Sabtu, 30 Agustus 2025

Antara ‘Tolol’ dan Krisis Kepercayaan

Rocky Gerung pernah bilang—“Amok” tuh salah satu kata dari Bahasa Indonesia yang berhasil nyelonong masuk ke Advanced Webster English Dictionary. Bung Rocky gak sempat nyebutin kata yang kedua, tapi versi ahli kata pinjaman menunjukkan kalau kata itu adalah “latah”.
Kata “amok” itu asalnya dari amuk—langsung ngewakilin sensasi ngamuk masal, rusuh, chaos total, alias orang marah udah kelewat batas sampai gak bisa dikendalikan. Sementara “latah” adalah fenomena khas Asia Tenggara: reaksi refleks mencontoh secara berlebihan saat orang kaget atau malu, mirip kayak bayi refleks ngeloyor gitu.
Kalau dikaitkan sama kondisi sekarang, kata “amok” tuh paling pas menggambarkan bagaimana kemarahan rakyat meledak pas DPR bilang rakyat “tolol” dan polisi nabrak ojol. Ini bukan sekadar marah biasa, tapi semacam krisis emosi nasional—bener-bener ngamuk bareng-bareng.
Sedangkan “latah” punya makna tersembunyi yang sama satirenya: kadang institusi cuma “ikut-ikutan” minta maaf atau bikin penyelidikan, padahal hati dan kredibilitas belum bener-bener disembuhin. Mereka cuma tiru ritual permintaan maaf, tanpa bener-bener berubah, kayak rebutan main konten viral soal ketidakpekaan, tapi setelah itu ya... gitu doang.
Jadi, dua kata sumbangan Bahasa Indonesia—amok dan latah—ironisnya jadi metafora pas banget buat drama politik sekarang. Satu nunjukin letupan kemarahan rakyat, satunya lagi nunjukin reaksi onani institusi yang rapuh dan cuma gaya-gayaan. Bahasa kita ternyata udah ngasih label yang pas buat chaos dan kepura-puraan di zaman now.

Kata “amok” (atau amuck) emang beneran masuk kamus Inggris, lho—misalnya di Merriam-Webster. Kata itu, yang akar etimologisnya dari Bahasa Jawa, kemudian menyebar melalui bahasa Melayu, diambil dari  amuk yang maknanya “tiba-tiba ngamuk total”, jadi nggak cuma masuk bahasa sehari-hari, tapi udah jadi frasa idiom “run amok” yang dipake sejak abad ke-17.
Nah, kata “latah” juga beneran nongol di kamus Inggris, biasanya di bagian medis atau psikologi. Merriam-Webster ngejelasin kalau latah adalah kondisi neurotik yang bikin orang ikut-ikutan, ngomong atau lakuin hal yang didengar tanpa sadar—pas sering kejadian di budaya Melayu. Banyak kamus lain—kayak Collins atau Dictionary.com—juga nyampein definisi serupa: reaksi reflex mimik secara berlebihan kalau kaget.
Jadi klaim Rocky Gerung soal dua kata ini bener banget. Amok sama latah emang bener-bener udah nyampe ke kamus Inggris, dan bukan sekadar jargon antar budaya—tapi punya makna penting yang ngegambarin emosi publik dan reaksi reflektif institusi dalam skala global.

Dalam panggung ruwet politik Indonesia, dua kata “amok” dan “latah” jadi simbol yang nancep banget pas dibawa ke drama DPR dan Kepolisian. “Amok” itu ledakan emosi rakyat yang udah gak ketahan lagi, kayak pas ada anggota DPR nyeletuk nyebut rakyat “tolol,” atau pas mobil Barkuda polisi malah nabrak driver ojol—kemarahan jadi kayak bom meledak di jalanan. Tapi di sisi lain ada “latah,” refleks asal nyeplos tanpa mikir yang persis kayak gaya sebagian pejabat dan aparat, yang cuma nge-echo alasan klise tanpa isi, seolah lagi playback rekaman basi. Jadinya kombinasi serem: rakyat ngamuk dari bawah, elit latah dari atas, bikin teater absurd penuh ketidakpercayaan. Inilah momen dimana jurang antara rakyat dan institusi makin menganga, karena satu pihak marah betulan, sedangkan pihak satunya cuma nge-jawab dengan kebiasaan kosong.

Sejarah tuh penuh drama, guys. Banyak banget contoh dimana lembaga kayak Senat, DPR, atau Parlemen jadi bulan-bulanan rakyat sendiri gara-gara dianggep cuek bebek ama penderitaan orang kecil. Lihat aja Revolusi Prancis: awalnya rapat akbar bernama Estates-General tahun 1789 itu buat ngewakilin rakyat. Tapi apa yang terjadi? Para wakilnya malah terlalu lama debat, sibuk mikirin diri sendiri, gak ngeh kalau rakyat udah kelaparan. Akhirnya massa ngamuk, Bastille diserbu, dan sistem kerajaan runtuh kayak kartu domino.
Di Romawi kuno juga sama. Senatnya awalnya dihormati, tapi makin lama makin korup, makin elitis, dan ogah dengerin rakyat jelata. Ada tokoh Gracchi bersaudara yang coba reformasi, eh malah dibunuh. Dari situ jelas banget, Senat udah lost touch, rakyat jadi nempel ke tokoh populis kayak Julius Caesar, dan boom—Republik hancur, diganti Kekaisaran.
Lompat ke era modern, Duma Rusia tahun 1917 juga bernasib apes. Lagi-lagi karena gagal ngurusin krisis pangan dan tuntutan pekerja plus tentara. Akhirnya rakyat udah nggak tahan, Tsar dijatuhin, dan Duma ikut tersapu revolusi. Jadi bisa dibilang polanya sama: begitu wakil rakyat merasa lebih pinter dari rakyat, atau nganggep rakyat cuma gangguan, ujung-ujungnya rakyat yang “ngasih tanda tangan” terakhir lewat jalanan, bahkan kalau perlu nge-reset seluruh sistem politiknya sekalian.

Asia juga punya banyak kisah epic soal DPR atau parlemen yang kelewat songong sampai akhirnya disikat rakyat. Di Korea Selatan era 1980-an, Majelis Nasional kayak cuma jadi stempel basah buat penguasa militer. Mahasiswa sama buruh ngamuk di jalanan, capek karena aspirasinya dicuekin. Demo besar yang disebut June Struggle tahun 1987 bikin pemerintah akhirnya nyerah dan bikin reformasi. Dari situ, parlemen mereka jadi beneran lebih representatif, bukan sekadar pajangan.
Di Taiwan juga begitu. Puluhan tahun, Legislative Yuan dikuasai Partai Kuomintang yang ngaku mewakili seluruh Tiongkok, tapi malah cuek sama rakyat Taiwan sendiri. Akhirnya, demo gede-gedean tahun 80-an dan 90-an memaksa mereka buka pintu demokratisasi.
Nah, kalau Thailand malah lebih drama lagi. Parlemen di sana berkali-kali dibubarin, bahkan digulingin. Rakyat muak karena anggota parlemen lebih sibuk ngurus kepentingan elite ketimbang dengerin suara rakyat. Demo, pendudukan gedung parlemen, sampai kudeta, semua jadi reaksi langsung atas politisi yang nganggep suara rakyat kayak sampah. Jadi, cerita-cerita Asia ini intinya sama: kalau lembaga wakil rakyat kebablasan, sok pintar, dan makin jauh dari rakyat, biasanya rakyat nggak segan kasih pelajaran—kadang lewat kotak suara, kadang lewat aksi jalanan.

Kalau kita taruh kerusuhan Indonesia Agustus 2025 di peta sejarah dunia, polanya tuh kayak deja vu. Kayak Prancis 1789, wakil rakyat sibuk debat sementara rakyat kelaparan; atau kayak Senat Romawi yang makin sok elit sampai nggak nyambung sama rakyat. Nah, DPR RI juga lagi dituding ngikutin jalur itu. Bayangin aja, mereka ngusulin tunjangan rumah 50 juta per bulan, sementara rakyat ngelawan harga pangan, biaya sekolah, sama ancaman PHK. Udah jelas citranya jadi kayak benteng privilege, bukan lagi rumah wakil rakyat. Tragedi Affan Kurniawan yang dilindas rantis pun langsung berubah jadi simbol jurang antara penguasa dan rakyat jelata.
Kondisi ini mirip banget sama Korea Selatan era 80-an atau Taiwan sebelum reformasi. DPR kita sekarang lagi diuji: kalau cuek dan nganggep protes cuma ribut-ribut receh, siap-siap aja ribut itu jadi raungan gede yang nggak bisa dibungkam. Tapi kalau mereka belajar dari sejarah, masih ada jalan buat berubah jadi lembaga yang beneran dengerin rakyat, ikut ngerasain susahnya rakyat, dan akhirnya dipercaya lagi. Sejarah dari Prancis, Roma, Rusia, Korea, Taiwan, sampai Thailand udah kasih warning keras: begitu parlemen nganggep rakyat kayak gangguan, rakyat nggak diem—mereka ngumpul, mereka bangkit. Jadi, keramaian di luar pagar Senayan itu bukan sekadar ribut, tapi alarm: kalau pondasi kepercayaan hancur, atap politik bisa runtuh kapan aja.

Sejarah dunia udah sering banget nyatet momen dimana polisi, yang harusnya jadi pelindung rakyat, malah jadi musuh publik nomor satu. Di Amerika tahun 1992 misalnya, kasus pemukulan Rodney King sama polisi LA yang pelakunya bebas di pengadilan bikin kota kebakar beneran. Rakyat ngamuk, jalanan penuh api, gedung-gedung dijarah, dan seragam polisi jadi simbol kekerasan, bukan lagi perlindungan.
Di Mesir tahun 2011 juga lebih gila lagi. Polisi yang udah lama terkenal brutal, korup, dan doyan nangkep orang sembarangan akhirnya kena karma. Tanggal 28 Januari yang dikenal sebagai “Jumat Kemarahan,” rakyat nyerbu kantor-kantor polisi, bakar markas, dan bikin aparat kabur dari jalanan. Dari situ rezim Mubarak langsung goyah. Amarah rakyat bukan soal politik di atas kertas, tapi soal ketakutan sehari-hari sama aparat yang harusnya ngasih rasa aman.
Dekat ke Asia Tenggara, Filipina zaman Marcos juga punya kisah kelam. Polisi di sana, yang udah nyatu sama militer, terkenal ganas ngegas demo dan nindas oposisi. Pembunuhan Benigno Aquino Jr. plus serangkaian pelanggaran aparat bikin rakyat meledak. People Power Revolution tahun 1986 pun pecah, jalanan dipenuhi warga yang ngelawan tank sama barisan polisi cuma dengan keberanian. Dari situ jelas banget: begitu polisi berubah dari pelindung jadi predator, kepercayaan rakyat bisa rontok seketika.
Polanya kelihatan jelas: satu insiden aja—entah itu pemukulan brutal, penembakan di depan umum, atau tragedi orang dilindas mobil taktis—bisa jadi pemantik revolusi massal.

Tragedi Affan Kurniawan 28 Agustus 2025 itu kerasa banget kayak deja vu sejarah dunia. Bukan sekadar kecelakaan, tapi pemicu yang buka borok hubungan antara aparat dan rakyat. Di Los Angeles tahun 1992, pemukulan Rodney King plus vonis bebas polisi yang mukulin doi bikin rakyat merasa sistem udah total nyebelin. Jalanan pun meledak, karena rasa sakit rakyat dianggap sepele sama penguasa.
Di Kairo tahun 2011, “Jumat Kemarahan” jadi titik balik. Puluhan tahun polisi ngasih teror dan represi, akhirnya rakyat nyerbu kantor-kantor polisi, bakar markas, dan aparat dianggap udah nggak punya legitimasi. Demo di sana bukan lagi soal politik abstrak, tapi tentang pengen bebas dari ketakutan tiap kali ketemu seragam.
Indonesia versi 28 Agustus juga punya makna simbolik serupa. Kematian Affan di bawah ban rantis brimob nggak dilihat sebagai kecelakaan, tapi sebagai lambang keangkuhan dan ketidakpedulian. Sama kayak video pemukulan Rodney King atau kantor polisi Mesir yang diserbu, peristiwa itu bikin duka berubah jadi kemarahan kolektif. Pesannya jelas: polisi bukan penguasa, tapi pelayan masyarakat. Dan polanya bikin merinding: percikan memang tiba-tiba, tapi bensinnya udah ditumpuk lama—dari represi, dari arogansi, dari rasa rakyat dianggap remeh.

Sejarah dunia punya banyak contoh wakil rakyat atau elit politik yang kelewat belagu, ngeledekin rakyatnya sendiri sebagai tolol, bego, atau nggak paham apa-apa. Hasilnya? Malah bikin rakyat ngamuk habis-habisan. Di Prancis sebelum Revolusi, para bangsawan dan anggota dewan sering ngeremehin kaum jelata, bilang mereka nggak ngerti urusan negara. Padahal rakyat cuma minta roti murah dan pajak adil. Ejekan itu jadi bensin tambahan, akhirnya Bastille diserbu, dan rezim tua rontok. Jadi jelas banget, nyebut rakyat bodoh itu biasanya jadi blunder terakhir penguasa.
Di Inggris abad ke-19 juga ada cerita serupa. Anggota Parlemen ngejek aktivis kelas pekerja dari gerakan Chartist, bilang mereka cuma “massa nggak berpendidikan.” Tapi bukannya bubar, malah makin kompak dan bikin tuntutan hak pilih makin kuat. Hinaan itu malah jadi vitamin perjuangan, dan akhirnya reformasi mereka masuk ke sistem demokrasi Inggris.
Lebih deket lagi, saat Arab Spring, politisi Tunisia dan Mesir sering nyinyirin demonstran, dibilang “anak kecil” atau “orang bego yang gampang diprovokasi.” Ada anggota parlemen Tunisia yang bahkan nyepelein aksi bakar diri Bouazizi sebagai hal konyol. Hasilnya? Dalam hitungan minggu, hinaan itu jadi gema revolusi yang ngejatuhin presiden sekaligus ngeguncang seluruh kawasan.
Pesannya gampang: kalau DPR atau parlemen nyebut rakyatnya tolol, mereka kira udah ngebungkam suara rakyat. Padahal yang mereka lakuin cuma nulis prolog buat drama kejatuhan mereka sendiri.

Kalau ditarik benang merah dari Prancis 1789, Inggris abad 19, Tunisia 2011, sampai Indonesia 2025, polanya jelas banget: tiap kali wakil rakyat malah ngehina rakyat, hinaan itu berubah jadi bibit pemberontakan. Di Prancis, bangsawan dan anggota dewan ngatain rakyat jelata bego dan nggak ngerti apa-apa, tapi justru “petani tolol” itu yang ngegulingin kerajaan. Di Inggris, Chartist diejek cuma massa lugu, tapi justru ide mereka yang akhirnya jadi fondasi demokrasi modern. Di Tunisia, aksi putus asa Bouazizi ditertawain politisi, dianggap nggak ada artinya, eh malah jadi api yang nyulut revolusi seluruh dunia Arab. Dan sekarang di Indonesia, sebutan “tolol” dari seorang anggota DPR kena pas banget di hati rakyat yang udah kepedesan sama krisis ekonomi dan muak sama politik yang nggak karuan.
Polanya gampang dibaca: makin pongah mulut penguasa, makin gampang marah rakyat berubah jadi gerakan. Kata-kata yang dilontarkan di gedung parlemen mungkin terdengar kecil, tapi gaungnya paling kenceng di jalanan, tempat kekuatan asli rakyat ada. Sejarah udah bolak-balik ngasih warning: ngehina rakyat bukan tanda kekuatan, tapi pembukaan babak kejatuhan.

Hinaan yang saling dilontarkan di kursi DPR dan kekerasan yang tumpah dari barisan polisi itu bukan sekadar emosi dadakan, tapi gejala dari penyakit yang lebih dalam: hilangnya kepercayaan. Begitu rakyat curiga bahwa anggota DPR hanya menganggap mereka pion, dan polisi melihat mereka sebagai penghalang ketimbang orang yang harus dilindungi, kontrak sosial yang rapuh itu goyang hebat. Kepercayaan adalah mata uang tak kasat mata dalam demokrasi; begitu dihambur-hamburkan, bahkan institusi paling megah pun jadi telanjang, kehilangan wibawa di depan rakyatnya.
Di zaman ketika teknologi bikin informasi melesat lebih cepat dari gosip di warung kopi, pejabat Indonesia harus hati-hati banget sama omongan mereka. Kata-kata yang dulu bisa ditelan mentah-mentah sama masyarakat, sekarang udah langsung diiris, dipretelin, dan dicek faktanya cuma dalam hitungan menit sama rakyat yang modalnya cuman HP dan kuota. Kebiasaan ngeremehin kecerdasan publik dengan janji-janji kosong, narasi ngaco, atau celetukan asal-asalan udah nggak laku lagi di era keterbukaan digital. Satu kalimat yang niatnya cuma lewat bisa langsung jadi kontroversi nasional, ngebuka borok ketidakbecusan, keangkuhan, atau bahkan kebohongan. Jadi, bukan cuma saran, tapi udah keharusan buat pejabat ngomong dengan akurat, rendah hati, dan penuh hormat, kalau nggak mau ucapannya jadi senjata makan tuan.

Akan tetapi, di antara kata-kata sembrono dan krisis kepercayaan, masih ada peluang untuk ditebus. DPR bisa belajar lagi rendah hati, polisi bisa balik ke tugas utamanya melindungi, dan bangsa bisa ketemu lagi rasa persatuannya. Tapi kalau keangkuhan masih dipelihara, sejarah sudah berkali-kali ngasih spoiler bahwa akan datang waktunya rakyat berkata: cukup sudah, game over.

Di tengah riuhnya rakyat bentrok sama DPR dan polisi, tiba-tiba nongol sebuah pernyataan nyentrik: “Prabowo nggak mampu jaga keamanan, jadi harus mundur.” Yang bikin heboh, ucapan itu bukan datang dari gerakan rakyat biasa atau kelompok reformis, tapi dari mereka yang menamai diri Laskar Cinta Jokowi—gabungan kata yang kedengarannya romantis, tapi sebenernya sarat ambisi politik. Pernyataan itu terasa bukan sebagai ajakan tulus buat ngejagain stabilitas, melainkan provokasi yang sengaja ditata biar bikin resah, seolah-olah kekacauan bukan lagi gejala tapi sudah vonis. Dengan label penuh cinta-cintaan itu, mereka coba bungkus manuvernya biar tampak manis dan loyal, padahal di balik branding mesra itu ada permainan politik keras, yang kesannya bukan buat beresin masalah, tapi buat bikin jalan cerita bahwa chaos ini wajar dijadikan alasan buat ngegeser kekuasaan.
Teringat film Hollywood Air Force One (1997), Wapres yang diperanin Glenn Close emang nggak langsung nusuk Presiden, tapi film itu nunjukin jelas banget kalau posisi Wapres bisa super rapuh—di antara loyalitas total sama Presiden sama godaan atau kebutuhan buat ambil alih kekuasaan kalau lagi krisis. Ketegangan ala film ini mirip banget sama politik nyata, dimana jabatan Wapres nggak pernah lepas dari kecurigaan. Pas keadaan lagi gonjang-ganjing, publik dan orang-orang di lingkaran politik biasanya ngelihat Wapres bukan cuma sebagai deputi setia, tapi juga kayak pewaris diam-diam yang siap naik tahta kalau mesin kepemimpinan mulai macet. Di persimpangan tipis antara loyalitas dan ambisi ini, politik keliatan kayak teater rapi—setiap gerakan, lirikan, dan kata dianalisis sebagai kode niat tersembunyi.

Dalam Absolute Power (1997), Clint Eastwood bukan cuma main film—doski masuk ke sarang kekuasaan yang penuh jebakan. Di sana, bukan Wapres yang jadi dalang, tapi orang-orang dekat Presiden yang main dua kaki. Intrik politiknya? Lebih ribet dari skenario sinetron jam prime time. Kalau di Indonesia, mungkin udah ada adegan lempar map dan tatapan tajam sambil bilang, “Saya kecewa, Pak Presiden…”
Lanjut ke 24, serial TV yang cocok ditonton sambil makan mi instan tengah malam. Di sini, Wapres bukan cuma ambisius—doi ikut plot kudeta! Kalau ini sinetron lokal, pasti ada adegan Wapres berdiri di balkon Istana, angin meniup jasnya, lalu berkata pelan, “Sudah waktunya saya memimpin negeri ini…”
Hollywood tahu betul: Wapres itu karakter yang gurih. Harusnya jadi “second-in-command”, tapi bisa berubah jadi “second-to-betray”. Cocok banget buat drama—penuh ambisi, penuh rahasia, dan selalu siap bilang, “Saya hanya ingin yang terbaik untuk negeri ini…” sambil senyum tipis penuh makna.

English