Minggu, 31 Agustus 2025

Kenangan itu bukanlah Barang Dagangan

Dalam hening yang menyusul kegaduhan, kita belajar bahwa kenangan itu, bukanlah barang dagangan, sebab ia tak berdiam di pasar harta, melainkan di ruang batin, tempat tangan keserakahan tak mampu meraih dan badai politik tak sanggup menghapus.

Mengatakan bahwa kenangan itu bukanlah barang dagangan berarti mengumandangkan perlawanan diam terhadap kerajaan hiruk-pikuk. Ia pengingat bahwa sekalipun rumah dijarah, dan nama tercampak dalam debu amarah, ruang keramat dalam memori tetap tak tersentuh. Kekuasaan bisa goyah, pemerintahan bisa retak, dan arak-arakan janji bisa larut jadi asap, namun kenangan tentang kebaikan, tentang roti yang dibagi, tentang doa yang berbisik di kamar temaram, tetap teguh seperti lilin yang menolak padam diterpa angin.

Malam setelah gejolak menyimpan kelengangan yang aneh, sepi yang tak melupakan riuh jalanan, melainkan menyerapnya hingga ke sumsum negeri.
Wajah-wajah kuasa mungkin bersinar di bawah lampu buatan konferensi pers, namun mata rakyat menyala berbeda, bagai lentera yang bergetar di tengah badai.

Dalam keheningan itu, sebuah bangsa mendengar detak jantungnya sendiri, bukan lagi sebagai tabuhan amarah, melainkan denyut ragu dari sesuatu yang masih hidup dan merindu.

Ada syair aneh dalam riuh demokrasi, dimana suara bertabrakan laksana gelombang, namun entah bagaimana pasang tetap menemukan iramanya.

Dan di tengah amarah serta curiga, orang belajar bahwa bahkan kekecewaan adalah bentuk peduli, sebab hanya yang cinta mendalam bisa merasa dikhianati begitu dalam.

Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, sebab ia adalah harta yang tak bisa dipajaki kekuasaan, tak bisa disita penguasa, dan tak bisa dihanyutkan badai sejarah.

Anak muda yang letih, yang berjalan di bawah beban poster dan teriakan, mungkin kelak sadar bahwa jejak mereka takkan pernah hilang, melainkan terukir bagai pahatan dalam sukma sejarah.

Sementara itu, orang-orang tua yang mengintip dari jendela, membisikkan doa ke dalam malam, mengingatkan kita bahwa iman bukanlah diam, melainkan daya tahan yang menyamar dalam ketenangan.

Pertanyaannya bukanlah apakah badai akan datang lagi—ia selalu kembali—melainkan sudahkah rakyat belajar menari di antara tetes hujannya.

Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, karena ia tinggal di arsitektur hati, terukir diam-diam dalam tawa yang pernah pecah, dalam luka yang pernah membekas, dan dalam bisikan harapan yang tak mau padam.

Sebab damai bukanlah ketiadaan riuh, melainkan kehadiran makna, benang yang mengikat luka agar sembuh menjadi bekas yang bisa bercerita.

Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, karena ia menolak logika uang, sebab nilainya tidak diukur dengan emas, melainkan dengan air mata, senyum, dan doa yang terucap ketika dunia terasa terlalu berat untuk dipikul.

Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, sebab meski kota bergetar oleh teriakan demonstrasi, meski spanduk menantang langit besi, yang tersisa bukanlah riuh itu, melainkan ingatan lembut tentang alasan mengapa kita berjalan bersama.

Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, karena setiap manusia menapaki sejarah bukan hanya dengan langkahnya, melainkan juga dengan gema dari mereka yang mendahului, meninggalkan jejak tak kasat mata namun abadi.

Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, karena ia mengingatkan kita bahwa seusai jalan-jalan dibersihkan dan mikrofon dimatikan, akan selalu ada suara sunyi di dalam diri, menceritakan kembali kisah martabat dan kerinduan.

Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, karena ia menjahit kain bangsa yang terkoyak, membisikkan bahwa keadilan bukanlah komoditas, dan kebenaran, meski ditunda, tak bisa selamanya dikubur.

Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, sebab ia bukan milik penguasa atau pemenang, melainkan milik mereka yang bertahan, mereka yang berdiri di bawah hujan, mereka yang diamnya menyimpan seribu kata tak terucap.

Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, karena beratnya air mata seorang ibu, getar harapan seorang ayah, tawa anak-anak yang masih berani bermimpi—semua ini adalah mata uang yang tak dikenal pasar, namun abadi dalam kebenaran.

Ketika riuh telah reda dan gema slogan larut menjadi ingatan, kita tetap akan berkumpul di meja kenangan. Di sana, cerita menjadi roti, dan tawa menjelma perisai yang lebih kuat dari segala dekrit. Kenangan bukanlah barang dagangan, karena ia bukan komoditas; ia adalah pusaka suci, ditenun ke dalam jiwa kita laksana benang cahaya. Di dalamnya kita temukan ketangguhan, bisikan lembut bahwa bahkan di malam tergelap sejarah, jiwa manusia masih menyimpan cahaya fajar yang dirindukan.

Kenangan bukanlah barang dagangan, sebab ia tak ditempa dari koin atau ditakar oleh rakusnya pasar, melainkan terukir dalam lorong sunyi hati manusia. Ketika jalanan bergemuruh oleh teriakan dan spanduk bergetar melawan angin, yang abadi bukanlah riuhnya massa, melainkan kelembutan ingatan tentang arti sebuah harapan. Tak seorang perampok pun mampu mencuri harum fajar masa kecil, dan tak ada kekerasan yang bisa menghapus hangatnya pelukan ibu ketika dunia di luar tengah dilalap gelisah.

Kenangan bukanlah barang dagangan, sebab ia terukir di dinding rahasia jiwa tempat tak ada koin yang bisa menjejak. Ia serpihan cahaya mentari yang tersangkut di daun bergetar, bisikan tawa yang masih tinggal di lorong waktu, dan duka perpisahan yang terus bergaung lama selepas langkah pergi. Tiada pasar yang bisa menakar, sebab ia berdiam di luar jangkauan dagang, tak tersentuh riuh tawar-menawar. Ia warisan tak kasatmata yang menautkan kita pada kemanusiaan, pengingat bahwa bahkan di tengah badai putus asa, ada benang lembut makna yang tak pernah bisa direnggut.

Di sisa kerusuhan, ketika jalan masih bergetar oleh gema teriakan dan asap menempel di udara senja, kenangan datang tanpa diundang. Ia hadir bukan sebagai barang dagangan, melainkan saksi bisu: genggaman tangan dalam ketakutan, air mata jatuh tanpa terlihat, senyum yang terbagi dalam perlawanan. Ia mengingatkan kita bahwa di luar politik dan perebutan kuasa, mata uang sejati kehidupan terletak pada apa yang kita simpan di dalam—momen keberanian, kebaikan, dan ketangguhan. Melupakannya sama saja menjual sebagian jiwa, namun menjaganya berarti merebut kembali martabat dari kekacauan.

Maka, berbisik “kenangan itu bukanlah barang dagangan” merupakan sebuah pemberontakan lembut terhadap dunia yang terobsesi pada kepemilikan. Ia memeluk erat kisah-kisah yang membentuk kita, bukan sebagai piala, melainkan bara hidup yang terus menghangatkan langkah di hari-hari tak menentu. Di dalamnya, kita temukan luka kehilangan sekaligus obat penawar harapan, pengingat bahwa nilai hidup tak dihitung oleh harta atau ketenaran, melainkan oleh rapuh indahnya apa yang pernah kita jalani dan rasakan.

Dalam hening selepas gejolak, manusia menyadari bahwa kekayaan sejati hidup bukanlah diukur oleh harta atau jabatan yang singkat, melainkan oleh kenangan yang kita bawa di dalam diri. Inilah harta yang tak dapat dibeli, tak dapat dijarah, tak dapat berkurang meski waktu terus berjalan. Mengucap Kenangan bukanlah barang dagangan" menegaskan bahwa apa yang terukir di dalam hati, melampaui semua pasar dunia, menolak segala bentuk komodifikasi oleh kuasa maupun harta.

Tatkala jalanan bergema dengan amarah dan udara dipenuhi keputusasaan, kenangan menjadi tempat perlindungan. Ia mengingatkan kita pada saat-saat sederhana, pada tawa yang terpatri di bawah senja yang memudar, pada suara-suara yang telah lama tiada namun masih hidup di hati kita. Dalam ingatan semacam itu terletak ketangguhan, sebab tiada rezim, tiada kerusuhan, tiada kehancuran yang dapat menghapus aroma dari sesuatu yang dulu begitu kita sayangi.

Dunia boleh mengejar emas, lahan, atau pengaruh yang fana, namun kenangan adalah satu-satunya mata uang yang tak mengenal inflasi. Ia mempertahankan nilainya lintas dekade, bahkan abad, diwariskan dari satu generasi ke generasi lain bagaikan doa yang berbisik. Menjual kenangan adalah hal yang mustahil, sebab hakikatnya tertanam dalam keintiman suci antara hidup dan jiwa.

Dalam sisa-sisa protes dan kegelisahan, kenanganlah yang menyembuhkan. Sebab ketika seseorang mengingat wajah-wajah orang tercinta, hangatnya kebaikan yang pernah diberi, momen kebersamaan yang pernah terasa, maka luka hari ini mulai melunak. Ungkapan Kenangan bukanlah barang dagangan" dengan demikian menjadi sekaligus peringatan dan penghiburan: peringatan terhadap mereka yang ingin mengkomodifikasi kemanusiaan, dan penghiburan bagi mereka yang masih percaya pada kesuciannya.

Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, sebab ia harta diam yang terukir di dinding hati, tak tersentuh hiruk pikuk pasar atau genggaman kuasa. Ia tetap tinggal saat spanduk runtuh, kala pekikan melebur dalam nyenyat, ketika bara amarah diganti bening fajar. Pada akhirnya, yang bertahan di balik asap demonstrasi dan debu kerusuhan bukanlah reruntuhan kaca atau batu, melainkan serpihan ingatan yang kita dekap dalam jiwa.

Di dunia tempat suara bertabrakan dan emosi membara, kenangan menjelma perlawanan yang lembut, sebuah cara untuk berkata: kami pernah ada, kami merasa, kami bermimpi. Ia tak diperdagangkan dengan koin, tak dipamerkan di etalase, sebab ia bersemayam dalam lipatan rahasia waktu. Setiap kenangan berbisik tentang ketahanan manusia, mengingatkan kita bahwa bahkan di tengah kekacauan, masih ada sesuatu yang tak retak, tak terbeli, dan tetap suci.

Teriakan massa mungkin bergema lalu lenyap, tetapi kenangan tentang alasan mereka berkumpul akan tetap abadi. Ia terukir bukan hanya dalam foto atau rekaman, melainkan dalam denyut yang dibagi mereka yang berdiri berdampingan. Dan meski badai politik datang silih berganti, kenangan tetaplah arsip kebenaran yang sunyi, melawan tangan yang berusaha menghapusnya.

Kenangan itu, bukanlah barang dagangan, lantaran ketika semua spanduk telah lusuh dan semua suara serak hilang, yang tertinggal hanyalah arsip abadi dalam diri, tak tersentuh, tak terbeli, tak terlupakan.

Dan barangkali, di musim rapuh ini, kita bisa menemukan bahwa persatuan bukan semata keseragaman, melainkan keharmonisan, laksana nada-nada berbeda yang berani berada dalam lagu yang sama.

Ada saatnya ketika duka harus melepaskan cengkeramannya, ketika kita mesti bangkit dari debu kekecewaan dan menatap ke depan dengan mata yang jernih. Terlalu lama kita berdiam dalam perih kemarin hanyalah mengikat diri pada bayangan, yang takkan pernah bisa membangun hari esok. Air mata yang jatuh telah menyirami tanah; kini saatnya kita menanam benih persatuan, kasih mengasihi, dan tekad di atasnya.

Makna kemerdekaan bukan sekadar mengenang pengorbanan mereka yang telah mendahului, melainkan menghormatinya dengan merajut hari ini agar pantas bagi keberanian mereka. Kita mesti berkumpul bukan dengan bahasa amarah, melainkan dengan irama kerja bersama, mengangkat bangsa ini bukan sebagai serpihan, tapi sebagai satu batang tubuh.

Jangan biarkan napas kita habis dalam ratapan yang tak berujung; serahkanlah napas itu pada nyanyian pembaruan, pada kerja keras membangun, pada jembatan kesepahaman antarhati. Sebab kemerdekaan tak pernah selesai; ia selalu menjadi tugas abadi, diperbarui setiap generasi, menunggu tangan-tangan yang sudi memikulnya dengan keluhuran.

Maka, marilah kita move on, bukan dengan melupakan, melainkan dengan mengubah luka menjadi tujuan, perpecahan menjadi kebersamaan, dan putus asa menjadi tekad. Panggilan zaman ini bukanlah perpecahan, melainkan kebersamaan. Cakrawala itu terbentang luas, tanpa retak, berbisik bahwa kisah bangsa ini belum selesai dituliskan—dan kitalah yang menggenggam penanya.

English