Minggu, 26 Oktober 2025

Adilkah Keadilan Sosial Itu? (2)

Dari segi ideologi, "keadilan sosial" dapat dipahami sebagai visi atau pandangan dunia yang membingkai masyarakat manusia bukan sekadar kumpulan individu yang mengejar kepentingan pribadi, melainkan sebagai komunitas yang saling terhubung dan terikat oleh hak dan kewajiban bersama. Berdasarkan perspektif ideologis ini, keadilan sosial menekankan bahwa ketimpangan struktural tertentu—baik yang bersumber dari kelas, ras, gender, kebangsaan, atau poros perbedaan lainnya—bukanlah sekadar kebetulan, melainkan signifikan secara moral dan memerlukan reformasi. Menurut Thomas Patrick Burke dalam bukunya "The Concept of Justice: Is Social Justice Just?", akar ideologis dari konsepsi ini berasal dari ajaran sosial Katolik awal dan teori politik abad ke-19, dimana gagasan "untuk masing-masing sesuai kebutuhannya, dari masing-masing sesuai kapasitasnya" mulai menginformasikan kritik sosial.

Scott David Allen, lewat karyanya Why Social Justice Is Not Biblical Justice (2020, Credo House Publishers), dengan tegas bilang bahwa “social justice” yang ramai dibahas zaman sekarang udah jauh banget dari apa yang disebut “keadilan” versi Bible. Pertanyaannya sederhana tapi tajam: apakah social justice itu bener-bener keadilan yang digambarkan dalam Bible? Jawabannya, menurut Allen, tegas banget—enggak sama sekali. Buat doski, social justice modern bukan lanjutan ajaran moral Tuhan, dalam konteks Bible, tapi hasil fermentasi ide-ide sekuler yang lahir dari postmodernisme dan teori kritis.
Menurut Allen, keadilan dalam Bible itu mengalir dari hukum moral Tuhan yang nggak pernah berubah. Isinya soal kebenaran, tanggungjawab pribadi, dan kesadaran bahwa tiap manusia bakal dimintai pertanggungjawaban langsung oleh Tuhan. Sedangkan social justice versi sekarang, katanya, udah geser fokus: dari dosa pribadi ke “penindasan sistemik”, dari moral ke struktur sosial. Kalau Alkitab ngajarin semua manusia setara di hadapan Tuhan dan disuruh bela yang lemah, social justice modern justru ganti patokan — bukan lagi soal benar atau salah, tapi soal menyamaratakan hasil akhirnya.
Allen juga nyentil keras budaya “playing victim” alias mental korban yang sering muncul dalam narasi social justice. Menurutnya, kalau sumber kejahatan dianggap cuma sistem atau kelompok tertentu, manusia jadi lupa bahwa akar ketidakadilan itu ada di hati sendiri. Akibatnya, alih-alih nyari rekonsiliasi dan tobat, orang malah sibuk nyalahin pihak lain. Ujungnya, bukan kedamaian yang didapat, tapi makin banyak polarisasi dan kebencian.
Meski begitu, Allen nggak asal menolak ide keadilan. Doski justru ngajak orang Kristen balik ke makna aslinya: keadilan yang datang dari kasih, kerendahan hati, dan keberanian moral. Bukan perang ideologi, tapi pembaruan hati. Bagi Allen, Gereja jangan cuma duduk di pinggir lapangan; tapi juga turun tangan dalam masyarakat—bawa cahaya iman ke tengah gelapnya debat duniawi. Menurut dia, Injil tetap jadi fondasi paling kokoh buat bentuk keadilan yang sejati.
Karya Allen ini kayak campuran antara sirene peringatan dan ajakan buat mikir. Ia mengingatkan bahaya terseret arus ideologi “justice” yang kehilangan ruh spiritual, tapi juga mengajak orang punya empati dan ketegasan buat menegakkan keadilan sejati lewat kacamata iman. Pesannya jelas: sebelum ngomong soal “justice”, tanyakan dulu—loe membela keadilan versi siapa? Duniawi, atau Keilahian?

Dalam Social Justice Fallacies (2023), Thomas Sowell ngebahas beberapa kesalahan logika yang sering muncul dalam gerakan keadilan sosial. Doski bilang, banyak ide yang kelihatannya keren tapi sebenernya malah bikin masalah baru. 
Pertama, ada yang namanya "Fallacy Kesempatan Setara (Equal Chances Fallacy)". Anggepan ini bilang kalau semua orang dikasih kesempatan yang sama, hasilnya bakal sama juga. Tapi menurut Sowell, enggak gitu juga sih. Banyak faktor lain, kayak pilihan pribadi, budaya, dan sejarah, yang mempengaruhi hasil akhirnya.
Terus, ada juga "Fallacy Pengetahuan (Knowledge Fallacy)". Ini tuh anggepan kalau para ahli atau pembuat kebijakan pasti tahu cara terbaik buat nyelesein masalah keadilan sosial. Padahal, kata Sowell, nggak semua masalah bisa diselesein dengan perencanaan dari atas. Pengetahuan lokal dan keputusan individu juga penting banget.
Nah, ada juga "Fallacy Pion-pion Catur (Chess Pieces Fallacy)". Ini tuh anggepan kalau orang-orang itu cuma pion yang bisa dipindah-pindah buat mencapai tujuan tertentu. Padahal, kita semua punya kebebasan dan hak untuk menentukan nasib sendiri, bukan cuma alat buat tujuan orang lain.
Terus, ada "Fallacy Rasial (Racial Fallacy)". Ini tuh anggapan kalau perbedaan hasil cuma gara-gara diskriminasi rasial. Memang sih, rasisme itu ada, tapi kata Sowell, kita juga harus ngelihat faktor lain kayak struktur keluarga, budaya, dan pilihan individu yang juga berpengaruh.
Terakhir, ada "Fallacy Afirmasi Aksi (Affirmative Action Fallacy)". Ini tuh kebijakan yang ngasih perlakuan khusus buat kelompok tertentu buat ngimbangin ketimpangan masa lalu. Tapi, kata Sowell, kadang malah bikin orang yang dibantu jadi nggak siap dan malah gagal.

Intinya, Sowell ngajak kita buat mikir lebih dalam dan nggak gampang kejebak sama ide-ide yang kelihatannya keren tapi sebenernya nggak efektif. Kita harus nyari solusi yang bener-bener mempertimbangkan semua faktor dan nggak cuma ngandelin asumsi-asumsi yang keliru.

Sowell ngasih beberapa saran buat menghindari jebakan-jebakan dalam pemikiran keadilan sosial. Doski bilang, kebijakan hendaknya didasari oleh bukti nyata, bukan cuma teori atau asumsi. Haruslah disadari kalau manusia itu kompleks, jadi jangan mikir semuanya bisa diselesaikan dengan solusi simpel. Sowell juga ngingetin, jangan anggap orang cuma alat buat capai tujuan tertentu; kita semua punya hak dan kebebasan. Terakhir, doski bilang, para pembuat kebijakan hendaknya sadar bahwa mereka nggak selalu punya jawaban pasti buat semua masalah; kadang, pengetahuan lokal dan keputusan individu itu lebih penting daripada rencana dari atas.

Bayangin kalo konsep "keadilan sosial" itu kayak jargon yang sering dipake orang, tapi makin lama makin nggak jelas maksudnya. Nah, dalam karyanya yang berjudul Reconstructing Social Justice, Lauretta Conklin Frederking bilang bahwa kita kudu ngubah cara pandang kita soal keadilan sosial. Doski ngajarin kita buat ngeliat keadilan sosial bukan cuma sebagai hasil dari kebijakan atau ideologi, tapi sebagai proses yang melibatkan tanggungjawab sosial.
Frederking juga ngasih contoh nyata, kayak kontroversi setelah 9/11 dan komisi kebenaran serta rekonsiliasi di berbagai negara, buat nunjukin gimana keadilan sosial itu bekerja dari level mikro sampai makro. Doski juga ngulik gimana keadilan sosial bisa nyembuhin masyarakat yang lagi terpecah gara-gara politik, ekonomi, teknologi, atau bahkan agama.

Frederking bilang kalau keadilan sosial itu nggak cuma berlaku di tingkat makro aja, tapi juga di level kecil—dari interaksi sehari-hari antarindividu dan komunitas sampai struktur nasional dan global. Di level mikro, keadilan sosial muncul lewat komunikasi yang jujur, transparan, dan saling bertanggungjawab. Jadi, meski cuma lewat tindakan kecil kayak fair play, menghargai atau ngedengerin perspektif orang lain, hubungan sosial di komunitas bisa diperbaiki dan kepercayaan bisa dibangun lagi.
Di level makro, Frederking ngeliat keadilan sosial sebagai prinsip yang bisa ngebimbing institusi, kebijakan, dan norma masyarakat. Dengan prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi aktif diterapin dalam pemerintahan, ekonomi, atau teknologi, ketimpangan struktural bisa dikurangi dan hasil yang lebih adil bisa dicapai. Jadi, keadilan sosial ini ibarat proses penyembuhan: bisa meredakan perselisihan, mendorong rekonsiliasi, dan membangun kembali kepercayaan antargrup yang terpecah gara-gara politik, ekonomi, atau teknologi.
Frederking juga negesin kalau keadilan sosial nggak bisa cuma dipaksain dari atas, tapi harus dibangun bareng-bareng lewat dialog dan problem solving kolaboratif. Fokusnya ada di proses, bukan cuma hasil yang kaku, biar masyarakat yang retak bisa bersatu lagi dan tercipta perdamaian serta kerjasama yang lebih sustainable.
Karya Frederking ini ngajarin kita buat nggak cuma ngomongin keadilan sosial, tapi juga ngelakuin prosesnya dengan jujur dan terbuka, walaupun pasti ada perbedaan pendapat. Dengan gitu, kita bisa ngerasain koneksi dan maju bareng sebagai satu kesatuan komunitas.

Honouring Social Justice yang disunting oleh Margaret E. Beare, sebagai penghormatan kepada mendiang Dianne Martin, seorang cendekiawan, pengacara, dan aktivis sosial terkemuka, dimana kumpulan esai ini disusun oleh para ahli hukum, kriminolog, dan sosiolog terkemuka, yang membahas berbagai isu keadilan sosial kontemporer. Esai-esai ini menyelami topik-topik seperti penargetan kelompok marjinal, vonis yang salah, bias berbasis gender dalam hukum, akuntabilitas pemerintah, dan ketidaksetaraan dalam penerapan hukum terhadap kelompok etnis dan sosial-ekonomi. Para kontributor bertujuan untuk memberikan pengantar yang mencerahkan tentang latar belakang penyebab sosial yang penting dan menggambarkan contoh-contoh dedikasi tentang bagaimana secara efektif memperjuangkan seruan untuk keadilan sosial.
Kesimpulan utama dari buku ini adalah bahwa meskipun telah ada kemajuan dalam menangani isu-isu keadilan sosial, tantangan signifikan masih tetep ada. Para kontributor menekankan perlunya upaya berkelanjutan untuk mereformasi sistem peradilan pidana, memastikan bahwa sistem tersebut adil dan setara bagi semua individu, tanpa memandang latar belakang atau identitas mereka. Esai-esai ini secara kolektif mengadvokasi sistem hukum yang lebih inklusif dan akuntabel yang secara aktif bekerja untuk membongkar bias dan ketidaksetaraan sistemik.
Para kontributor membahas hubungan antara kepolosan, marjinalisasi, dan keadilan sosial dalam sistem hukum. Esai-esai ini mengeksplorasi berbagai aspek dari isu-isu tersebut, termasuk vonis yang salah, pengalaman kelompok marjinal, dan implikasi yang lebih luas bagi keadilan. Para penulis secara kolektif berpendapat bahwa sistem hukum sering kaligagal melindungi hak-hak individu yang tak bersalah dan mereka yang berasal dari komunitas marjinal. Mereka menyoroti bias sistemik dan mengusulkan reformasi untuk mengatasi ketidakadilan ini.

Para kontributor berpendapat bahwa sistem hukum kerap tak berhasil melindungi hak-hak orang yang gak bersalah dan mereka dari komunitas marjinal karena beberapa faktor yang saling terkait. Pertama, bias sistemik sudah nyangkut banget di institusi hukum, mempengaruhi gimana hukum ditegakkan dan keadilan dijalankan. Bias ini bisa karena ras, gender, status sosial-ekonomi, atau faktor marginal lain, yang bikin kelompok rentan sering jadi sasaran dan diperlakukan lebih keras. Kedua, sistem hukum cenderung lebih fokus ke prosedur formal daripada keadilan substansial, sehingga sering nggak ngeh sama kondisi unik individu atau ketidakadilan yang lebih sering menimpa kelompok marjinal. Ketiga, kurangnya akuntabilitas dan transparansi dalam proses pengambilan keputusan bikin praktik diskriminatif dan vonis yang salah tetap terjadi. Para penulis menekankan kalau reformasi yang berarti butuh perubahan struktural di institusi hukum sekaligus pergeseran budaya soal gimana masyarakat memahami dan menerapkan keadilan.
Para kontributor menyoroti beberapa bentuk bias sistemik yang nempel banget di sistem hukum. Salah satunya adalah bias ras dan etnis, dimana orang dari komunitas minoritas sering jadi target aparat hukum dan lebih mungkin dapat hukuman yang lebih berat. Bias gender juga dicatat, terutama dalam kasus kekerasan seksual, kekerasan rumah tangga, dan hukum keluarga, dimana stereotip sosial bisa mempengaruhi keputusan hakim. Bias sosial-ekonomi juga penting banget: orang dengan latarbelakang ekonomi rendah sering nggak punya akses ke pendampingan hukum yang memadai, sehingga peluang mereka mendapat perlakuan adil dalam pengadilan jauh berkurang. Karya ini juga menekankan bagaimana semua bias ini bisa bertumpuk, bikin orang yang masuk beberapa kelompok marjinal kena dampak ganda.
Buat ngatasin ketidakadilan ini, para kontributor mengusulkan reformasi berlapis. Reformasi struktural termasuk penerapan mekanisme akuntabilitas yang ketat bagi aparat hukum dan hakim, pelatihan wajib soal bias, dan prosedur transparan untuk meninjau vonis, terutama yang berpotensi salah. Mereka juga mendukung kebijakan yang memastikan akses yang setara ke sumber daya hukum, semisal pendanaan untuk pengacara publik dan dukungan hukum komunitas. Di level budaya, karya ini mendorong edukasi publik dan advokasi untuk mempertanyakan stereotip sosial dan menumbuhkan pemahaman keadilan yang lebih inklusif. Kombinasi upaya ini nggak cuma buat memperbaiki kasus-kasus ketidakadilan individu, tapi juga buat bikin sistem hukum lebih adil dan responsif bagi semua orang.