Selasa, 05 Agustus 2025

How to "Ngibul" with Survey (2)

Pernah gak loe denger istilah “Ternak Mulyono”? Nah, ini tuh lahir dari media sosial kayak TikTok, dipake buat sindiran cerdas ala meme politik gitu. Intinya sih, “ternak” itu ngasih bayangan tentang bagaimana elit politik kayak beternak loyalis—bukan karena pinter atau kompeten, tapi karena setia. Dan “Mulyono” itu bukan orang sungguhan—cuma nama yang dipakai sebagai simbol penguasa. Istilah ini kemudian jadi semacam “kode rahasia” anak muda digital buat nunjukin kejenuhan terhadap sistem yang penuh patronase dan oligarki—dengan gaya yang lucu, tajam, dan gampang viral! 
“Termul” itu, singkatan dari “Ternak Mulyono,” tuh kayak istilah satir kece buat nudging supporter-nya Jokowi dan gengnya. Bayangin, mereka itu ‘dipelihara’ macam hewan ternak—bukan karena mereka punya opini sendiri—tapi karena loyalitas yang udah ditanam dari atas. Singkat cerita, istilah ini lumayan nyindir, bilangnya followers itu lebih milih setia daripada berpikir mandiri gitu.
“Termul” itu biasanya sindiran buat fans garis keras yang buta-buta kocak atau terlalu fanatik, apalagi di dunia politik—sering jadi bahan roasting di obrolan medsos yang dalam banget, bahkan nyerempet ke pejabat publik—tapi sampai sekarang nggak ada bukti nyata kalau ada pejabat resmi yang dengan bangga ngaku dirinya Termul.

Dalam dunia politik, “Termul” dan manipulasi survei itu ibarat pasangan duet lawak yang selalu tampil kompak. Termul adalah penonton setia yang akan tepuk tangan meski pertunjukannya zonk, sementara manipulasi survei adalah sound engineer yang ngatur volume tepuk tangan itu biar terdengar kayak konser penuh. Hasilnya? Suasana jadi kelihatan meriah padahal setengah kursi kosong, dan angka kepuasan publik pun melonjak—setidaknya di kertas.
Kalau diibaratkan konser, Termul itu rela antre dari subuh demi masuk barisan depan, terus percaya sepenuhnya kalau penyanyinya selalu nyanyi live, padahal setengahnya lipsync. Nah, manipulasi survei adalah manajer panggung yang sibuk menyebar flyer ke media, bilang konsernya sold out dan semua penonton puas 100%. Padahal, kalau dicek ke belakang panggung, ada penonton yang udah pulang sambil komplain—tapi cerita itu keburu ketutup oleh narasi “sukses besar” versi panitia.

Dalam “The Opinion Makers” karya David W. Moore (2008, Beacon Press), editor senior Gallup sendiri yang ngebongkar borok survei politik! David Moore ngegas habis gimana seringnya polling gak nunjukin pendapat rakyat, tapi malah dibikin-bikin biar sesuai pesanan sponsor. Dari cara ngerancang pertanyaan sampai cara media muter balik hasil survei—semuanya penuh trik sulap politik.

Menurut Moore, pertanyaan survei itu bisa banget dibikin supaya hasilnya sesuai pesenan—tinggal ubah-ubah dikit cara nanyanya. Moore, yang dulunya editor senior di Gallup Poll, blak-blakan cerita gimana kata-kata yang dipilih dalam pertanyaan bisa "ngarahin" jawaban publik. Misalnya, kalau kata-katanya dibumbui rasa takut, nasionalisme, atau drama moral, orang cenderung jawab sesuai arah itu. Parahnya lagi, kadang pertanyaan dibikin tanpa info penting atau pilihan jawaban sengaja dibatasi, biar hasilnya keliatan pro atau kontra sama tokoh atau kebijakan tertentu. Jadi, polling itu kadang bukan cerminan suara rakyat, tapi lebih kayak alat buat ngatur opini—asal duit surveinya ngalir ke yang punya kepentingan.
Moore ngebongkar cara-cara licik gimana pertanyaan survei bisa disulap buat nyari jawaban yang diinginkan. Triknya? Ya tinggal mainin kata-kata. Pertanyaannya bisa dibikin ambigu, nyentuh emosi, atau dipoles dengan framing yang "menggiring". Misalnya, nanya “Apakah Anda mendukung upaya pemerintah melawan terorisme?” pasti lebih banyak yang jawab “iya” ketimbang kalau ditanya “Apakah Anda setuju pemerintah memata-matai warganya?”—padahal topiknya sama aja.
Gak cukup sampai situ. Moore juga bilang, hasil polling-nya sering banget dipelintir pas udah keluar. Media dan politisi suka ngambil data yang cocok ama agenda mereka, trus disebar seakan-akan itu suara mayoritas. Data yang bertentangan? Ya dibuang di tong sampah. Judul berita pun bisa lebay, misalnya “Rakyat Mendukung Plongak-plongok!” padahal yang setuju cuma 30% dan sisanya bingung. Moore bilang, praktik kayak gini bikin polling jadi alat propaganda, bukan cermin demokrasi. Alih-alih dengerin rakyat, yang ada malah rakyat digiring buat mikir seperti yang penguasa mau.

Polls and Politics: The Dilemmas of Democracy (diedit oleh Michael A. Genovese dan Matthew J. Streb,  SUNY Press, 2004) ngebongkar gimana polling—apalagi yang sering banget nongol di TV—bisa menjadi alat demokrasi, tapi juga bisa berubah jadi senjata manipulasi publik. Ibarat dua sisi mata uang: bisa bikin rakyat ngerasa didengerin, tapi juga bisa bikin rakyat cuma jadi penonton sinetron politik.
Isinya seru, ada bahasan soal gimana polling dipake buat “nge-sounding” opini publik, bukan buat dengerin suara publik beneran. Misalnya, ada bab tentang push polling—itu kayak polling yang niatnya bukan ngumpulin pendapat, tapi malah nyebar hoaks terselubung. Contoh, nanya ke orang: “Gimana pendapat Anda tentang kandidat X yang katanya korup?”—padahal belum tentu korup, itu cuma narasi yang sengaja dilempar sambil nyamar jadi survei. Halus tapi nusuk.
Genovese dan Streb juga ngulik gimana politisi, terutama presiden dan tim kampanye, ngandelin polling buat ngatur citra dan strategi. Bukan mikirin kebijakan buat rakyat, tapi mikirin gimana biar polling mereka naik terus. Media juga ikut main peran: suka banget bikin drama politik model horse race, alias “siapa unggul, siapa turun,” bukan bahas isi program. Hasilnya? Rakyat bisa jadi sinis, makin cuek, dan makin susah percaya sama demokrasi itu sendiri. Pokoknya, polling di era TV dan media massa tuh udah bukan sekadar termometer opini publik—tapi bisa jadi remote kontrol buat ngatur persepsi rakyat.

Dalam Trust Me, I’m Lying: Confessions of a Media Manipulator (2012, Portfolio/Penguin), Ryan Holiday buka-bukaan tentang betapa gampangnya data palsu atau berat sebelah—termasuk polling—dimasukin ke ekosistem media buat nyetel narasi sesuai pesanan bos besar. Sebagai mantan tukang setting media, Holiday cerita gimana blog dan situs berita zaman now lebih mikirin klik dan kecepatan ketimbang verifikasi. Nah, celah ini dimanfaatin buat nyebar data tipu-tipu: bisa lewat polling yang sengaja dimiringin, survei pesanan, atau infografis ngadi-ngadi yang dikasih ke blog kecil. Dari situ, berita ini naik kelas—dikutip media lebih gede, masuk headline, dan tiba-tiba dianggep fakta.
Trik ini sukses karena media hari ini lapar konten, dan gampang kepincut ama angka-angka yang kelihatan "ilmiah". Begitu ada persentase atau hasil survei nongol, walau ngawur, doi jadi punya nyawa sendiri—diulang-ulang, dishare, terus dipercaya. Holiday bilang, kadang PR agency atau tim politik sengaja biayain riset bo'ongan dengan metode licik, terus hasilnya dipake buat ngangkat produk, jualan politisi, atau menjatuhkan lawan. Ujung-ujungnya, meski nanti dibantah, dampak headline pertamanya udah keburu nyebar. Kata Holiday, permainan ini bukan cuma nipu publik, tapi juga ngancurin dasar penting demokrasi: warga yang melek informasi.
Kalau ibaratnya sih, ini kayak masak hoaks pakai bumbu statistik, terus disajiin di meja makan rakyat—dan sayangnya, lebih banyak yang langsung dilahap tanpa ngecek rasa.

Taking Society’s Measure karya Herbert Hyman yang keluar tahun 1991, diterbitin sama Russell Sage Foundation—kayak foundation kece yang ngasih ruang buat penelitian sosial gitu, ya. Dalam buku ini, Hyman ngobrol santai tentang gimana survei masyarakat jadi senjata rahasia buat tau kondisi sosial dari tahun 1930an sampai sekitar 1960an. Bayangin, doi tuh langsung terlibat ama lembaga keren kayak Departemen Pertanian AS, Office of War Information, sampai survei bom‐bom pas perang di Jerman dan Jepang, juga NORC sama Bureau of Applied Social Research di Columbia—pokoknya dia ikut nyiptain sejarahnya survei sosial modern.
Gaya ceritanya tuh fun tapi tetep dalem, karena memang doi cerita dari pengalaman sendiri sambil ngulik soal tantangan teknis, orang-orang hebat yang doi kenal, dan jaringan persahabatan informal yang bikin metode ini berkembang. Jadi bukan cuma sejarah de-sar-tas, tapi juga kayak nonton behind-the-scenes perkembangan survei yang sekarang kita anggap biasa aja.
Hyman bawa kita ke era Perang Dunia II, dimana kebutuhan mendesak bikin peneliti—banyak yang sambil belajar—harus nyiptain metode survei yang rapi banget di tengah tekanan gila. Dari Divisi Program Survei, Kantor Informasi Perang, Research Branch militer, sampai proyek survei pemboman di Jerman dan Jepang, semua jadi tempat eksperimen inovasi: sampling probabilitas, wawancara terstruktur, dan sistem coding yang bikin data bisa dipercaya. Di sini, survei bukan cuma soal teori, tapi bener-bener dipakai buat ngatur strategi militer, ngejaga semangat rakyat, dan ngarahin kebijakan negara secara langsung.
Hyman cerita gimana lembaga kayak National Opinion Research Center dan Bureau of Applied Social Research di Columbia University nge-upgrade warisan survei perang jadi disiplin akademis yang dihormati. Metodenya makin cakep, teorinya makin luas, topiknya nggak lagi cuma soal perang tapi juga sikap sosial, dinamika komunitas, sampai komunikasi massa. Dengan dukungan dana gede, pengakuan akademik, dan proyek internasional, survei akhirnya punya status mapan dan gengsi tinggi. Di akhir, Hyman kayak mau bilang: masa perang itu bukan cuma bukti kalau survei bisa diandelin, tapi juga pondasi kokoh buat bikin survei jadi alat wajib dalam ilmu sosial dan pengambilan keputusan publik.

Lewat Taking Society’s Measure, Hyman intinya mau bilang: survei itu bukan cuma teknik ngumpulin data, tapi alat sosial hidup yang dibentuk sama konteks sejarah, politik, dan lembaga yang memakainya. Dari cerita pribadinya, kita lihat kalau legitimasinya lahir pas momen-momen genting—paling dramatis pas Perang Dunia II—ketika kebutuhan info yang valid dan cepat bikin para peneliti harus kreatif, nyoba hal baru, dan nge-upgrade cara kerja mereka. Menurutnya, masa perang jadi ajang pembuktian sekaligus batu loncatan buat masa pasca-perang, dimana survei resmi naik kasta jadi disiplin akademis yang dihormati, sanggup ngarahin kebijakan, memandu debat publik, dan memperkaya ilmu sosial. Kesimpulannya, survei itu berharga bukan cuma karena metodenya rapi, tapi karena bisa nyambungin data empiris dengan masalah nyata manusia—bikin pengetahuan jadi senjata praktis buat bikin perubahan di masyarakat.

Dalam The Art of Statistics (2019, Penguin Books), Sir David Spiegelhalter ngasih tahu kita kalau angka itu jarang bicara sendiri—mereka tipuan lentur yang bisa dibentuk dari pertanyaan mana yang diajukan, data mana yang dipilih, dan cerita apa yang kita lapisi di atasnya. Doski ngeringkas bahayanya lewat istilah ‘taman berjalur bercabang’ atau garden of forking paths, di mana setiap langkah analisis—mulai dari berhenti ngumpulin data sampai ngebelah variabel—bisa bikin hasil survei melenceng parah. Makanya, saat baca survei, jangan cuma mikir angka-nya apa, tapi juga gimana proses lahirnya—dan siapa yang diuntungin.
Lebih lanjut, Spiegelhalter ngajarin kita jadi ninja skeptis: saat loe lihat klaim statistik yang dipamerin lewat headline atau kampanye politik, justru itu pertanda buat gak percaya aja dulu, ini mirip banget sama prinsip Groucho bermuka curiga. Di dunia dimana angka bisa disulap kayak genjutsu, skeptis sehat ini jadi senjata ninja kita: alat untuk nembus ilusi dan merebut kembali kebenaran di balik data.

[Part 1]