yang dikasih bukan karena kagum, tapi karena nggak habis pikir betapa absurdnya pertunjukan yang lagi dimainkan. Sorakan yang makin kenceng justru makin terasa getir, kayak orang ketawa di tengah drama yang nggak selesai-selesai. Itu satire yang pura-pura jadi perayaan, cara buat nunjukin ketidakpuasan tanpa harus melanggar aturan sopan santun. Politik jadi kayak teater, dimana sindiran nyamar jadi pengabdian.Boleh jadi, teriakan “Hidup Jokowi!” itu sebenernya bukan doa panjang umur, tapi trik psikologis ala reverse psychology—kayak bilang, “yaudah hidup terus aja, biar kita bisa nonton drama ini sampe tamat.” Sorakan itu penuh ironi, seolah yang ditepuki bukan kemenangan, tapi tontonan absurd yang makin lama makin kocak pahit. Dengan nyebut namanya, rakyat kayak ngubah kekesalan jadi pertunjukan, nyamarin sindiran jadi perayaan, dan ninggalin getir khas bangsa yang lebih milih muji ketimbang maki karena udah lelah total.Soal “dosa” Jokowi yang nyangkut ke OCCRP, bukan karena doski nemu duit di bawah kasur, tapi karena rakyat ngerasa institusi negara yang seharusnya jadi tameng buat korupsi malah dipretelin satu per satu demi kepentingan politik dinasti. KPK dilemahkan, pengadilan dan hukum diputer di Babelan, dan jalur demokrasi diakalin biar anaknya bisa meluncur ke kursi wapres—semua ini bikin orang mikir: “Wah, ini udah sistemik, bukan kasus curi proyek lagi.”OCCRP cuma bilang: “Iya, kita nggak punya bukti doski nyogok bank, tapi masyarakat ngerasa korupsi udah jadi budaya, dan itu alarm keras buat kita semua.” Jokowi balik bilang itu fitnah politik, “Buktikan dulu kalau mau bilang korupsi!” Tapi masyarakat tetep bilang: “Loe boleh nggak ditangkep, tapi persepsinya udah busuk, dan itu dosa yang bakal terus digendong oleh bangsa dan negeri ini.”Dalam panorama sejarah Indonesia modern, para pengkritik ngegas kalau “dosa politik” terbesar Jokowi bukan soal beton yang dituang atau utang yang ditandatangani, tapi warisan pahit yang ditinggalin buat generasi ke depan. Alih-alih memperkuat institusi demokrasi yang susah payah dibangun pasca-Suharto, Jokowi justru bikin kosong isinya, ngelegitimasiin politik dinasti, dan ngegandengin ekonomi ke kreditur asing plus kepentingan oligarki. Jalan tol, kereta cepat, sampe ibu kota baru mungkin bakal berdiri megah, tapi warisan yang lebih dalam, kata mereka, adalah republik yang makin rapuh, makin timpang, dan makin nggak bebas. Buat mereka, kepemimpinan Jokowi bukan cuma kesempatan yang kebuang, tapi malah kemunduran, kayak khianatin harapan reformasi yang dulu jadi nyawa perjalanan Indonesia pasca-98. Itulah kenapa “dosa-dosa” ini dianggap nggak bisa dimaafin: bukan semata milik Jokowi sebagai individu, tapi karena dampaknya harus ditanggung jutaan rakyat lama setelah ia turun dari panggung kekuasaan.Refleksi akhirnya, bagi yang ngikutin naik-turun era Jokowi, bukan semata soal nyalahin satu orang, tapi mikirin: masyarakat kayak apa sih yang bikin “dosa-dosa” kayak gini bisa tumbuh subur? Pelajaran moralnya jelas: demokrasi itu nggak jalan otomatis, harus dijaga terus sama rakyat yang melek, yang nggak gampang dibuai proyek beton atau acara peresmian yang penuh kembang api. Republik ini kuat bukan karena monumen atau jalan tol, tapi karena institusi yang melindungi keadilan, kesetaraan, dan akuntabilitas. Kalau itu semua dikorbanin demi pembangunan instan, ya proyek mewah tadi cuma topeng buat nutupin busuk di dalam. Jadi, orang Indonesia mesti paham kalau kemajuan sejati bukan diukur dari tinggi gedung atau cepetnya kereta, tapi dari apakah rakyat paling miskin merasa dilindungi, dihargai, dan ikut punya masa depan. Moral dari era Jokowi? Jangan pernah lagi gadaiin demokrasi demi ilusi pertumbuhan, dan jangan biarkan masa depan bangsa dipajakin cuma buat vanity project penguasa.
[Bagian 2]