[Bagian 16]Bayangin gini: Nepal lagi chaos, anak-anak muda ngamuk di jalanan, medsos diblokir, pemerintah dituduh korup, dan rakyat udah blenek sama drama elit politik. Tapi alih-alih cuma teriak di jalan, Gen Z-nya Nepal malah bikin revolusi digital. Mereka pindah markas ke Discord—iya, aplikasi yang biasanya dipake buat mabar Valorant atau curhat soal crush yang nggak ngechat balik.Di sana, mereka bikin voting informal. Bukan pemilu resmi, tapi polling digital yang beneran rame. Lebih dari 7.700 orang ikutan, dan hasilnya? Sushila Karki, mantan Ketua Mahkamah Agung, aktivis senior, dan ibu-ibu tangguh kelahiran 1952, menang telak dengan 62% suara. Langsung viral. Langsung geger. Langsung bikin PM lama, K.P. Sharma Oli, angkat koper.Karki bukan tokoh random. Doski pernah dipenjara gara-gara ikut gerakan rakyat tahun 1990, punya gelar politik dan hukum, dan dikenal sebagai simbol keadilan. Gen Z Nepal ngelihat doi kayak “ibu reformasi” versi mereka—bukan cuma karena doski perempuan pertama yang jadi PM, tapi karena doi dianggap bersih, tegas, dan nggak takut ngelawan sistem bobrok.Setelah negosiasi antara presiden, tentara, dan para demonstran, Karki resmi dilantik tanggal 12 September 2025. Disiarkan live di TV, kayak final Indonesian Idol tapi versi politik. Parlemen langsung dibubarin, dan pemilu baru dijadwalin Maret 2026. Semua ini bukan cuma soal ganti pemimpin, tapi soal ganti cara main. Gen Z literally bilang: “Kalau sistem lama gagal, ya kita bikin sistem baru. Di Discord.”Jadi, kalau loe pikir revolusi cuma bisa terjadi di jalanan, Nepal baru aja nunjukin bahwa revolusi juga bisa lahir dari server Discord, dengan emoji, bot, dan semangat anak muda yang udah capek dikibulin mulu.Dari Cleopatra di Mesir yang bermain diplomasi dengan imperium Romawi, hingga Jeanne d’Arc yang memimpin pasukan Prancis di tengah Perang Seratus Tahun, sejarah selalu punya satu pola yang berulang: ketika dunia sedang kacau, perempuan muncul bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai penentu arah. Di Indonesia, kita punya Kartini yang menulis di tengah gelapnya kolonialisme, Cut Nyak Dhien dan Laksamana Malahayati yang ngangkat senjata saat negerinya diintip penjajah, dan S.K. Trimurti yang menyuarakan kemerdekaan lewat pena dan mikrofon. Kaum perempuan bukan hanya hadir di masa damai, mereka justru bersinar di tengah badai. Dan kini, Nepal menulis bab baru dalam kitab sejarah itu. Sushila Karki, seorang nenek berusia 73 tahun, mantan Ketua Mahkamah Agung, bukan tokoh yang lahir dari partai politik atau dinasti kekuasaan. Ia lahir dari gerakan, dari ketidakpuasan, dari suara Gen Z yang udah muak dengan korupsi dan nepotisme. Ketika negara lumpuh, parlemen bubar, dan PM lama kabur, Karki muncul bukan sebagai penyelamat yang ditunjuk elit, tapi sebagai pilihan rakyat yang dipilih lewat Discord—platform digital yang biasanya dipakai buat mabar, kini jadi ruang deliberasi politik. Karki bukan hanya simbol perempuan yang memimpin di tengah krisis. Ia merupakan bukti bahwa perempuan bisa jadi jangkar moral ketika institusi runtuh. Ia membawa sejarah panjang kaum perempuan yang berani melawan sistem, dari ruang sidang ke ruang digital. Ia bukan hanya pemimpin interim, tapi juga representasi dari harapan baru: bahwa keadilan bisa dimulai dari suara yang selama ini dianggap kecil, dari gender yang selama ini dipandang pelengkap. Nepal sedang menulis ulang definisi demokrasi. Dan perempuan, sekali lagi, ada di tengahnya. Bukan sebagai penonton. Tapi sebagai sutradara.
Setelah Sushila Karki resmi naik jadi Perdana Menteri sementara Nepal, Presiden Ram Chandra Paudel langsung ngambil langkah ekstrem: bubarin parlemen. Tanggal 12 September 2025, House of Representatives resmi dibubarin, dan bareng pengumuman itu, Presiden juga ngumumin tanggal pemilu baru—5 Maret 2026. Jadi, selama enam bulan ke depan, pemerintahan Karki bakal jadi “admin negara” yang tugasnya beresin kekacauan dan siapin panggung buat pemilu.Pembubaran parlemen ini artinya semua wakil rakyat yang sebelumnya duduk manis di kursi kekuasaan, sekarang udah nggak punya jabatan. Game over. Negara masuk fase reset. Tapi tentu aja, langkah ini gak diterima semua pihak. Beberapa partai besar dan pakar hukum langsung nyinyir, bilang pembubaran ini kagak sesuai konstitusi dan bisa merusak demokrasi. Tapi di sisi lain, banyak yang ngelihat ini sebagai respons logis atas demo besar-besaran yang dipimpin anak muda—demo yang teriak soal korupsi, nepotisme, dan sensor medsos.Efeknya? Timeline pemilu dipercepat. Urgensi buat balikin demokrasi makin tinggi. Pemerintahan sementara Karki sekarang pegang kendali buat pastiin pemilu nanti berjalan lancar, dan pelan-pelan buka kembali ruang publik yang sempat dikunci waktu demo pecah.Nepal lagi nulis ulang skrip politiknya. Dan Karki, yang dipilih lewat Discord, sekarang jadi sutradara transisi. Dunia nonton. Gen Z bersorak. Elit lama? Deg-degan.Di masa depan, kayaknya sih parlemen gak bakal langsung punah kayak dinosaurus. Tapi cara kerjanya? Boleh jadi beda banget dari yang kita kenal sekarang. Para ahli udah mulai ngomongin soal transformasi digital—kayak sistem e-Parliament—yang bikin kerja parlemen lebih efisien, transparan, dan bisa lebih nyambung sama rakyat. Jadi bukan cuma rapat panjang yang nggak jelas juntrungannya, tapi sistem yang bisa diakses publik, bahkan mungkin bisa diajak interaktif.Tujuannya jelas: bikin parlemen lebih responsif. Teknologi informasi dan komunikasi bakal jadi senjata utama, biar para wakil rakyat bisa kerja lebih cepat dan rakyat bisa ikutan nimbrung dalam proses demokrasi. Nggak cuma nonton dari jauh, tapi bisa ikut nyumbang suara dan ide.Tapi bukan cuma soal digitalisasi. Di balik layar, lagi rame juga diskusi soal model alternatif—kayak sistem semi-parlementer yang bagi-bagi fungsi legislatif biar nggak numpuk di satu tempat. Ada juga aktivis dan pemikir politik yang bilang, “Parlemen gaya lama udah nggak relevan di beberapa negara, apalagi kalau institusi demokrasinya udah amburadul.” Tapi mereka nggak ngajak bubarin total, lebih ke arah reformasi sistem.Intinya, bentuk dan fungsi parlemen bisa aja berubah—bisa hybrid, bisa digital, bisa menjadi model baru yang belum kita bayangin. Tapi sebagai institusi demokrasi, parlemen masih dianggap penting banget buat ngejaga legitimasi, akuntabilitas, dan keputusan kolektif dalam pemerintahan. So, pembubaran DPR seyogyanya enggak disalahartiin sebagai penghapusan sama sekali parlemen, melainkan mereset dan melakukan update ke software dengan paradigma jaman now.Teknologi digital lagi-lagi jadi game changer. Kali ini, bukan cuma buat belanja online atau nonton drakor, tapi buat ngerombak cara kerja parlemen. Yap, fungsi-fungsi klasik kayak nyusun RUU, revisi pasal, terjemahin dokumen, sampai voting dan publikasi hasilnya—semua bisa dipindahin ke sistem digital yang disebut e-Parliament. Nggak perlu lagi tumpukan kertas kayak skripsi bab dua. Semua serba cepet, transparan, dan bisa dicek publik.Platform digital juga bikin kolaborasi antar anggota parlemen jadi real-time. Mau rapat dari rumah? Bisa. Mau voting dari desa terpencil? Bisa. Nggak ada lagi batasan geografis atau ribet logistik. Sistem voting digital bikin proses lebih efisien dan akuntabel. Dan yang paling penting: rakyat bisa ikut nimbrung. Informasi legislatif jadi gampang diakses, bisa dikomentarin, bahkan bisa diajak diskusi kebijakan langsung dari HP.Teknologi kayak AI dan data analytics juga bisa bantuin ngolah tumpukan data hukum, bikin laporan otomatis, dan bahkan prediksi dampak dari RUU yang diajukan. Blockchain? Bisa dipakai buat ngejaga keamanan dan integritas proses parlemen. Digitalisasi juga buka pintu buat representasi yang lebih inklusif—orang dengan disabilitas atau yang tinggal jauh dari pusat kekuasaan bisa lebih mudah jadi bagian dari parlemen.Tapi tenang, teknologi ini bukan buat ngegusur fungsi demokrasi kayak debat, pengambilan keputusan, dan akuntabilitas. Justru jadi pelengkap biar sistemnya makin kuat. Yang penting, sistem keamanan dan tatakelola datanya kudu solid, biar gak disalahgunain atau disusupin.Pelajaran paling penting dari kekacauan di Nepal? Pemerintah nggak bisa cuma nambal gejala. Harus berani bongkar akar masalah. Demo brutal yang pecah di sana bukan muncul tiba-tiba. Itu hasil dari akumulasi: korupsi yang udah akut, ekonomi yang makin nyekek, larangan medsos yang bikin rakyat makin geram, dan gaya flexing pejabat publik yang nyebelin. Akibatnya? Kerusuhan, korban jiwa, dan rezim yang akhirnya tumbang.
Buat Indonesia, ini alarm keras. Pemerintah nggak cukup cuma responsif pas demo udah meledak. Harus mulai gali dalam-dalam: kenapa ketimpangan ekonomi masih tinggi? Kenapa tatakelola masih amburadul? Kenapa banyak kelompok sosial merasa dikucilkan? Dan kenapa kepercayaan publik makin tipis?Para ahli bilang, kalau mau damai dan stabil jangka panjang, negara kudu jalan dua arah: dari atas, pemerintah kudu ngasih tatakelola yang bener; dari bawah, masyarakat kudu punya ruang buat kontrol dan kritik. Dialog demokratis yang transparan, perlindungan HAM, dan kebijakan yang nyambung sama kebutuhan rakyat itu kuncinya.Respon yang efektif bisa berupa komisi investigasi, reformasi lembaga yang bermasalah, dan proses pembuatan kebijakan yang inklusif. Kalau ini diabaikan, siklus kerusuhan dan instabilitas politik bisa terulang lagi—kayak yang baru aja kejadian.Buat para pembuat kebijakan di Indonesia, kasus Nepal adalah reminder keras: cegah korupsi elit, jaga transparansi, pastikan pertumbuhan ekonomi yang merata, dan buka kanal komunikasi yang jujur sama anak muda dan masyarakat sipil. Jangan tunggu konflik meledak dulu baru panik. Dan, hati-hati ama penumpang gelap yang mau nusuk dari belakang.Balik lagi ke topik kita.
Komunisme dalam prakteknya ternyata tampil beda-beda di tiap negara, meskipun semuanya ngaku “terinspirasi” dari prinsip Marx. Uni Soviet di bawah Lenin lalu Stalin coba bikin yang disebut “kediktatoran proletariat,” tapi ujung-ujungnya malah jadi negara super terpusat dan otoriter. Pabrik, lahan, sumber daya semua dinasionalisasi, tapi bukannya lahir masyarakat tanpa kelas, malah muncul elite baru dalam Partai Komunis. Richard Pipes dalam Communism: A History (2001, Modern Library) bilang kalau pengalaman Soviet jadi semacam template buat negara lain, tapi juga nunjukin betapa jauhnya idealisme Marx dari realita politik.Di China, Mao Zedong ngoprek Marxisme-Leninisme biar cocok ama masyarakat yang mayoritas petani. Jadi kalau Marx fokus ke buruh pabrik, Mao justru ngajak kaum tani jadi motor revolusi. Program macam Great Leap Forward sama Cultural Revolution dimaksudkan buat ubah China, tapi malah bikin kelaparan, penderitaan massal, dan teror politik. Maurice Meisner dalam Mao’s China and After (1999, Free Press) bilang kalau versi Mao lebih mirip narasi revolusi khas Cina ketimbang copy-paste ajaran Marx.Sementara itu di Kuba, Fidel Castro dan Che Guevara bawa-bawa retorika Marxis-Leninis buat ngelawan Batista tahun 1959. Tapi proyek Komunisme mereka langsung nyangkut di pusaran Perang Dingin. Kuba nempel ke Uni Soviet, jadi eksperimen Komunisme mereka lebih banyak tergantung bantuan luar ketimbang jadi model mandiri. Samuel Farber dalam Cuba Since the Revolution of 1959 (2011, Haymarket Books) menekankan kalau Komunisme ala Kuba lebih fokus jaga kekuasaan politik ketimbang wujudkan cita-cita Marx soal masyarakat tanpa kelas dan tanpa negara.Jadi jelas, meski Komunisme ngaku cucu ideologis dari Marxisme, prakteknya dipengaruhi banget ama konteks lokal, gaya kepemimpinan tokohnya, dan tekanan global. Yang muncul di abad ke-20 itu bukan utopia Marx, tapi proyek-proyek negara yang pinjem bahasanya Marx, tapi ngejar hasil yang kerapkali, beda banget.Komunisme, kalau diambil versi aslinya, lahir dari tulisan Karl Marx dan Friedrich Engels, terutama dalam The Communist Manifesto (1848, London: Penguin Classics) dan Das Kapital (1867, Hamburg: Otto Meissner Verlag). Marx sendiri nggak pernah bikin komunisme sebagai sistem jadi siap pakai, melainkan sebagai tahap akhir dari materialisme historis, dimana perjuangan kelas bakal berujung pada masyarakat tanpa kelas dan tanpa negara. Yang kemudian disebut “Marxisme” itu bukan cuma ide Marx semata, tapi juga hasil tafsir dan pengembangan dari Engels, Lenin, Stalin, Mao, dan banyak tokoh lain. Jadi, komunisme memang lahir dari ajaran Marx, tapi Marxisme adalah kumpulan gagasan yang lebih luas, yang kadang malah melenceng jauh dari apa yang asli Marx tulis.
Karl Marx ngebayangin komunisme sebagai hasil alami dari proses sejarah, dimana kapitalisme pada akhirnya bakal ambruk karena kontradiksinya sendiri dan digantikan masyarakat tanpa kelas serta tanpa negara. Dalam teorinya, ini dimaksudkan sebagai akhir dari seluruh pertarungan dialektika sejarah, yang muncul secara organik saat kaum pekerja menguasai alat produksi. Tapi, Marx nggak ninggalin cetak biru detail tentang gimana masyarakat ini jalan, dan celah inilah yang kemudian dimanfaatkan orang lain buat nyesuaiin visinya dengan realitas politik masing-masing.Lenin, yang hidup di bawah kondisi Rusia Tsar, menafsirkan ulang Marxisme jadi Marxism–Leninism. Doski bilang revolusi nggak bisa cuma nunggu kapitalisme ambruk, tapi kudu dipimpin oleh partai pelopor yang disiplin. Ini beda jauh dari model organik Marx, karena komunisme jadi proyek politik yang dikontrol ketat. Stalin kemudian makin ekstremin tafsiran ini, bikin negara super-sentralistis dan otoriter atas nama sosialisme. Ironisnya, Marx justru menekankan kalau negara itu pada akhirnya harus “menghilang.”Mao Zedong di China lebih jauh lagi nyimpang. Doi ganti fokus dari kaum pekerja industri ke petani sebagai motor revolusi. Adaptasi Marxisme ala Mao menjadikan komunisme gerakan agraris yang lebih digerakkan kampanye budaya dan politik ketimbang logika ekonomi industri. Lagi-lagi, ini beda banget dari Marx yang ngeliat revolusi bakal lahir di masyarakat industri kapitalis.Singkatnya, komunisme ala Marx itu lebih ke arah ide tujuan akhir, sedangkan komunisme ala Lenin, Stalin, dan Mao berubah jadi sistem politik nyata—seringkali otoriter. Komunisme Marx itu gagasan, komunisme mereka berubah jadi rezim.Ide komunisme Marx awalnya dimaksudkan buat ngebebasin kelas pekerja, biar buruh nggak lagi terasing dari hasil kerjanya dan semua hasil produksi bisa dinikmati secara kolektif. Tujuan akhirnya: kebebasan manusia, kesetaraan, dan martabat, bukan kekuasaan segelintir orang. Tapi begitu rezim-rezim berikutnya ngaku menjalankan “komunisme ala Marx,” yang mereka bangun malah sistem kebalikannya.Contohnya, di Uni Soviet era Stalin, negara jadi pemilik tunggal alat produksi. Bukannya ngasih kekuatan ke pekerja, malah munculin hierarki kaku, kamp kerja paksa, dan pengawasan super ketat. Marx pernah bilang negara itu pada akhirnya bakal “menghilang,” tapi Stalin justru bikin negara paling sentralistis dan menekan dalam sejarah modern. Sama juga di China era Mao: kampanye politik dan budayanya diklaim “setia” ke Marxisme, tapi akibatnya kelaparan, pembersihan besar-besaran, dan penderitaan rakyat. Buat Marx, kondisi kayak gitu jelas berlawanan sama ide pembebasan.Singkatnya, bahasa Marx dipinjem buat ngelegitimasi kekuasaan elit politik. Alih-alih ngilangin kelas, mereka cuma ganti bangsawan dan kapitalis lama dengan kelas birokrat baru. Jadi kontradiktif banget: komunisme katanya janji kebebasan, tapi prakteknya kerap ngasih represi.Marx dulu ngebayangin komunisme kayak dunia bebas alienasi dan eksploitasi, dimana semua orang hidup setara dan bermartabat. Tapi begitu dipraktekin rezim-rezim abad ke-20, hasilnya malah jadi kebalikannya—kayak mimpi buruk versi deluxe. Stéphane Courtois dkk. lewat The Black Book of Communism (1997, Harvard University Press) nyatet gimana yang keluar bukan pembebasan, tapi teror, pembersihan, dan jutaan korban jiwa. Bahasa Marx dipakai kayak topeng politik, pura-pura ngomong soal kemerdekaan padahal isinya represi.Martin Malia lewat The Soviet Tragedy: A History of Socialism in Russia (1994, Free Press) ngasih gambaran lebih dramatis: Marx itu filosof, tapi Lenin dan Stalin yang buru-buru pengen revolusi malah muterbalikin idenya. Kapitalisme belum ambruk, mereka udah maksa sejarah ngebut. Jadinya bukan pembebasan, tapi negara birokratis yang makin kuat. Menurut Malia, yang bubar tahun 1991 itu bukan ide Marx, tapi sistem otoriter yang dibangun atas namanya.Sheila Fitzpatrick dalam The Russian Revolution (2008, Oxford University Press) lebih nyorot gimana para Bolshevik nyolong-nyolong istilah Marx buat propaganda, tapi begitu praktiknya susah, ide Marx sering dicuekin atau dimodif seenaknya. Revolusi itu, kata doski, bukan penerapan murni ajaran Marx, tapi lebih kayak “improvisasi otoriter.” Janjinya utopia, kenyataannya rakyat hidup di bawah kontrol partai super ketat.Kalau ditotalin, jelas kelihatan paradoksnya: filsafat yang janji kebebasan malah jadi stempel buat represi. Marx ngomongin dunia tanpa penindasan, tapi namanya dipakai buat ngasih legitimasi rezim yang bikin bentuk penindasan baru. Ironi pahitnya: bapak teori pembebasan malah dijadikan poster boy buat eksperimen otoriter paling ngeri di sejarah modern.Kenapa Komunisme banyak gagal bertahan dibanding Kapitalisme, meskipun awalnya digadang-gadang sebagai masa depan dunia?
Komunisme, walaupun teorinya lahir dari Marx, ternyata beda-beda banget tergantung siapa yang nyoba ngejalaninnya. Di Uni Soviet, Lenin nyoba bikin “kediktatoran proletariat,” tapi begitu Stalin naik, sistem itu berubah jadi birokrasi super ketat dengan elite barunya sendiri. Richard Pipes dalam Communism: A History (2001, Modern Library) nunjukin kalau eksperimen Soviet lebih sering jatuh ke otoritarianisme ketimbang idealisme Marx.Di China, Mao Zedong ngulik Marxisme-Leninisme biar nyambung ama masyarakat petani. Alih-alih buruh pabrik, Mao malah bikin kaum tani jadi motor revolusi. Kampanye masal kayak Great Leap Forward sama Cultural Revolution awalnya diklaim mau bebaskan rakyat, tapi nyatanya bikin kelaparan, penderitaan, dan kekacauan. Maurice Meisner dalam Mao’s China and After (1999, Free Press) bilang kalau Komunisme ala Mao lebih mirip cerita revolusi khas Cina daripada ajaran Marx murni.Di Kuba, Fidel Castro dan Che Guevara pakai jargon Marxis-Leninis buat revolusi 1959. Tapi begitu nyebur ke pusaran Perang Dingin, Kuba jadi tergantung banget sama Uni Soviet. Samuel Farber dalam Cuba Since the Revolution of 1959 (2011, Haymarket Books) nyatet kalau proyek Komunisme Kuba lebih fokus jaga kelanggengan rezim ketimbang ngejar masyarakat tanpa kelas ala Marx.Kesimpulannya, meski Marx ngasih fondasi, Komunisme di dunia nyata kebentuk oleh kondisi lokal, gaya pemimpin, dan tekanan global. Yang muncul di abad ke-20 bukan utopia Marx, tapi eksperimen negara yang sering kali malah mutar arah jauh dari blueprint aslinya.Trus, mengapa Komunisme banyak yang rontok sementara Kapitalisme justru makin kokoh?
Secara teori, Komunisme janjiin kesetaraan, solidaritas, dan hapus-hapusin eksploitasi. Tapi di lapangan, justru roboh kena masalah internalnya dewek. Salah satunya soal ekonomi. Sistem perencanaan terpusat yang katanya mau gantiin pasar bebas ternyata kaku banget, susah ngatur sumber daya, bikin orang sering ngantri demi barang kebutuhan dasar. Alec Nove dalam The Economics of Feasible Socialism Revisited (1991, HarperCollins) bilang kalau ekonomi terencana itu punya limit bawaan: kagak luwes dan kagak nyambung ama selera rakyat.Alasan lain: represi politik. Buat ngejagain kekuasaan, rezim Komunis biasa ngebungkam lawan, sensor media, dan ngawasin warganya. Hidup di bawah ketakutan bikin legitimasi rezim makin tipis. Archie Brown dalam The Rise and Fall of Communism (2009, Ecco) nyatet kalau otoritarianisme itu bukan kebetulan, tapi memang fondasi wajib dalam sistem Komunis biar tetep jalan.Belum lagi kompetisi global. Perang Dingin bikin Komunisme harus adu kuat sama Barat kapitalis. Masalahnya, ekonomi Amerika dan Eropa Barat jauh lebih gesit, inovatif, dan menghasilkan barang-barang konsumsi keren yang bikin masyarakat Timur sirik. Francis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man (1992, Free Press) bilang jatuhnya Uni Soviet itu semacam penanda kemenangan kapitalisme liberal di dunia.Akhir abad ke-20, satu per satu sistem Komunis tumbang di Eropa Timur sampai Uni Soviet. China sih masih bertahan, tapi Deng Xiaoping nge-mix kapitalisme ama partai tunggal biar ekonominya jalan. Kapitalisme, walau punya cacat dan krisis, ternyata bisa lebih lentur, adaptif, dan inovatif. Eric Hobsbawm dalam The Age of Extremes (1994, Michael Joseph) menutup ceritanya dengan bilang: robohnya Komunisme nandain bubarnya duel ideologi abad ke-20, dan ninggalin kapitalisme sebagai pemenang terakhir.Ape sih kelemahan kapitalisme itu sendiri—karena, meskipun menang, sistem ini juga penuh paradoks kaan?
Kapitalisme, kendati sukses ngalahin komunisme, sebenernya juga penuh cacat. Salah satunya: ketimpangan. Sistem ini ngasih reward ke orang yang punya modal, dan ninggalin di belakang yang kagak punya modal. Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century (2014, Harvard University Press) nunjukin kalau kekayaan numpuk jauh lebih cepet dibanding pertumbuhan pendapatan. Hasilnya? Yang kaya makin kaya, yang miskin makin ngos-ngosan ngejar. Dan ini bukan error, tapi memang itu cara kerja kapitalisme.Masalah lain adalah siklus boom and bust. Karena kapitalisme digerakin profit dan kompetisi, sistem ini sering kepanasan, meledak jadi gelembung spekulatif, lalu jeblos ke krisis. Depresi Besar 1930-an dan Krisis Finansial Global 2008 jadi bukti nyata. Joseph Stiglitz dalam Freefall (2010, W. W. Norton & Company) bilang kalau pasar bebas yang dibiarkan liar itu gampang banget kelewat batas dan butuh campur tangan negara biar nggak ancur total.Kapitalisme juga punya hobi ngawur: ngejualin semua hal jadi komoditas, termasuk hidup manusia, alam, bahkan emosi. Akibatnya, alam babak belur dan hubungan sosial ikut tergerus. Naomi Klein dalam This Changes Everything (2014, Simon & Schuster) ngegas banget dengan bilang krisis iklim itu bukan kebetulan, tapi akibat langsung dari kerakusan kapitalisme yang doyan tumbuh tanpa rem.Terakhir, kapitalisme punya efek budaya yang nyebelin. Sistem ini ngejual ide kalau bahagia itu sama dengan punya barang dan status. Jadinya masyarakat kelihatan kaya secara materi, tapi miskin jiwa: gampang cemas, kesepian, dan ngerasa nggak pernah cukup. Zygmunt Bauman dalam Consuming Life (2007, Polity Press) nyatet kalau budaya konsumerisme bikin orang kejebak dalam siklus tanpa akhir: pengen → beli → bosen → pengen lagi.Adakah alternatif serius terhadap kapitalisme sekarang ini, atau, kapitalisme memang jadi “game terakhir” umat manusia?
Setelah komunisme bubar di akhir abad ke-20, banyak yang yakin kapitalisme bakal jadi juara abadi. Francis Fukuyama dalam The End of History and the Last Man (1992, Free Press) bahkan ngumumin kalau demokrasi liberal plus kapitalisme pasar adalah “garis finish” ideologi umat manusia. Tapi tiga dekade kemudian, retakan makin keliatan: ketimpangan makin gila, krisis iklim makin akut, politik makin gonjang-ganjing. Kapitalisme ternyata enggak se-abadi itu.Salah satu alternatif yang sering disebut adalah sosialisme demokratis. Bukan berarti hapus kepemilikan pribadi atau pasar, tapi ngerem kebuasan kapitalisme lewat pajak progresif, layanan publik kuat, dan negara kesejahteraan. Negara-negara Nordik sering dijadiin contoh: ekonomi tetep gesit, tapi masyarakatnya lebih adil. Lane Kenworthy dalam Social Democratic Capitalism (2019, Oxford University Press) nunjukin kalau kapitalisme bisa “dijinakkan” tanpa dibunuh.Ada juga jalur ekonomi hijau, yang nentang obsesi kapitalisme buat tumbuh tanpa batas. Fokusnya bukan lagi GDP, tapi keseimbangan ekologi dan kualitas hidup. Kate Raworth lewat Doughnut Economics (2017, Chelsea Green Publishing) kasih kerangka: manusia harus hidup dalam batas lingkungan sambil tetep penuhi kebutuhan sosial.Lalu muncul wacana post-kapitalisme gara-gara teknologi digital. Paul Mason dalam PostCapitalism (2015, Farrar, Straus and Giroux) bilang, barang digital bisa diduplikasi dengan biaya nyaris nol, jadi logika kelangkaan dan profit kapitalisme pelan-pelan keropos. Mungkin masa depan bukan revolusi besar ganti sistem, tapi kapitalisme berubah bentuk dikit-dikit sampai jadi sesuatu yang beda total.Tapi jangan lupa: kehebatan kapitalisme justru ada di daya adaptasinya. Kritik diserap, krisis ditelan, lalu sistem ini muncul dengan wajah baru. Dari pasar hijau, CSR perusahaan, sampai ekonomi digital, kapitalisme kayak bunglon yang susah mati. Wolfgang Streeck dalam How Will Capitalism End? (2016, Verso) malah pesimis: kapitalisme mungkin nggak runtuh tiba-tiba, tapi sekarat pelan-pelan, bikin dunia hidup dalam era labil yang panjang.
[Bagian 14]

