Sabtu, 06 Januari 2024

Cerita Bunga Matahari: Lucy (5)

“Pak Lurah sedang memikirkan sesuatu. Tatkala ia sampai pada pemikiran, 'They would never know,' maka, ia mengedarkan selembar surat yang meminta agar para warga mengumpulkan dana bersama.
Dan tibalah hari yang direncanakan, pendukung Pak Lurah, para artis lokal yang diundang, dan para warga, berkumpul di sebuah lokasi. Acaranya, peresmian gedung dan jamuan makan. Kemudian pembawa acara mengumumkan, 'Hadirin sekalian, gedung ini kita namakan 'Balai Pak Lurah', sebab dibangun oleh Pak Lurah, hidangan yang tersedia karena Pak Lurah, dan dananya dari Pak Lurah. Semuanya oleh Pak Lurah, karena Pak Lurah dan dari Pak Lurah.'
Mendengar hal ini, para pendukung Pak Lurah dan artis undangan, bersorak, 'Yowis ben!' Namun, cuma sedikit warga yang manthuk-manthuk, selebihnya dan sebagian besar, ngedumel, 'Apaan sih Pak Lurah, ini kan duit, duit kita semua, lha kok dipek dewek?'
Rupanya, 'They already knew.'"

"Mengapa Batik istimewa?" ucap bunga matahari sembari memperhatikan sehelai kain. "Di Indonesia, dan di tangan orang Indonesia, selembar kain dapat berfungsi jamak, mulai dari pakaian sederhana, hingga sebagai mata uang guna pembayaran denda, semuanya berkaitan erat dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Tekstil atau kain Indonesia, tak hanya Batik, beragam corak kain 'khas Indonesia' dapat dikau temukan di hampir setiap pulau, di negeri ribuan pulau ini.

Di beberapa daerah di Indonesia, kain tenunan tangan masih digunakan sehari-hari atau bahkan dalam upacara dan ritual—sebagai gendongan bayi, penutup kepala, selempang, ikat pinggang, tas, serta sarung dan slendang yang populer. Semuanya dapat dilihat dalam kostum tari yang mewah, di hampir setiap daerah, dan dipakai dalam pernikahan, khitanan, kikir gigi, pemakaman, dan upacara peralihan lainnya. 
Di Maumere, Flores, terdapat kain katun tenunan tangan, bermotif bunga dan digunakan sehari-hari sebagai sarung, selempang, dan selimut serbaguna. Di Kalimantan, dikenal sebagai pua, menghiasi dinding bagian dalam rumah panjang dan menggantung di beranda bila ada pesta perayaan. Saat  perayaan tahun baru Bali, galungan, variasi lamak tenunan langka, ornamen yang biasanya terbuat dari potongan daun palem muda, terbentang di altar persembahan di bagian dalam pura. Keluarga penguasa di Sumba, menyimpan banyak tekstil terbaik mereka untuk upacara pemakaman. Jenazah sang mendiang dibalut hingga menjadi gundukan besar.
Di Sulawesi Tengah, kolokompo, secarik tenunan kecil yang tak berguna lagi, diberikan untuk menandakan perpindahan mempelai pria dari perapian orang tuanya ke perapian mertuanya. Para orangtua suku Batak, menghadiahkan putrinya yang sedang hamil sebuah ulos ni tondi; mereka meletakkannya di bahunya, melambangkan transmisi kekuatan mereka padanya. Di Sumatera Selatan, kain persegi yang disebut tampan, turut-serta dalam pertukaran simbolis antara anggota yang memiliki kedudukan yang sesuai dalam garis keturunan, yang terkait dengan perkawinan. Kebaya, baju blus tradisional, kostum nasional Indonesia, meski lebih tepatnya endemik masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali.
Kain Bentenan dibuat di Tombulu, Tondano, Ratahan, Tombatu, dan wilayah lainnya di Minahasa, namun demikian, nama bentenan diambil dari nama wilayah pelabuhan utama di Sulawesi Utara yaitu Bentenan, sebab dari pelabuhan inilah pertama kali kain Bentenan di ekspor pada abad 15-17 ke luar Minahasa.
Suku Sa'dan Toraja mengenal maa' sebagai tenunan seorang nenek moyang yang duduk di sebuah gunung dengan alat tenunnya, bertumpu pada gunung yang lain. Pola kain Sumba yang gemerlap dan lau (rok) yang dihias diperuntukkan bagi anggota kelas sosial tertinggi.

Di beberapa daerah di Indonesia yang belum ada kegiatan tenun, seperti Papua Barat, sebagian Sulawesi, dan sebagian Kalimantan, kerajinan dan hiasan kain kulit kayu mencapai standar yang tinggi. Koffo, yang pernah dibuat di kepulauan Sangihe dan Talaud, merupakan kain yang cukup halus dan fleksibel, yang menggabungkan benang pakan katun dan serat lusi.
 
Nah bagaimana dengan Batik? Sebenarnya, Batik bukanlah 'Indonesian invention', akan tetapi, bila corak gaya yang dipengaruhi oleh perpaduan Arab-Islam, Tiongkok dan Hindu-Budha, bahkan sedikit Eropa,  itulah yang lebih dikenal sebagai Batik 'klasik', dan lantaran itu pula, Batik menjadi 'best known' sebagai Batik Indonesia.
Thomas Stamford Raffles, tiba di Jawa pada tahun 1811, ketika Inggris memulai masa interregnum (peralihan pemerintahan) yang singkat namun penting di sana—Inge McCabe Elliot menuturkan kepada kita. Sekitar dua belas ribu orang Inggris mendarat di Jawa, merebutnya dari Belanda. Ia mempelajari bahasa Jawa; ia menemukan monumen kuno di Borobudur, yang pada saat itu terkubur jauh di dalam hutan; ia mendorong restorasi candi-candi kuno lainnya. Ia mengumpulkan salah satu koleksi flora, fauna, tekstil, dan artefak terbesar yang pernah dikumpulkan di negeri Khatulistiwa dan mengemas semuanya untuk dikirim pulang. Perahu dan isinya terbakar lima puluh mil lepas pantai.Tanpa gentar, Raffles memulai pengumpulan kedua, yang ia bawa kembali dengan selamat ke Inggris.
Raffles menulis, 'Kain yang disebut batik, dibedakan menjadi batik latur puti [batik latar putih], batik latur irang [batik latar ireng], atau batik latur bang [batik latar abang], karena latarnya dapat berwarna putih, hitam, atau merah.
[...] Pada kain ini, pola yang diukir pada balok kayu kecil dicap seperti di India. Berfungsi sebagai tudung, dan digunakan sebagai pengganti palempore India [sejenis bed cover atau kain penutup tempat tidur, yang dilukis dengan tangan dan diwarnai dengan mordan, yang dibuat di India untuk pasar ekspor selama abad kedelapan belas dan awal abad kesembilan belas], sedangkan palempore India tak dapat diperoleh. Harganya sekitar empat rupee.
Penduduk asli Jawa, seperti halnya penduduk di negara lain, pastilah, sejak dahulu kala, mempunyai kebiasaan membuat berbagai barang dari kulit; namun seni menjadikannya lebih kompak, lebih kuat, dan lebih tahan lama, melalui penerapan prinsip penyamakan, hanya dicapai melalui hubungan mereka dengan orang-orang Eropa. Mereka sekarang mempraktikkannya dengan cukup sukses, dan menyiapkan kulit yang lumayan di beberapa distrik.'
Raffles mungkin saja mengoleksi batik secara kasar—ia menulis bahwa ada seratus pola yang dapat diidentifikasi. Ilustrasi dalam Sejarah Raffles menunjukkan berbagai cara memakai batik, serta banyak pola yang berbeda. Ia pun menulis secara detail tentang cara pembuatan batik.

Asal batik telah ada sejak lama, ada dimana-mana, dan sulit dilacak, kata Elliot. Tiada yang tahu persis di mana dan kapan orang pertama kali mulai mengoleskan lilin, pasta nabati, parafin, atau bahkan lumpur pada kain yang dapat menyimpan pewarna. Namun di pulau Jawa dan Maduralah, batik muncul sebagai salah satu bentuk seni terbesar di Asia. Batik diketahui ada di China, Jepang, India, Thailand, Turkestan Timur, Eropa, dan Afrika, dan mungkin berkembang secara bersamaan di beberapa daerah tersebut. Beberapa ahli meyakini bahwa prosesnya berasal dari India dan kemudian dibawa ke Mesir. Pada tahun 70 M, orang Mesir menerapkan desain pada kain dengan cara yang mirip dengan proses membatik. Metode ini dikenal tujuh ratus tahun kemudian di Tiongkok. Para ahli memastikan bahwa batik yang ditemukan di Jepang adalah batik Tiongkok, yang dibuat pada masa Dinasti Tang. Jadi, batik telah menjadi tradisi antik ketika bukti paling awal mengenai karya orang Jawa tersebut, muncul pada abad keenam belas, imbuh Elliot.

Pada abad ketiga belas, imperium Majapahit yang berlatarbelakang Hindu, menguasai sebagian besar wilayah Jawa. Itulah zaman keemasan. Namun perselisihan internal dan kurangnya akses terhadap perdagangan luar negeri, akhirnya mengikis kekuasaan Majapahit, dan dalam waktu dua ratus lima puluh tahun, kerajaan besar itu, tereduksi menjadi istana kerajaan Mataram: Jogja dan Solo.
Sementara itu, pantai utara Jawa, mulai aktif secara komersial. Negara-negara pelabuhan kecil, yang biasanya didirikan oleh penguasa yang asal etnisnya gak jelas, mulai bermunculan. Negara-negara tersebut—termasuk Cirebon, Gresik, Japara, Demak, dan Tuban—makmur karena letaknya yang strategis di pesisir pantai. Mereka berada di jalur laut menuju kepulauan penghasil rempah-rempah, Banda dan Molucca [Maluku], lebih jauh ke Timur.
Malaka, sekitar dua ratus mil sebelah utara Singapura di pantai Barat Daya Malaysia, pernah menjadi pusat komersial terbesar di Asia Tenggara. Posisi geografis menjadi faktor penting bagi Malaka: pada saat pelabuhan laut dalam belum diperlukan, Malaka mendominasi Selat Malaka yang dilalui hampir semua pelayaran, baik dari Timur maupun Barat. Malaka juga merupakan pusat perdagangan ide-ide keagamaan, dan di alam pikiran dan jiwa inilah, dan juga di pasar, pengaruh Malaka terhadap batik Jawa akan terasa.
Kendati komunitas Muslim sudah ada di Jawa sejak abad ke-12, namun dorongan utama dari Malaka dan Sumatralah, perpindahan agama terjadi dalam masyarakat Jawa. Pedagang dari Jawa membawa beras dari Demak dan Jepara, pala dan cengkeh dari Gresik dan Tuban. Bila para pedagang Jawa hendak mendapat dukungan para saudagar Arab, mereka seyogyanya membuka pintu terhadap Islam. Secara komersial, para saudagar Muslim merupakan pedagang terkemuka di dunia, yang punya koneksi ke seluruh Asia, Eropa, dan Afrika: bergabung dengan mereka, berarti membuka rute baru dan cuan yang lebih besar. Secara politis, masyarakat mendapat keuntungan ketika sebuah kerajaan Hindu sebelumnya, memeluk agama Islam karena sistem kasta pada tingkat tertentu, terkikis. 
Seorang muslim dinilai dari semangatnya, bukan pangkatnya. Seluruh umat Islam setara, maka, tiada lagi kasta. Pada akhir abad kelima belas, terdapat dua puluh kerajaan Islam di pantai Utara Jawa, dan pedagang Jawa dari Utara menjadi orang paling berpengaruh di Malaka. Para saudagar Muslim tak semata memperluas pasar batik, dan karena adanya larangan umat Islam menggambar bentuk manusia, motif desain pun ikut berubah. Bentuk-bentuk baru—corak Arab datar dan kaligrafi—diperkenalkan dan menjadi bagian integral dalam evolusi batik.

Pengaruh Tiongkok terhadap batik Jawa, juga sangat besar. Memperdagangkan komoditas bergengsi seperti sutra dan porselen bagi tekstil di Jawa—belum lagi sarang burung walet—orang Tiongkok telah lama berbisnis di daerah tersebut. Dari abad kesembilan hingga kedua belas, para pangeran di Jawa mengirimkan kain katun berwarna sebagai penghormatan kepada para pemimpin Tiongkok; bahkan mereka mengirim sutra ke Tiongkok, bukan sebagai bagian dari imperium Tiongkok, melainkan hanya sebatas hubungan dagang. Maka, orang Tiongkok membawa mitos singa dan bunga liris ke dalam desain batik, bareng dengan palet warna-warna baru yang cerah.
Kota Tuban dikenal oleh orang Tiongkok sejak abad kesebelas, dan pada abad ke lima belas, kota ini telah menjadi pusat perdagangan terbesar di Jawa. Gresik yang berada di dekatnya, menyaingi Tuban, dan pada abad ke-14 kota ini punya penguasa kelahiran Tiongkok. Lebih jauh ke barat di sepanjang pantai utara Jawa, Cirebon telah dikunjungi oleh saudagar Tiongkok ratusan tahun sebelumnya. Namun, perdagangan langsung antara Tiongkok dan Jawa, hampir berhenti setelah awal abad keenam belas. Dinasti Qing yang berkuasa lama (1644-1894) sebenarnya melarang perdagangan Tiongkok dan pemukiman di luar negeri. Namun, pada tahun 1700, Jawa mempunyai sekitar sepuluh ribu penduduk asal Tiongkok; dalam waktu seratus tahun berikutnya terdapat seratus ribu orang asal Tiongkok, banyak di antara mereka yang menikah dengan orang Jawa. Dan bahkan pada masa-masa awal tersebut, orang-orang yang sekarang disebut sebagai 'China perantauan' berpengaruh yang melebihi jumlah mereka.

Pada tahun 1602 Belanda mendirikan Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda yang dikenal dengan inisial VOC (Vereenigde Oost' lndische Compagnie). VOC mencakup kekuatan militer; yang lebih penting, inilah monopoli yang beroperasi di satu wilayah geografis yang luas. VOC mendirikan pemukiman komersial di Jawa. Para pemukim Belanda menyebutnya Batavia dan membangun rumah-rumah beratap curam dan menggali kanal-kanal yang mengingatkan mereka pada kampung halaman. Batavia berkembang pesat. Dalam waktu lima puluh tahun, kota ini telah menjadi pusat pengiriman barang dari seluruh dunia. 
Adam Smith, ekonom laissez'-faire, menulis, 'Seperti halnya Tanjung Harapan antara Eropa dan seluruh wilayah Hindia Timur, Batavia berada di antara negara-negara utama di Hindia Timur. Ia terletak di jalur yang paling sering dikunjungi dari Hindustan ke China dan Jepang. [...] Batavia mampu mengatasi kerugian tambahan, yang mungkin merupakan iklim paling tidak sehat di dunia.'
Belanda juga telah merobohkan Banten di Jawa bagian barat, merebut Malaka dari Portugis, dan secara agresif memperluas kekuasaannya. Sebagai imbalan atas perlindungan Belanda, para sultan keraton Jogja dan Solo, terpaksa memberikan sebidang tanah di pantai utara kepada Belanda. Pengaruh Belanda mengubah seluruh aspek kehidupan masyarakat Jawa, begitu pula berdirinya VOC, mempengaruhi batik pesisir utara. Cuan kini dapat diperoleh dari hasil bumi yang dikirim langsung dari Jawa: kopi, teh, minyak sawit, dan barang-barang lainnya. Namun, yang sebenarnya membuat VOC bangkrut adalah penyakit disentri dan malaria yang sangat parah—berbarengan dengan pembajakan dan korupsi. Para penindas, akan menemui ajalnya dengan cara yang apes.

Jadi, asal-muasal batik memang beraneka, namun seiring berjalannya waktu, seni antik ini, semakin erat kaitannya dengan identitas Indonesia. Dari kota asalnya, batik beragam: batik Jogja, Batik Solo, batik Bali, batik Cirebonan, batik Jepara, batik Banyumasan, batik Pekalongan, batik Gresik, batik Madura, bahkan ada batik Palembang sebagai warisan dari Kesultanan Palembang dan batik Jambi semisal batik Angso Duo. Batik merupakan sebuah bentuk karya-seni sekaligus kekayaan sosial, budaya dan ekonomi. Ia juga merupakan simbol kesucian dan umumnya dikaitkan dengan 'health and well being'.

Hingga abad ke dua puluh satu, batik digunakan hampir secara eksklusif untuk pakaian dan acara-acara seremonial. Dalam masyarakat yang sadar akan pangkat, pembedaan kelas dilakukan berdasarkan jenis kain yang dikenakan dan coraknya. Di iklim tropis dan lembab seperti Jawa, batik merupakan pilihan yang ideal. Sebagai kostum, batik ini cerdik karena batik tak memerlukan resleting, kancing, atau peniti. Batik dapat digunakan sebagai sarung; dodot biasanya hanya dikenakan oleh sultan, calon pengantin, atau penari di istana, kain panjang; kain panjang—sering disebut kain—adalah batik sepanjang mata kaki; batik pagi-sore adalah pakaian bolak-balik versi Jawa; slendang; iket kepala, hanya dikenakan oleh pria, penutup kepala berbentuk persegi, diikat dengan anggun membentuk sorban; kemben, 'kain dada', yaitu kain batik sempit yang dililitkan pada tubuh bagian atas yang digunakan untuk mengikat kain atau sarung.

Batik tak semata bergaya dan adiwarna, melainkan pula, berharga dan bermakna. Zaman berubah dan begitu pula fungsi batik. Beberapa fungsi sebelumnya telah terganti, terutama dalam upaya menuju efisiensi. Dalam kehidupan modern misalnya, kita sangat jarang melihat kain dan kebaya tradisional di tempat-tempat umum seperti jalan raya, stasiun atau angkutan umum, kecuali di pasar tradisional. Bahkan di negara dimana perempuan desa biasa mengenakan kain dan kebaya dengan cara yang lebih santai dibandingkan perempuan kota, cara berpakaian seperti ini sudah jarang dilakukan. Di sisi lain, penggunaan batik baru telah ditemukan dalam proses pengembangan yang tampaknya tidak terbatas.
Banyak faktor yang mendorong berlanjutnya popularitas batik: perubahan bahan batik; penampilan lebih berwarna; dan besarnya peran desainer dalam memodifikasi pemakaian batik sebagai kain. Kebiasaan orang Indonesia dalam mengenakan seragam untuk acara dan upacara tentu menambah banyak popularitas batik. Meskipun batik telah diterima dan dikagumi secara umum, batik lebih dari sekedar pakaian atau aksesori yang menarik secara visual.

Memang sih, batik dapat dipandang sebagai sebuah industri, namun ekonomi bukanlah kisah seutuhnya. Batik merupakan seni gotong-royong. Takkan ada seorang seniman pun—tiada seorang Leonardo da Vinci, tiada seorang Manet, tiada seorang Picasso—yang berevolusi dari batik, sebab produksi sehelai kain batik, mengikutsertakan 'setiap orang', mulai dari desainer hingga pengusaha, dari pembuat lilin, pencelup, sampai pengrajin tulis. Dalam bisnis seperti ini, sayangnya, hanya sedikit individu yang menerima banyak pengakuan. Alasan mereka membatik, amat beragam, seperti halnya manusia itu sendiri: keindahan, pengabdian, kebiasaan, kebutuhan—bahkan keserakahan. Yang disebut terakhir, belakangan ini, mulai mendominasi batik Indonesia. Pengpeng—istilah bagi Penguasa merangkap Pengusaha, atau sebaliknya, yang dicetuskan oleh almarhum Rizal Ramli, seorang ekonom senior, politikus, mantan menteri dan tokoh aktivis pergerakan mahasiswa Indonesia, dan kita turut berbelasungkawa atas kepergiannya—itu tak lebih dari para cengkau, karena mereka tak mampu memberi nilai tambah pada suatu produk, dan mengambil keuntungan dari sebelah kiri dan kanan. Dahulu, Belanda menerapkan taktik 'divide et impera' guna menguasai perdagangan rempah-rempah, dan kini, para Pengpeng, juga menggunakan strategi yang sama, 'divide and conquer' untuk mengontrol 'batik', menjadikan pembangunan manusia Indonesia, selow, pelan dan pelan-pelan, 'koyo wong mbatik'. Whaat? Seriously? He-eh!

Ngomong-ngomong, waktu kita untuk sesi ini, dah abis, kita terusin pada episode berikutnya. Bi 'idznillah."

Kemudian, bunga matahari bersenandung,

Jangan ganggu pacarku
Jangan rayu pacarku
Bila kau memang sahabatku
Jangan ganggu pacarku
Jangan sentuh pacarku
Nanti aku jadi cemburu *)
Kutipan & Rujukan:
- Inger McCabe Elliott, Batik: Fabled Cloth of Java, 2004, Periplus
- Sir Thomas Stamford Raffles F.R.S., The History of Java, Volume I, 1817, John Murray
- Michael Hitchcock & Wiendu Nuryanti, Building on Batik: The globalization of a Craft Community, 2016, Routledge
*) "Jangan Ganggu Pacarku" karya Tjahjadi & Ishak

Kamis, 04 Januari 2024

Cerita Bunga Matahari: Lucy (4)

"Entah ini pernah terjadi, sedang terjadi, akan terjadi, atau takkan pernah terjadi: sepasang suami istri menjadi turis lokal ketika pak Presiden mengumumkan bahwa setiap warga negara, boleh masuk ke Istana Merdeka. Usai berkeliling, mereka berpapasan dengan pak Presiden. 'Mohon ijin Pak!' kata sang suami, 'Sepertinya ini pemaksaan, tapi—apa bapak berkenan ... ?'
'Hmmm, 'mayan nih buat nambah-nambahin branding!' pikir sang penjaga nilai-nilai kebangsaan itu, dan langsung nyahut, 'Ooo ndak popo, ndak popo, sa' sih, monggo monggo ajjah!'
Maka, mereka pun menyerahkan kamera, dan berpose di depan Istana Merdeka."

"Bagi orang Indonesia, keramahan dan keakraban, itulah identitas Keindonesiaan. Sedangkan kecurangan dan ketidakjujuran, gak Indonesia banget gitu lho, karena, selain keterlaluan dan kebangetan, juga membuka jalan bagi permusuhan, sehingga motto 'kebersatuan dalam keberagaman', cuma jadi khayalan," lanjut bunga matahari.
"Dalam perspektif Osho, kebencianmu, amarahmu, cintamu–semua ini, berkaitan dengan emosimu, bukan pikiranmu. Sebagian besar aktivitas dalam hidup, bermula dari dunia emosi. Dirimu juga pasti memperhatikan bahwa dikau memikirkan suatu hal, dan ketika saatnya tiba, engkau melakukan hal lain. Alasannya, adanya perbedaan mendasar antara emosi dan pikiran. Boleh jadi, dikau memutuskan bahwa dirimu takkan khawatir; engkau mungkin berpikir bahwa rasa cemas itu buruk, namun tatkala rasa-gentar menguasaimu, akal-sehat dikesampingkan, dan dirimu jadi gamang, maka engkau mulai dikuasai oleh Jin Tomang.
Dari sekian banyak dimensi yang dicakup oleh emosi, ada empat aspek yang, melaluinya, emosi dapat dijernihkan. Terdapat pula empat aspek yang dapat berbalik dan menjadi rahim perasaan yang tak jernih. Aspek yang pertama ialah keramahan, yang kedua, kasih-sayang, yang ketiga, keceriaan, dan keempat, bersyukur. Bila engkau memasukkan keempat emosi ini ke dalam hidupmu, dirimu bakal mencapai kejernihan emosi.
Keempatnya, masing-masing ada lawannya. Lawan dari keramahan adalah kebencian dan permusuhan; lawan dari kasih-sayang ialah kekejaman, kekerasan dan ketidakbaikan; lawan dari keceriaan yalah kesedihan, kesengsaraan, penderitaan dan kekhawatiran; lawan dari bersyukur sama dengan tak berlega-hati. Seseorang yang kehidupan dan emosinya berada pada empat aspek yang berlawanan, berada dalam keadaan emosi yang butek, dan seseorang yang berakar pada empat aspek pertama, berakar pada kejernihan emosi.

​Amarah punya energi, tapi keramahan, juga punya energi, kata Osho. Seseorang yang cuma mengetahui cara membangkitkan energi amarah, akan kehilangan satu dimensi besar dalam hidupnya. Seseorang yang belum belajar bagaimana membangkitkan energi keramahan adalah seseorang yang hanya kuat dalam situasi permusuhan dan menjadi lemah dalam kebersahabatan. Dikau mungkin tak menyadari bahwa semua negara di dunia, jadi lebih lemah pada masa damai, dan pada masa perang, mereka lebih kuat. Mengapa? Karena mereka tak tahu bagaimana memunculkan energi keramahan. Diam, bukanlah sebuah kekuatan bagimu, melainkan sebuah kelemahan. Saat ini, kekuatan Amerika dan Rusia, bertunas dari permusuhan.

Hingga kini, sejarah umat manusia menunjukkan bahwa kita hanya tahu bagaimana membangkitkan energi permusuhan; kita tak tahu tentang energi keramahan. Jika dirimu merasa kuat dalam kondisi yang tak bersahabat, maka ketika dikau berada dalam kondisi sadar dan diam, engkau menjadi tak berdaya dan lemah. Ini berarti, dirimu sedang dikuasai oleh emosi yang butek. Dan semakin kuat kekeruhan emosimu, semakin sedikit engkau dapat masuk ke dalam dirimu. Apa yang menghalangimu masuk ke dalam dirimu sendiri? Permusuhanmu selalu terfokus pada bagian luar; maknanya bahwa permusuhan terjadi, terhadap seseorang yang berada di luar dirimu. Jika tiada seorang pun di luar, permusuhan takkan muncul dalam dirimu.
Cinta itu intrinsik, keramahan itu intrinsik. Cinta tak terfokus di luar: kendati tak ada orang di luar, cinta masih bisa terjadi di dalam dirimu. Gairah dipicu dari luar. Kebencian dipicu dari luar, cinta muncul dari dalam. Mata air cinta mengalir dari dalam, reaksi kebencian muncul dari luar. Emosi yang keruh, tercipta dari luar, emosi yang cemerlang, mengalir dari dalam.

Rasa-gentar tak pernah bertunaskan cinta. Jika ada yang mengatakan bahwa 'there can be no love without fear', pernyataan mereka sepenuhnya keliru. Jika ada kegentaran, tak ada kemungkinan cinta. Takkan pernah ada cinta dengan rasa-gentar. Sekalipun cinta diperlihatkan secara dangkal, tiada cinta di dalamnya. Benih permusuhan sudah sangat berkembang. Mengapa? Ada alasan wajar untuk hal ini, sebab ia juga diperlukan. Mungkin, ia diperlukan, tapi ia tak dimaksudkan menjadi teman seumur hidup. Ada saatnya dibutuhkan dan ada pula momen untuk melepaskannya. Sebaliknya, keramahan merupakan kualitas yang hendaknya dikembangkan. Keramahan seyogyanya dikembangkan lantaran ada sumber keramahan dalam dirimu, namun kehidupan hanya memberikan sedikit kesempatan mengembangkannya. Ia masih belum berkembang, ia tetap seperti benih di dalam lahan keberadaanmu–ia tak dapat tumbuh. Ia hendaklah dibiakkan, kendati ada naluri-naluri primitif yang tak memberinya kesempatan bertumbuh. Kehidupan yang dikau jalani, tak membiarkannya bersemi, hanya kebencianlah yang mekar. Dan akhirnya, yang disebut keramahan, malah menjadi semata kemunafikan dan kesantunan. Keramahanmu hanyalah sebuah cara untuk melepaskan diri dari kebencian, menghindarinya–namun, itu bukanlah apa yang disebut keramahan. Keramahan itu, sesuatu yang amat berbeda. Dikau seyogyanya memberinya energi, dirimu hendaknya mengaktifkan ruang keramahan itu. Engkau hendaklah terus-menerus memekarkan lingkungan keramahan di sekitarmu.
Secara teratur, setiap hari, lakukan sesuatu dimana dirimu, tak mengharapkan imbalan apa pun, tidak sama sekali. Dengan begitu, keramahan perlahan-lahan akan tumbuh. Akan tiba saatnya bila dirimu bisa bersahabat dengan seseorang yang asing. Kemudian, akan ada lebih banyak pertumbuhan, dan akan tiba momen-momen dimana engkau bahkan bisa bersahabat dengan seseorang yang menjadi musuhmu. Lalu, akan tiba masanya, dikala dirimu tak membeda-bedakan lagi, siapa yang menjadi teman dan siapa yang menjadi musuh.

Lantas, bagaimana dengan ketidakjujuran? Ketidakjujuran biasanya disandingkan dengan kebohongan. Christian B. Miller dan Ryan West berpendapat bahwa meski ada kebohongan yang dapat dibenarkan secara moral (misalnya berbohong untuk menyelamatkan nyawa), dalam banyak persoalan dimana berbohong merupakan pilihan yang menarik, argumen yang dapat dibenarkan secara moral, tak terlihat. Yang sering terlihat ialah, keuntungan pribadi kita—kita biasanya berbohong demi mendapatkan keuntungan atau menghindari kerugian.
Dan mengapa kita berbohong? Salah satu cara umum mengelola informasi yang dimiliki orang lain adalah dengan berbohong. Saat kita berbohong, kita menegaskan suatu pernyataan yang kita yakini keliru, dengan maksud agar orang lain menganggap apa yang kita sampaikan itu, benar, atau memperlakukan kita seolah-olah itu benar. Orang biasanya berbohong dengan maksud memperdayai. Sesungguhnya, niatlah yang seringkali berperan dalam dalil seseorang berbohong.

Dalam benak orang awam, penyebutan kebajikan, dengan cepat membangkitkan gagasan seperti baik-hati dan jujur. Jujur bermakna menjadi orang yang cenderung mengungkapkan kebenaran, dan beberapa keadaan yang tak mengharuskan pengungkapan kebenaran, mungkin sedemikian rupa, sehingga merupakan hal yang baik dilakukan secara sukarela. Kejujuran juga dapat menempati konteks tertentu dimana orang yang mengucapkannya, dapat memproduksi kebenaran melalui perbuatannya: ia membuat pernyataannya benar, dengan mewujudkan kebenarannya. Kejujuran semacam ini, mencakup kebenaran dan keadilan. Kejujuran sebagai penghormatan terhadap hak milik merupakan jenis keadilan yang lain: jika seseorang berhak atas suatu harta-benda, berarti orang lain harus menghormati atau menaati hak tersebut. Kejujuran karena bermain sesuai aturan yang adil, juga tampaknya masuk kategori adil. Bukanlah suatu tindakan yang tak jujur jika seseorang tak mengikuti aturan-aturan yang tak mempunyai komitmen (bahkan secara implisit). Jadi, kepatuhan terhadap aturan, juga dapat dipandang sebagai kewajiban partisipan lain, dan dengan demikian, merupakan sejenis keadilan, dimana keadilan pada dasarnya, memberikan hak kepada orang lain.
Apa itu kebenaran? Karakteristik ketidakbenaran dari orang yang tak jujur, terkadang bukan disebabkan oleh niat untuk menipu, melainkan karena pengamatan yang ceroboh. Oleh karenanya, orang yang jujur, peduli terhadap kebenaran, baik dalam konteks berkomunikasi dengan orang lain, maupun dalam konteks pengamatan dan pengetahuan. Kebenaran, katakanlah, adalah bagaimana segala sesuatunya terjadi, tak hanya sebagaimana adanya, namun dipertimbangkan dalam kaitannya dengan pemahaman subjek, misalnya, melalui keyakinan, pernyataan, atau persepsi. Nilai-nilai kebenaran, juga terkait dengan nilainya, dalam hubungan pribadi. Hubungan manusia tumbuh subur oleh kepercayaan dan tak tumbuh subur oleh pengkhianatan. Biasanya, seseorang merasa diremehkan, dihina, dilecehkan orang lain (terutama dalam hubungan dekat) ketika dibohongi, dan pengungkapan kebenaran dinilai sebagai hal yang adil—sesuatu yang seharusnya, kita lakukan satu sama lain—dan sebagai perekat hubungan pribadi, semacam kesetiaan seseorang kepada orang lain. Kebenaran juga bernilai, dan dalam hal yang paling mendasar, karena kita manusia merupakan pencari pengetahuan dan pemahaman, dimana keduanya merupakan syarat yang diperlukan.
Kejujuran sebagai kebenaran, bukan sekadar kecenderungan membuat pernyataan yang benar, atau mencari kebenaran, atau menghadapi kebenaran (misalnya, tentang diri sendiri). Ia merupakan sifat karakter, kebiasaan qalbu, hanya jika watak tersebut, berasal dari atau dibentuk oleh kepedulian terhadap kebenaran, yang dikualifikasikan oleh pemahaman yang apresiatif terhadap nilai kebenaran—yaitu, kebijaksanaan tentang kebenaran dan cara kebenaran berinteraksi dengan ciri-ciri lain kehidupan manusia (keadilan, kepercayaan terhadap orang lain, janji, persahabatan, menghargai orang lain). Singkatnya, keutamaan kejujuran sebagai kebenaran, merupakan kepedulian yang cermat terhadap kebenaran dalam berkomunikasi, dan dengan demikian, kepekaan emosional terhadap nilai-nilai kebenaran.

Nah, kalau berbicara tentang kejujuran, kata terkaitnya yalah integritas. Barangkali, hal yang amat tidak kontroversi mengenai integritas adalah bahwa integritas merupakan sesuatu yang dikagumi dan dicari, ketiadaan integritas merupakan hal yang lumrah, tapi kerugiannya sangat besar. Integritas penting bagi kita, dan nampak penting dalam cara yang tak semata bersifat instrumental atau tergantung pada penilaian terhadap hal-hal lain. Sekalipun berintegritas merupakan hal yang baik bagi bisnis, dan kurangnya integritas akan merugikan kita dalam memperoleh opini baik dari orang lain, namun hal ini, tampaknya tak sejalan dengan nilai integritas itu sendiri. Boleh jadi, hal kedua yang sangat tak berpolemik mengenai integritas adalah, bahwa integritas merupakan 'moral virtue': integritas itu, keandalan karakter, terutama yang berkaitan dengan 'good conduct'. Orang-orang yang berintegritas, berperforma tidak korup secara moral, berkomitmen dan bertindak berdasarkan prinsip-prinsip moral yang baik, dan sebagainya.
Nape sih integritas itu, amat penting? Orang yang berintegritas, biasanya menaruh perhatian pada kebenaran. Pengabaian terhadap kebenaran—bersikap tidak tulus, bermuka dua, atau licik—jelas tak sejalan dengan integritas. Orang-orang yang berintegritas, menunjukkan kepedulian yang baik terhadap 'judgement' mereka, dimana kepedulian yang tepat ini, pada dasarnya mencakup ketanggapan terhadap fakta dan bukti, dan dengan demikian, kepedulian yang mendasar terhadap kebenaran.
Bahkan pun bila mereka yang menganggap sifat-sifat lain lebih penting dalam kepemimpinan, akan mengakui bahwa integritas itu, sebuah 'virtue' atau keutamaan. Mengembangkan 'the virtue of integrity' dalam banyak hal, serupa dengan proses mengembangkan 'virtue' apa pun. Kita menerima instruksi moral langsung, dan belajar berempati dengan orang-orang di sekitar kita, namun proses tersebut, akan berjalan dengan sungguh-sungguh ketika kita melihat sekilas, betapapun samarnya, kebaikan istimewa dari keutamaan khusus ini, dan berkeinginan mewujudkannya. Panutan itu, dipelajari dan diteladani. Keberhasilan dan keurungan seseorang dalam meneladani, akan ditelaah. Kepedulian terhadap integritas, tak semestinya cuman sekedar kepedulian terhadap kualitas karakter seseorang, melainkan hirau terhadap bagaimana komitmen seseorang, dan bagaimana komitmen tersebut dijalankan, mempengaruhi orang lain di sekitar kita. Seseorang yang semata mementingkan integritas dirinya sendiri, semata-mata demi kepentingannya sendiri, bukanlah orang yang berintegritas.

Termasuk etikakah sebuah integritas itu? Integritas menyarankan agar kita menjalankan prinsip-prinsip etika dalam kehidupan dan aktivitas kita sehari-hari, ketimbang menganut suatu cita-cita dan kemudian berbuat sesuatu yang bertentangan. Etika itu, prinsip yang memandu perilaku. Memang bener sih, etika itu, ada di endas. Hanya saja, sepertinya kurang tepat, etika itu, mengatur dari ujung kuku jempol kaki, yang dari Jumat ke Jumat berikutnya, belum kita kerat, sampai ke pucuk rambut gondrong kita. Kita juga bisa ngomong kok, 'Raimu Etik!' atau 'Matamu Etik!', sebab etika juga ada di bagian mimik muka. Tapi masalahnya, bahasa itu, tak sekedar ucapan, melainkan mencakup rasa. Akan berbeda-beda bagi siapa yang menuturkannya: bila yang mengucapkannya Kirun, ataupun, Asmuni di panggung Srimulat, mungkin bakal dianggap guyonan, dan akan lain halnya bila yang mengujarkannya seorang 'Macan Asia Tenggara,' bisa saja, pesona bagi yang menyimaknya, ambyar seketika, walau dapat dipahami, bahwa itu, bertujuan untuk mengakrabkan. Namun bagaimanapun juga, alih-alih komedian yang ngajak kita bernalar, jika dikau mencermati, dirimu bakalan disuguhkan aksi koplak 'Charlie Chaplin' di teater politik Indonesia belakangan ini, dan pintunya, gak mau dibuka.

Bahasa Indonesia itu, sesungguhnya telah berevolusi. Di masa Orde Baru, muncul pulak istilah 'ABG'—angkatan babe gue. Bahasa anak muda perkotaan Jakarta merupakan bahasa prokem, yang segar walau kadang agak jangak, dibumbui dengan istilah-istilah Inggris (fashionable, catwalk, impossible, top-scorer), dan penanda prestise budaya konsumen 'internasional' (Airwalk shoes, fettucini, pizza, black forrest, Toblerone, Walkman, skateboard, grunge, umumnya datang dari iklan TVRI). Terdapat humor, yang linguistiknya, bergantung sepenuhnya pada permainan kata-kata antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, 'Ayam sorry, ayam sorry, Mom! Gout lagi busy seqalle!' Juga ucapan ibundanya 'si Boy' yang memadukan antara Ingglisy dan Sunda, 'What happen dieu?' Walau nuansa humornya, tak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun, akan tetapi, itulah Identitas Keindonesiaan.

Kita lanjutin pada episod berikutnya yaq, bi 'idznillah."

Setelah itu, sembari menyambut momen-momen kebaruan, bunga matahari melantunkan dendangnya Armada,

Tak perlu kau tanya lagi
Siapa pemilik hati ini
Kau tahu, pasti dirimu
Tolong lihat aku
Dan jawab pertanyaanku
Mau dibawa kemana hubungan kita? *)
Kutipan & Rujukan:
- Osho, The World of Emotions: Creating a Milleu of Friendliness Arounf Yourself, 2014, Osho Media International
- Christian B. Miller & Ryan West, Integrity, Honesty, and Truth Seeking, 2020, Oxford University Press
- Krishna Sen & David T. Hill, Media, Culture and Politics in Indonesia, 2007, Equinox
*) "Mau Dibawa Kemana" karya Tsandy Rizal Adi Pradana