Rabu, 13 Agustus 2025

Kemaslahatan dan Kemudharatan Pajak (1)

Di berbagai daerah Indonesia, lonjakan paling “gila-gilaan” untuk Pajak Bumi dan Bangunan kebanyakan meledak di beberapa titik panas, dengan Pati (Jawa Tengah) jadi simbol amarah publik setelah warga dihajar kenaikan sampai 250 persen; setelah demo besar-besaran, sampai bupatinya dituntut mundur pada 13 Agustus 2025 dan tarifnya balik ke level 2024. Di Jombang (Jawa Timur), kenaikan yang mulai kerasa sejak 2024 termasuk yang paling ngeri: pejabat daerah sendiri mengakui ada tagihan yang melonjak ratusan sampai ribuan persen—bahkan ada yang tembus 1.202 persen dan contoh kasus yang naik sekitar 12 kali lipat—sampai ribuan warga mengajukan keberatan resmi sepanjang 2025. Pola serupa juga terdengar di Cirebon (Jawa Barat), dimana sebagian pemilik rumah kaget karena tagihannya meroket sekitar 1.000 persen dibanding tahun sebelumnya. Rekap laporan yang lebih luas turut menyorot kenaikan ratusan persen di Semarang (Jawa Tengah) dan Bone (Sulawesi Selatan), nunjukin bagaimana penilaian NJOP yang mendadak dan tekanan kas daerah bisa bikin tagihan melompat seketika. Sebagai pembanding, DKI Jakarta pasang rem: untuk 2025, kenaikan maksimal yang benar-benar harus dibayar dibatasi 50 persen dari tagihan tahun sebelumnya, contoh konkret bahwa desain aturan bisa jadi “airbag” saat penilaian naik.
Kalau dijahit utuh, lonjakan ekstrem ini bukan merata, tapi ngumpul di daerah yang lama nggak evaluasi, valuasinya dipacu kencang, atau lagi kepepet fiskal; di tempat yang protesnya paling kencang—kayak Pati—kebijakannya sudah diputar balik, sementara di daerah lain warga lagi berjuang lewat mekanisme keberatan dan cicilan. 

Kenapa sih kenaikan PBB di berbagai daerah itu nggak normal banget? Nah, jawabannya ngumpul dari berbagai lini:
Pertama, soal undang-undang baru (UU No. 1 Tahun 2022) yang mulai berlaku tahun 2024. UU ini nge-push pemerintah daerah buat aktif nge-update NJOP, alias harga properti yang dilihat pemerintah buat nentuin pajak. Kan sudah lama nggak di-update tuh, jadi pas dirilis sekarang tagihannya langsung « ngegas ». 
Lalu, ada masalah sistemik: daerah-daerah kayak Pati itu punya sumber daya banyak—tetep aja “hidup di lumbung padi tapi tetep beli beras.” Mereka perlu duit buat infrastruktur dan pelayanan, tapi dana transfer dari pusat pas-pasan, makanya andalan yang dipake adalah naikin PBB. 
Seterusnya, nilai properti diming-ming lama banget kagak diperbarui. Jadi sekarang, bayarannya serasa nyalain nitro dari setengah tahun—bye-bye tarif LCGC, halo tarif Lambo. Pati lonjak 250 %, Cirebon, Jombang, Semarang sampai-sampai 1.000 %—kayak hantu tengah malam tiba-tiba muncul.
Terakhir nih, yang bikin emosi warga pecah balon: kebijakan itu dijatuhin dari atas—without sosialisasi sama sekali. Di Pati aja sampai demo besar-besaran, bupati sampai cabut aturan dan minta maaf gegara kebijakan ini termasuk ‘kurang ajak ngobrol dulu’. Dan jawaban rakyat: "Tiada maaf bagimu!"
Singkatnya, penyebab lonjakan gila-gilan PBB itu: undang-undangnya udah baru, daerah kepepet cari PAD, NJOP update ampe loncat, dan rakyat jadi korban dramanya karena diputus-putusan sendiri. Simple but brutal!

Berikut ini adalah respons beberapa daerah terhadap lonjakan pajak bumi dan bangunan (PBB-P2) yang drastis. Di Pati, pas kabar pajak PBB-P2 mau dinaikkan 250 %, langsung meledak demo gede banget! Warga turun tangan, ngotot minta kenaikan dibatalin, bupati mundur, dan beberapa kebijakan lain juga ditinggal. Demo itu sampai ribuan orang ‘ngamuk’ di Alun-Alun dan Pendopo—dan bupati akhirnya cabut kenaikan pajak, DPRD pun buka penyelidikan. Gila abis, protesnya sukses lumayan.
Di Jombang? Warganya nggak turun ke jalan, tapi malah ngurus formalitas: ajukan keberatan ke Bapenda. Dan ternyata, banyak yang berhasil turun drastis—kayak dari jutaan ke ratusan ribu aja. Pemerintah jelasin, masalahnya dari NJOP appraisal 2022 yang nggak nyambung sama realita. Akhirnya, mereka kerjasama ama desa buat benahin data biar 2026 gak kejadian lagi kayak gini.
Warga Cirebon sempet “colek mati” gara-gara tagihan pajaknya naik sampe 1.000 %! Terus DPRD dan Pemkot langsung angkat kaki: revisi Perda diturunin tarifnya dari maximal 0,5 % ke 0,3 %, bisa jadi 0,25 %. Plus, Pemda hadir bawa hadiah: diskon bayar awal hingga 20 %, dan hapus denda pajak sampai 2009! Politik smart move banget, bro.
Jadi, intinya nih: Pati ngerespons dengan gosip langsung ke demo, dramanya maxi, dan akhirnya kebijakan ditarik. Jombang ngerespons dengan buka ticket keberatan, negosiasi pake data—hasilnya? Naikan pajak turun banyak. Cirebon ngeresponsnya dengan kerja win-win—tarif diturunin, warga dikasi diskon, aturan direvisi—smooth move!

Tepatkah aturan pajak PBB yang langsung naik drastis ini? Jawabnya: niatnya sih bisa dimaklumi—makin update NJOP dan ngisi kas daerah itu penting kok. Tapi eksekusinya? Kayak dipake hidden camera prank ke warga—langsung kena lonjakan bikin shock.

Dampak jangka pendeknya, wagelan nih: dompet warga langsung “demam dan sakit”. Daya beli turun, kebutuhan sehari-hari keteteran, dan kelas menengah jadi makin was-was. Bisnis kecil juga ikut stres, kredit macet, toko-toko malah pada nahan barang. 
Menengah ke depan, tekanan ini makin ngefek panjang. Konsumsi enggan nambah, warga cenderung hemat habis-habisan. Investor pun mikir dua kali, takut pajak makin ribet. Proyek-proyek tertunda, ekonomi “ngepas” terus.
Kalau sreg dipakai bener, jangka panjangnya bisa mantep: duit pajak dipakai buat infrastruktur—jalan mulus, sekolah oke, kesehatan jalan—bisa cetak produktivitas dan ekonomi naik lagi. Tapi kalau uang dikumpulin doang tanpa jelas transparansi atau manfaat tajir, ya bahaya: investor kabur, ekonomi mandek, kepercayaan publik buyar.
Selain itu, dari survei di Pati keluar angka keren banget: 98 % warga bilang, ini pajak terlalu ngebentur keadilan sosial dan kemampuan ekonomi mereka. Rasanya kebijakannya cuma bikin warga tambah gemas.
Jadi singkatnya: reformasi pajak itu niatnya keren dan perlu. Tapi kalau dijalankan kayak “boom, lonjakan bikin warga syok,” ya sayang—efeknya jadi negatif abis, terutama kalau nggak jelas rekam jejak penggunaan uangnya. Ayo dong, selanjutnya bikin kebijakan yang santai tapi pastinya fair!

Strategi naikin PBB itu nggak bisa cuma modal “udah diumumin kok di koran” terus kelar. Kalau langsung sikat naik tinggi-tinggi di tengah situasi ekonomi kayak sekarang, ya siap-siap aja warga pada ngegas di medsos, buru-buru jual tanah, atau pindah ke daerah pajaknya lebih murah. Jangka menengahnya, bisa bikin orang males investasi di properti atau lahan, proyek pengembangan terhambat, dan kota jadi makin penuh orang kaya yang tahan banting pajak. Kalau dibiarkan lama, efeknya bisa bikin kepemilikan lahan dikuasai segelintir investor, warga lama kehilangan “kampung halamannya,” dan beban pajak makin terasa berat buat yang pendapatannya segitu-gitu aja.
Soal komunikasi publiknya, jangan kira cukup bikin infografis cantik terus upload di Instagram resmi pemda. Narasinya harus jelas, adil, dan kelihatan manfaatnya, sambil nunjukin pemerintah juga ikutan berhemat, bukan cuma rakyat yang diminta bayar lebih. Harus ada penjelasan simpel soal cara hitungnya, buka jalur komplain yang gampang, dan kasih opsi nyicil biar nggak bikin kaget. Kalau komunikasinya kaku dan jauh dari realita warga, ya siap-siap aja PBB naik ini jadi meme “pajak bikin sesak napas” di timeline.

Pajak itu ibarat pisau dapur: kalau dipegang koki yang bener, bisa jadi sop hangat yang bikin semua orang kenyang; kalau dipegang orang yang niatnya jelek, bisa jadi alat buat nyakitin. Di sisi manfaat, pajak adalah darah yang ngalir di nadi APBN, yang bikin negara bisa bangun jalan, sekolah, rumah sakit, sampai ngasih subsidi biar rakyat nggak terlalu ngos-ngosan hidup. Kalau diracik dengan resep yang tepat, pajak juga jadi cara negara ‘ngambil lebih’ dari yang kaya buat bantuin yang kurang mampu, biar jurang kaya-miskin nggak makin dalam. Nggak cuma itu, pajak bisa jadi alat ngarahin perilaku, kayak ngegasin pajak rokok biar orang mikir dua kali sebelum ngerokok, atau ngasih insentif buat bisnis yang ramah lingkungan. Dan yang paling penting, pajak yang sehat bikin negara nggak ngemis-ngemis sama utang luar negeri.
Tapi, pajak juga punya sisi gelap kalau salah kelola. Korupsi dan maling anggaran bisa bikin duit pajak mampirnya cuma ke kantong segelintir orang, bukan ke rakyat banyak. Pajak yang kelewat tinggi atau waktunya nggak pas bisa bikin ekonomi nyungsep, daya beli rakyat kempes, bahkan bikin bisnis gulung tikar. Kalau salah desain, pajak bisa bikin harga barang naik nggak karuan atau malah memancing perdagangan ilegal buat ngindarin bea masuk. Yang paling nyesek sih kalau sistem pajaknya nggak adil: orang kecil rajin bayar pajak, sementara konglomerat santai ngumpet di celah hukum atau parkirin duitnya di luar negeri.
Singkatnya, pajak itu senjata bermata dua. Kalau diatur bener, dia jadi mesin kemajuan dan keadilan sosial. Kalau dibiarkan ngawur, dia cuma jadi cara canggih buat ngeperas rakyat dan nyedotin ekonomi.

Dari perspektif filosofis dan politik, pajak itu ibarat kontrak tak tertulis antara rakyat dan negara: kita nyetor duit, negara yang urus keamanan, bikin aturan, dan ngasih layanan publik. Secara teori, ini bentuk moral duty — kewajiban moral — buat saling jaga. Tapi di dunia nyata, selalu ada debat, “Eh, sampai sejauh mana sih negara boleh ngoprek isi kantong rakyat?”
Dari perspektif ekonomi, pajak itu senjata utama negara buat dapetin duit, bagi-bagi kekayaan biar nggak timpang-timpang amat, dan ngatur perilaku pasar. Pajak bisa bikin orang semangat atau males investasi, bisa ngejaga ekonomi stabil atau malah bikin loyo, tergantung pinter nggaknya kebijakan.
Dari perspektif sosial, pajak jadi simbol gotong royong modern. Semua orang chip in biar sistem jalan. Tapi kalau beban pajaknya cuma numpuk di kelompok tertentu, siap-siap aja ada drama sosial, mulai dari protes sampai ngeles-ngeles biar nggak bayar.
Dari perspektif budaya, cara pandang soal pajak dipengaruhi sejarah dan kebiasaan. Di sebagian negara, bayar pajak itu kebanggaan, tanda cinta tanah air. Di tempat lain, pajak malah dipandang kayak “biaya admin” buat nyogok birokrasi yang korup. Jadi, budaya menentukan banget apakah orang rela bayar pajak atau malah cari cara buat ngilang.

Dari sudut pandang filosofi dan politik, pajak itu ibarat wujud nyata dari kontrak sosial—semacam perjanjian tak tertulis kalau rakyat nyumbang sebagian rezekinya buat ngehidupin institusi bareng-bareng yang bikin kehidupan kolektif bisa jalan. Ini bukan cuma soal negara punya kuasa, tapi juga soal tanggung jawab timbal balik—rakyat nyokong negara lewat kontribusinya, dan negara balas dengan ngasih perlindungan, hak, kebebasan, sama kesejahteraan. Jadi, pajak di sini bukan cuma kewajiban finansial, tapi kayak janji moral yang dijaga sama rasa saling percaya dan pemakaian dana yang adil.
Dari perspektif ekonomi, pajak jadi alat vital buat bagi-bagi sumber daya, ngeratain kekayaan, dan ngejaga kestabilan ekonomi. Lewat pajak, pemerintah bisa biayain fasilitas umum dan layanan yang pasar nggak bisa sediakan sendiri secara efisien, kayak jalan raya, sekolah, atau rumah sakit. Kebijakan pajak bisa bikin ekonomi tumbuh, ngerem inflasi, atau ngecilin jurang ketimpangan—tergantung gimana desain dan penerapannya. Singkatnya, ini kayak tuas tak kasat mata yang ngarahin arus ekonomi biar lebih seimbang dan tahan lama.
Dari kacamata sosial dan budaya, pajak itu membentuk “DNA” kolektif masyarakat—bisa ngaruhin cara pandang soal keadilan, solidaritas, dan rasa tanggung jawab warga negara. Cara orang nerima, nolak, atau nyiasatin pajak nunjukin seberapa besar nilai dan rasa percaya mereka sama otoritas. Di beberapa budaya, bayar pajak itu prestise, tanda bangga jadi bagian dari masyarakat yang jalan sistemnya. Tapi di tempat lain, pajak malah bikin sinis, dianggap nyerah ke sistem yang korup atau nggak becus. Intinya, pajak itu bukan sekadar mekanisme ekonomi, tapi juga cermin yang nunjukin kualitas moral masyarakat.

Dari perspektif filosofi dan politik, pajak itu bukan sekadar kewajiban bayar duit, tapi kayak kontrak sosial antara yang diperintah sama yang memerintah. Intinya, rakyat nyetor sebagian hasil jerih payahnya buat negara, dan negara janji ngejaga ketertiban, nyediain layanan penting, sama ngejaga kelangsungan negaranya sendiri. Dari kacamata politik, pajak itu sekaligus alat buat ngatur dan cermin nilai moral para penguasa—ketahuan deh apa yang mereka anggap penting dan rela rakyatnya “patungan” demi kebaikan bersama.
Dari sisi ekonomi, pajak itu mesin buat ngisi kas negara sekaligus tombol pengatur perilaku ekonomi. Bisa buat meratakan kekayaan, nyemangatin atau ngerem belanja, sampai benerin ketimpangan pasar. Efektif atau nggaknya sih bisa diperdebatin, tapi keberadaannya buat ngejalanin ekonomi modern udah nggak bisa ditolak lagi.
Dari sisi sosial dan budaya, pajak itu wujud tanggungjawab bareng-bareng buat ngejaga sesama. Ada akarnya dari tradisi saling bantu, sedekah, dan kewajiban warga negara. Tapi soal mau diterima atau dilawan, biasanya tergantung apakah sistemnya dianggap adil atau kagak. Di beberapa budaya, bayar pajak itu kayak badge of honour warganegara keren, tapi di tempat lain malah dianggap kayak “setoran paksa” dari atasan yang jauh di sana.

Kendati kata “pajak” dan “zakat” sama-sama punya pola huruf vokal yang mirip, mereka ibarat beda alam dan beda misi hidup. Pajak itu kewajiban finansial yang dipungut negara buat ngebiayain layanan publik, bangun jalan, bayar gaji PNS, dan ngejalanin birokrasi.Sifatnya duniawi banget, diatur hukum buatan manusia, dan tarifnya bisa berubah-ubah tergantung kebijakan politik yang lagi ngetren. Zakat beda banget—ini perintah langsung dari Allah dalam Islam, jumlahnya udah fix persentasenya, dan cuma boleh dikasih ke golongan yang udah ditentuin Qur’an dan Sunnah. Zakat itu ibadah, tujuannya bukan cuma ngebantu orang lain tapi juga ngebersihin harta dan hati kita. Jadi kalau pajak itu mesin negara, zakat itu panggilan langit.

Dalam sejarah umat manusia, pajak itu muncul gara-gara negara butuh duit buat ngurus administrasi dan perang, biasanya di-backup sama penguasa yang merasa punya hak buat narik “iuran wajib” dari rakyatnya. Di zaman Mesir Kuno, Mesopotamia, sampai Kekaisaran Romawi, pajak sering dibayar pakai gabah, ternak, atau logam mulia—dan ini lebih soal kebutuhan politik ketimbang kewajiban moral. Seiring waktu, sistem pajak makin rapi, masuk hukum, tapi intinya tetap: alat negara buat jalanin kekuasaan, dijaga birokrasi, dan dibenarkan demi “kebutuhan rakyat” (versi penguasa).
Zakat beda cerita. Dari awal kemunculannya di era Rasulullah ﷺ, zakat sudah diatur langsung sama wahyu Qur’an, dengan tujuan bukan buat ngebiayain kekuasaan, tapi buat nyuciin harta dan nguatin solidaritas sosial. Di Madinah zaman dulu, zakat dikumpulin oleh petugas yang ditunjuk, tapi semuanya dibungkus sebagai ibadah—jadi bukan cuma transfer uang, tapi ada nilai spiritual yang nyambungin pemberi, penerima, dan Allah. Lama-lama, kerajaan-kerajaan Islam juga bikin sistem resmi buat zakat, tapi pondasinya tetap ibadah, bukan sekadar urusan kas negara.
Jadi meskipun sama-sama bikin harta “pindah tangan” ke pihak pengelola, sejarahnya jelas beda: pajak lahir dari urusan pragmatis kekuasaan dunia, sedangkan zakat lahir dari ikatan suci antara iman dan masyarakat.

Banyak ulama menolak keras ide menyamakan pajak dengan zakat, karena keduanya beda banget dari segi asal-usul, tujuan, dan status agamanya. Zakat itu ibadah yang udah ditetapin langsung sama Allah, ada aturannya jelas di Al-Qur’an dan Sunnah, dan cuma boleh disalurin ke golongan yang udah ditentukan. Ngeluarin zakat itu ibadah yang bikin harta jadi berkah dan nambah rasa solidaritas sesama Muslim. Pajak, sebaliknya, itu kewajiban bikinan manusia yang diatur pemerintah buat ngebiayain layanan publik, jumlahnya bisa berubah-ubah tergantung situasi politik dan ekonomi. Kalau disamain, kata para ulama, bisa-bisa orang jadi nganggep bayar pajak udah cukup gantiin zakat, padahal nggak sama sekali. Makanya, baik ulama klasik maupun modern sama-sama bilang: meskipun pajak dan zakat sama-sama punya fungsi sosial dan ekonomi, zakat itu pilar Islam yang nggak bisa digantiin. Zakat itu ranah ibadah yang nyambung langsung ke Allah, pajak itu ranah administrasi negara yang nyambungnya ke kantor pajak, bukan ke langit.

[Bagian 2]