[Bagian 1]Bayangin, ada tiga sobat lagi ribut mau nongkrong makan malam. Level pertama kekuasaan gampang banget dilihat: satu orang langsung sotoy bilang, “Kita makan ayam geprek aja,” terus yang lain pasrah. Level kedua lebih licik: sebelum debat dimulai, temennya udah nge-hide semua pilihan resto kecuali warung bakso, jadi topik ayam geprek langsung nggak ada di meja. Level ketiga lebih halus lagi dan paling ngeri: ada satu temen yang dari dulu udah sukses nge-brainwash gengnya kalau makan sushi itu lebay, kemahalan, dan nggak cocok buat “kita anak kos,” jadi ide itu nggak pernah muncul sama sekali. Nah, inilah yang dimaksud Steven Lukes: kadang kita kira pilihan kita bebas, padahal udah lama dikondisikan. Ibaratnya, bukan cuma siapa yang milih lagu di Spotify, tapi siapa yang bikin loe percaya kalau genre tertentu itu “nggak keren.”Power: A Radical View karya Steven Lukes itu ibarat buku wajib buat siapa pun yang mau paham gimana kekuasaan main di balik layar. Di edisi keduanya tahun 2005 (yang upgrade dari versi 1974), Lukes nggak cuma bahas kekuasaan yang kelihatan—kayak siapa yang ambil keputusan—tapi juga yang licik dan nyelip di balik tirai.Doski bilang, kekuasaan itu punya tiga “muka”. Muka pertama: yang terang-terangan, kayak bos bilang “kita meeting jam 9,” dan semua nurut. Muka kedua: yang ngatur agenda, jadi isu-isu penting bisa sengaja nggak dibahas. Misalnya, kenapa harga tahu naik tapi nggak pernah masuk headline. Muka ketiga (yang paling ngeri): yang ngatur isi kepala orang—bikin kita percaya sesuatu yang sebenernya nggak nguntungin kita. Kayak kita mikir “kerja lembur itu loyal,” padahal cuma bikin burnout.Edisi kedua buku ini makin tajam karena Lukes juga ngebalas kritik dan ikut nimbrung di debat kekinian. Makanya, buku ini jadi semacam “kitab suci” buat anak politik, sosiologi, atau filsafat yang pengen tahu gimana kekuasaan bisa jalan tanpa suara, tanpa bentrokan, tapi tetep bikin orang nurut.Yang bikin Lukes keren bukan cuma teorinya, tapi karena doi nunjukin bahwa dominasi itu kerap kagak kelihatan—karena udah masuk ke cara kita mikir dan ngerasa. Kekuasaan bukan cuma soal siapa yang menang debat, tapi siapa yang bisa bikin kita nggak sadar kalau kita udah kalah dari awal.Kalau dibawa ke gaya Indonesia, bayangin politik kayak gini. Level pertama kekuasaan itu paling kelihatan: ada pejabat tampil di TV dengan gaya tegas bilang, “Kebijakan ini final, titik!” Rakyat cuma bisa geleng-geleng sambil nyeruput kopi sachet. Level kedua lebih kalem tapi beracun: sebelum sidang DPR mulai, para orang kuat udah duluan nge-filter topik, jadi kasus panas kayak korupsi kroni mereka otomatis nggak masuk daftar pembahasan. Level ketiga yang paling serem sekaligus halus: lewat bertahun-tahun kampanye media, kurikulum sekolah, sampai jargon budaya, rakyat dibikin percaya kalau kritik sama pemerintah itu sama aja kayak kurang ajar, bahkan bisa bahaya. Akhirnya orang jadi auto-censor, mikir dua kali sebelum ngomong, padahal belum sempet demo udah takut duluan. Nah, inilah “tiga wajah kekuasaan” versi Steven Lukes kalau dibungkus politik lokal: bukan cuma soal siapa yang teriak paling keras, tapi juga siapa yang ngatur playlist isi kepala kita.
Dalam The Anatomy of Power (1983, Houghton Mifflin), John Kenneth Galbraith berusaha ngebongkar aura mistis di balik kekuasaan dan nunjukin kalau aslinya gaya-gaya kuasa itu ada resepnya. Menurutnya, power itu nggak satu paket sakti mandraguna, tapi pecah jadi tiga gaya. Pertama ada condign power, yaitu kuasa yang maksa orang nurut karena takut dihukum atau kena sanksi—kayak kalau lo nggak patuh, siap-siap kena mental atau dompet bolong. Kedua ada compensatory power, yaitu kuasa yang bikin orang mau ikut karena ada imbalan—bisa duit, jabatan, atau sekadar tepukan bahu biar kelihatan keren. Nah, yang paling halus tapi paling ngeri adalah conditioned power, yaitu kuasa yang nge-set pola pikir dan bikin orang nurut tanpa sadar kalau sebenernya lagi diarahkan—biasanya lewat media, pendidikan, atau budaya populer. Galbraith nunjukin kalau di dunia modern, gaya ketiga inilah yang paling dominan, karena bikin orang merasa memilih sendiri padahal lagi di-orientasiin. Framework ini sampai sekarang masih relate banget buat ngejelasin gimana negara, korporasi, bahkan influencer bisa ngatur arah hidup kita.
Dalam The Craft of Power, Ralph Siu membuat perbedaan mendalam dari apa yang disebutnya “persons of power” dan “conventional executives.” Bedanya orang berkuasa sama eksekutif konvensional itu ibarat beda antara pemain bola biasa sama coach sekaligus pemilik klub. Eksekutif konvensional ya kayak manajer kantor: rajin, rapi, jalanin SOP, bikin laporan mingguan, pokoknya main sesuai aturan yang udah ada. Mereka penting, tapi tetep aja levelnya “pegawai elit.” Nah, orang berkuasa itu beda kelas—mereka bukan cuma ikut main di lapangan, tapi bisa ngatur kapan pertandingan digelar, bikin aturan baru kalau perlu, bahkan ganti wasit kalau situasi menuntut. Jadi kalau eksekutif konvensional tugasnya jaga mesin tetap nyala, orang berkuasa bisa ngerombak mesin, bahkan bikin pabrik baru. Siu mau bilang: satu sibuk ngejaga status quo, satunya lagi yang pegang kunci buat nentuin masa depan permainan.Dalam gaya pop kultur Indonesia, “The Craft of Power” itu maksudnya kayak ilmu jurus pamungkas buat main di level atas kekuasaan. Siu pengen bilang kalau power itu bukan cuma hasil hoki, bukan juga sekadar warisan dari bapak moyang, tapi sesuatu yang bisa dipelajari, diasah, dan dikuasai kayak orang latihan silat atau jadi DJ handal. Loe nggak cukup cuma punya jabatan atau suara keras; loe kudu ngerti kapan ngomong, kapan diem, kapan ngegas, dan kapan main halus. It’s not about gaya preman, tapi lebih ke seni: seni ngatur timing, seni baca lawan, seni bikin orang lain nurut tanpa sadar kalau mereka lagi diarahkan. Jadi, “The Craft of Power” itu kayak manual book rahasia buat jadi dalang wayang politik—yang ngerti kapan narik benang, kapan melepas, dan gimana bikin semua penonton percaya bahwa yang mereka lihat itu natural, padahal semuanya udah settingan.The Craft of Power itu kayak jurusnya karakter cerdik di Game of Thrones atau Naruto. Di Westeros, eksekutif konvensional ya kayak Ser Davos—setia, rajin, tapi tetep aja main di level “anak buah.” Sementara orang yang ngerti The Craft of Power itu kelasnya kayak Tyrion atau Littlefinger: mereka nggak cuma ikut main, tapi bisa bikin aturan sendiri, ngatur kapan sekutu jadi lawan, dan kapan lawan jadi sekutu. Di dunia Naruto juga sama: ninja biasa yang cuma bisa jurus standar itu eksekutif konvensional, tapi Shikamaru, dengan otak encer dan taktiknya, jelas contoh orang yang mainin The Craft of Power. Siu mau kasih kode keras: kalau mau beneran jadi pemain besar, jangan andelin otot doang atau teriak paling kenceng, tapi perlakukan kekuasaan kayak seni—main halus, penuh perhitungan, dan bikin semua orang nggak sadar kalau mereka udah masuk ke dalam skenario loe.
Dalam The End of Power (2013, Basic Books), Moisés Naím bilang kita hidup di zaman dimana dapetin kekuasaan itu jauh lebih gampang, tapi ngejaga sama makainya justru makin ribet. Menurut doski, globalisasi, teknologi, sama banjir informasi bikin monopoli lama yang dulu bikin penguasa, korporasi, atau lembaga bisa duduk manis bertahun-tahun sekarang udah luntur. Zaman now, siapa aja yang punya niat, akses ke digital tools, dan ide gokil bisa langsung bikin ribut hierarki lama dan sebentar doang nyomot spotlight kekuasaan. Tapi justru gara-gara kekuasaan makin nyebar, orang yang udah dapet power malah gampang ditantang, dikekang transparansi publik, dan dipretelin ama perubahan yang super cepat. Intinya, kata Naím, kekuasaan hari ini kayak mie instan: gampang dimasak, enak sebentar, tapi cepet abis dan gampang direbut orang lain.
Korupsi, kalau kata vibe-nya Moisés Naím, nggak melulu soal pejabat yang lagi mabuk jabatan atau sok-sokan berkuasa, tapi juga bisa lahir karena kekuasaan zaman sekarang gampang banget pecah dan nggak stabil. Di dunia dimana gampang banget nyomot spotlight tapi susah banget bikin kursi itu langgeng, banyak pejabat hidup dalam ketakutan kalau besok-besok posisi mereka bisa ambyar. Dari situ muncul godaan buat main kotor: bukan cuma demi kantong pribadi, tapi juga buat nyari loyalitas, beli stabilitas, atau ngejaga diri biar tetap relevan di tengah politik yang kayak roller coaster. Jadi, korupsi itu sekarang bukan cuma tanda orang kelewat kuasa, tapi juga bukti kalau kekuasaan makin ringkih dan gampang retak.
Nah, lantaran itulah bisa banget dibilang kalau kasus Wamenaker ini jadi alarm buat Presiden Prabowo biar ngecek ulang siapa aja yang duduk di kursi menteri, wamen, atau pejabat lain. Soalnya kalau yang baru aja dilantik udah bikin ulah, gimana yang udah bertahun-tahun pegang kuasa? Kuasa itu kayak kopi kental—semakin lama diseduh, makin pahit jadinya. Emang sih, ada beberapa menteri lama yang jago banget, kapabilitasnya oke, dan kerja kerasnya terbukti. Tapi pepatah klasik tetep ngehantuin: “absolute power corrupts absolutely.” Jadi, penyegaran kabinet bukan cuma soal strategi politik, tapi juga vaksin biar kekuasaan nggak makin keropos moralnya.Kalau ada orang kelamaan duduk di kursi kekuasaan—entah itu presiden, menteri, atau pejabat publik lainnya—demokrasi yang tadinya segar bisa pelan-pelan berubah jadi kerajaan gaya baru. Sistem yang mestinya rotasi jabatan malah jadi kayak “kursi empuk” yang ditempati turun-temurun. Lama-lama, jabatan publik nggak lagi dianggap sebagai amanah, tapi udah kayak harta pribadi yang bisa diwarisin. Hasilnya? Demokrasi jadi feodalisme modern, dimana loyalitas bukan ke institusi negara, tapi ke sosok yang berkuasa.Sementara itu, meritokrasi—yang harusnya ngasih tempat buat orang-orang berbakat—ikut rusak karena lingkaran kekuasaan lebih milih orang yang loyal ketimbang orang yang kompeten. Dari situ lahirlah nepotisme, di mana keluarga dan kerabat ditempatkan di posisi strategis, plus kronisme, di mana kawan lama dan geng politik dikasih jabatan penting meskipun skill-nya pas-pasan. Sejarah udah banyak nunjukin hal ini: raja yang awalnya dipilih rakyat jadi penguasa turun-temurun, tokoh revolusi yang teriak “merdeka” tapi malah bikin dinasti politik, sampai pemimpin republik yang nyambi jadi raja kecil. Intinya jelas: makin lama kekuasaan dipegang satu orang atau kelompok, makin gampang demokrasi berubah jadi drama feodalisme, dan meritokrasi luntur jadi ajang bagi-bagi kursi.Kalau kacamata Lord Acton dipake, keberlanjutan para menteri lama di era Presiden Prabowo tuh ibarat konser lama yang cuma ganti vokalis tapi pemain band-nya tetep. Kalau kata Acton, “power tends to corrupt,” maka otomatis makin lama orang-orang itu nongkrong di kursi empuk kekuasaan, makin mereka lengket dengan sistem, jaringan, dan loyalitas lama yang udah bikin mereka nyaman. Jadi jangan heran kalau bukannya muncul reformasi baru, yang ada malah polesan doang dari status quo lama. Intinya, rezim baru bisa keliatan kayak mobil baru, tapi mesinnya masih bekas, dan mesin bekas ini udah penuh karat kroni, nepotisme, sama gaya feodal. Kata Acton, bukan cuma pemimpinnya yang rawan korup, tapi sistem kekuasaan yang dibiarin tanpa ganti oli akan keropos pelan-pelan. Jadi jangan kaget kalau nanti Presiden Prabowo malah jadi kejebak dalam tarikan gravitasi kekuasaan yang lebih kuat daripada niat buat berubah.
Kalau nurutin maksim Lord Acton, para menteri dan pejabat lama yang masih nongkrong di kabinet Prabowo itu ibarat “old crew” yang udah keenakan duduk manis di kursi empuk. Bukannya jadi booster energi baru, mereka malah rawan jadi “penjaga status quo” yang tugasnya lebih ke melindungi warisan rezim lama ketimbang bikin terobosan. Lama-lama, kekuasaan itu berubah kayak sinetron panjang yang tokohnya enggak pernah ganti: cerita mentok, plotnya basi, dan penonton alias rakyat cuma bisa ngelus dada. Bahayanya jelas, Presiden Prabowo bisa terjebak dalam pusaran loyalitas lama yang bikin kabinetnya enggak gesit, demokrasi malah makin kaku, dan meritokrasi berubah jadi drama kroni-kronian. Jadi, bukan cuma masalah keberlanjutan, tapi soal apakah pemerintahannya beneran jalan ke depan, atau malah nyangkut di benang kusut kepentingan lama.Bayangin kayak gini: Prabowo jadi Presiden tapi kabinetnya masih diisi “pemain lama” yang udah betah banget nongkrong di kursi empuk kekuasaan. Ya, mereka bisa aja bilang setia sama Presiden baru, tapi dalam hati tetep punya utang budi, geng lama, dan kepentingan pribadi yang udah nempel kayak lem super. Lord Acton ngingetin kalau kekuasaan yang nggak pernah dirotasi itu gampang banget berubah jadi sarang korupsi. Jadi kalau Presiden Prabowo biarin orang-orang lama tetap bercokol, pemerintahannya bisa macet kayak lagu lama yang diputer terus tanpa henti. Demokrasi jadi hambar, reformasi jadi basi, dan pada akhirnya negeri ini bisa kayak nonton sinetron dengan plot yang nggak pernah ganti: tokoh lama, konflik lama, ending yang udah ketebak. Pemerintahannya bisa tampak stabil di permukaan, tapi aslinya rapuh karena masih kebayang-bayang rezim sebelumnya.
Ini kayak ganti presiden tapi cast sinetronnya masih sama semua. Setelah Suharto jatuh, orang-orang mikir bakal ada perubahan total, kayak reboot film lama jadi lebih segar. Eh ternyata pemain lama masih nongkrong di kursi masing-masing: jenderal, pebisnis, birokrat. Mereka cuma ganti baju, ganti jargon, tapi kelakuan sama aja. Akhirnya Reformasi jadi kayak nonton konser yang katanya “new era”, tapi lagunya tetep playlist lawas. Jadi kalau Prabowo nggak tegas bikin jarak dengan aparat warisan rezim sebelumnya, nanti pemerintahannya dicap cuma sebagai “season baru” dari sinetron lama, bukan benar-benar cerita baru.
Contoh dari luar negeri datang dari Afrika Selatan pasca-apartheid. Pas Mandela naik, dunia heboh kayak band lama akhirnya punya vokalis baru yang lebih soulful. Tapi masalahnya, manajer, label rekaman, sama pemilik hak cipta lagunya masih sama aja kayak dulu. Jadi meskipun lirik baru dibawain, aransemennya tetep gak jauh beda, dan fans mulai sadar kalau konsernya tetep diatur sama orang lama di balik layar. Mandela memang lebih milih damai daripada ribut lagi, tapi akhirnya ketidakadilan ekonomi kayak bass line yang fals tetap terdengar sampai sekarang. Jadi intinya: sekuat apa pun aura pemimpin baru, kalau kru lama masih ngatur sound system, hasilnya ya tetep nggak fresh.Di Amerika Latin, ini kayak drama sinetron panjang dimana tiap musim ada tokoh baru yang masuk dengan janji bikin alur jadi lebih seru. Lula masuk kayak karakter protagonis yang katanya bakal nyelametin kampung dari penindasan. Tapi begitu episodenya jalan, ternyata doski masih harus deal sama sutradara lama, sponsor iklan, dan aktor senior yang nggak mau tersingkir. Akhirnya, plotnya tetep muter-muter, konfliknya itu-itu aja, dan penonton mulai sadar kalau sistem produksinya yang bikin drama nggak pernah benar-benar fresh. Sama halnya dengan Argentina, dimana presiden baru kayak bintang tamu yang dijanjikan bakal bikin rating naik, tapi tetap aja dikurung skrip lama yang ditulis produser bayangan. Jadi meskipun pemain berganti, panggungnya tetap dikuasai orang lama yang pegang remote.Di Eropa Timur, ini kayak cerita serial yang katanya reboot total dari versi lama, tapi ternyata cuma ganti judul dan pemainnya. Yeltsin dulu tampil kayak tokoh utama baru yang diiklankan bakal bikin cerita fresh dan penuh kejutan. Tapi begitu masuk, eh yang jadi kameramen, editor, sampai penulis naskahnya masih tim lama dari produksi era sebelumnya. Di Ukraina dan Rumania, seolah ada season baru dengan tema revolusi—kayak promo sinetron, “kali ini beneran beda, guys!”—tapi pas ditonton, ternyata antagonisnya sama aja, cuma pakai kostum lain. Jadi penonton alias rakyat mulai ngerasa, ini bukan franchise baru, tapi cuma remake malas-malasan yang bikin mereka bosan karena endingnya bisa ditebak: yang berkuasa tetep orang-orang lama.Kutipan Lord Acton soal “kekuasaan cenderung ngerusak, dan kekuasaan absolut ngerusaknya absolut” udah kayak meme politik abadi. Ini bukan cuma punchline tajam, tapi alarm moral yang ngingetin siapa pun—baik penguasa maupun rakyat—bahwa kalau kekuasaan nggak ada remnya, pasti lama-lama bikin mabuk, salah jalan, dan rusak akhlak. Intinya, Acton tuh bukan sekadar bikin kalimat keren, tapi kayak kasih diagnosa soal gimana manusia gampang kepleset kalau kebanyakan “minum” kuasa.Dan jujur aja, peringatan Acton makin relevan sekarang ketimbang abad ke-19 dulu. Pemerintahan makin ribet kayak sinetron bersambung, teknologi pengaruh makin nyusup sampai ke HP di saku, dan godaan buat jadi diktator kecil-kecilan makin seksi. Kalau kita cuek, siap-siap aja kebebasan pelan-pelan dikebiri dan ketakutan dijadiin soundtrack sehari-hari.Tapi Acton bukan sekadar pesimis sama kekuasaan, ia juga idealis banget soal kebebasan. Buatnya, sejarah bukan cuma daftar raja dan perang, tapi ujiannya: seberapa kuat manusia bisa ngejaga moral pas dikepung ambisi dan nafsu dominasi. Doski percaya kebebasan bukan hadiah dari penguasa, tapi kayak gym membership buat nurani—harus dijaga dan dilatih terus, kalau nggak ototnya kendor.Kalau dipikir-pikir, ucapan Acton juga nyorot ke kita, bukan cuma ke elite. Korupsi tuh bukan cuma penyakit menteri atau presiden, tapi bisa nyangkut ke siapa aja yang ngerasain enaknya posisi strategis, entah di kantor kelurahan atau di panggung internasional. Jadi kalau ngutip Acton, itu artinya kita janji buat nggak nyembah kekuasaan kayak idola K-Pop, tapi nimbangin kekuasaan pake timbangan keadilan dan kebenaran.Pada akhirnya, Acton ngasih kita bukan cuma peringatan, tapi prinsip hidup: selalu waspada. Kata-katanya masih hidup karena nyentuh bahaya universal sekaligus kewajiban universal. Dimana ada kekuasaan ngumpul, di situ kudu ada curiga nongol—bukan karena sirik, tapi karena bijak. Sehatnya sebuah masyarakat bukan ditentukan dari seberapa banyak kekuasaan dikumpulin, tapi seberapa pintar kekuasaan itu dikekang.Maksim Lord Acton itu bukan sekadar kalimat keren buat dipajang di status medsos, tapi peringatan serius kalau kekuasaan itu harus dikasih pagar. Pesannya jelas: institusi harus lebih kuat daripada individu, dan pemimpin sehebat apa pun tetep butuh batasan, kontrol, dan diingatkan kalau mereka juga bisa keliru. Tanpa itu semua, kekuasaan gampang banget berubah dari alat buat ngelayani rakyat jadi senjata buat ngatur seenaknya.Dalam demokrasi, maksim ini jadi kompas moral: nggak ada jabatan, segede apa pun, yang boleh kebal dari kritik. Kesetiaan ke rakyat harus lebih tinggi dari kesetiaan ke geng atau kroni sendiri. Kalau pemimpin lupa ini, ya mereka bukan cuma ngkhianatin mandat, tapi juga ngerecokin fondasi demokrasi yang bikin mereka naik.Kata-kata Lord Acton juga ngingetin kalau korupsi nggak selalu lahir dari niat jahat, tapi sering muncul karena terlalu nyaman duduk lama di kursi empuk. Kekuasaan bikin orang merasa akrab, dan akrab bikin lupa kalau kursi itu sebenernya sementara. Begitu pemimpin ogah turun, demokrasi diam-diam nyungsep jadi feodalisme, dan janji kesetaraan diganti sama privilese elitis.Karenanya, penjaga kebebasan yang sejati itu bukan cuma para pemimpin, tapi rakyat yang selalu siaga minta pertanggungjawaban. Maksim ini kayak wake-up call: jangan sampai rasa kagum bikin kita buta, jangan biarkan rasa terima kasih bikin kita diam, dan jangan lupa kalau sehebat-hebatnya pemimpin, tetep manusia yang bisa khilaf—dan korup.Akhirnya, maksim ini bukan ramalan gelap, tapi peta kewaspadaan. Ia ngasih tahu kalau kekuasaan memang berbahaya, tapi bahayanya bisa dikelola lewat transparansi, rotasi jabatan, dan keberanian buat legowo. Kalau masyarakat serius ngejalanin ini, kekuasaan bisa tetap jadi pelayan keadilan, bukan jadi tuannya.
[Bagian 3]

