Menjelang Hari Kemerdekaan, alih-alih bendera Merah-Putih berkibar di setiap gang, justru yang ramai terlihat adalah bendera
One Piece. Bukan cuma di kamar anak muda, tapi sampai ke tiang bambu pinggir jalan. Fenomena ini bukan sekadar soal nge-fans sama anime Jepang, tapi lebih dalam—seperti ada pergeseran diam-diam di akar rumput, semacam kode keras kalau rakyat (terutama generasi muda) mulai merasa jenuh dengan retorika kemerdekaan yang itu-itu aja.
Bendera bajak laut Topi Jerami, yang sebenarnya simbol pemberontakan, kebebasan, dan pencarian arti kehidupan, jadi terasa lebih nyambung dengan kenyataan hidup banyak orang—dibanding kata-kata klise tiap 17 Agustus. Buat generasi yang tiap hari dihadapkan sama dagelan politik, ketimpangan ekonomi, dan sandiwara para pemimpin, bendera One Piece bisa terasa lebih jujur. Bisa jadi, ini cara mereka teriak pelan: "Kemerdekaan itu bukan sekadar upacara, tapi pembebasan yang sesungguhnya."
Fenomena ini nunjukin pulak betapa budaya pop global bisa lebih ngena dibanding narasi lokal yang makin kehilangan greget. Mungkin buat sebagian orang, ini absurd. Tapi bagi banyak lainnya, Luffy dan kru bajak lautnya justru lebih ngegambarin harapan dan semangat perjuangan—hal yang sayangnya makin jarang ditemuin dari tokoh-tokoh negeri sendiri.
Pilihan rakyat ngibarin bendera One Piece bukannya Merah Putih bukan berarti mereka nggak cinta Indonesia. Justru sebaliknya—itu bentuk cinta yang udah terlalu sering dikecewain. Ini semacam teriakan kecewa yang dibungkus gaya fandom: kreatif, halus, tapi dalam. Di balik bendera bajak laut itu, ada rasa frustrasi yang numpuk—karena janji-janji pemimpin cuma jadi bahan pidato, karena keadilan rasanya makin jauh, dan karena rakyat merasa makin nggak dianggep.
Kemerdekaan itu idealnya soal harga diri, kesempatan, dan kesetaraan. Tapi kenyataannya? Banyak yang merasa hidup kayak jalan di treadmill—capek iya, maju kagak. Korupsi udah kayak acara harian, meritokrasi cuma dongeng, dan yang dapet jabatan bukan yang paling mampu, tapi yang paling “deket” alias "Ordal". Anak muda nganggur, sementara para elit merangkap jabatan kayak koleksi badge di game.
Dengan mengibarkan bendera One Piece, rakyat sebenarnya nggak sedang ngefans buta ama bajak laut, tapi lagi cari sosok pahlawan yang asli. Yang berani, yang punya mimpi, yang lawan ketidakadilan—kayak Luffy dan kru-nya. Ini bentuk perlawanan yang puitis, kode diam yang bilang: “Kami butuh harapan, bukan basa-basi. Kami ingin masa depan yang bisa kami yakini, bukan cuma seremoni.”
Pengibaran bendera One Piece ini nggak bisa cuma dilihat sebagai tren fandom doang—ini udah nyentuh ranah ketimpangan ekonomi dan krisis kepercayaan rakyat terhadap pejabat, pajak, dan lembaga negara. Ini semacam sindiran visual, cara rakyat nunjukin: “Kami capek.” Banyak yang ngerasa negara cuma pintar nagih setoran—baik dalam bentuk pajak maupun janji loyalitas—tapi pelit banget kasih keadilan, harapan, dan kehidupan yang layak.
Rakyat ngeliat pejabat hidup mewah, rangkap jabatan kayak koleksi kartu Yu-Gi-Oh!, sementara mereka sendiri makan aja susah, kerja susah, masa depan buram. Skandal pajak berseliweran, anggaran publik kayak labirin, dan layanan negara terasa lebih mirip game puzzle yang ngeselin. Semua ini bikin orang mikir: “Negara buat siapa sih sebenernya?”
Jadi pas mereka ngibarin bendera bajak laut, itu bukan bentuk kabur dari kenyataan, tapi justru tamparan halus ke realita. Fiksi dijadiin medium buat ngucap hal-hal yang udah lama ditahan. Ini bukan cuma protes ke elit, tapi ke sistem yang terasa curang. Tempat keadilan jadi barang mahal, dan harapan cuma dimiliki segelintir orang. Ini suara rakyat yang udah muak disuruh cinta tanah air, tapi setiap jengkal tanahnya justru makin dikuasai segelintir penguasa.