Senin, 18 Agustus 2025

Sang Singa vs Sang Gajah

Di bulan Agustus 2024, waktu rezim sebelumnya masih duduk di kursi empuk, drama soal Paskibraka meledak gegara kabar ada anggota putri yang disuruh buka jilbab pas pengukuhan di IKN. Beritanya langsung panas kayak minyak goreng di wajan, bikin ormas dan para tokoh agama naik pitam, merasa hak beragama malah digencet. Istana buru-buru klarifikasi kalau pas upacara 17 Agustus di Istana gak ada larangan jilbab, dan terbukti anak-anak putri yang berhijab tetap pakai jilbab saat tugas. Tapi meski begitu, kesan politiknya keburu nyantol: rezim yang dulu digadang-gadang “New Hope” malah terlihat gagap soal isu yang nyentuh simbol kebebasan dan identitas.
Fast forward ke Agustus 2025, pas Presiden Prabowo udah pegang kendali, situasinya malah adem ayem. Media sibuk bahas formasi angka 80, siapa pembawa baki, sampai gaya gagah barisan, tapi sama sekali gak ada ribut-ribut soal jilbab. Kagak ada polemik, kagak ada klarifikasi, kagak ada drama—semua jalan seperti biasa, dan para anggota putri tetep bisa berhijab tanpa jadi headline panas. Jadinya agak ironis: orang yang dulu sering dituding pelanggar HAM malah memimpin perayaan kemerdekaan dengan lebih khidmat, bahkan sempet netesin air-mata. Dan di lorong-lorong gemerlap media sosial yang riuh, netizen berhenti sejenak—salfok menatap diam-pandang jam tangan sederhana di pergelangan Presiden Prabowo: Timex Expedition Scout hijau, strap kanvasnya tenang, harganya bersahaja. Bukan sinar mewah yang menyilaukan, melainkan bisikan lembut kerendahan hati yang bikin hati netizen meleleh. Komentar-komentarnya pun seperti syair open mic: “kaya itu pasti,” tulis salah seorang, “tapi karakter sejati kelihatan pas beliau gak pamer.” Jam itu bukan sekadar penunjuk waktu, melainkan simbol ketulusan; elegi bagi kesederhanaan yang merona di tengah kemegahan kekuasaan. Sementara itu, yang dulu digadang-gadang sebagai “the new hope” justru ninggalin jejak penuh kontroversi dan "no hope". Mulai dari ujung rambut sampai ujung kuku, penuh pencitraan. Katanya, apa yang dikenakannya, murah dan sederhana. Tampak luarnya seperti itu, tapi di bagian dalamnya penuh dengan keangkuhan dan kearoganan. Singkatnya, ini bukan sekadar soal kain penutup kepala, tapi soal bagaimana gaya kepemimpinan bikin suasana jadi riuh atau damai.

Di panggung teater besar perayaan Hari Kemerdekaan, dimana bendera merah putih berkibar macam filter Instagram dan pidato penuh janji manis yang kadang kadaluarsa lebih cepat dari kuota gratis, ada pertanyaan tak terucap soal kekuasaan dan simbolnya. Bangsa, sama kayak individu, butuh metafora buat nunjukin identitas—kadang lewat spanduk, kadang lewat defile, kadang juga lewat pilihan hewan yang dijadiin maskot semangat. Dari situlah obrolan bisa ngegeser lembut dari lapangan upacara ke sabana, dari pejabat yang tereak di mimbar ke singa yang mengaum di bawah matahari, dan dari gajah yang ingatannya sepanjang zaman ke rakyat yang lagi berusaha keras nggak amnesia sejarah. Sama kayak Hari Kemerdekaan bikin kita mikir siapa yang sebenernya mimpin dan siapa yang cuma ikut koreografi, dongeng singa dan gajah juga nanya: apakah kebesaran sejati lahir dari wibawa yang bikin gentar atau dari kearifan yang kalem tapi dalem. Kenapa sih Singa yang disebut "Raja Hutan", bukan Gajah yang pandai?

Barangkali, para sejarawan akan menjawab seperti ini: Singa itu disebut “Raja Hutan” bukan karena doi paling gede atau paling pinter, tapi karena sejak dulu manusia doyan banget bikin simbol yang dramatis. Dari zaman Mesopotamia sampai Afrika, singa udah dikasih stempel aura raja, dewa, dan penguasa. Gajah sih emang cerdas, kuat, dan penuh memori, tapi auranya lebih ke “sesepuh bijak” yang adem ayem, bukan tipe yang cocok pakai mahkota terus duduk di tahta. Sementara singa dengan aumannya yang bikin merinding dan gaya hidupnya yang ngelindungi kelompok, langsung nyambung ama bayangan manusia tentang penguasa yang penuh wibawa. Jadi ya, meskipun gajah punya IQ tinggi, singa lah yang lebih dramatis buat dijadiin “raja,” karena dunia ini memang lebih percaya sama showmanship ketimbang kecendekiaan.

Para budayawan akan menjawab: Singa itu raja dramatis, hewan yang tiap muncul langsung bikin semua makhluk tepuk tangan dalam hati. Surainya kayak mahkota, aumannya mirip dekrit raja, dan gerakannya pas berburu itu kayak gabungan antara fashion show sama film action. Gajah beda, doi tuh lebih kayak kakek bijak, filosof alam liar yang jalan pelan tapi penuh wibawa, nyimpen memori sepanjang generasi, dan sayang banget sama keluarganya. Singa memerintah dengan show, gajah memimpin dengan kebijaksanaan. Yang satu bikin heboh dengan gemuruh, yang lain ngasih arah lewat ketenangan. Karena manusia doyan drama dan pameran, ya jadilah singa dipilih jadi “raja hutan,” sementara gajah dihormati lebih kayak guru besar yang kalem.
Singa kalau dibikin versi manusia zaman now itu seleb besar—jalan di catwalk, kena spotlight, pakai outfit bling-bling, terus kalau ngomong miknya kayak mau ngumumin takdir dunia. Doi jadi pusat perhatian bukan karena paling pinter, tapi karena paling rame dan paling heboh. Sementara gajah itu mirip dosen bijak—ngajar di kelas sepi, isi kepalanya penuh ilmu, dihormati sama yang lagi nyari ilmu, tapi sering nggak dilirik sama orang-orang yang lebih suka kembang api daripada renungan. Dunia mah lebih milih kasih mahkota ke singa karena doyan tontonan, sedangkan gajah ya tetep jadi mentor kalem yang dihargai sama mereka yang ngerti makna kedalaman daripada sekadar gemerlap.

Para filsuf akan menjawab: Singa di panggung politik itu politisi pencitraan—tereak-tereak di podium, bawa slogan kayak wahyu, tapi habis itu sering hilang kayak asap. Doski hidup dari drama: spanduk, kamera, salaman pura-pura, sampai janji-janji manis yang disusun buat bikin rakyat terpesona. Gajah beda, doi itu teknokrat serius—kagak rame, tapi pegang data, strategi, dan solusi nyata. Sayangnya, massa yang candu keributan lebih milih kasih mahkota ke singa, sementara gajah cuma dipandang sama segelintir orang yang masih percaya kalau kompetensi lebih penting daripada karisma kosong.

Nah, para komedian, apa jawaban para komedian? Jadi gini, singa disebut Raja Hutan karena, jujur aja, mukanya kayak langganan hair stylist mahal tiap bulan, terus nyoba-nyoba gaya “gue penguasa dunia” dengan surai ngejrengnya. Gajah? Waduh, jadi raja aja udah ribet: singgasana mana kuat nahan bokong segede itu, mahkota juga kalau dipasang paling keliatan kayak mainan Happy Meal di kepalanya. Lagian, kalau raja dipilih berdasarkan kearifan, kesabaran, dan ingatan, ya grup admin WA emak-emak udah dari dulu jadi penguasa semesta. Tapi manusia lebih cinta drama daripada martabat, makanya singa dengan gaya rambut model catwalk plus suara karaoke menggelegar dapet mahkota, sedang gajah cuma jadi om bijak yang dipanggil pas Wi-Fi di rumah tetangga ngadat.

Trus, kalau versi anak kos-kosan: singa tuh “Raja Hutan” karena doski mirip anak kos paling berisik, yang tiap malem jedotin pintu, pasang remix dangdut jam 2 pagi, terus jalan-jalan ke lorong tanpa baju kayak lagi fashion show. Orang takut sama doi bukan karena doski pinter, tapi karena ogah ribut ama orang yang bisa ngamuk cuma gara-gara mie instan. Gajah? Doi tuh lebih kayak senior kalem yang rajin bayar kos, inget ulang tahun semua orang, dan jago benerin magic com rusak. Tapi ya siapa sih yang peduli? Di era sekarang, kearifan nggak bikin viral, drama lah yang laku keras. Makanya singa tetep jadi “Raja Hutan” versi kos-kosan, sementara gajah cukup jadi pahlawan diem-dieman pas galon 'abis.

Lalu apa kata para seniman? Singa jadi “Raja Hutan” karena sejatinya doilah pencipta Sound Horeg pertama di muka bumi. Aumannya? Itu tuh versi purba dari knalpot brong yang kalau lewat bikin jantung kaget kayak habis dikejar debt collector. Singa kagak peduli bikin hutan berisik, yang penting semua makhluk tau: “Bro, gue ada, suara gue lebih kenceng dari speaker JBL-loe!” Sementara gajah? Kasihan, trompet belalainya malah mirip alat musik marching band yang fals, terhormat sih tapi kagak bakal viral. Karena manusia lebih cinta kegaduhan ketimbang kualitas, ya singa pun dikasih mahkota jadi “Raja Hutan,” alias Sound Horeg abadi di sabana.
Singa itu Sound Horeg, gajah jelas Sound Adem. Singa kayak motor knalpot brong lewat jam tiga pagi—semua makhluk kaget, bangun, dan mau nggak mau ngakuin keberadaannya. Gajah beda, suaranya kayak AC kosan 1PK, adem, konsisten, nggak pamer tapi bikin hidup jadi nyaman. Singa itu video TikTok 5 detik yang rame kayak chaos, gajah itu playlist lo-fi 8 jam yang nemenin kamu nugas biar nggak gila. Tapi ya karena dunia ini lebih cinta ribut-ribut ketimbang ketenangan, jadilah Sound Horeg dapet mahkota, sementara Sound Adem cuma jadi penyelamat mental diam-diam yang nggak pernah masuk FYP.

Dalam dunia politik Indonesia: singa si Sound Horeg itu pejabat pencitraan klasik—omongannya kenceng, jargon meluncur kayak roket, gerak tangan selalu dramatis biar kamera puas. Ibarat knalpot brong, doi kudu bikin semua orang di kampung tahu kalau doi lewat. Gajah si Sound Adem itu teknokrat atau birokrat rajin—kerjanya nulis draf kebijakan yang ngebosenin, ngurus sistem biar nggak ambruk, tapi nggak ada yang peduli karena doski nggak teriak-teriak. Singa gampang viral di TV sama TikTok, gajah malah cuma eksis di file PDF yang nggak pernah dibuka kecuali anak magang yang salah klik “download all.” Jadi ya, di politik, mahkota jatuh ke Sound Horeg, sementara Sound Adem cuma jadi penopang diam-diam biar negara nggak ambyar.

Singa si Sound Horeg itu tetangga berisik yang tiap subuh udah geber dangdut koplo remix, seolah-olah kampung ini panggung konser pribadinya. Anak dimarahin suaranya bisa ngalahin toa masjid, pintu pagar dibanting kayak efek film action, gosipnya juga level surround sound. Sedangkan gajah si Sound Adem itu tetangga kalem—nyiram tanaman pas orangnya mudik, nggak pernah nolak kalau dipinjemin gula, dan sigap bantu angkat tabung gas pas abis. Tapi ya siapa sih yang manggil doi “raja” kompleks? Kebaikan nggak bisa viral, yang rame itu drama. Jadinya singa berisik dapet mahkota, gajah adem cuma jadi pahlawan diam-diam biar hidup di kampung nggak stres.

Bagi para novelis, singa si Sound Horeg itu pacar lebay yang sehari bisa bilang “I love you” dua puluh kali, nge-spam IG pake foto couple, dan ngelamar di mall pakai flash mob yang dancer-nya kayak hasil casting TikTok. Ribut, dramatis, semua orang sampai yang nggak kenal ikut tahu. Gajah si Sound Adem beda—doi tipe pasangan yang nggak pernah pamer, tapi hafal makanan favorit loe, ngecasin HP pas loe ketiduran, dan selalu ada pas hidup loe lagi amburadul. Tapi ya, dunia lebih terpesona sama kembang api daripada kehangatan. Jadinya singa berisik dinobatkan “Raja Romantis,” sedangkan gajah adem cuma jadi kisah cinta sejati yang nggak pernah masuk explore IG.

Berikut jawaban para psikolog: anekdot singa lawan gajah ini emang sering dipakai buat ngebahas soal mentalitas. Di dunia nyata, singa jarang banget ngejar gajah, karena jujur aja, itu urusan ribet—gajah segede gaban, sekali injek kelar. Tapi di dunia metafora, singa digambarin punya mindset nggak kenal takut: “Ah, gajah? Itu makanan gue,” bukan “Aduh, kegedean nih.” Jadi intinya bukan soal biologi, tapi soal psikologi.
Makanya di buku-buku motivasi, singa sering dipuji bukan karena badannya paling gede, tapi karena mentalnya paling nekat. Doi berani ngelihat raksasa sekalipun sebagai peluang, sementara gajah—meski pinter dan kuat—lebih kalem, adem, dan nggak punya ambisi “gue harus jadi raja.” Singa itu mental panggung, gajah itu mental perpustakaan. Akhirnya dunia lebih sering milih gaya horeg singa buat dijadiin simbol, ketimbang adem ayemnya gajah yang kadang justru lebih berguna.

Singa itu founder nekat dengan mental horeg—launch aplikasi meski masih sering error, udah bikin kartu nama padahal kantornya numpang di coworking space, dan presentasi ke investor cuma modal PowerPoint plus percaya diri level dewa. Buat doi, kompetitor raksasa itu “makanan masa depan”, bukan masalah. Gajah beda, doi founder perfeksionis dengan mental adem—riset pasar sampai 10 tahun, bikin produk kece yang bisa menang penghargaan desain, dan ngerti semua resiko di Excel. Tapi pas doi siap rilis, si singa udah keburu viral, bangkrut dua kali, pivot tiga kali, dan entah gimana malah dapet dana jutaan. Pesannya: mentalitas sering lebih menentukan daripada ukuran atau kepintaran; dunia lebih cepat kasih mahkota ke yang berani teriak, daripada yang diam-diam terlalu lama mikir.

Bagaimana jawaban para mahasiswa? Nah kalau versi anak kuliahan: singa itu mahasiswa mental horeg—dateng telat, buku aja belum dibuka, eh malah nekat maju presentasi pertama. Slide? Kagak ada. Referensi? “Menurut pengalaman pribadi saya, Pak…” Tapi karena ngomongnya pede banget, dosen sampe ngangguk-ngangguk. Gajah beda, doi mahasiswa mental adem—lembur bikin 100 slide full animasi, catatan kaki rapi, daftar pustaka bisa nyamain panjangnya tafsir kitab. Tapi pas hari H, doi malah grogi, ngomong pelan, dan kebanyakan skip. Akhirnya yang diinget dosen si singa nekat, bukan sang gajah perfeksionis.

Dalam dunia sastra, singa nggak selalu ditampilin sebagai raja hutan yang cuma bisa mengaum galak, tapi kadang digambarin kayak tokoh drama yang diem-diem nangis karena capek selalu dianggap paling kuat. Dalam dongeng Aesop misalnya, ada momen dimana singa jadi simbol kerentanan, seolah bilang, “Bro, gue juga bisa rapuh, loh.” Di tradisi sufi, air mata singa jadi lambang jiwa manusia: di luar kelihatan sangar, tapi di dalam hatinya nangis karena kangen sama Rabb-nya. Sementara di zaman modern, singa yang menangis jadi metafora tentang betapa bahkan yang kelihatan paling tangguh sekalipun bisa patah, bisa kesepian, bisa juga kehilangan arah. Jadi kalau ada cerita singa nangis, itu kayak reminder keras: topeng keperkasaan bisa jatuh kapan aja, dan di balik itu ada sisi manusiawi yang sebenarnya nggak jauh beda sama kita semua.

Ada beberapa karya yang bikin singa kelihatan bukan cuma “abang knalpot brong” yang galak, tapi juga makhluk galau yang matanya basah. Di cerita Androcles dan Singa, sang raja hutan bukan ngajak berantem—doi malah ngeluh, meringis, hampir kayak nangis gara-gara duri. Begitu Androcles cabut durinya, vibes-nya bukan “yess bebas!”, tapi lega plus nggak kesepian lagi—kayak cowok macho yang akhirnya ngaku, “Gua butuh temen juga, bro.”
Lanjut ke era modern, penyair Thomas Merton keluarin buku puisi The Tears of the Blind Lions—judulnya aja udah emo level biar pecah. Di sini, singa itu simbol jiwa yang keliatannya garang tapi sebenernya kangen parah sama Yang Dicintai. Jadi air mata bukan kalah, tapi rindu. Kayak poster band indie: mahkota jatuh, hati tetap nge-ping ke “si Dia”. 
Kalau mau bumbu spiritual, Rūmī sering nempelin singa sama kalimat “habis nangis jadi buas, habis buas jadi lembut”. Intinya, kuat itu nggak anti air mata; cinta bikin singa horeg dan adem dalam satu napas—kadang mengaum, kadang meluk.
Versi klasik Romawi, di Silvae-nya Statius, ada elegi buat singa arena. Harusnya pesta kekuasaan, eh berubah jadi lagu duka; singa yang mestinya simbol dominasi malah ditangisi—kayak seleb viral yang capek jadi ikon dan pengen jadi manusia biasa. Power vs rindu, dan yang menang justru rasa kehilangan.

Kalau dirangkum ala timeline IG: singa itu raja, iya. Tapi di balik mahkota, ada playlist sedih yang diputer berulang. Air mata singa bukan drama lebay; itu caption jujur tentang betapa pun, si kuat tetep butuh tempat pulang.

[English]