Selasa, 12 Agustus 2025

Pemimpin Tak Bermahkota

Di panggung hiburan politik lokal, Bupati Pati, Sudewo, sukses banget jadi aktor serba bisa: sekaligus main peran sebagai tukang pungut pajak dan provokator. Bayangin aja, pajak bumi dan bangunan dinaikin 250 persen, terus doi nyeletuk kayak MC konser, “Ayo ramein, 5.000 orang… kalau perlu 50.000 sekalian!” seolah kemarahan warga itu tontonan. Nggak cukup bikin dompet warga megap-megap, doski juga bikin koridor RSUD Soewondo jadi sepi dengan nge-cut 220 pegawainya tanpa salam perpisahan apalagi pesangon. Ujung-ujungnya memang minta maaf sambil cabut kebijakan pajak itu, tapi rasanya dingin kayak SMS penagihan utang tengah malam. Wajar aja kalau akhirnya spanduk protes, toa, dan teriakan “Mundur secara ksatria!” nyebar dimana-mana —atau kalau enggak, ya siap-siap diusir panggung sama penonton yang udah kelewat kesal.
Saking jengkelnya, warga sampai iseng main akrobat bahasa pakai nama beliau. “Sudewo” dibaca dari belakang jadi "O wedus" sebuah ungkapan dalam Bahasa Jawa yang kalau diucap, nadanya itu lho… nyentil banget, penuh rasa kesel yang nggak cukup diwakilin kata-kata kasar biasa. Jadilah ini semacam kode rahasia sekaligus bahan tawa bareng: dibisik-bisikin di pasar, diteriakin pas demo, sampai ditulis di karton protes dengan gaya nyeleneh. Di mulut orang yang udah capek banget, plesetan ini berubah jadi meme budaya—semacam tamparan verbal yang gak perlu diterjemahin, dan yang pasti bikin Pak Bupati ngerti.”
Akhirnya, drama Bupati Sudewo ini udah bukan lagi soal kebijakan, tapi udah kayak pertunjukan seni panggung—tragikomedi dimana pemeran utamanya ngeyel kagak mau turun, padahal penonton udah bersorak “huu” sambil nyiulin, bahkan ada yang kreatif nyusun ulang namanya jadi bahan tertawaan. Setiap pencabutan kebijakan, setiap permintaan maaf, setiap usaha tambal-sulam citra… semua kerasa kayak encore yang gak pernah diminta. Tapi warga kayaknya udah siap bikin “tirai penutup” versi mereka sendiri—dan kalau sampai kejadian, rasanya bakal lebih keras, lebih nyelekit, dan jauh lebih diingat daripada naskah apapun yang udah disiapin Pak Bupati buat dirinya.
Kelakuan Bupati Sudewo ini contoh nyata pemimpin yang salah kaprah—ngira gaya ngegas itu berani, dan provokasi itu bentuk “merangkul rakyat”. Naikin pajak 250 persen ke warga biasa jelas nunjukin dua kemungkinan: entah doski kagak paham banget susahnya hidup rakyat, atau ya emang cuek bebek sama penderitaan mereka. Ucapan “Ayo bawa 5.000, kalau perlu 50.000 orang” itu bukan bukti keterbukaan demokrasi, tapi lebih mirip gaya sok jagoan yang ngegelitik sarang tawon terus kaget pas disengat. Nge-cut ratusan pegawai RSUD tanpa pesangon makin bikin jelas betapa nyantainya doi mainin nasib orang. Ini bukan sekadar salah urus—tapi udah masuk level ngerusak kepercayaan publik, nurunin martabat jabatan, dan bikin rakyat makin sinis sama institusi pemerintahan. Dalam demokrasi yang sehat, pemimpin model begini bukan cuma gak layak memimpin, tapi juga memang sepantasnya dicopot demi nyelamatin masa depan warganya.

Dalam The Art of the Leader (1990, Prentice Hall), William A. Cohen ngejelasin kalau pemimpin sejati itu fondasinya ada di pelayanan, kerendahan hati, dan nyambung sama orang yang dipimpin. Kalau pemimpin malah milih gengsi pribadi atau pamer arogansi ketimbang empati, ya siap-siap ditinggalin sama rakyat yang jadi sumber sahnya kekuasaan itu sendiri. Kasus Bupati Sudewo ini textbook banget: naikin pajak sampai 250 persen plus nantangin warga demo rame-rame jelas masuk kategori “memimpin dari atas, bukan dari samping” kayak yang dibilang Cohen. Kesannya kayak raja yang ngatur rakyat, bukan pemimpin yang bareng-bareng jalan sama mereka. Efeknya? Kepercayaan publik anjlok kayak saham kena isu skandal.
Cohen juga ngingetin, kalau pemimpin nggak peduli sama kesejahteraan anak buah—contohnya nge-cut 220 pegawai RSUD tanpa pesangon—itu bukan cuma manajemen yang buruk, tapi juga tanda doski udah jauh dari sisi manusianya seorang pemimpin. Ini nabrak banget prinsip “care for your people” yang menurut Cohen wajib banget buat bikin loyalitas dan rasa hormat tumbuh. Kalau udah gagal di titik ini, mau minta maaf atau cabut kebijakan pun seringnya cuma jadi basa-basi, karena yang kena itu akarnya: gak ada rasa tulus buat mikirin rakyat.
Kalau make kacamata Cohen, kelakuan Bupati Sudewo ini udah jelas nunjukin bahayanya jadi pemimpin tanpa landasan moral yang kokoh. Lebih milih provokasi ketimbang dialog, lebih doyan kontrol ketimbang kolaborasi—hasilnya bukan cuma reputasi pribadi yang hancur, tapi martabat jabatannya juga ikut jatuh. Dalam bahasa Cohen, pemimpin yang udah gak bisa balikin kepercayaan rakyat, sebaiknya mundur aja, karena bertahan dalam kondisi kayak gini nggak ada untungnya, baik buat doi sendiri maupun buat masyarakatnya.

Dalam bab pertama buku The Art of the Leader, penulis langsung ngebuka mata kita: jadi pemimpin itu bukan soal jabatan, tapi soal sikap dan aksi nyata. Cohen bilang, siapa pun bisa jadi pemimpin asal berani ambil inisiatif, punya integritas, dan bisa ngasih pengaruh lewat contoh, bukan cuma omongan.
Doi banyak cerita dari pengalamannya di militer, khususnya di Angkatan Udara AS, buat nunjukin gimana kepemimpinan itu muncul justru pas situasi lagi kacau. Pemimpin sejati itu yang bisa ambil keputusan, bikin tim tetap semangat, dan ngarahin semua orang ke tujuan bersama meski kondisi lagi seret.
Yang paling keren, Cohen ngenalin istilah “pemimpin tanpa mahkota”—alias orang yang nggak punya jabatan resmi tapi tetap dihormati dan diikuti karena sikapnya. Jadi, intinya: loe nggak perlu nunggu jadi bos dulu buat jadi pemimpin. Mulai aja dari tempat loe berdiri sekarang.

Konsep “pemimpin tanpa mahkota” ala William A. Cohen tuh sebenernya udah lama hidup di budaya kita. Gak perlu jadi pejabat buat didengar dan dihormati. Lihat aja Buya Hamka—gak pernah duduk di kursi politik, tapi omongannya jadi pegangan hidup banyak orang. Dari tulisan-tulisannya sampai ceramahnya, beliau jadi kompas moral bangsa.
Di level akar rumput, banyak juga tokoh-tokoh yang layak disebut pemimpin tanpa mahkota. Misalnya ibu-ibu ketua RT yang selalu sigap pas banjir, abang warung yang jadi tempat curhat warga, atau aktivis lokal yang ngurus pendidikan anak-anak jalanan. Mereka gak punya jabatan resmi, tapi kalau mereka ngomong, semua orang denger. Kalau mereka gerak, warga ikut.
Beda banget sama pejabat kayak Bupati Sudewo—punya jabatan, tapi rakyat malah minta doi turun. Pemimpin tanpa mahkota tuh gak perlu panggung, karena panggungnya adalah kepercayaan rakyat. Mereka gak minta dihormati, tapi justru dihormati karena sikap dan aksi nyata.

Di Bab Dua buku The Art of the Leader, yang dibahas tuh soal “ambil alih kendali”—alias inti dari kepemimpinan sejati. Cohen bilang, pemimpin itu bukan yang nunggu disuruh, tapi yang langsung maju pas situasi lagi nggak jelas. Doski ambil keputusan, tanggungjawab, dan nggak takut salah langkah asal niatnya bener.
Cohen banyak ambil contoh dari dunia militer, nunjukin kalau jadi pemimpin itu soal nyali dan inisiatif. Loe nggak harus punya jabatan buat jadi pemimpin—yang penting loe peka ama situasi dan berani ambil tindakan. Pemimpin sejati itu yang bisa baca momen, ambil risiko, dan tetap jalan meski tantangannya berat.
Bab Dua ngajarin kita: kalau loe nunggu semuanya pasti dulu, loe gak bakal jadi pemimpin. Tapi kalau loe berani maju, meski belum semua jelas, loe udah selangkah lebih dekat ke kepemimpinan yang sesungguhnya.

Di Bab Tiga buku The Art of the Leader, Cohen bahas soal gimana caranya jadi pemimpin yang bisa ngaruh ke orang lain tanpa harus maksa atau sok berkuasa. Ada tiga cara yang dia bahas: manipulasi, bujukan, dan inspirasiManipulasi itu kayak pemimpin yang main strategi licik—bisa berhasil sebentar, tapi bikin orang jadi nggak percaya dan males nurut. Bujukan lebih halus, pakai logika dan argumen. Cocok buat orang yang mikir panjang. Nah, yang paling nendang? Inspirasi. Pemimpin yang bisa bikin orang semangat karena doi sendiri jadi contoh hidup. Gaya kepemimpinan yang bikin orang bilang, “Gue mau ikutan ama doski, bukan karena disuruh, tapi karena percaya.”
Cohen ambil contoh dari dunia militer dan bisnis, nunjukin kalau pemimpin yang bisa ngasih inspirasi itu bikin timnya loyal dan semangat, bahkan pas lagi susah. Intinya, pemimpin sejati itu bukan yang ngatur-ngatur, tapi yang bikin orang lain pengen ikut dengan hati.

Di Bab Empat, Cohen bahas soal satu hal yang bikin pemimpin beneran beda dari sekadar bos: keputusan. Menurutnya, pemimpin itu ya orang yang berani mutusin sesuatu, bahkan pas lagi ribet, data belum lengkap, dan semua orang masih debat. Kalau nunggu semuanya pasti dulu, ya kelamaan—tim keburu bubar, masalah keburu meledak.
Cohen ngambil contoh dari dunia militer, dimana kadang harus ambil keputusan dalam hitungan detik. Nggak bisa nunggu polling atau bikin rapat Zoom dulu. Doi bilang, lebih baik salah tapi gerak, daripada bener tapi cuma bengong.
Keberanian itu bukan cuma soal mental baja, tapi emang syarat kerja. Pemimpin harus siap ambil risiko, dan nggak bisa lempar tanggungjawab ke anak buah. Tugas boleh didelegasiin, tapi dampak keputusan tetap tanggungjawab sang pemimpin.
Dan satu hal yang Cohen wanti-wanti: jangan terjebak jadi “tukang mikir” yang nggak pernah jalan. Analisis itu penting, tapi kalau kebanyakan, bisa jadi alasan buat nggak ngapa-ngapain. Pemimpin sejati itu bukan yang paling pinter mikir, tapi yang paling berani mutusin dan jalanin.

Di Bab Lima, Cohen ngebahas soal morale alias semangat tim. Tapi bukan sekadar “ayo semangat ya!” ala motivator Instagram atau "Kerja, kerja, kerja!" ala Spin Dictators. Doski bilang, semangat itu bukan pelengkap, tapi senjata utama buat bikin tim bisa kerja maksimal, tahan banting, dan kompak.
Cohen ambil contoh dari dunia militer dan kantor, nunjukin kalau semangat itu nentuin banget hasil kerja. Pemimpin yang cuma ngatur tugas tapi nggak peduli suasana hati tim, ya siap-siap aja dapet hasil yang setengah hati.
Menurut Cohen, semangat itu lahir dari tiga hal: misi yang jelas, pengakuan atas usaha, dan rasa punya tempat. Kalau pemimpin bisa ngomong jujur, ngasih apresiasi, dan jadi contoh hidup dari nilai-nilai yang doi omongin, tim bakal loyal dan total.
Tapi kalau semangat diabaikan? Ya siap-siap dapet tim yang kerja asal lewat, gampang cabut, dan nggak punya rasa bangga. Cohen tegas: morale itu bukan hal lembek—itu fondasi keras yang bikin tim tetep berdiri pas badai datang.

Di Bab Enam, Cohen bahas satu prinsip yang sering dilupakan tapi paling ngena: pemimpin harus jadi contoh hidup. Bukan cuma jago ngomong, tapi juga jago nunjukin lewat tindakan. Soalnya, orang lebih percaya apa yang dilihat daripada apa yang didengar.
Cohen ambil contoh dari dunia militer, dimana perwira yang ikut susah bareng pasukannya bakal dapet rasa hormat yang tulus. Kalau pemimpin mau timnya disiplin, ya doski kudu jadi yang paling disiplin dulu. Mau tim kerja keras? Ya doi harus jadi yang paling rajin.
Mulai dari cara berpakaian, datang tepat waktu, etos kerja, sampai sikap moral—semua itu jadi cermin buat tim. Cohen tegas bilang: pemimpin yang omongnya beda sama kelakuannya itu kayak influencer endorse produk yang dia sendiri nggak pernah pakai—nggak bakal dipercaya.
Menurut Cohen, jadi contoh itu bukan pilihan gaya, tapi syarat utama buat bisa ngaruh dan dihormati. Pemimpin yang cuma jago teori tapi nggak jalanin sendiri, ya siap-siap ditinggal timnya pelan-pelan.

Di Bab Tujuh, Cohen bahas soal komunikasi sebagai nyawa dari kepemimpinan. Doi bilang, strategi sehebat apapun nggak ada gunanya kalau nggak bisa dijelasin dengan jelas ke tim. Komunikasi itu bukan cuma soal nyampein info, tapi soal bikin orang ngerti, percaya, dan mau gerak bareng.
Cohen ambil contoh dari dunia militer dan bisnis, nunjukin kalau komunikasi yang kacau bisa bikin tim bingung, semangat drop, dan kerjaan berantakan. Pemimpin harus jago ngomong di depan umum, nulis memo, ngobrol santai, bahkan lewat bahasa tubuh. Semua itu penting.
Yang paling Cohen wanti-wanti: jangan bikin pesan yang ambigu atau dua makna. Pemimpin yang ngomongnya muter-muter atau beda antara kata dan sikap, bakal bikin tim bingung dan gak percaya. Buat Cohen, komunikasi itu bukan skill tambahan—itu senjata strategis yang harus diasah terus.

Di Bab Delapan, Cohen bahas prinsip yang sering dilupakan di dunia kerja: pemimpin itu harus jagain orang-orangnya. Bukan cuma soal ngejar target atau bikin aturan, tapi soal benar-benar peduli sama kesejahteraan, perkembangan, dan harga diri tim.
Cohen bilang, kalau pemimpin tulus merhatiin orang-orangnya—bukan basa-basi atau pencitraan—tim bakal kasih balik loyalitas, semangat, dan inisiatif yang nggak bisa dibeli. Dan perhatian itu harus kelihatan, konsisten, dan dari hati. Bukan trik manajemen, tapi komitmen moral.
Doski ngambil contoh dari militer dan dunia kerja, nunjukin kalau pemimpin yang bela timnya, dengerin kebutuhan mereka, dan bantu mereka berkembang, jauh lebih dihormati daripada yang cuma nyuruh-nyuruh dari balik meja. Cohen wanti-wanti: jangan perlakukan orang kayak alat produksi atau angka di spreadsheet.
Buat Cohen, ukuran pemimpin sejati itu bukan berapa banyak anak buah yang doi punya, tapi seberapa baik doi bisa ngangkat dan jagain mereka. Kepemimpinan itu bukan soal posisi, tapi soal hubungan yang dibangun atas dasar kepercayaan, empati, dan rasa hormat.

Di Bab Sembilan, Cohen bahas soal satu hal yang bikin pemimpin beda dari sekadar manajer: bikin timnya berkembang. Doi bilang, tugas pemimpin bukan cuma ngatur-ngatur, tapi juga ngasih ruang buat anak buahnya tumbuh dan bersinar.
Dan ini bukan cuma soal ngirim orang ikut pelatihan. Cohen bilang, pengembangan itu bisa lewat mentoring, kasih masukan yang jujur, tantangan baru, dan dorongan buat berani ambil inisiatif. Pemimpin itu harus jadi guru, pelatih, dan panutan.
Cohen juga wanti-wanti: jangan pelit ilmu atau takut anak buah jadi lebih jago. Justru kalau tim makin kuat, pemimpin makin berdampak. Buat Cohen, pemimpin hebat itu bukan yang paling bersinar sendirian, tapi yang bisa bikin banyak orang bersinar bareng.

Kalau ngikutin logika Cohen di Bab Sembilan, gaya kepemimpinan yang sengaja bikin timnya tetap “bergantung” itu bisa dibilang kayak bos-bos insecure yang takut kehilangan spotlight. Mereka suka nahan info, bikin aturan ribet, atau nyebar rasa takut yang dikemas rapi jadi “disiplin.” Keliatannya sih tegas, tapi sebenernya cuma bikin kerajaan pasir—rapuh banget kalau si bos lagi nggak ada.
Cohen bilang, ngembangin orang itu bukan cuma soal etika, tapi juga strategi jangka panjang. Pemimpin yang takut anak buahnya lebih jago itu sebenernya lagi nunjukin rasa minder. Mereka kira kontrol itu sama dengan kompetensi. Padahal, pemimpin paling kompeten itu justru yang bisa bikin penerus, bukan yang sibuk ngeblok potensi orang lain.
Kritik ini makin tajam kalau kita lihat konteks dimana jabatan dianggap kayak harta pribadi, bukan amanah publik. Cohen ngajak kita mikir ulang: jadi pemimpin itu bukan soal punya kuasa, tapi soal ngasih daya. Bukan soal jadi pusat perhatian, tapi soal bikin banyak orang bisa berdiri sendiri.

Di Bab Sepuluh, Cohen ngajarin satu prinsip yang sering banget dilanggar sama pemimpin: jangan berhenti pas lagi menang. Banyak orang, begitu dapet hasil bagus, malah santai, mundur, atau jadi terlalu hati-hati. Cohen bilang, itu kesalahan besar.
Doi ngambil inspirasi dari strategi militer—kayak Sun Tzu dan Clausewitz—yang bilang: kalau udah dapet momentum, harus dimaksimalkan. Jangan cuma puas sama satu kemenangan. Harus dijadiin batu loncatan buat menang lebih besar lagi.
Cohen juga wanti-wanti soal godaan buat “main aman” setelah sukses. Katanya, kalau kita ragu-ragu, lawan bisa bangkit lagi. Jadi, pemimpin harus berani ambil keputusan cepat, manfaatin momen, dan terus maju. Buat Cohen, “eksploitasi kemenangan” itu bukan soal sombong, tapi soal tahu kapan harus ngebut.

Di Bab Sebelas, Cohen bahas soal ngatur suhu emosi dalam tim. Maksudnya, pemimpin harus bisa jaga suasana tetep adem, apalagi pas lagi ada konflik, stres, atau drama kantor. Bukan malah ikut panas atau bungkam total, tapi jadi penyeimbang yang bikin semua orang bisa mikir jernih.
Cohen juga bilang, pemimpin nggak harus turun tangan di semua masalah. Justru, pas suasana lagi tegang, penting banget buat delegasi. Kalau semua dipegang sendiri, ya capek sendiri. Pemimpin harus percaya sama timnya, kasih tanggungjawab, dan biarin mereka belajar ngadepin tantangan.
Buat Cohen, konflik itu bukan musuh. Asal bisa diatur dengan bijak, konflik bisa jadi momen buat tim tumbuh dan makin solid. Tapi ya itu tadi—pemimpin harus tahu kapan harus jadi pendingin, bukan pemantik.

Di Bab Dua Belas, Cohen bahas soal keputusan. Doi bilang, pemimpin yang gak berani ambil keputusan itu kayak sopir yang berhenti di tengah jalan nunggu GPS kasih jawaban pasti—ujung-ujungnya bikin macet dan bikin tim bingung.
Cohen percaya, kadang kita harus ambil keputusan meski datanya belum lengkap. Nunggu semua jelas itu bisa bikin kita kelewatan momen emas. Doi ngasih contoh dari dunia militer dan bisnis: keputusan yang berani, walau nggak sempurna, sering lebih baik daripada nggak ngapa-ngapain.
Tapi Cohen juga nggak ngajak asal nekat. Doski bilang, pemimpin harus punya nyali buat milih, rendah hati buat koreksi, dan komitmen buat jalanin. Buat doi, ngambil keputusan itu bukan cuma soal teknis, tapi soal tanggungjawab moral. Kalau pemimpin gak mau milih, ya artinya doi milih buat ngebiarin timnya hanyut tanpa arah.

Di Bab Tiga Belas, Cohen bahas soal pentingnya inisiatif. Doi bilang, pemimpin hebat itu bukan yang bikin timnya patuh kayak robot, tapi yang bikin orang-orangnya berani gerak duluan, tanpa harus nunggu aba-aba.
Buat Cohen, inisiatif itu sumber energi buat inovasi dan daya tahan. Pemimpin yang takut kehilangan kontrol biasanya malah bikin timnya mandek. Padahal, kalau semua orang punya semangat buat ambil langkah sendiri, hasilnya bisa jauh lebih keren.
Cohen juga kritik keras gaya kepemimpinan yang suka hukum orang karena “keluar jalur.” Katanya, kesalahan karena inisiatif itu lebih berharga daripada patuh tapi pasif. Pemimpin harus bikin suasana aman secara psikologis, kasih apresiasi buat yang proaktif, dan jadi contoh keberanian buat ambil tindakan.
Intinya, Cohen memandang inisiatif bukan sebagai bonus, tapi sebagai keharusan—apalagi di dunia yang serba cepat dan penuh tekanan. Tim yang cuma nunggu perintah itu tim yang bakal ketinggalan.

Prinsip Cohen soal inisiatif itu cocok banget buat nyentil gaya kepemimpinan birokratis yang suka banget sama hierarki dan prosedur. Di sistem kayak gini, orang-orang sering dilarang mikir sendiri atau ambil tindakan tanpa “izin resmi.” Akibatnya? Budaya pasif merajalela. Masalah udah jelas di depan mata, tapi semua orang nunggu surat edaran, rapat koordinasi, atau “arahan pimpinan.”
Cohen bakal bilang: itu bukan kepemimpinan, itu kelumpuhan administratif yang disamarkan jadi ketertiban. Kalau inisiatif dimatikan, organisasi jadi lamban, gak kreatif, dan kehilangan nyali buat ambil sikap. Pemimpin yang pengen kontrol total mungkin ngerasa aman, tapi sebenernya lagi bikin tim yang takut dan tergantung.
Cohen ngajak kita buat bagi-bagi keberanian, bukan kumpulin kuasa. Doi bakal tantang birokrasi buat berhenti nyembah protokol, dan mulai bikin suasana dimana orang dipercaya buat ngambil langkah—meski belum sempurna. Soalnya, di dunia nyata, nunggu instruksi sempurna itu sama aja kayak melewatkan momen buat bikin perubahan nyata.

Di Bab Empat Belas, Cohen bahas soal pentingnya ngerti kerjaan sendiri. Doski bilang, sehebat apapun kharisma atau visi seorang pemimpin, kalau nggak paham tugasnya, ya cuma jadi bos yang modal gaya doang.
Buat Cohen, pemimpin itu harus punya kemampuan teknis, ngerti detail operasional, dan bisa ambil keputusan berdasarkan pengetahuan nyata—bukan sekadar feeling atau lempar ke anak buah. Dia kritik keras tipe pemimpin “pajangan”—yang keliatan keren tapi kosong isinya.
Cohen percaya, pemimpin harus bisa turun tangan kalau dibutuhkan, ngerti bahasa timnya, dan dapetin respek lewat keahlian yang nyata. Gak cukup cuma “memimpin dari depan,” tapi harus tahu medan yang lagi ditempuh bareng tim. Intinya, Cohen memandang penguasaan peran sebagai pondasi kredibilitas. Tanpa itu, kepemimpinan cuma jadi pertunjukan kosong.

Prinsip Cohen soal “Ngerti Kerjaan Sendiri” itu pas banget buat nyentil gaya kepemimpinan yang lebih jago tampil di depan kamera daripada ngurus isi dapur. Di banyak organisasi—apalagi yang penuh politik atau birokrasi—banyak pemimpin naik jabatan bukan karena kompetensi, tapi karena koneksi, pencitraan, atau simbol-simbol kosong.
Cohen bakal bilang: itu bahaya banget. Kalau pemimpin gak ngerti teknis kerjaannya, doi jadi tergantung sama staf, konsultan, atau tim buat nutupin kekurangannya. Delegasi sih penting, tapi kalau cuma ngandelin orang lain tanpa ngerti dasarnya, ya gampang banget dimanipulasi, salah ambil keputusan, dan kehilangan kepercayaan.
Cohen juga ngebantah keras anggapan bahwa pemimpin cuma butuh visi. Buat doi, kredibilitas itu datang dari penguasaan nyata—bukan cuma strategi abstrak, tapi juga realita lapangan yang dihadapi tim tiap hari. Pemimpin yang ngerti kerjaannya bisa nanya hal yang tepat, nangkep kejanggalan, dan bikin keputusan yang nyambung sama kenyataan.
Cohen ngajak kita buat milih substansi daripada sensasi. Pemimpin yang dihormati itu bukan yang paling heboh di panggung, tapi yang paling paham isi naskahnya.

Prinsip Cohen makin tajam kalau dipakai buat nyentil figur publik yang lebih sibuk tampil daripada kerja. Di dunia politik, banyak pemimpin yang dielu-elukan karena kharismanya, slogannya, atau kemampuannya jadi headline. Mereka jago bikin diri kelihatan, tapi sering lupa gimana caranya ngurus isi negara.
Cohen bakal bilang: itu bukan kepemimpinan, itu akting.
Doski bakal kritik keras gaya kepemimpinan yang hidup dari seremoni: potong pita, foto bareng, atau cuplikan viral. Semua itu bisa bikin tepuk tangan, tapi nggak bikin masalah selesai. Kalau pemimpin nggak bisa jelasin sistem yang doi pimpin, atau nggak ngerti dampak kebijakannya, ya doski cuma populer tapi berbahaya.
Model Cohen minta lebih. Doi pengen pemimpin yang ngerti mesin di balik pesan—yang bisa masuk ke krisis dan ngomong dengan otoritas, bukan karena hafal briefing, tapi karena paham medan. Buat Cohen, kepemimpinan sejati itu bukan di panggung, tapi di balik layar—di kerja keras yang nggak glamor, tapi penuh makna.

Kalau dirangkum dari seluruh isi bukunya, Cohen mau bilang: kepemimpinan itu bukan soal kharisma, jabatan, atau bakat bawaan—tapi soal sikap, aksi, dan komitmen. Siapa pun bisa jadi pemimpin asal mau belajar dan hidup sesuai prinsip-prinsip yang diajarkan.
Prinsip-prinsip Cohen—mulai dari berani ambil keputusan, jadi teladan, ngembangin tim, sampai ngerti kerjaan sendiri—itu bukan teori tinggi, tapi panduan hidup sehari-hari buat jadi pemimpin yang beneran berdampak.
Yang keren dari Cohen, doski nggak ngajarin jadi pemimpin yang galak atau manipulatif. Justru doi ngedorong kita buat jadi pemimpin yang peduli, berani, dan punya tanggungjawab moral. Pemimpin sejati itu bukan yang paling rame ngomong, tapi yang paling bisa diandelin pas keadaan lagi kacau.
Intinya, Cohen ngajak kita buat jadi pemimpin yang nggak cuma nyuruh, tapi juga ngangkat. Yang nggak cuma tampil, tapi juga kerja. Yang nggak cuma bikin tim jalan, tapi bikin tim berkembang.

Dan sebagai penutup yang nggak cuma formalitas, kuy kita simpen baik-baik pesan pamungkas dari Cohen: “Leadership possesses extraordinary power. It can spell the difference between triumph and disaster in anything you undertake—whether for yourself or for any group you’re part of. (Pemimpin tuh bukan cuma posisi, tapi penentu nasib. Bisa bikin hidup loe naik level, atau malah nyungsep sendirian atau barengan ama group yang ada dipihak loe.)”

[English]