[Bagian 14]Warna merah dan bintang lima yang dipakai sebagai simbol Komunisme itu ibarat branding level dewa dari Komunisme. Merah bukan sekadar cat tembok atau lipstik cabe-cabean, tapi simbol darah dan pengorbanan, seolah-olah setiap tetes keringat buruh dan petani dicetak jadi logo. Bintang lima itu kayak rating hotel, tapi versi revolusi—melambangkan persatuan petani, buruh, tentara, pemuda, dan intelektual. Jadi kalau digabung, merah plus bintang bukan cuma kaya logo klub bola lawas, tapi manifesto visual yang bikin rakyat jelata merasa punya harapan, sekaligus bikin para penguasa zaman itu keringat dingin karena sadar “nih simbol kecil, tapi nyali gede”.Palu dan arit itu kayak “logo Avengers”-nya Komunisme. Palu mewakili buruh pabrik yang tiap hari ketemu besi dan mesin, sedangkan arit itu petani yang tiap hari ketemu padi dan sawah. Pas digabungin jadi satu, pesannya simpel: buruh dan petani kalau udah kompak, siapapun penguasa bisa kelabakan. Jadi, simbol ini bukan cuma gambar di bendera, tapi janji manis ala poster film: “kalau kita bersatu, dunia bakal kita rombak.” Bagi pendukungnya, palu-arit itu kayak anthem kemenangan, tapi bagi lawannya, simbol itu lebih mirip spoiler film horor — tanda kalau yang bakal kena giliran adalah elit lama yang hidupnya nyaman di atas penderitaan rakyat.Palu-arit itu jadi semacam “logo franchise” yang lisensinya pertama kali dipatenkan sama Uni Soviet. Setelah Revolusi 1917, Lenin butuh brand yang bisa bikin dunia tahu: “ini bukan kerajaan baru, ini level baru peradaban.” Tahun 1922, pas Soviet resmi lahir, palu-arit langsung dipasang di bendera dan lambang negara, biar kelihatan beda dari lambang kerajaan yang penuh mahkota atau bendera negara kapitalis yang penuh garis. Nah, karena Uni Soviet jadi pemain utama di panggung dunia, otomatis banyak negara lain yang ikut pakai simbol itu, kayak spin-off film yang nebeng nama besar studio Marvel. Dari China, Kuba, Vietnam, sampai Angola, semua ngibarin palu-arit biar kesannya satu geng global. Jadi jangan heran kalau simbol ini jadi kayak brand internasional—bukan sekadar gambar, tapi tiket masuk ke “club revolusi dunia”.Palu-arit itu berubah jadi kayak “logo horor” buat negara-negara non-komunis. Kalau di Uni Soviet simbol ini dianggap brand revolusi yang keren, di negara Barat malah dianggap kayak jump scare: sekali nongol di spanduk demo, pejabat langsung panik, intel langsung kerja lembur. Di era Perang Dingin, bendera dengan palu-arit bisa bikin satu kota heboh, seolah-olah film horor baru rilis dan trailernya aja udah bikin orang mimpi buruk. Makanya banyak negara buru-buru bikin aturan “simbol ini dilarang keras”, bukan karena gambarnya serem, tapi karena dianggap bawa vibes penggulingan rezim. Jadi, palu-arit itu ibaratnya poster konser yang bagi fans jadi penyemangat, tapi bagi haters terasa kayak alarm bahaya yang bikin kuping penguasa pedes.Palu-arit hari ini kayak punya dua kepribadian: di satu sisi masih dianggep “simbol terlarang” yang levelnya sama kayak swastika, di sisi lain malah jadi gaya retro buat anak muda yang suka nyeleneh. Di negara eks-komunis, bawa bendera palu-arit bisa bikin loe masuk penjara, tapi di kafe hipster Eropa atau mural jalanan Amerika Latin, simbol ini nongol kayak graffiti band indie. Bahkan di fashion, ada aja kaos atau jaket yang pake logo ini, bukan buat ngajak revolusi, tapi biar kelihatan rebel atau anti-mainstream. Jadi, palu-arit sekarang mirip kayak lagu lawas: buat sebagian orang itu masih bikin trauma, tapi buat generasi baru kadang cuma jadi sound effect estetik.Dalam konteks Indonesia, pake simbol komunis kayak palu-arit atau bintang merah itu bukan sekadar urusan gaya visual, tapi bawa beban sejarah yang bikin dada nyesek. Simbol itu ngingetin kita pada masa kelam, saat ideologi komunis sempat nyoba ngacak-ngacak fondasi Pancasila. Jadi kalau hari ini ada yang makai, itu bukan lagi “kebebasan berekspresi” ala mural indie, tapi udah kayak nyiram garam di luka lama. Apalagi kalau kita lihat catatan global: rezim komunis di banyak negara sering banget jatuhnya jadi otoriter, ngorbanin demokrasi, bikin rakyat dicekek atas nama ideologi. Indonesia udah milih jalan demokrasi, keberagaman, dan kemanusiaan—jadi kalau main-main sama simbol ini, risikonya besar: bikin trauma kebuka lagi, bikin kepercayaan antarwarga goyah, dan bikin generasi muda bingung arah republik ini mau dibawa ke mana. Yang lebih keren justru kalau kita bikin simbol baru yang nyatuin, yang bikin damai, bukan malah nyetrum luka lama.
Gak semua negara komunis cuma punya dua template klasik: “merah-bintang” atau “merah-palu-arit”. Ada juga yang bikin remix biar keliatan lebih lokal dan nyambung ke rakyatnya. Yugoslavia misalnya, bintangnya dikasih lingkaran gandum plus api di atas—kesannya kayak logo festival pangan sekaligus pesta revolusi. Albania tetep pake elang dua kepala khasnya, tapi dikasih bintang merah di atas biar vibes komunisnya dapet. Korea Utara? Simbolnya agak heboh, ada bintang, bendungan listrik, sama padi, jadi kayak poster pembangunan versi komunis. Laos malah pakai lingkaran putih di bendera merah—katanya bulan purnama di atas sungai Mekong, tapi dibungkus ala sosialisme.Afrika juga nggak mau kalah. Mozambik bikin bendera dengan gambar AK-47 disilangin sama cangkul—bayangin aja itu kayak versi “komunis hardcore survival mode”. Angola bikin setengah roda gigi plus parang, biar cocok sama tema perjuangan kemerdekaan. Intinya, merah selalu jadi warna dasar, tapi simbolnya sering dioprek biar sesuai kultur setempat. Jadi, bisa dibilang Komunisme itu punya “universal logo” tapi tiap negara bikin “spin-off design” sesuai selera lokal.Ngibarin palu-arit atau bintang merah di Indonesia itu sama aja kayak ngeludahin wajah republik sendiri. Pancasila yang lahir dari kearifan founding parents udah jelas banget: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin hikmat kebijaksanaan, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semua itu nggak nyambung sama rekam jejak komunisme yang anti-Tuhan, anti-demokrasi, dan sering ngorbanin rakyat demi ideologi. Main-main sama simbol itu artinya ngekhianatin janji suci yang ada di Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mewujudkan keadilan sosial. Kalau kita emang cinta demokrasi dan kemanusiaan, mending kita bikin dan pakai simbol yang ngasih energi Pancasila, bukan yang malah nyoba ngehapusnya.
Kalau kita lihat dari kacamata “Founding Parents” Indonesia, Komunisme itu punya sisi “cakep” sekaligus “ribet”.
Di sisi pro, Komunisme ngajarin soal kesetaraan, keadilan sosial, dan pembelaan kaum tertindas. Nah, ini nyambung banget sama cita-cita Indonesia yang pengen ngangkat rakyat kecil dari keterpurukan kolonialisme. Apalagi Komunisme identik dengan anti-imperialisme dan anti-kapitalisme, cocok banget buat bangsa yang baru aja bebas dari cengkeraman Belanda. Bahkan Bung Karno sendiri dulu sempat ngefans ama semangat perlawanan ala Komunis.Tapi di sisi kontra, Komunisme bawa masalah besar buat Indonesia. Basisnya ateis dan materialis, jelas tabrakan ama sila pertama Pancasila yang mengakui Tuhan. Doktrin “agama itu candu” ala Marx nggak mungkin masuk ke negara yang sejak awal udah nyebut Ketuhanan sebagai pondasi. Terus, gaya politik Komunisme yang serba satu partai dan serba otoriter, nggak nyambung sama model musyawarah mufakat yang diidamkan Founding Parents. Belum lagi ide perjuangan kelas buruh lawan pemilik modal bisa bikin bangsa yang baru bersatu malah pecah belah.Pertanyaan apakah Komunisme bisa ngegantiin Pancasila? Secara teori, iya, Komunisme memang punya ambisi menggusur semua ideologi lain dan gantiin dengan sistemnya sendiri. Tapi realitas di Indonesia nunjukin lain: Pancasila terlalu kuat dan lentur. Ia udah diramu sedemikian rupa biar bisa ngerangkul semua golongan—agama, nasionalisme, demokrasi, sampai keadilan sosial. Waktu PKI nyoba naik daun, hasilnya justru bentrok hebat yang akhirnya bikin Komunisme ditolak keras di negeri ini.Singkatnya, Komunisme mungkin bisa kasih inspirasi buat semangat anti-penindasan, tapi buat ngegantiin Pancasila? Susah banget. Pancasila itu ibarat fondasi rumah Indonesia—kokoh, luas, dan dirancang supaya semua orang bisa numpang teduh. Ideologi yang maksa buang agama atau pluralitas pasti bakal kejedot tembok yang dibangun para Founding Parents.Komunisme dan Pancasila itu ibarat dua dunia yang sama-sama ngomongin soal keadilan, tapi cara mainnya beda jauh kayak langit dan bumi. Dalam urusan agama, Komunisme berdiri di atas fondasi materialisme: Tuhan dianggep kagak ada, agama cuman candu buat bikin rakyat diem aja. Sedangkan Pancasila dari awal udah nancepin sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi agama justru jadi sumber moral, bukan alat tipu-tipu.Kalau bicara demokrasi, Komunisme prakteknya condong ke sistem satu partai, katanya biar “proletariat” bisa pegang kuasa penuh. Tapi efeknya? Suara lain dibungkam, pluralitas dilibas. Pancasila beda jalur: musyawarah mufakat. Demokrasi ala kita itu bukan gebukin lawan kelas, tapi ngobrol bareng, cari titik temu, lalu bikin keputusan bareng.Di sektor ekonomi, Komunisme minta semua hak milik pribadi dihapus, semua alat produksi jadi milik kolektif. Tujuannya biar kesetaraan mutlak tercapai. Pancasila punya cara lebih adem: ekonomi kekeluargaan. Ada koperasi, ada tanggungjawab bersama, tapi hak individu tetep dihargai. Jadi keadilan sosial dikejar tanpa kudu bikin rakyat kehilangan semangat berusaha.Soal persatuan, Komunisme hidup dari konsep “perjuangan kelas”, nyulut konflik buruh lawan pemodal, biar revolusi meledak. Pancasila malah naruh persatuan di tengah-tengah visi bangsa. Buat Indonesia, harmoni antar suku, agama, dan budaya itu harga mati kalau mau tetep eksis.Jadi, gampangnya begini: Komunisme ngajak ribut buat seragamin semua, Pancasila ngajak rembukan buat satukan semua. Yang satu materialis dan suka adu kelas, yang satu spiritual dan pengen inklusif. Clash-nya bukan cuma soal strategi, tapi soal visi hidup manusia itu sendiri.Waktu Indonesia lagi di ujung pintu kemerdekaan tahun 1945, para pendiri bangsa dihadapkan sama PR gede: mau pakai ideologi apa buat nyatuin negeri yang super beragam ini? Di BPUPKI dan PPKI, muncul banyak opsi: ada yang maunya Islam jadi dasar, ada yang ngefans liberal, ada yang dorong sosialis, bahkan ada juga yang lirik-lirik ke Komunisme. Tapi akhirnya Pancasila yang dipilih, bukan kebetulan, tapi karena paling muat semua golongan.Komunisme memang sempat bikin beberapa tokoh kepincut, soalnya semangat anti-kolonial dan keadilan sosialnya nyambung sama perjuangan rakyat. Tapi masalahnya gede banget: Komunisme anti-agama. Buat rakyat Indonesia, agama itu bukan cuma urusan pribadi, tapi juga napas kehidupan kampung, adat, dan budaya. Kalau tiba-tiba agama dicap “candu” ala Marx, ya bubar jalan—jiwa bangsa bisa hancur.Terus, Komunisme dengan ide “perjuangan kelas” jelas berseberangan sama kebutuhan Indonesia yang baru merdeka. Negara ini bukan bangsa satu warna, tapi kain batik dengan ratusan motif: ada suku, bahasa, adat, dan agama yang beda-beda. Kalau Komunisme maksa buruh lawan pemilik modal, itu bisa bikin bangsa yang baru jadi malah pecah. Pancasila dengan sila ketiga, Persatuan Indonesia, justru hadir sebagai penawar biar benang-benang itu bisa dijahit jadi satu kain utuh.Di ekonomi juga begitu. Komunisme maunya ngapus kepemilikan pribadi, semua harus kolektif. Sementara Indonesia lebih nyaman dengan konsep gotong royong dan ekonomi kekeluargaan. Koperasi yang dibayangkan UUD 1945 bukan soal perang kelas, tapi soal kerja bareng biar semua bisa sejahtera. Jadi sosialismenya Indonesia itu versi adem, bukan versi keras ala Komunisme.Sejarah kemudian nunjukin, terutama di tahun 1960-an, kalau Pancasila dan Komunisme itu kagak bisa akur. PKI coba makin ngegas, tapi berujung tragedi 1965–66 dengan konflik berdarah. Peristiwa itu bikin Komunisme tamat riwayatnya di Indonesia, sementara Pancasila makin dikunci sebagai ideologi sakti yang nggak boleh diganggu gugat.Kalau ditarik garis besar: Pancasila menang bukan karena kompromi setengah hati, tapi justru karena sintesis paling kuat. Pancasila bisa ngerangkul agama, merawat keberagaman, ngasih ruang demokrasi rembukan, dan ngejar keadilan tanpa nginjak martabat manusia. Komunisme kebalikannya: minta keseragaman lewat konflik, yang jelas-jelas tabrakan sama karakter bangsa Indonesia yang plural, religius, dan suka musyawarah.Abad ke-20 itu jadi ajang uji coba Komunisme di berbagai belahan dunia. Di Uni Soviet, Komunisme resmi jadi ideologi negara sejak Revolusi Bolshevik 1917. Semua kepemilikan pribadi dihapus, kelas sosial digilas, agama dipaksa hilang. Awalnya sih sukses bikin industrialisasi ngebut dan jadi kekuatan dunia, tapi lama-lama sistemnya kaku, represif, dan bikin rakyat megap-megap. Akhirnya bubar jalan tahun 1991, roboh oleh kontradiksinya sendiri.Di China, Komunisme bersemi lewat revolusi 1949 yang dipimpin Mao Zedong. Bedanya, di sini fokusnya ke petani, jadi lahirlah kolektivisasi pertanian dan revolusi budaya. Komunisme Tiongkok bahkan nekat ngulik ulang budaya dan pikiran rakyatnya. Tapi setelah Mao, datang Deng Xiaoping yang malah nyelipin kapitalisme pasar sambil tetap jagain politik satu partai. Hasilnya: campuran aneh tapi jalan, dikenal sebagai “sosialisme dengan karakteristik Tiongkok” yang masih eksis sampai sekarang.Di Kuba, Komunisme naik tahta lewat revolusi Fidel Castro tahun 1959. Negara kecil ini dapat “subsidi” ideologi dan ekonomi dari blok Soviet. Mereka bisa kasih pendidikan gratis dan kesehatan universal, tapi kebebasan sipil dikunci rapat. Pas Uni Soviet runtuh, Kuba goyah juga, tapi Komunisme mereka masih bertahan walau lebih longgar.Nah, Indonesia beda jalur. PKI memang pernah jadi partai gede di 1950–60an, tapi begitu mereka nyoba pasang badan buat jadi ideologi tunggal, langsung tabrakan sama jiwa bangsa yang plural dan religius. Indonesia bukan kayak Soviet yang lahir dari revolusi kelas, atau China yang basisnya petani miskin. Indonesia lahir dari perjuangan kemerdekaan yang merangkul semua: dari santri sampai nasionalis, dari buruh sampai bangsawan. Karena itu Pancasila dipilih: biar nggak ada satu golongan atau ideologi yang ngerasa berhak monopoli negara.Hasil akhirnya? Di negara lain Komunisme sempat berjaya terus ambruk atau jadi hybrid, di Indonesia malah tumbang total setelah 1965. Yang tetap kokoh justru Pancasila—filosofi asli buatan lokal. Pancasila nolak seragam totaliter dengan cara ngerangkul perbedaan, nolak ateisme dengan cara mengakui Tuhan, dan nolak perang kelas dengan gotong royong. Itulah kenapa Indonesia gak pernah jadi “Kuba-nya Asia” atau “China-nya Asia Tenggara,” tapi jadi republik unik dengan ideologinya sendiri.Pancasila bisa dibilang salah satu ideologi paling “awet muda” di dunia. Lihat aja: Komunisme rontok di Eropa Timur, Fasisme digilas Perang Dunia II, bahkan Kapitalisme liberal sering ngos-ngosan tiap kali dihantam krisis kesenjangan. Tapi Pancasila? Masih jadi tulang punggung negara sampai sekarang.Kenapa bisa begitu? Pertama, karena Pancasila itu lentur. Pancasila bukan dogma kaku yang harus dipatuhi 100% versi satu tafsir. Pancasila kayak payung gede: bisa dipakai di zaman Sukarno dengan Demokrasi Terpimpin, bisa juga di era Soeharto dengan Orde Baru, bahkan sampai Reformasi pun tetap dipeluk. Isinya bisa ditafsir ulang sesuai kebutuhan, tapi tetep pakai label Pancasila.Kedua, karena Pancasila nyambung sama budaya asli Indonesia. Pancasila lahir bukan dari perpustakaan filosofi Barat, tapi dari realitas hidup sehari-hari: gotong royong, musyawarah, persatuan. Semua itu sudah jadi kebiasaan di desa-desa sebelum dipatenkan sebagai dasar negara. Jadi Pancasila itu kerasa “punya kita”, bukan barang impor kayak Komunisme atau Liberalism yang sering dianggap titipan asing.Ketiga, Pancasila dipertahankan lewat lembaga dan ritual. Dari SD sampai kuliah kita dicekokin pelajaran PPKn, tiap upacara bendera ada teks Pancasila yang diucapin keras-keras. Mau suka atau enggak, lama-lama nempel di kepala. Bahkan pihak yang sinis bilang “Pancasila sering dipakai penguasa buat alat politik” tetap nggak bisa ngelak: semua orang tetap harus ngakuin Pancasila sebagai dasar negara.Di masa Orde Baru, pemerintah nggak cuma sering ngomongin Pancasila itu dasar negara, tapi juga bikin Pancasila jadi program birokratis yang dipaksakan: ada P4 yang wajib diikuti, ada BP-7 yang jadi kantor pusat penataran, dan ada ketetapan MPR plus undang-undang awal 1980-an yang menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal yang harus dipakai partai dan ormas. Karena kebijakan itu dipaksakan dari atas dan kerap dipakai untuk mengamankan kekuasaan politik, rasa kepemilikan rakyat terhadap Pancasila jadi luntur di banyak tempat; bukan berarti semua orang benci—organisasi besar seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah tetep nyatain dukungan formal—tapi respons publik jelas campur aduk. Kalau mau Pancasila bener-bener diterima oleh rakyat, mestinya ia disalurin lewat pendidikan kewargaan yang membuka ruang diskusi, meningkatkan kesadaran berbangsa, dan menumbuhkan internalisasi nilai secara sukarela, bukan dengan penataran paksa dan instrumen hukum yang memaksa kepatuhan.Era globalisasi juga jadi ujian berat. Tapi anehnya, bukannya tumbang, Pancasila malah kelihatan relevan. Di tengah konflik agama, sila pertama kasih jalan tengah: ber-Tuhan tapi nggak milih salah satu agama doang. Di tengah ketimpangan ekonomi dunia, sila kelima soal keadilan sosial jadi tuntutan abadi. Di tengah politik identitas yang bikin bangsa gampang pecah, sila ketiga soal persatuan tetep jadi kompas arah.Gampangannya, Pancasila tahan banting karena bukan ideologi tempelan dari luar, tapi hasil racikan asli tanah air. Pancasila bisa menyesuaikan diri, bisa nyatuin orang tanpa hapus perbedaan, dan tetep jadi simbol identitas nasional meski pemimpin silih berganti dan dunia jungkir balik.Komunisme itu ibarat gebetan yang ganteng atau cantik banget pas pertama kali nongol, bikin banyak orang jatuh hati karena janjinya manis: semua setara, kagak ada kelas sosial, rakyat jelata naik level, dan jurang kaya-miskin dihapus. Tapi begitu diintip lebih dalam, ternyata doi punya paket lengkap atheis materialis yang bikin bentrok keras sama Pancasila, khususnya poin pertama yang tegas: percaya sama Tuhan.Jadinya, Komunisme di Indonesia kayak mantan toxic: ada masa-masa bikin deg-degan, bikin semangat revolusi, bahkan bikin sebagian orang rela all-in. Tapi kalau diterusin, jelas bikin bubar jalan nilai pluralisme, demokrasi, dan keberagaman yang dirajut para founding parents dari awal. Kalau sampai menang, Komunisme bisa jadi ngegas total, ngilangin Pancasila dan gantiin dengan satu paham doang yang nggak kenal kompromi sama budaya dan religiusitas bangsa.Komunisme itu kayak badai: bisa bawa hujan perubahan, tapi juga bisa ngelindas habis rumah persatuan yang capek-capek dibangun sama para pendiri bangsa. Daya tariknya gede, tapi resikonya juga bisa bikin Indonesia kehilangan jati dirinya.Bayangin coba kalau Komunisme resmi jadi ideologi negara. Indonesia bakal tampil kayak panggung konser gede dengan tema “Surga Kaum Pekerja”: semua rata, semua setara, kagak ada bos nyuruh-nyuruh, dan hasil keringat dibagi rata. Dari Sabang sampai Merauke, bukan lagi bendera Merah Putih yang paling dominan, tapi bintang merah berkibar di tiap sekolah, kantor, sampai sawah. Kedengerannya keren banget kan? Tapi di balik lampu panggung revolusi itu, warna-warni Indonesia bisa berubah jadi hitam putih doang. Agama yang jadi denyut nadi masyarakat bakal dipinggirin, atau bahkan dimatiin pelan-pelan, demi selaras sama doktrin materialisme.Pancasila juga bakal kena “remix” brutal: “Ketuhanan Yang Maha Esa” diganti jadi “Kesetiaan pada Partai,” demokrasi jadi paduan suara satu nada yang nyanyiin lagu sesuai arahan ideologi. Perbedaan keyakinan, pikiran, sampai gaya hidup bisa langsung dicap musuh revolusi. Memang sih, Komunisme mungkin bisa ngebut bikin reforma agraria, ngelibas elite lama, dan ngasih power ke buruh dan tani. Tapi harga yang dibayar adalah kebebasan semua orang, karena yang naik kelas satu pihak dan cuma segelintir, yang lain dipaksa diem seragam.Singkatnya, Indonesia versi Komunis itu kayak band besar, yang main cuma satu lagu doang, banter banget, tanpa ruang improvisasi. Emang kedengerannya heroik, tapi lama-lama bikin kuping sakit karena sound horeg, dan yang lebih parah: bikin bangsa ini kehilangan jiwa aslinya.
[Bagian 12]