Keputusan Presiden Prabowo buat “ngebebasin” Tom Lembong lewat abolisi dan “ngeampunin” Hasto Kristiyanto lewat amnesti sebenernya sah-sah aja secara hukum, bro. Semua prosedur udah dilalui, dari DPR sampai mekanisme konstitusi, kayak proses battle di talent show—harus lolos semua juri dulu baru bisa lanjut ke babak berikutnya.
Tapi yang bikin keputusan ini keren adalah, Presiden Prabowo nunjukin kalau jadi pemimpin itu nggak cuma soal tegas, tapi juga bisa ngerangkul. Kata Menteri Hukum, tujuan utama amnesti dan abolisi ini buat “merajut lagi persaudaraan anak bangsa”—jadi vibes-nya kayak lagi closing rivalitas di final turnamen, terus salaman di panggung buat sama-sama maju ke depan. Langkah ini layak banget diapresiasi, soalnya bukan cuma bikin suhu politik adem, tapi juga ngasih contoh gimana pemimpin harus bisa move on, nggak dendaman, dan mikirin kepentingan bangsa di atas segalanya.
Emang patut sih kita ngasih apresiasi ama keputusan Presiden Prabowo yang ngasih amnesti dan abolisi ke Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, asal keputusannya diambil sesuai kewenangan konstitusi dan lewat prosedur hukum yang bener. Presiden Indonesia memang punya wewenang buat ngasih amnesti dan abolisi berdasarkan Pasal 14 UUD 1945, biasanya dengan rekomendasi atau persetujuan dari DPR. Kalau kekuasaan kayak gini dijalankan secara transparan dan didasari nilai-nilai rekonsiliasi plus persatuan bangsa—yang kayaknya emang jadi tujuan utama di kasus ini—ya wajar dong kalau publik mengapresiasi. Langkah-langkah ini tuh ngirim pesan tentang kebesaran hati dan komitmen buat nyembuhin perpecahan politik, yang penting banget buat nguatin demokrasi dan bikin suasana lebih inklusif, especially kalau pertimbangan hukum dan etikanya udah diperhatiin sepanjang prosesnya.
Di sisi lain, setiap tindakan grasi harus diawasi ketat buat mastiin bahwa itu beneran nguntungin kepentingan publik yang lebih luas dan bukan cuma gesture politik doang. Tapi kalau dilakukan dengan integritas dan ditujukan buat rekonsiliasi kayak di kasus ini, bakalan jadi teladan kepemimpinan yang keren dan bisa jadi precedent positif buat pemerintahan ke depannya.
Kalau kita ngelihat kasus Tom Lembong bukan dari kacamata hukum kaku, tapi dari drama besar politik negeri ini, maka boleh jadi, ia bukanlah penjahat korupsi, tapi korban settingan kekuasaan yang dulu doyan ngejegal siapa pun yang beda suara. Penjara yang dialaminya, mungkin bukan bentuk keadilan, tapi semacam sinetron kekuasaan—dimana hukum jadi properti eksklusif penguasa buat ngusir yang nggak sepakat.
Bayangin aja, seorang teknokrat dengan visi reformis yang tajam, malah dijadikan target karena dianggap ‘gak sejalan’. Kalau bukti kasusnya lemah, dipaksakan, atau muncul pas suhu politik lagi panas, ya wajar aja publik curiga ini bukan soal keadilan, tapi jebakan Batman versi negara.
Jadi, ketika Prabowo ngasih abolisi ke Tom Lembong, itu bukan sekadar maaf-maafan, tapi lebih kayak membalik papan catur. Ini bukan cuma nyelamatin satu orang, tapi ngegas sinyal kalau ada yang salah dari bab sebelumnya. Lembong dalam narasi ini bukan cuma orang bebas, tapi juga ikon—bahwa zaman dulu, hukum kadang jadi alat gebuk, bukan alat keadilan.
Kisah Hasto Kristiyanto itu jauh lebih berasa bumbu politiknya—kayak reality show partai yang penuh drama, bisik-bisik, dan plot twist. Beda dari Tom Lembong yang lebih kalem sebagai teknokrat, Hasto itu udah kayak karakter utama di arena politik penuh intrik. Jadi nggak heran kalau pas ia mulai nyerocos kritik ke penguasa kala itu, tiba-tiba aja kasus hukumnya muncul ke permukaan, kayak adegan plot-device yang terlalu pas momennya.
Kalau ditelusuri lebih dalam, boleh jadi ia bukan diseret karena bener-bener bersalah, tapi karena terlalu vokal dan dianggep ngeganggu jalannya skenario kekuasaan. Penangkapan dan proses hukumnya bisa menjadi lebih mirip pesan ancaman buat pemain politik lain: “Jangan macam-macam, nanti loe juga kena giliran.” Di titik ini, hukum bukan lagi panglima, tapi lebih kayak buzzer kekuasaan yang siap ngegas siapa aja yang bikin keributan.
Makanya, pas Prabowo ngeluarin jurus amnesti buat Hasto, bisa dibaca bukan cuma sebagai pengampunan, tapi juga sebagai langkah reset—ngebersihin papan dari alat-alat represi yang udah terlalu dipersonalisasi. Apakah Hasto sepenuhnya bersih? Mungkin nggak. Tapi gesture ini bisa dibaca sebagai ajakan main adil lagi, bukan asal ngapus dosa, tapi biar lapangan politik nggak berat sebelah lagi.
Dalam dunia hukum tatanegara Indonesia, terma abolisi dan amnesti itu ibarat dua jurus sakti Presiden buat 'nyelamatin' orang—tapi beda timing dan alasan. Abolisi itu semacam jurus stop sebelum telanjur—Presiden bisa ngehentikan proses hukum yang masih jalan, bahkan sebelum pengadilan ketok palu. Cocok buat kasus-kasus yang dinilai berbau politik atau rawan konflik, sebelum meledak jadi drama nasional. Sementara amnesti itu jurus penghapus dosa massal—biasanya dikasih buat pelanggaran politik atau konflik besar, biar bisa damai-damai aja, demi stabilitas negara katanya.
Tapi tenang, Presiden kagak bisa asal ngegas. Kudu konsultasi dulu ama DPR, soalnya ini keputusan yang berat—bukan cuma soal hukum, tapi juga soal moral dan trust publik. Dua-duanya sering dipakai buat nyetelin ulang situasi politik yang panas, ngebuka jalan rekonsiliasi, atau ngejaga harmoni nasional. Tapi ya, kalau dipakai buat nutup-nutupin skandal atau jagain kroni, bisa menjadi bumerang di mata rakyat.
"The Constitution of Indonesia: A Contextual Analysis" oleh Simon Butt and Tim Lindsey (2012, Hart Publishing) menawarkan analisis komprehensif tentang UUD 1945, khususnya amandemen-amandemennya pasca-Reformasi. Analisis ini menjelaskan kewenangan Presiden, peran legislatif, dan implikasi hukum dari kewenangan grasi. Analisis ini juga mengkaji bagaimana norma-norma konstitusional ditafsirkan dan diterapkan dalam praktik politik nyata.
Dalam "The Constitution of Indonesia: A Contextual Analysis", Simon Butt dan Tim Lindsey ngebahas gimana kekuasaan Presiden Indonesia itu gede banget, tapi sekarang udah nggak bisa seenaknya kayak zaman Orde Baru. Presiden itu punya dua topi: kepala negara dan kepala pemerintahan, jadi ia bisa ngatur kabinet, bikin arah kebijakan nasional, sampai mewakili negara ke luar negeri. Tapi tenang, doi kagak bisa main solo. Ada DPR yang jadi ‘tembok pengaman’—mereka bisa ngecek dan ngere-cek semua gerakan Presiden, mulai dari anggaran sampai bikin undang-undang.
Bagian yang seru dibahas di buku ini tuh pas ngomongin Pasal 14 UUD 1945. Di situ dijelasin kalau Presiden bisa ngasih grasi, amnesti, abolisi, sampai rehabilitasi. Tapi yang namanya amnesti sama abolisi kagak bisa dikeluarin kayak bikin status di medsos, kudu dapet persetujuan dari DPR juga. Ini biar Presiden nggak jadi semena-mena—kayak ngampunin temen sendiri atau balas budi politik.
Tapi, kata Butt dan Lindsey, meskipun di atas kertas sistem kita udah lebih demokratis dan transparan sejak Reformasi, faktanya di lapangan masih banyak deal-dealan elite, dagang sapi politik, dan drama koalisi yang ngatur arah angin kekuasaan Presiden.
Simon Butt dan Tim Lindsey buka-bukaan soal gimana sebenernya arah kekuasaan di Indonesia pasca-Reformasi lebih banyak ditentukan di ruang-ruang gelap ketimbang di ruang sidang. Meski konstitusi kita udah tampil kinclong dengan semangat demokrasi, nyatanya arah angin kekuasaan kerap ditentukan oleh deal-dealan elit politik, dagang sapi jabatan, dan janji-janji manis yang bisik-bisiknya nggak pernah masuk berita. Para penulis nyebut ini sebagai “konstitusi bayangan”—tempat dimana transaksi politik diam-diam lebih menentukan dibanding pasal-pasal resmi.
Presiden, siapa pun orangnya, nggak bisa lepas dari pelukan koalisi politik yang maunya bukan cuma diajak rembukan soal program, tapi minta jatah—dari kursi menteri, posisi BUMN, sampai jaminan hukum. Alih-alih ngebongkar cengkeraman oligarki, reformasi konstitusi tahun 1999–2002 malah bikin presiden kayak hidup dalam rumah tangga penuh kompromi, dimana setiap keputusan harus lewat restu partai-partai yang bisa sewaktu-waktu ngambek. Menurut Butt dan Lindsey, sistem presidensial Indonesia jadi kayak pasangan yang dipaksa kawin dengan logika parlementer—ribet dan penuh tarik ulur.
Drama makin seru lantaran koalisi politik itu lebih mirip geng temporer ketimbang aliansi ideologis. Yang nyambungin mereka bukan visi misi negara, tapi kepentingan sesaat, patronase, dan harapan akan “balasan” di masa depan. Jadi, arah presiden itu kadang bukan soal doski mau kemana, tapi soal elite politik lagi maunya kemana. Di situlah presiden Indonesia kayak lagi joget di antara dua speaker: satu muter lagu konstitusi, satu lagi remix politik dagang sapi. Dan tiap langkah harus hati-hati, karena satu goyangan salah bisa bikin panggung kekuasaan ambruk begitu aja.
Jadi keputusan buat ngasih abolisi atau amnesti itu kadang bukan murni soal keadilan, tapi bagian dari strategi politik yang lebih gede. Untungnya, DPR masih jadi remnya, meskipun ya... kalau publik cuek dan institusi enggak waspada, kekuasaan konstitusional pun bisa dipelintir buat kepentingan geng sendiri.
Jika kisah Tom Lembong dibawa ke dalam cahaya analisis buku The Constitution of Indonesia: A Contextual Analysis, maka ia bukan sekadar cerita tentang salah dan benar, tapi semacam puisi getir dari paradoks konstitusi. UUD 1945, seperti dijabarkan oleh Butt dan Lindsey, bukanlah benteng yang kokoh dan kaku, melainkan lembar hidup yang bernapas di antara tarik ulur elite dan badai kepentingan. Ia menjanjikan keadilan hukum, namun kerap tunduk pada bayang-bayang kekuasaan informal.
Lembong, yang lebih dikenal sebagai teknokrat jernih ketimbang petarung politik, tampak seperti korban samping dalam perebutan kekuasaan yang jauh lebih besar dari dirinya sendiri. Kejatuhannya, terjadi sebelum angin perubahan meniup halaman istana, cocok dengan potret yang dilukiskan para penulis: mekanisme hukum yang secara formal berlaku, namun dibajak oleh kepentingan informal. Konstitusi memang memberi rem—seperti peran DPR dalam pengawasan abolisi—namun bila rem itu tertutup kabut partai, maka pengampunan pun menjelma jadi gabungan antara keadilan dan panggung politik.
Maka, dalam tafsir ini, abolisi dari Presiden Prabowo bukan sekadar maaf, tapi upaya merapikan naskah—mencoba mengembalikan janji konstitusional yang sempat diremukkan dendam kekuasaan. Dalam narasi Butt dan Lindsey, ini bukan cuma soal pasal-pasal, tapi tentang menyelamatkan martabat institusi yang lama tertekuk oleh beban kuasa pribadi.
Menganalisis kasus Tom Lembong lewat kacamata buku The Constitution of Indonesia: A Contextual Analysis ibarat masuk ke ruang sidang tempat hukum berbisik lirih, sementara kekuasaan berteriak dari balik tirai beludru. Simon Butt dan Tim Lindsey menggambarkan lanskap konstitusi yang tak datar—rapuh, penuh tekstur, dan terus dinegosiasikan, bukan cuma di atas kertas, tapi di lorong-lorong kekuasaan tempat pengaruh melenggang tanpa undangan.
Dalam panggung semacam ini, kisah Lembong tak bisa dibaca sekadar bab dari keadilan yang ditegakkan, tapi lebih sebagai bait dalam balada panjang tentang timpangnya keseimbangan institusi. Ia, teknokrat yang fasih bicara pasar, dibungkam bukan oleh putusan hakim, tapi oleh gerakan licin yang diselimuti legalitas. Para penulis buku itu mengingatkan kita bahwa meski Konstitusi Indonesia berbicara dengan bahasa demokrasi modern, pentasnya masih dihantui hantu masa lalu—di mana batas antara penegakan hukum dan penindasan sering tak tampak, tapi terasa.
Karena itu, abolisi dari Presiden Prabowo muncul bukan sekadar gestur politik belaka—ia menjelma jawaban atas harmoni konstitusi yang sumbang. Ia mencoba, walau belum tentu sempurna, merapikan nada yang timpang, menghormati ruh keadilan di tengah alat hukum yang mulai goyah nadanya. Dalam prisma Butt dan Lindsey, kasus ini bukan cuma soal satu orang, tapi tentang kerinduan agar hukum kembali bernyanyi—jernih, adil, dan tak terpengaruh tangan-tangan gelap.
Menafsirkan kasus Hasto Kristiyanto melalui lensa The Constitution of Indonesia: A Contextual Analysis berarti menelusuri retakan halus antara kuasa dan prinsip, dimana legalitas bisa diumumkan, namun legitimasi tetap mengambang. Dalam pandangan Butt dan Lindsey tentang Indonesia pasca-Reformasi, konstitusi bukan sekadar kitab aturan—ia adalah medan laga kepentingan, yang dibungkus dalam jubah demokrasi, tempat struktur formal hidup berdampingan dengan arus-arus gelap kekuasaan tak kasat mata.
Hasto, sang politisi kawakan, tak melangkah ke pelukan dingin keadilan, tapi ke panggung panas sandiwara politik. Jerat hukumnya bagi banyak orang tampak bukan sebagai hasil akhir penyelidikan yang netral, melainkan puncak dari tarian partisan yang rapi. Konstitusi memang memberi jalan bagi akuntabilitas dan proses hukum, tapi ia masih bernapas dalam ruang yang bisa ditekuk oleh kesepakatan elite. Maka, proses hukum terhadap Hasto—terlepas dari benar atau tidaknya dakwaan—menggema sebagai sumbang: sistem yang berbicara tentang keadilan, namun menari mengikuti irama faksi.
Dalam lanskap ini, keputusan Presiden Prabowo memberi pengampunan bukan hanya bentuk kemurahan hati politik, tapi juga semacam pengakuan diam bahwa ada nada yang fals dalam simfoni hukum. Lewat kaca mata Butt dan Lindsey, langkah ini tak terbaca sebagai akhir cerita, tapi layaknya sutradara yang mengganti skrip di tengah pertunjukan—mencoba menyeimbangkan ulang panggung, dimana hukum dan politik lama berbagi ruang, tapi jarang berbagi tujuan.
Walau belum ada bukti sahih di muka publik yang nunjukin bahwa keputusan Presiden Prabowo soal Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto itu langsung nyambung ke “tukar-guling” kasus ijazah palsu Jokowi, bisik-bisik politik di warung kopi menyiratkan tarian politik yang lebih rumit. Dalam budaya elite politik Indonesia, keputusan gede biasanya punya dua sisi: satu buat disorot kamera, satu lagi buat disorot mata-mata politik. Makanya ada yang baca langkah ini sebagai bagian dari “saling mengerti diam-diam”—alias barter kepentingan politik, dimana dosa lama dilupakan asal bisa bikin koalisi baru yang adem.
Kecurigaan makin kuat kalau lihat momen pengambilan keputusannya. Saat isu ijazah Jokowi kadang-kadang naik lagi ke permukaan, tiba-tiba muncul keputusan yang kayaknya “ramah” ke lingkar dalam Jokowi. Ini bisa jadi sinyal halus: “Warisanmu aman, asal mandatku jangan diganggu.” Jadi rotasi jabatan dan manuver politik ini kelihatan bukan lagi soal merit atau keadilan, tapi soal jaga-jaga warisan, jaga-jaga posisi, dan jaga-jaga kursi bareng-bareng. Dan ya, skandal kayak ijazah palsu bisa dengan gampang dikunci rapat-rapat—asal yang pegang kuncinya sepakat.
Hipotesis ini nyambung banget sama analisis Simon Butt dan Tim Lindsey: hukum formal itu ada, tapi keputusan penting justru lahir di pinggiran, di balik tirai rapat, lewat senyum basa-basi dan kode-kode elite. Jadi kalau Prabowo beneran lagi main strategi barter politik, ya bukan hal baru. Ini cuma nunjukin satu hal yang udah lama jadi rahasia umum: di Indonesia, masalah hukum bisa selesai bukan lewat palu hakim, tapi lewat tanda tangan di kesepakatan koalisi berikutnya.
Dalam "Constitutional Change in Indonesia: A Comparative Perspective" (2013, Cambridge University Press), Donald L. Horowitz ngebongkar gimana kekuasaan eksekutif—termasuk amnesti dan grasi—dirombak habis-habisan usai lengsernya Suharto. Zaman Orde Baru, kekuasaan Presiden itu super sakti—nggak ada rem, nggak ada pengawas. Presiden bisa bagi-bagi pengampunan kayak bagi-bagi stiker, tanpa harus jelasin ke siapa pun. Jadi jangan heran kalau grasi sering dijadiin alat politis buat ngamanin kroni, bukan demi keadilan.
Nah, setelah Reformasi, UUD 1945 dirombak, dan Horowitz nunjukin gimana Pasal 14 jadi titik balik. Sekarang, Presiden harus konsultasi dulu ama DPR kalau mau ngeluarin amnesti atau abolisi. Ini bukan cuma perubahan prosedural, tapi juga simbolik—dari yang dulu model kekaisaran jadi gaya republik yang harus tanggungjawab dan transparan.
Horowitz bilang, ini semua bagian dari upaya gede buat nge-demokratisasiin posisi Presiden. Jadi meskipun masih punya kekuatan, kekuasaan itu sekarang harus “disetir” ama hukum dan pengawasan publik. Amnesti bukan lagi senjata elit, tapi jembatan buat rekonsiliasi nasional. Tapi, Horowitz juga ngingetin: percuma punya pasal keren kalau para politisinya masih doyan ngakalin. Intinya, reformasi itu baru berhasil kalau orang-orangnya juga niat main adil, bukan cuma patuh di atas kertas, tapi juga di hati.
Menurut Horowitz dalam Constitutional Change in Indonesia: A Comparative Perspective, perubahan konstitusi Indonesia pasca jatuhnya Orde Baru itu benar-benar luar biasa—bukan sekadar ganti kulit, tapi bongkar total sampai ke fondasi kekuasaan. Kalau negara lain biasanya tambal sulam atau sekadar kosmetik demokrasi, Indonesia malah nyusun ulang seluruh cetak biru negaranya. Dari rezim otoriter ke demokrasi pemilu, dari pusat yang maha-kuasa ke daerah yang lebih merdeka, dari DPR yang dulu cuma cap jempol jadi institusi yang bisa ngegas balik ke eksekutif.
Horowitz bilang, ini langka banget, apalagi karena reformasi ini nggak dipicu oleh invasi asing atau kehancuran total negara. Dibanding negara-negara pasca-diktator lainnya, Indonesia melakukan amandemen secara lokal, internal, dan relatif damai. Lahir batas masa jabatan presiden, Mahkamah Konstitusi dibentuk, otonomi daerah dikuatkan, dan pengadilan dijadikan benar-benar independen—hal-hal yang di tempat lain sering cuma jadi wacana.
Kalo dibanding Rusia yang malah balik lagi ke demokrasi palsu atau Turki yang mulai mendekat ke arah otoriter, Indonesia justru masih berusaha setia ama pluralisme dan pemisahan kekuasaan—minimal secara teori. Kata Horowitz, ini bukti bahwa rakyat Indonesia bener-bener ngedambain negara hukum setelah lama dicekoki politik yang serba personal. Tapi ia juga ngasih catetan: ujian sesungguhnya bukan di teks konstitusi, tapi di lapangan—apakah hukum benar-benar jalan, atau cuma jadi aksesoris elite.
Lewat kaca mata Constitutional Change in Indonesia: A Comparative Perspective, kisah Tom Lembong bukan sekadar drama politik, tapi semacam pantulan dari pergulatan antara cita-cita konstitusi dan selera kekuasaan. Horowitz menggambarkan Indonesia pasca-Orde Baru sebagai negeri yang ingin mengekang kekuatan Presiden dengan pagar-pagar institusi—namun bayang-bayang kekuasaan personal masih sering bergentayangan.
Lembong, dulunya teknokrat kebanggaan reformis, justru tersisih dalam gelombang politik yang lebih memilih loyalitas daripada legalitas, yang lebih mencintai keselarasan daripada kemerdekaan berpikir. Ia tak dipecat lewat pasal, tapi disingkirkan lewat bisik kekuasaan—sebuah sinyal bahwa meski UUD telah diperindah, prerogatif Presiden masih sangat luas untuk menata ulang panggung politik sesuka hati.
Horowitz seakan memberi peringatan lirih: secantik apa pun konstitusimu, kalau norma-norma yang menopangnya keropos, maka ia mudah digoyang. Dan ketika meritokrasi dikalahkan oleh politik dagang sapi, maka sosok seperti Lembong—yang bicara berdasarkan prinsip, bukan pesanan—bisa saja dibuang, bukan karena melanggar hukum, tapi karena mengusik rasa nyaman para penguasa.
Bila kita menatap kasus Hasto Kristiyanto dari kaca mata Constitutional Change in Indonesia: A Comparative Perspective, yang tampak bukan sekadar seorang sekjen partai, melainkan gejolak lama antara idealisme demokrasi dan cengkeraman mesin partai yang makin licin. Horowitz mengingatkan: konstitusi Indonesia memang telah dirombak untuk menjinakkan kekuasaan pusat, tapi akar-akar patronase politik masih menjalar di celah-celah sistem.
Hasto, sang sekjen berbaju merah, bukan sekadar pejabat partai—ia semacam simbol bagaimana partai politik, yang dulu dicita-citakan sebagai penjaga demokrasi, justru berubah menjadi benteng pelindung kekuasaan itu sendiri. Ketika ia terjerat urusan hukum tapi tampil gagah dengan baju loyalitas, kita melihat paradoks konstitusi: secara teori kekuasaan dipisah, tapi secara praktik, pengaruh masih mengalir bebas antara lorong partai dan kantor negara.
Maka sesuai renungan Horowitz, kita pun bertanya dalam hati: apakah konstitusi kita telah melahirkan demokrasi sejati, atau cuma formalitas belaka? Sebab selama partai seperti yang digawangi Hasto lebih percaya pada jejaring loyalitas ketimbang kejelasan hukum, maka mimpi konstitusi kita akan terus menggantung di langit senja—setengah merdeka, setengah tertawan.
Jika kita menatap keputusan-keputusan Presiden Prabowo—baik soal Tom Lembong yang diam-diam diturunkan maupun Hasto Kristiyanto yang terseret pusaran hukum—dengan kacamata buku Constitutional Change in Indonesia karya Donald L. Horowitz, maka kita sedang menyaksikan tarian lama antara janji konstitusi dan praktik politik. Reformasi memang telah membatasi kuasa presiden, tapi bayang-bayang kekuasaan gaya lama belum sepenuhnya sirna.
Dalam kasus Lembong, pemecatan tanpa suara terasa seperti lagu lama yang diputar ulang: tak ada penjelasan, tak ada perdebatan, hanya keputusan yang dibisikkan dari lorong kekuasaan yang jauh dari telinga rakyat. Dan dalam kasus Hasto, bila sang presiden turun tangan, kita pun teringat masa lalu—dimana kekuasaan lebih setia pada warna bendera partai ketimbang terang hukum.
Di tengah situasi politik yang serba kabur dan institusi negara yang kadang lunglai, keputusan Presiden Prabowo soal Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto justru menunjukkan ketegasan yang jarang kita lihat akhir-akhir ini. Ini bukan semata aksi unjuk kuasa, tapi penanda bahwa presiden gak takut ngambil langkah sulit demi menjaga kejelasan arah dan kestabilan pemerintahan. Dengan mencabut simpul-simpul ketidakjelasan di lingkar kekuasaan, Prabowo kayak mau bilang ke rakyat: jadi pemimpin itu bukan soal viral, tapi soal berani mengambil risiko.
Pada akhirnya, keputusan-keputusan ini bisa jadi titik balik dalam perjalanan demokrasi pasca-Reformasi. Prabowo seolah bilang bahwa ketegasan itu bukan musuh demokrasi, asal ia dilandasi konstitusi dan tanggungjawab publik. Kalau pola ini konsisten dan transparan, bukan nggak mungkin gaya kepemimpinan yang sedang ia bangun sekarang bakal jadi standar baru dalam memimpin negeri ini—tegas tapi tetap taat aturan, berani tapi tetap berpijak pada hukum.
Keputusan tegas Presiden Prabowo dalam menangani kasus Lembong-Hasto seolah jadi tanda bahwa beliau pengin nunjukin taring kekuasaannya. Gerak cepatnya itu dibaca banyak orang sebagai sinyal kuat bahwa beliau gak mau terus-terusan kebawa arus warisan politik masa lalu. Tapi begitu satu panggung ditutup rapat, eh ternyata ada panggung lain yang justru makin nganga. Di luar drama reshuffle dan bisik-bisik istana, ada hantu lain yang masih gentayangan—lebih sensitif dan lebih bikin publik garuk-garuk kepala: perkara ijazah Jokowi yang sampai sekarang masih kayak teka-teki silang yang gak kunjung selesai.
Kisah sinetron soal dugaan “ijazah palsu” Jokowi makin lama makin absurd. Penegak hukum memang udah menetapkan dua belas orang sebagai tersangka, tapi anehnya, satupun gak ada yang menyentuh soal keaslian ijazah Jokowi sendiri. Rakyat cuma bisa melongo, karena yang terjadi lebih mirip sandiwara ketimbang pencarian kebenaran. Aksi cepat para penegak hukum buat ngejar orang-orang di pinggiran kasus, tapi gak pernah nyuguhin bukti asli atau palsunya ijazah sang mantan presiden, seolah jadi bisikan halus: mereka gak lagi bekerja buat hukum, tapi buat bayang-bayang kekuasaan yang belum sepenuhnya pergi. Dan di zaman baru ini, saat Prabowo resmi jadi presiden, kok ya aroma loyalitas lama masih kecium tajam—kayak ada bisikan lembut dari kursi sebelahnya, Mas Wapres, yang setia banget jadi penerus sinyal.