Sabtu, 02 Agustus 2025

One Piece vs Merah-Putih

Menjelang Hari Kemerdekaan, alih-alih bendera Merah-Putih berkibar di setiap gang, justru yang ramai terlihat adalah bendera One Piece. Bukan cuma di kamar anak muda, tapi sampai ke tiang bambu pinggir jalan. Fenomena ini bukan sekadar soal nge-fans sama anime Jepang, tapi lebih dalam—seperti ada pergeseran diam-diam di akar rumput, semacam kode keras kalau rakyat (terutama generasi muda) mulai merasa jenuh dengan retorika kemerdekaan yang itu-itu aja.
Bendera bajak laut Topi Jerami, yang sebenarnya simbol pemberontakan, kebebasan, dan pencarian arti kehidupan, jadi terasa lebih nyambung dengan kenyataan hidup banyak orang—dibanding kata-kata klise tiap 17 Agustus. Buat generasi yang tiap hari dihadapkan sama dagelan politik, ketimpangan ekonomi, dan sandiwara para pemimpin, bendera One Piece bisa terasa lebih jujur. Bisa jadi, ini cara mereka teriak pelan: "Kemerdekaan itu bukan sekadar upacara, tapi pembebasan yang sesungguhnya."
Fenomena ini nunjukin pulak betapa budaya pop global bisa lebih ngena dibanding narasi lokal yang makin kehilangan greget. Mungkin buat sebagian orang, ini absurd. Tapi bagi banyak lainnya, Luffy dan kru bajak lautnya justru lebih ngegambarin harapan dan semangat perjuangan—hal yang sayangnya makin jarang ditemuin dari tokoh-tokoh negeri sendiri.

Pilihan rakyat ngibarin bendera One Piece bukannya Merah Putih bukan berarti mereka nggak cinta Indonesia. Justru sebaliknya—itu bentuk cinta yang udah terlalu sering dikecewain. Ini semacam teriakan kecewa yang dibungkus gaya fandom: kreatif, halus, tapi dalam. Di balik bendera bajak laut itu, ada rasa frustrasi yang numpuk—karena janji-janji pemimpin cuma jadi bahan pidato, karena keadilan rasanya makin jauh, dan karena rakyat merasa makin nggak dianggep.
Kemerdekaan itu idealnya soal harga diri, kesempatan, dan kesetaraan. Tapi kenyataannya? Banyak yang merasa hidup kayak jalan di treadmill—capek iya, maju kagak. Korupsi udah kayak acara harian, meritokrasi cuma dongeng, dan yang dapet jabatan bukan yang paling mampu, tapi yang paling “deket” alias "Ordal". Anak muda nganggur, sementara para elit merangkap jabatan kayak koleksi badge di game.
Dengan mengibarkan bendera One Piece, rakyat sebenarnya nggak sedang ngefans buta ama bajak laut, tapi lagi cari sosok pahlawan yang asli. Yang berani, yang punya mimpi, yang lawan ketidakadilan—kayak Luffy dan kru-nya. Ini bentuk perlawanan yang puitis, kode diam yang bilang: “Kami butuh harapan, bukan basa-basi. Kami ingin masa depan yang bisa kami yakini, bukan cuma seremoni.”

Pengibaran bendera One Piece ini nggak bisa cuma dilihat sebagai tren fandom doang—ini udah nyentuh ranah ketimpangan ekonomi dan krisis kepercayaan rakyat terhadap pejabat, pajak, dan lembaga negara. Ini semacam sindiran visual, cara rakyat nunjukin: “Kami capek.” Banyak yang ngerasa negara cuma pintar nagih setoran—baik dalam bentuk pajak maupun janji loyalitas—tapi pelit banget kasih keadilan, harapan, dan kehidupan yang layak.
Rakyat ngeliat pejabat hidup mewah, rangkap jabatan kayak koleksi kartu Yu-Gi-Oh!, sementara mereka sendiri makan aja susah, kerja susah, masa depan buram. Skandal pajak berseliweran, anggaran publik kayak labirin, dan layanan negara terasa lebih mirip game puzzle yang ngeselin. Semua ini bikin orang mikir: “Negara buat siapa sih sebenernya?”
Jadi pas mereka ngibarin bendera bajak laut, itu bukan bentuk kabur dari kenyataan, tapi justru tamparan halus ke realita. Fiksi dijadiin medium buat ngucap hal-hal yang udah lama ditahan. Ini bukan cuma protes ke elit, tapi ke sistem yang terasa curang. Tempat keadilan jadi barang mahal, dan harapan cuma dimiliki segelintir orang. Ini suara rakyat yang udah muak disuruh cinta tanah air, tapi setiap jengkal tanahnya justru makin dikuasai segelintir penguasa.

Kalau ngibarin bendera One Piece langsung dicap makar, itu sih lebay banget—baik secara hukum maupun akal sehat. Dalam demokrasi, makar itu artinya usaha serius buat gulingin negara, biasanya lewat kekerasan atau konspirasi. Sementara bendera bajak laut dari anime, meski bisa dibilang nyeleneh, kagak ada sangkut pautnya sama niat mau ngejatuhin republik. Itu ekspresi simbolik—nyeleneh iya, makar jelas bukan.
Kalau ekspresi budaya dikira pemberontakan, berarti para wakil rakyat gagal nangkep pesan rakyat: mereka bukan mau ngehancurin negara, tapi justru pengen negara ini bangkit lagi, lebih adil, lebih peduli. Bendera One Piece itu bukan ajakan perang, tapi semacam meme kolosal yang bilang, “Kami kecewa, tapi masih peduli.” Kalo DPR buru-buru ngecap itu makar, yang kelihatan malah bukan ancamannya—tapi betapa tipisnya kulit para elit.
Negara yang sehat semestinya bisa nanggung kritik, walaupun kalau kritik itu dibungkus anime atau sarkasme. Kalau setiap sindiran dianggap kriminal, yang ada rakyat makin malas bicara, makin jauh dari wakilnya, dan akhirnya makin apatis. Dan itu justru berbahaya: bukan bendera anime-nya, tapi demokrasi yang makin gampang panik.

Dalam sejarah, banyak kok kejadian dimana rakyat pake simbol fiksi buat nunjukin kekecewaan, dan biasanya malah bikin penguasa panik nggak karuan. Salah satu contohnya ada di Jepang tahun 1960-an. Waktu itu mahasiswa turun ke jalan bukan pake jas almamater, tapi pake topeng Zorro dan kostum Ultraman. Bukan karena mereka mau main cosplay, tapi karena pahlawan-pahlawan itu jadi simbol perlawanan terhadap pemerintah yang dianggap korup dan cuek ama nasib rakyat kecil.
Contoh lainnya yang lebih global adalah gerakan topeng Guy Fawkes dari V for Vendetta. Muncul di protes Occupy Wall Street, terus nyebar ke Thailand, Hong Kong, sampe Chile. Masker ini jadi ikon perlawanan terhadap ketidakadilan sistemik. Padahal itu karakter fiksi, tapi justru karena fiksi, bisa nembus batas dan mewakili keresahan banyak orang. Pemerintah di beberapa negara sampe ngelarang maskernya karena takut dianggep ajakan makar—padahal yang diminta rakyat cuma keadilan dan perubahan.
Sejarah ngajarin satu hal: kalau rakyat udah kehabisan cara ngomong, mereka bakal ngomong lewat budaya pop. Lewat meme, anime, atau topeng. Bukan karena mereka pengen ngerusak negara, tapi karena mereka pengen didengar. Dan tiap kali penguasa salah nangkep sinyal ini, yang ada malah jarak makin lebar—rakyat makin jauh, pemerintah makin panik, dan akhirnya malah makin chaos.

Ada beberapa rujukan yang ngebahas gimana rakyat nge-ekspresiin rasa kecewanya ke penguasa lewat simbol, budaya pop, sampai aksi diam-diam. Salah satunya adalah "Weapons of the Weak" karya James C. Scott (Yale University Press, 1985). Buku ini ngebahas gimana rakyat kecil—khususnya petani di Asia Tenggara—ngelawan ketidakadilan bukan lewat demo besar, tapi lewat cara-cara “halus” kayak gosip, sindiran, pura-pura nurut, atau ritual yang diem-diem nyindir.
Scott nunjukkin gimana rakyat kecil—khususnya petani di Asia Tenggara—ngelawan ketidakadilan bukan lewat demo gedean, tapi lewat cara-cara “halus” yang licin kayak belut. Mereka lebih milih nyindir pakai ritual, ngomong setengah kode di belakang, atau pura-pura blo’on di depan pejabat. Gak frontal, tapi tetep bikin penguasa garuk-garuk kepala. Scott nyebut ini sebagai infrapolitics—politik bawah tanah yang gak kelihatan, tapi tajem.
Contohnya di Kedah, Malaysia, petani yang dipaksa setor beras ke negara kadang pura-pura nurut tapi nyetor gabah jelek, atau ngurangin hasil panen diam-diam. Di depan pemerintah mereka senyum manis, tapi di balik dapur, mereka bikin guyonan atau nyanyi lagu sindiran waktu hajatan. Bahkan doa minta hujan bisa jadi sindiran halus ke elit yang dianggap nyebabin gagal panen. Gosip pun jadi senjata paling maut—bisa bikin reputasi pejabat korup ambyar tanpa harus satu pun poster protes dikerek.
Perlawanan mereka memang gak viral, tapi justru itulah kekuatannya—kagak bisa diberangus dengan kekerasan karena nyaris tak terdeteksi. Scott ngajarin kita bahwa kekuatan rakyat kecil itu bukan di volume suara, tapi di kepintaran membaca celah dan memainkan simbol. Mereka lawan dengan senyum, tapi senyum yang muat ribuan satire.

Dalam The Politics of Cultural Protest (SUNY Press, 1997) yang diedit David Trend, dibahas gimana seni dan budaya bisa berubah jadi senjata pamungkas pas rakyat udah mentok—demo dilarang, suara dibungkam, jalur hukum kayak labirin. Di saat kayak gitu, lagu-lagu cadas, mural nyolot, atau pentas teater absurd bisa nyuarain jeritan yang udah gak bisa disampein lewat orasi di podium. Seni nyelip kayak ninja—gak frontal, tapi pesannya nyampe, bahkan bisa bikin gelombang yang lebih dahsyat dari demo konvensional.
Protes budaya ini kagak perlu surat izin keramaian. Kadang nongol di lirik rap yang nyelekit, di acara lawakan yang nyeplos soal pejabat korup, atau di gaya busana anak muda yang nge-reclaim identitas leluhur yang dulu dilecehkan. Justru karena tampilnya natural dan relate, bentuk-bentuk protes ini nancep di hati masyarakat. Buku ini tegas bilang: ini bukan sekadar hiburan. Ini bentuk perlawanan yang cerdas—nyeni tapi nendang. Kagak selalu tereak, tapi sering bikin penguasa gak bisa tidur nyenyak.
Selagi demokrasi cuma jadi drama panggung, maka panggung beneran justru bisa jadi demokrasi. Seni dan budaya pop jadi cara rakyat untuk nyindir, ngelawan, dan ngasih tahu: “Kami masih ada, kami masih bersuara.”

Dalam Culture Jamming: Activism and the Art of Cultural Resistance (NYU Press, 2017), Marilyn DeLaure dan Moritz Fink nunjukin gimana orang-orang zaman sekarang udah jago nge-hack budaya pop buat nyindir yang di atas. Bukannya ngehindar dari budaya populer, mereka justru ngeremix-nya kayak DJ: logo-brand diganti maknanya, slogan iklan disulap jadi satire, bahkan karakter anime bisa dipakai buat ngasih tamparan ke kerakusan korporat dan kelakuan politikus yang munafik. Ini bukan vandalisme—ini perang makna.
Para culture jammer ngerti banget kalau sekarang itu eranya adu perhatian. Mereka manfaatin viralitas: iklan diubah jadi sindiran, meme dijadiin manifesto, brand digoreng jadi kritik. Badut fast-food bisa disulap jadi simbol eksploitasi, superhero dijadiin cermin negara mata-mata. Karena mereka pakai bahasa visual dan digital yang relatable, pesan mereka nancep lebih dalam daripada debat politik yang muter-muter. DeLaure dan Fink bilang, culture jamming itu ngajak semua orang ikut nimbrung—jadi bagian dari perlawanan, cukup modal kreativitas dan sedikit keberanian buat ngacak-ngacak narasi dominan.
Intinya, culture jamming itu antara ngelawak dan ngelawan—revolusi era internet yang gak cuma ganti isi pesan, tapi nge-hack sistem penyampaiannya juga. Pesannya jelas: “Kalian boleh punya media, tapi kami yang punya makna.”

The Art of Moral Protest karya James M. Jasper (University of Chicago Press, 1997) semacam kompas baru buat memahami aksi-aksi perlawanan sosial, bukan cuma dari sisi politik atau ekonomi, tapi juga dari sisi emosi, budaya, dan cerita hidup para pelakunya. Jasper ngajak kita mikir bahwa demo, protes, atau aksi jalanan itu bukan sekadar taktik, tapi ungkapan moral, nilai pribadi, dan bahkan bentuk ekspresi seni.
Beda ama teori lama yang terlalu kaku dan cuma ngitung jumlah massa atau duit logistik, Jasper lebih ngulik ke hati dan kepala para aktivis: marahnya kenapa, harapannya apa, rasa bersalah atau semangatnya dari mana. Protes itu kayak pertunjukan teater sosial—ada simbol, improvisasi, dan identitas diri. Dalam bukunya, Jasper ngebongkar banyak contoh gerakan, dari anti-nuklir sampai hak sipil, buat buktiin bahwa yang bikin orang bergerak bukan cuma sistem yang bobrok, tapi juga karena mereka merasa ada yang sakral dalam perjuangan itu.

Kalau pakai kacamata James M. Jasper dalam buku The Art of Moral Protest, fenomena rakyat Indonesia pasang bendera One Piece itu bukan sekadar gaya-gayaan atau ikut tren—itu bentuk pertunjukan moral yang penuh makna. Jasper percaya, protes itu bukan cuma soal strategi, tapi juga soal rasa, kisah hidup, dan kreativitas. Jadi saat rakyat kecil atau anak muda yang capek dihimpit hidup mengibarkan bendera bajak laut anime, mereka lagi bikin panggung perlawanan yang nyentil, penuh sindiran, tapi juga jujur dari hati.
Dalam logika Jasper, bendera One Piece itu bukan cuma simbol kartun; ia semacam remix budaya—ngegabungin imajinasi pop global dengan realita pahit lokal. Dan itu bukan cuma lucu-lucuan. Itu ekspresi emosi: rasa muak, mimpi keadilan, dan harapan yang dibalut dalam kisah petualangan bajak laut yang nyari harta karun—tapi sejatinya lagi nyari harga diri. Buat banyak orang, Luffy dan kru-nya adalah lambang perlawanan orang kecil yang setia kawan, berani lawan tirani, dan punya kompas moral, walau hidupnya diburu kekuasaan.
Lebih penting lagi, Jasper ngajarin kita bahwa protes itu personal. Bukan reaksi dingin terhadap kemiskinan atau korupsi, tapi panggilan jiwa yang lahir dari pengalaman hidup yang real dan imajinasi budaya yang liar. Ketika rakyat ngibarin bendera One Piece, mereka sebenarnya sedang bilang, “Kami juga sedang berlayar. Dan kami nggak akan tenggelam diam-diam.” Buat Jasper, di situlah protes berubah jadi karya seni yang bicara lebih dari seribu demo.
Jadi kalau loe bingung kenapa ada orang pasang bendera One Piece atau rela dihujat demi nyuarain ketimpangan, buku ini jawabannya—karena kadang yang dilawan bukan cuma negara, tapi rasa kehilangan martabat dan harapan yang dikibarkan setinggi-tingginya.

Akhirnya, momen bendera One Piece berkibar di samping sang Saka Merah-Putih bukanlah bentuk pengkhianatan, tapi ekspresi harapan, satire, dan rasa rindu yang berlapis-lapis. Itu suara dari generasi yang hidup di tengah warisan nasionalisme dan kenyataan yang bikin nyesek—generasi yang masih hormat ke Merah-Putih, tapi nggak masalah kalau Luffy juga ikut melambai. Mereka bukan menolak negaranya, tapi sedang nyolek: “Halloo ... mana janji-janji kemerdekaan itu?”
Dua bendera ini jadi semacam protes keseharian yang halus tapi mengena—apa yang Jasper sebut sebagai “kreativitas moral orang tertindas.” Ini seperti meme yang berubah jadi simbol nyata. Sebuah cara diam namun kuat untuk bilang: kemerdekaan, keadilan, dan kesetiaan bukan cuma milik narasi negara. Dengan menggabungkan yang resmi dan yang fiktif, rakyat bukan sedang ngejekin republik, tapi sedang ngebayangin ulang maknanya dengan imajinasi mereka sendiri.
Dan barangkali, justru di situlah patriotisme masa kini bernafas—bukan dalam dokumen atau seremoni, tapi dalam keberanian merebut makna dari tangan para elite. Saat rakyat mengibarkan dua bendera ini, mereka bukan sedang memilih antara bangsa dan bajak laut, tapi sedang menciptakan jenis kewarganegaraan simbolik yang baru. Dimana protes itu puitis, pemberontakan itu penuh rasa, dan bahkan bendera bajak laut pun bisa menggendong mimpi-mimpi sebuah bangsa.