Minggu, 17 Agustus 2025

80 Tahun, Rakyat Masih Nunggu Kebenarannya

Ketika Indonesia sampai di umur 80 tahun merdeka, refleksi itu bukan cuma sekadar nostalgia, tapi kewajiban buat ngaca: udah sejauh mana sih kita jalanin janji kemerdekaan itu? Delapan dekade lalu, teriakan “merdeka” bukan cuma soal lepas dari penjajah, tapi juga tekad biar kita bisa ngatur diri sendiri dengan bermartabat. Nah sekarang, pas kembang api meledak di langit dan bendera berkibar di jalanan, pertanyaan aslinya bukan di hingar-bingar seremoni, tapi di kejujuran hati kita: udahkah kita, cucu-cicit dari para pejuang itu, bener-bener bikin adil dan makmur jadi nyata?
Cerita Indonesia itu dari dulu kisah ketangguhan—dari sungai yang belah lembah, gunung yang jadi pasak pulau, sampai tangan-tangan rakyat kecil yang kerja keras di bawah matahari tropis. Kemerdekaan bukan garis finish, tapi start line: janji bahwa derita di bawah bayang-bayang penjajahan bakal diganti dengan hidup bareng-bareng yang sejahtera. Tapi ya gitu, masalah zaman sekarang justru ada di jarak antara kata-kata indah dan realita pahit. Kesenjangan, korupsi, kerusakan alam, sama drama politik masih aja bikin janji merdeka kayak retak-retak. Itu jadi pengingat kalau merdeka itu bukan cuma dilawan dari musuh luar, tapi juga dari rasa puas diri sendiri.

Dalam keseharian rakyat Indonesia, masalah yang dihadapi itu bukan teka-teki politik tingkat dewa, tapi rangkaian drama hidup yang kalau dijadikan sinetron, episodenya nggak bakal habis-habis. Harga kebutuhan pokok yang naik-turun kayak mood remaja jadi ujian pertama. Ke pasar itu bukan sekadar belanja, tapi kayak ikut lomba strategi ekonomi: gimana bikin menu seminggu kalau cabai tiba-tiba harganya udah setara daging? Ujung-ujungnya, ibu-ibu harus jadi kombinasi akuntan plus chef hemat anggaran.
Kemacetan lalu lintas jadi monster kedua. Di kota besar, jarak lima kilometer bisa berubah jadi drama tiga babak—macet, macet, dan macet lagi. Transportasi umum kadang masih kayak undian: kalau beruntung dapat yang nyaman, kalau tidak ya siap berdiri berdesakan sambil menguji kesabaran. Di daerah, masalahnya beda tapi nggak kalah nyebelin: bukan macet, tapi gimana caranya nyampe kalau jalan dan kendaraan umum seadanya.
Kesehatan, walaupun ada BPJS, masih jauh dari kata merata. Di kota, rumah sakitnya ada tapi antriannya bikin punggung pegal dan obat kadang kosong. Di desa atau daerah terpencil, berobat bisa berarti perjalanan panjang yang makan ongkos, dan belum tentu sampai di sana peralatannya ada. Jadi sakit itu bukan cuma soal medis, tapi juga logistik dan ketahanan mental. Belum lagi sikap paramedis yang memperlakukan anggota BPJS sebagai kaum paria.

Bagi anak muda yang sehat dan semangat, mencari kerja yang layak itu mirip berburu harta karun: jarang ketemu dan kalau ketemu pun kadang imbalannya nggak sepadan. Banyak yang terjebak di kontrak pendek atau kerja informal dengan gaji yang nggak cukup buat hidup normal, apalagi menabung. Slogan ekonomi tumbuh rasanya hambar kalau yang tumbuh cuma angka di berita, bukan keamanan hidup di dunia nyata.

Lingkungan dan infrastruktur pun bikin stres tambahan. Musim hujan bukannya bikin hati adem, malah bikin warga siaga banjir tiap tahun. Saluran air amburadul, tata kota acak, dan peringatan bencana minim bikin hujan biasa berubah jadi episode survival reality show.

Masuk era digital, sinyal internet masih kayak mood artis senior: susah ditebak. Di beberapa daerah, koneksinya lemot, mahal, dan gampang putus, bikin anak sekolah, pedagang online, sampai warga yang mau cari info jadi terhalang. Streaming hiburan boleh jadi bonus, tapi akses buat belajar dan usaha itu kebutuhan.

Birokrasi tetap klasik: ribet dan lambat. Urus KTP, izin usaha, sampai bantuan sosial kadang butuh mental baja. Nggak kenal orang dalam? Ya siap-siap maraton dokumen dan waktu. Kenal orang dalam? Nanti orang lain curiga ada main belakang.
Orang Indonesia tuh biasanya males banget sama pejabat karena di mata rakyat, mereka bukannya kayak “abdi negara” tapi lebih mirip “raja kecil” yang hobi ngumpulin privilese. Sejarah panjang korupsi, janji palsu, dan gaya hidup mewah udah bikin rakyat kayak trauma kolektif. Setiap kali ada berita OTT KPK, masyarakat cuma geleng-geleng: “Lah, ketangkep lagi? Kayaknya, isinya emang ‘Drama Para Rampok’ deh.”

Kesenjangan juga keliatan banget. Rakyat ribut mikirin harga beras naik, anak sekolah bayar SPP, listrik nyaris diputus, eh pejabat malah konvoi mobil dinas, rapat di hotel bintang lima, atau studi banding ke luar negeri. Bedanya kayak bumi sama langit. Simbolik banget: “kita beda kelas, bro.” Pas masa kampanye rajin banget janji manis, begitu kepilih, hilang bak Thanos nge-snap jari. Jadilah rakyat makin sinis: “Yaelah, politisi mah semua sama aja, cuma ganti bungkus doang.”

Belum lagi politik dinasti, anak-bini-saudara-temen semua dikasih jabatan. Dari luar keliatan kayak negara demokrasi, tapi dalamnya kayak bisnis keluarga. Terus kalo ada pejabat nyeleneh ngomong ngaco di medsos, langsung jadi bahan meme nasional. Jadi jangan heran kalo rakyat lebih sering bilang “wakil rakyat” itu satire; kenyataannya, rakyat wakilin dirinya sendiri, pejabat wakilin rekening pribadinya.

Semua beban ini, walau kelihatannya kecil-kecil, kalau dikumpulin bisa mengikis rasa percaya rakyat pada pemimpinnya. Orang boleh saja mendengar pidato soal kemajuan negara, tapi yang mereka nilai itu seberapa gampang hidup sehari-hari bisa berjalan tanpa drama ekstra. Kalau Presiden Prabowo mau bener-bener nyambung sama rakyatnya, ya seyogyanya peka sama hal-hal sederhana tapi nyentuh langsung ke perut, jalan, dan dompet.

Fenomena berikut ini unik banget: negara-negara yang alamnya pas-pasan malah bisa ngalahin yang sumber dayanya numpuk kayak gudang rongsokan. Belanda, puncak tertingginya aja nggak bikin pesepeda ngos-ngosan, tetap jadi negara rapi dan makmur. Swiss, walau nggak punya laut, bisa nyelam di samudera duit perbankan dengan gaya sultan. Jepang, sumber dayanya tipis kayak dompet akhir bulan, tetap aja bisa banjiri dunia dengan inovasi. Singapura, sawahnya cuma ada di buku sejarah, rakyatnya makan terjamin lebih aman daripada negara agraris. Arab Saudi, kerajaan pasir dengan titik-titik hijau seadanya, bisa kasih fasilitas publik yang bikin negara lebih kaya nangis iri.
Lalu ada Indonesia—punya gunung, laut, hutan, mineral, dan tanah subur sampai rebahan pun bisa numbuhin singkong. Tapi entah kenapa, panennya bukan kemajuan, malah alesan. Masalahnya bukan alam yang pelit, tapi para pemimpinnya yang kesulitan nemuin kompas moral, apalagi nurut sama arahnya. Alam udah royal, manusianya yang kayaknya stoknya kurang. Soalnya emas, minyak, dan kayu bisa dijarah, tapi kebijaksanaan dan integritas? Nah, itu yang bener-bener lagi krisis di sini.

Delapan puluh tahun merdeka itu bukan cuma angka gede buat pesta, tapi juga kaca gede buat ngaca. Negeri ini memang kuat bertahan, tapi kalau jujur, masih banyak PR yang numpuk. Kesenjangan makin lebar—ada yang hidupnya udah kayak sultan, sementara banyak rakyat masih jungkir balik cuma buat makan hari ini. Korupsi? Kayak penyakit menahun yang susah banget sembuh, masih aja nggerogoti tulang lembaga yang mestinya jadi penjaga keadilan. Alam yang dulu dipuja sebagai ibu dan pelindung, malah dijarah atas nama pembangunan, bikin hutan, sungai, dan langit kita penuh luka. Pendidikan yang katanya tangga buat naik derajat, sering kali miring ke arah yang punya duit, nutup jalan buat anak-anak yang sebenarnya pantas punya kesempatan.
Dunia politik pun kebanyakan berubah jadi panggung drama ketimbang ladang pengabdian. Para pejabat lebih sering ngomongin setia sama kelompoknya sendiri daripada sama rakyat. Di tengah ributnya jargon dan seremoni, suara nelayan, petani, dan buruh pabrik sering tenggelam. Nah, ini semua jangan ditutup-tutupi pakai bendera dan kembang api; justru harus dihadapi kalau kita bener-bener mau bikin kata “merdeka” punya makna lebih dari sekadar ritual tahunan. Refleksi 80 tahun butuh keberanian: berani ngakuin salah, berani lawan rasa puas diri, dan berani ngejar keadilan bukan buat pajangan, tapi biar jadi detak jantung Republik.

Meski rezim udah berganti dan kursi kekuasaan sekarang diduduki orang baru, suara “buzzer” masih aja mondar-mandir di medsos, kayak arwah gentayangan yang nggak mau pindah rumah. Pertanyaan yang selalu nongkrong di warung kopi sampai ruang tamu itu bukan lagi “ada atau enggak,” tapi “siapa sih yang bayarin mereka?” Rasanya kecil kemungkinan Presiden Prabowo sendiri yang ngeluarin duit, karena beliau udah punya alat negara yang resmi dan jelas. Jadi duitnya pasti ngalir dari tempat lain: partai politik yang lagi jagain jaringannya, pengusaha yang pengen tetep aman sama bisnisnya, atau kelompok di dalam mesin birokrasi yang pegang kunci anggaran gelap. Kenyataan bahwa pasukan digital ini masih bertahan nunjukin kalau merdeka dari penjajahan dulu ternyata belum bikin kita merdeka dari belenggu manipulasi gaya baru. Sekarang, perang buat harga diri dan kebenaran udah pindah ke medan tempur yang nggak kelihatan—medan informasi.

Ulang tahun ke-80 ini harusnya jadi panggilan buat berani lagi—tapi bukan berani angkat bambu runcing, melainkan berani jujur ngoreksi diri, berani nuntut pemimpin buat lurus, dan berani jaga persatuan dalam keberagaman tanpa sekadar jargon kosong. Semangat merdeka itu bukan barang museum atau tugu, tapi hidup di aksi nyata warga: saling peduli, jaga tanah biar nggak dijarah, dan pastiin keadilan itu hak semua, bukan cuma hak pejabat dan orang berduit. Kalau generasi 1945 kasih kita kedaulatan, tugas kita sekarang adalah bikin kedaulatan itu ada maknanya di kehidupan sehari-hari rakyat biasa.

Jadi pas Republik ini tiup lilin ke-80, kembang api jangan cuma jadi tontonan, pawai jangan cuma jadi rutinitas. Seyogyanya jadi pengingat bahwa merdeka itu bukan piala, tapi PR seumur hidup; bukan tujuan akhir, tapi disiplin yang mesti dijaga. Cara paling bener ngehormatin masa lalu ya dengan bikin masa depan dimana kemerdekaan itu bukan sekadar kata-kata tiap 17 Agustusan, tapi kenyataan yang dirasain setiap hari.

[English]