[Bagian 15]Pas Presiden Prabowo nyampe Bali buat nengokin korban banjir, vibe-nya bukan kayak pejabat baru mendarat—tapi kayak abang-abang kampung yang langsung turun tangan. Baru pulang dari Abu Dhabi, beliau gak pake acara muter-muter, langsung nyemplung ke lokasi.Sabtu, 13 September 2025, Presiden Prabowo mendarat di Denpasar bukan kayak pejabat yang baru pulang dari luar negeri, tapi langsung turun ke lapangan. Baru aja dari Abu Dhabi, beliau gak pake gaya transit-transitan, langsung cabut ke lokasi banjir.Abis itu beliau mampir ke Pasar Badung dan posko pengungsian Banjar Kesambi. Ketemu sama warga kayak Ni Nengah Manis, ngobrol, dengerin curhat, dan bukannya kasih janji manis, tapi hadir beneran. Gak ada panggung, gak ada mic. Cuma kemeja putih, lengan digulung, dan langkah yang nyebur ke genangan.Gak ada gaya-gayaan, gak nunggu kamera nyala. Beliau nyapa anak-anak, salaman sama warga, dan sempet nyeletuk, “Genggaman tangan orang Bali kuat,” bukan buat pencitraan, tapi kayak lagi ngobrol sama tetangga.Pas Presiden Prabowo lagi jalan-jalan di pinggir sungai yang meluap, tiba-tiba dari seberang ada warga yang tereak, “Pak, bantu kami!” Suaranya nyaring, gak pake mic, tapi nyampe banget. Dan seorang Prabowo? Gak pake nunggu ajudan, gak nanya “Ini udah terdaftar belum?”—langsung nengok, langsung nyaut, langsung gerak. Responsnya tuh bukan gaya pejabat, tapi kayak tetangga yang dengerin loe teriak dari seberang dan langsung nyebrang.Gak ada drama, gak ada skrip ala "Spin Diktator"-nya ekonom Rusia Sergey Guriyev dan ilmuwan politik Amerika Daniel Treisman. Momen itu kayak scene film indie: spontan, jujur, dan bikin merinding. Bukan gaya pejabat yang nunggu briefing, tapi kayak tetangga yang dengerin loe minta tolong dan langsung dateng.Ini nambah lapisan ke gaya Prabowo yang udah dari awal kelihatan “nyemplung”. Beliau bukan cuma hadir, tapi juga tanggap. Jeritan warga bukan dianggep noise, tapi panggilan buat bertindak. Kalau gaya Jokowi lebih ke “nguncalno kaos soko panggung”, Prabowo tuh “nyebrang sungai kalau perlu”.Bandingin ama gaya Jokowi pas dulu-dulu ke lokasi bencana. Jokowi lebih ke gaya simbolik: ngelempar kaos, bagi-bagi bingkisan dari jauh. Buat sebagian orang, itu kayak bentuk perhatian massal. Tapi buat yang lain, kesannya agak jauh—kayak pemimpin yang ngasih dari atas panggung, bukan yang nyebur bareng rakyat.Dua gaya ini beda banget. Prabowo tuh kayak pemimpin yang bisa loe sentuh, literally. Jokowi lebih ke arah yang bisa loe lihat di sinetron TV. Sama-sama nyampe ke rakyat, tapi lewat jalur emosi yang beda.Betewe, tak sama tapi serupa, kalau bapaknya suka "lempar-lempar kaos", nah anaknya suka "ngelempar microphone". Waktu Mas Wapres ditanya soal solusi jangka panjang buat banjir di Denpasar, ekspektasi publik tuh udah kayak nunggu pidato ala Bung Karno atau minimal slide PowerPoint yang nunjukin peta drainase. Tapi yang dateng malah kelas master “menghindar dengan elegan”.Begitu pertanyaan dilempar, Mas Wapres langsung menatap cakrawala dengan khusyuk—mungkin nyari blueprint saluran air di awan—lalu ngasih jawaban emas: “Karena pembangunan di sini sangat masif, saya titip saja nanti kita temukan solusinya.” Terjemahan bebasnya: “Ini bukan urusan gue, bro.”Jawaban itu tuh sopan banget, sampai-sampai kayak copy-paste dari buku gaya bapaknya sendiri. “Saya titip saja nanti kita temukan solusinya.” Terjemahan netizen: “Skip dulu, ya. Nanti kita bahas di season berikutnya.”Momen itu kayak deja vu yang gak bisa dihindari. Lempar mic, optimisme samar, langkah mundur yang halus—semuanya mirip gaya “plonga-plongo” yang udah jadi ciri khas keluarga. Bisa dibilang, Mas Wapres bukan cuma ngewarisin nama belakang, tapi juga skill dewa “jawab tanpa menjawab”. Bapak dan anak sama-sama fasih dalam bahasa diplomasi senyum zonk.Doski sempet bilang udah ngobrol ama Walikota soal drainase, yang kalau dipikir-pikir tuh kayak bahas lubang jalan pas lagi ada letusan gunung. Gak nyebut nama pejabatnya sih, tapi subteksnya jelas: “Yang lokal urus lokal, gue cuman mampir buat empati sekaligus nyuri start 2029.”Singkatnya, ini bukan “kepemimpinan di tengah krisis”, tapi lebih ke “kepemimpinan mode silent”. Sebuah pengalihan yang dibungkus kemeja putih dan senyum yang bikin bingung.Balik lagi ke topik kita.
Kapitalisme itu ibarat dunia dagang bebas dimana orang bisa punya usaha sendiri, bersaing, dan ngejar untung sebanyak-banyaknya, mirip kayak startup-tech yang lagi perang harga biar jadi unicorn. Sosialisme beda lagi, lebih ke konsep dimana industri penting dikelola bareng atau oleh negara biar rakyat nggak terlalu timpang kaya-miskinnya, semacam bikin semua orang kebagian kue walau nggak sama rata. Komunisme lebih ekstrem, targetnya bikin dunia tanpa kelas sosial, tanpa negara, semua barang jadi milik bareng-bareng, dan orang kerja sesuai kemampuan tapi dapat sesuai kebutuhan—kayak konsep "semua makan gratis" tapi versi politik global. Sedangkan Marxisme itu bukan sistem langsung, tapi teori dari Karl Marx buat ngebedah kelemahan kapitalisme, dengan prediksi kalau ujung-ujungnya dunia bakal sampai ke tahap komunisme setelah semua drama perebutan kelas selesai.
Dalam kenyataan sehari-hari, kapitalisme keliatan banget di Amerika Serikat, dimana korporasi jadi raja, properti pribadi dijunjung kayak dewa, dan konsumen dianggap bos, tapi ya hasilnya kesenjangan kaya-miskin bisa gila-gilaan. Sosialisme bisa dilihat di negara kayak Swedia, dimana negara ngasih jaminan kesehatan gratis, sekolah gratis, dan tunjangan sosial buat semua orang, tapi bisnis swasta tetep jalan dengan aturan yang ketat. Komunisme pernah dicoba di Uni Soviet, dimana hampir semua hal dikontrol negara, tapi prakteknya malah bikin birokrasi ribet, antrian panjang buat roti, dan rezim otoriter yang jauh dari imajinasi "surga setara" yang dijanjikan. Sedangkan Marxisme lebih banyak hidup di buku, gerakan politik, dan obrolan akademis, jadi semacam bensin ideologi yang bikin revolusi, kritik global terhadap kapitalisme, dan debat panjang tentang keadilan serta penindasan tetep nyala sampai sekarang.
Sejarah kapitalisme itu gak bisa dipisahin dari perubahan gede yang ngeguncang Eropa dari akhir Abad Pertengahan sampai era modern. Awalnya, zaman feodalisme bikin petani keiket sama tanah, sementara bangsawan jadi tajir melintir karena punya lahan luas. Tapi begitu kota-kota tumbuh, jalur dagang makin rame, dan “penemuan Dunia Baru” bikin emas ngalir kayak air, duit malah pindah ke tangan pedagang yang main di pasar, bukan di aturan nenek moyang. Kapitalisme muncul sebagai jawaban atas kekakuan feodalisme, ngasih sistem baru dimana kekayaan bisa dikembangin lewat investasi, perdagangan, dan inovasi. Tujuannya udah bukan sekadar makan buat hidup, tapi ngejar cuan alias untung, muterin modal, dan bikin pertumbuhan ekonomi jalan terus sampai jadi sistem global paling dominan.Fernand Braudel dalam bukunya Civilization and Capitalism, 15th–18th Century (1982, Harper & Row) jelasin kapitalisme itu akarnya panjang, dari budaya dan kebiasaan hidup sehari-hari yang makin deket sama pasar. Eric Hobsbawm lewat The Age of Revolution: 1789–1848 (1962, Weidenfeld & Nicolson) nunjukin gimana Revolusi Industri bikin kapitalisme naik level lewat mesin, pabrik, dan buruh massal. Karl Polanyi di The Great Transformation (1944, Farrar & Rinehart) malah bilang kapitalisme itu bukan proses alami, tapi sistem yang sengaja dibentuk negara biar pasar jadi nomor satu, ngalahin relasi sosial. Jadi jelas, kapitalisme lahir bukan cuma dari peluang tapi juga dari gonjang-ganjing sejarah, dibentuk bareng oleh penjelajah, penemu, pejabat, sampai bankir.Ketika kapitalisme keluar dari Eropa, doski nggak datang sopan-sopan, tapi bawa layar kapal, meriam, sama kontrak dagang. Era kolonial abad ke-17 dan 18 bikin kapitalisme berubah dari fenomena regional Eropa jadi kekuatan global. Koloni di Amerika, Afrika, dan Asia nggak masuk sistem ini secara sukarela, tapi lewat penaklukan dan eksploitasi. Perkebunan tebu di Karibia, ladang kapas di Selatan Amerika, sampai rempah-rempah dan emas dari Asia jadi mesin duit buat pasar dan industri Eropa. Jadi, pertumbuhan kapitalisme global itu bukan cuma soal perdagangan bebas, tapi juga ditopang perbudakan, kekerasan, dan imperialisme—hal yang ditekankan banget sama Immanuel Wallerstein dalam bukunya The Modern World-System (1974, Academic Press).Masuk abad ke-19 dan 20, kapitalisme makin lihai adaptasi. Di Asia, kekuatan kolonial bawa sistem tanam paksa dan bikin jalur kereta bukan buat rakyat lokal, tapi biar gampang ekspor hasil bumi ke pasar dunia. Jepang malah ambil jalan beda lewat Restorasi Meiji, ngedorong industrialisasi kapitalis tanpa harus ikut resep Barat mentah-mentah. Pas abad ke-20, kapitalisme udah resmi jadi global player, dengan korporasi Amerika, bank-bank Eropa, dan kemudian ekonomi Asia ikut ngebut di jalurnya. Thomas Piketty dalam Capital in the Twenty-First Century (2014, Harvard University Press) nunjukin kalau kapitalisme global ini dari dulu punya pola: makin lama makin numpuk kekayaan di tangan segelintir orang, kecuali ada intervensi politik yang nge-rem.Di bab terbaru ini, kapitalisme udah resmi masuk era digital dan finansial, dimana duit nggak lagi banyak lahir dari barang fisik, tapi dari informasi, algoritma, dan spekulasi. Akhir abad ke-20 muncul kapitalisme finansial, dimana bank, hedge fund, sama pasar saham global jadi panggung utama, sering bikin gelembung ekonomi yang pecah dan ngehancurin banyak orang—ini dibedah tajam sama David Harvey di bukunya A Brief History of Neoliberalism (2005, Oxford University Press). Di saat bersamaan, lahirlah kapitalisme digital, dengan raksasa teknologi kayak Apple, Amazon, Google, dan Tencent, yang nilai utamanya bukan pabrik atau lahan, tapi data, hak cipta, dan jaringan global. Pergeseran ini bikin ulang konsep kerja, belanja, sampai perhatian manusia itu sendiri, kayak yang disebut Shoshana Zuboff sebagai surveillance capitalism dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalism (2019, PublicAffairs).Jadi, kapitalisme hari ini cirinya kecepatannya ngeri, skalanya masif, dan nyusup sampai ke privasi hidup orang. Finansialisasi bikin uang bisa bikin uang tanpa harus produksi barang nyata, sementara platform digital nyedot nilai dari tiap klik, like, dan scroll. Tujuannya masih sama kayak abad-abad lalu—untung, tumbuh, dan nambah modal—tapi caranya makin halus sekaligus invasif. Kritikus bilang kapitalisme model gini bisa gerogotin demokrasi, ngasih kekuasaan super gede ke korporasi yang malah lebih tahu isi kepala warga ketimbang pemerintah, dan bikin ketimpangan dunia makin parah. Tapi pembelanya ngotot kalau semua ini ngasih inovasi gila-gilaan, hidup lebih praktis, dan akses tanpa batas, sampai-sampai cara manusia hidup, kerja, dan ngobrol berubah total di abad ke-21.Masa depan kapitalisme jadi topik debat terkini paling panas, soalnya sistem ini kelihatan sekaligus tahan banting tapi juga gampang goyah. Ada ilmuwan yang bilang kapitalisme bakal terus bertahan, kayak bunglon yang selalu bisa nyesuaiin diri sama krisis, persis waktu Depresi Besar atau krisis finansial 2008. Joseph Schumpeter dalam Capitalism, Socialism and Democracy (1942, Harper & Brothers) nyebut kapitalisme itu sistem “creative destruction,” alias kalau ada industri lama yang tumbang, bakal lahir industri baru yang lebih seger, bikin sistem ini awet. Dari situ bisa kebayang, bahkan di era krisis iklim dan otomatisasi, kapitalisme mungkin aja berubah jadi “hijau” lewat teknologi ramah lingkungan atau kecerdasan buatan.Tapi ada juga yang bilang kapitalisme udah deket ke titik buntu. Wolfgang Streeck di How Will Capitalism End? (2016, Verso) bilang sistem ini udah kejebak dalam ketidakstabilan kronis, dimana utang, ketimpangan, dan kerusakan ekologi bikin fondasinya kropos. Paul Mason lewat PostCapitalism: A Guide to Our Future (2015, Allen Lane) malah nebak kalau jaringan digital dan budaya open-source bisa ngerusak logika cari untung, ngebuka jalan ke dunia pasca-kapitalisme. Jadi jelas, perdebatan ini bukan cuma soal ekonomi, tapi juga soal politik, budaya, bahkan moralitas: apakah sistem yang doyan pertumbuhan tanpa henti bisa bertahan di planet yang terbatas, dan apakah seharusnya kita masih percaya padanya?Kapitalisme di Indonesia punya wajah khas, beda banget dari Eropa atau Amerika, karena dibentuk dari warisan kolonial, politik pasca-merdeka, sampai globalisasi modern. Kalau di Barat kapitalisme lahir dari perdagangan berabad-abad dan revolusi industri, di Indonesia ia masuk lewat sistem tanam paksa dan perkebunan Belanda. Jadi, kapitalisme di sini awalnya bukan usaha bebas, tapi sistem eksploitasi dimana duit ngalir keluar negeri, bukan buat rakyat lokal. Setelah merdeka, Sukarno sempet ngarahin ekonomi ke gaya sosialisme terpimpin, tapi begitu Orde Baru jalan, Suharto muter haluan ke kapitalisme negara, dimana elite politik dan kroninya nguasain industri, bikin batas antara kepentingan publik dan swasta jadi kabur.Setelah Reformasi, kapitalisme Indonesia jadi campuran unik. Di satu sisi, demokrasi bikin pasar bebas dan investasi global makin terbuka, mall tumbuh dimana-mana, bank makin banyak, sampai startup digital ikut ngegas. Tapi di sisi lain, struktur oligarki masih aja kuat, bikin kekayaan dan kuasa tetep numpuk di segelintir keluarga dan konglomerat. Richard Robison dalam Indonesia: The Rise of Capital (1986, Allen & Unwin) nunjukin kalau kapitalisme Indonesia selalu nempel sama politik, sementara Vedi Hadiz lewat Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia (2010, Stanford University Press) ngejelasin gimana elite oligarki tetep bisa nyetel dengan demokrasi tanpa kehilangan kendali ekonominya. Jadi jelas, kapitalisme Indonesia itu bukan pasar bebas versi buku teks, tapi hasil tawar-menawar sejarah, politik, dan perjuangan rakyat kecil biar bisa kebagian rezeki.Kapitalisme Eropa-Amerika itu biasanya dipoles lewat sejarah panjang industri, bank gede, dan pasar bebas yang nyembah kompetisi sebagai “dewa” serta nganggap kebebasan usaha itu sesuatu yang suci. Di sana, kapitalisme keliatan kayak sistem dengan aturan main yang jelas, dimana bisnis swasta bisa tumbuh dalam koridor hukum yang katanya sih nge-rem campur tangan politik berlebihan. Nah, di Indonesia ceritanya agak lain. Kapitalisme di sini udah dari sononya lengket banget sama politik. Dari awal masuk lewat kolonialisme yang nyedot sumber daya, lanjut ke era Suharto dengan pembangunan top-down ala negara, sampai sekarang jadi campuran aneh antara demokrasi, oligarki, dan pasar global yang saling sikut tapi juga saling nyetel. Jadinya kapitalisme Indonesia di permukaan mirip-mirip Barat—ada mall mewah, bursa saham, sampe aplikasi digital—tapi di dalemnya masih kebayang banget warisan ketimpangan, kuasa elit, dan perjuangan rakyat kecil yang belum kelar-kelar.Bilamana kapitalisme Indonesia bener-bener tumbuh tanpa bayangan kolonialisme dan oligarki, wajahnya pasti jauh beda dari sekarang. Alih-alih lahir dari sistem yang niatnya nguras sumber daya keluar negeri, bisa aja lahir dari semangat usaha lokal, tradisi gotong royong, dan kekayaan budaya nusantara. Usaha kecil dan menengah bakal jadi tulang punggung ekonomi, bukan konglomerat yang nyusu ke patron politik, dan sumber daya alam dikelola buat kemakmuran jangka panjang, bukan sekadar cuan cepat. Dalam skenario kayak gini, kapitalisme Indonesia bisa jadi model baru yang khas: kapitalisme rakyat, yang gabungin energi pasar sama rasa adil sosial, sekaligus jadi alternatif unik dibanding liberalisme Barat atau model negara kuat ala Timur. Fokusnya bukan mall gede atau monopoli raksasa, tapi komunitas yang sejahtera bareng lewat inovasi dan rezeki yang dibagi lebih merata.Komunisme punya cerita beda. Komunisme itu sebenernya udah ada jauh sebelum Karl Marx nongol. Banyak filsafat kuno, komunitas Kristen awal, bahkan percobaan utopia di berbagai zaman udah kebayang hidup tanpa kelas sosial dan semua barang dimiliki bareng-bareng. Tapi Karl Marx yang bikin konsep ini jadi sistem teori yang rapi lewat Marxisme. Dalam Manifesto Komunis (1848, bareng Friedrich Engels, edisi London oleh Workers' Educational Association), Marx jelasin kalau komunisme itu tahap terakhir perkembangan sejarah manusia, yang bakal lahir setelah kapitalisme tumbang dan konflik kelas kelar. Jadi, komunisme versi politik modern itu bukan murni “ajaran Marx pribadi,” tapi lahir dari Marxisme sebagai kerangka teorinya, yang mendefinisikan komunisme sebagai ujung evolusi sosial.Sebelum Karl Marx, udah ada yang namanya “komunisme utopis,” alias imajinasi tentang dunia ideal dimana nggak ada kepemilikan pribadi, kelas sosial, atau konflik. Tokoh kayak Thomas More dalam bukunya Utopia (1516, pertama kali terbit di Leuven oleh Dirk Martens) ngebayangin komunitas dimana harta dibagi rata dan hidup damai, walau lebih mirip mimpi moral ketimbang strategi politik. Di abad ke-19, Charles Fourier dan Robert Owen juga nyoba bikin komunitas komunal dan kerjasama kolektif, berharap bisa memperbaiki masyarakat lewat percobaan sukarela, bukan revolusi. Inspiratif sih, tapi kelemahannya: mereka nggak ngasih jawaban jelas gimana caranya dunia kayak gitu bisa beneran terwujud.Nah, Marx dan Engels masuk dengan istilah “komunisme ilmiah,” atau yang mereka sering sebut “sosialisme ilmiah,” yang dijelasin dalam Manifesto Komunis (1848). Bedanya, pendekatan mereka bukan sekadar mimpi indah, tapi analisis materialis tentang sejarah. Mereka bilang peradaban manusia bergerak lewat tahap-tahap konflik kelas—dari perbudakan, feodalisme, sampai kapitalisme—dan komunisme pasti lahir begitu kapitalisme hancur karena kontradiksinya sendiri. Jadi, kalau utopis cuma ngomongin dunia yang seharusnya ada, Marx ngotot nunjukin lewat teori ekonomi dan sejarah kenapa masyarakat tanpa kelas bakal muncul. Dengan kata lain, komunisme versi Marx ini ngeklaim dirinya bukan khayalan, tapi hasil pasti dari perkembangan sejarah.Komunisme, kalau dilihat sebagai doktrin politik yang rapih, baru bener-bener muncul setelah Karl Marx dan Friedrich Engels ngasih fondasi teori dan arah revolusioner. Dalam Manifesto Komunis (1848, edisi Penguin Classics 2002), mereka jelas-jelas bilang bahwa komunisme adalah hasil akhir dari pertarungan kelas, tahap dimana kepemilikan pribadi bakal dihapus, dan produksi diarahkan buat kepentingan kolektif, bukan individu. Tapi, apa yang sering orang sebut "Komunisme" dalam praktik sebenarnya lebih cocok disebut aplikasi politik dari Marxisme, yaitu kumpulan pemikiran Marx soal kritik kapitalisme dan visinya tentang masyarakat tanpa kelas. Marxisme itu lebih luas: ada filosofi, ekonomi, sampai teori sosial; sementara Komunisme adalah target politik yang diambil dari teori itu. Jadi gampangnya, Komunisme lahir dari Marxisme, tapi bukan berarti dua-duanya sama. Marxisme itu akar ide, sedangkan Komunisme adalah buah yang coba dipetik gerakan-gerakan politik—meski sering kali hasilnya jauh beda dari blueprint Marx sendiri.Kalau ngomongin Komunisme versi Marx, itu masih teoretis banget, intinya nyambung ke kritiknya terhadap kapitalisme. Dalam Capital (1867, edisi Penguin Classics 1990), Marx ngeliat komunisme sebagai tahap akhir perkembangan sejarah, tercapai setelah kapitalisme matang dan hancur gara-gara kontradiksi internalnya. Di situ doi ngebayangin masyarakat tanpa negara, tanpa kelas, produksi jalan bukan buat untung tapi buat kebutuhan manusia. Tapi Lenin ketemu realita Rusia yang masih setengah feodal, bukan industri modern kayak yang dibayangin Marx. Dalam State and Revolution (1917, edisi Penguin Classics 1992), Lenin bilang harus ada masa transisi dulu berupa “kediktatoran proletariat,” di mana negara dipakai kelas pekerja buat nggebuk perlawanan borjuis. Ini udah beda jauh dari bayangan Marx yang lebih “alami” nunggu kapitalisme jatuh sendiri.Mao Zedong lebih jauh lagi ngubah teori Marx-Lenin biar cocok ama kondisi China. Dalam On New Democracy (1940, Foreign Languages Press 1965), Mao taruh petani, bukan buruh pabrik, sebagai motor revolusi. Doski bikin konsep perang rakyat jangka panjang dan percaya revolusi harus terus berlanjut bahkan setelah menang, karena takut birokrasi baru bisa aja jadi kelas penguasa baru. Jadi, kalau Marx bayangin komunisme sebagai utopia jauh di ujung jalan sejarah, Lenin ngelihatnya sebagai strategi praktis buat ngerebut dan ngejaga kekuasaan, sedangkan Mao nganggep itu perjuangan tanpa henti supaya kelas lama kagak balik lagi.Komunisme ala Uni Soviet, yang dibentuk Lenin lalu dimantapkan Stalin, jadi super tersentralisasi, fokus ke industrialisasi, dan dikontrol negara secara ketat. Setelah Bolshevik menang tahun 1917, mereka bikin kebijakan kayak komunisme perang, terus ganti ke NEP, tapi di zaman Stalin sistemnya makin keras: ekonomi komando, industrialisasi kilat, dan kolektivisasi pertanian yang dipaksa. Dalam Foundations of Leninism (1924, Foreign Languages Press 1976), Stalin ngecap komunisme sebagai kuasa absolut partai, dan hasilnya negara bukannya “lenyap” kayak prediksi Marx, malah jadi mesin raksasa yang ngatur semua aspek hidup.China di bawah Mao jalannya beda, soalnya basis revolusinya ada di desa, bukan kota. Kalau Soviet ngejar industri berat, Mao percaya kekuatan revolusi ada di petani. Mao nyoba eksperimen gila-gilaan kayak Lompatan Jauh ke Depan (1958–1962) dan Revolusi Kebudayaan (1966–1976). Dalam Quotations from Chairman Mao (1964, Foreign Languages Press 1966), Mao terus bilang revolusi harus berlanjut tanpa henti, kalau enggak, elit baru bakal muncul gantiin elit lama. Akibatnya, komunisme ala Mao jadi model mobilisasi massa, populis banget, kadang destruktif parah, tapi khas Tiongkok dengan basis desa dan fanatisme ideologi.Jadi, komunisme Soviet kelihatan kayak mesin birokrasi industri raksasa, sedangkan komunisme China lebih kacau, desa-sentris, dan selalu merasa revolusi harus lanjut. Dua-duanya ngaku sahih secara Marxis, tapi jelas nyimpang jauh dari visi Marx soal masyarakat tanpa negara dan tanpa kelas. Kenyataannya, malah tercipta hierarki dan negara baru yang kalau Marx lihat, mungkin bakal dianggep pengkhianatan terhadap teorinya sendiri.Di Asia Tenggara, pengaruh komunisme ala Soviet dan China muncul dengan cara yang ribet dan sering berdarah, tergantung kondisi sosial masing-masing negara. Soviet biasanya dukung partai komunis resmi yang setia ke Moskow, dengan model organisasi disiplin, hierarkis, dan patuh ke garis internasional komunis. Itu sempet kelihatan di Vietnam awalnya, sebelum Ho Chi Minh muncul, dimana para komunis coba tiru struktur Soviet. Tapi makin lama, justru contoh dari China yang lebih ngaruh, apalagi buat gerakan berbasis petani. Fokus Mao ke perang gerilya, mobilisasi desa, dan ide revolusi tanpa henti terasa lebih nyambung ke kondisi Asia Tenggara.Vietnam jadi contoh paling jelas gimana Maoisme diadaptasi. Ho Chi Minh, walaupun pernah belajar di Moskow, akhirnya bikin revolusi yang banyak bertumpu pada desa, pakai perang gerilya buat ngalahin kolonial Prancis dan kemudian militer Amerika. Tulisannya dalam Prison Diary (1942, Foreign Languages Publishing House 1967) nunjukin campuran disiplin Marxis-Leninis dengan taktik desa ala Mao. Indonesia lain cerita: PKI (Partai Komunis Indonesia) di bawah D.N. Aidit, yang pada 1960-an jadi partai komunis non-penguasa terbesar di dunia, condong ke Beijing ketimbang Moskow. Mereka coba nyontek model Mao buat konteks Indonesia, tapi semuanya hancur lebur pas tragedi 1965–1966, ketika terjadi pembantaian massal anti-komunis yang jadi salah satu titik paling kelam dalam sejarah bangsa.Di Malaysia, Thailand, sampai Filipina, gerakan komunis juga coba ambil langsung strategi Maois. Gerilyawan desa ngimpi bisa bikin “Long March” versi lokal, walaupun banyak yang gagal. Tapi jelas kelihatan gimana komunisme ala Mao lebih gampang nancep di negara-negara agraris. Jadi, komunisme Soviet kasih blueprint buat disiplin partai dan hubungan internasional, sementara komunisme Mao kasih “senjata” berupa taktik gerilya dan simbol-simbol revolusi. Sejarah Asia Tenggara nunjukin kalau komunisme di sini lebih soal adaptasi lokal dari model Soviet dan China, bukan lagi murni bayangan Marx soal masyarakat tanpa kelas.Tragedi Indonesia 1965–1966 jadi titik balik gede banget buat komunisme di Asia Tenggara, baik dari segi skala maupun dampaknya. PKI (Partai Komunis Indonesia) waktu itu udah gede banget, dengan tiga juta anggota resmi plus belasan juta simpatisan lewat organisasi sayap. Di bawah D.N. Aidit, PKI condong ke Beijing, coba adaptasi strategi Mao buat mobilisasi massa, tapi tetap main di jalur parlementer. Peristiwa ini bukan cuma ngehancurin PKI, tapi juga bikin dunia komunis internasional kaget setengah mati. Bagi Soviet, itu bukti kalau partai komunis besar bisa aja tumbang kalau nggak kuasai negara duluan. Buat China, itu pukulan telak, karena salah satu sekutu paling pentingnya di dunia berkembang hilang begitu saja. Politik Indonesia juga berubah total: lahirlah Orde Baru Suharto, yang menjadikan anti-komunisme sebagai ideologi negara sekaligus alat legitimasi buat otoritarianisme. Dalam buku Benedict Anderson dan Ruth McVey A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia (Cornell University, 1971), yang terkenal sebagai “Cornell Paper,” mereka bilang kejadian 1965 nggak bisa dilihat cuma sebagai kudeta sederhana, tapi hasil dari benturan internal plus intrik geopolitik internasional.
Dari awal kemerdekaan, para pendiri bangsa udah mikirin ideologi apa yang bisa nyatuin rakyat yang super majemuk ini. Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 jelas nyebut “keadilan sosial” sebagai pondasi negara, tapi beliau gak pernah mau nurut mentah-mentah ama komunisme ala Marx yang kaku. Bung Karno maunya lebih ke arah kolektivisme khas Indonesia, dengan semangat gotong royong. Itu jelas lebih deket ke sosial demokratis ketimbang komunis revolusioner.Mohammad Hatta malah lebih gamblang lagi. Lulusan Belanda, Hatta ngopi ide-ide sosialis demokratis Eropa, apalagi dari tradisi Fabian dan gerakan koperasi Belanda. Makanya beliau ngedorong ekonomi Indonesia berbasis koperasi. Dalam bukunya Demokrasi Kita (1957, Pustaka Antara), Hatta terang-terangan nolak kapitalisme liar sekaligus komunisme otoriter. Pilihan beliau: sosialisme demokratis, dimana negara hadir buat jamin kesejahteraan, tapi kebebasan politik tetep dijaga.Bukti lain keliatan di UUD 1945. Pasal 33 jelas-jelas bilang ekonomi dikuasai negara “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Memang ada nuansa sosialis, tapi kalau dibaca bareng semangat Pancasila yang demokratis, jelas arahnya kompromi sosial-demokratis, bukan tiket buat kediktatoran partai tunggal.Bahkan pun waktu PKI nyoba-nyoba jadi penguasa tunggal, Indonesia tetep nunjukin wajah pluralisnya. Meski PKI sempet gede, ada juga Masyumi, PNI, dan partai-partai lain yang sama kuat. Artinya, kultur politik Indonesia lebih milih keseimbangan—adil tapi tetep demokratis—ketimbang komunis mutlak.Sejarawan juga banyak yang ngedukung argumen ini. Benedict Anderson dalam Java in a Time of Revolution (1972, Cornell University Press) bilang imajinasi politik Indonesia lebih dipengaruhi nilai persatuan dan keadilan lokal ketimbang perjuangan kelas ala Marx. Takashi Shiraishi di An Age in Motion (1990, Cornell University Press) juga nunjukin kalau radikalisme di Jawa tetep campur aduk dengan tradisi lokal, bukan kopi-paste Leninisme.Singkatnya, DNA politik Indonesia emang lebih condong ke sosialis demokratis, bukan komunis. Jadi kalau ada yang bilang kita “nyaris jadi negara komunis,” itu agak lebay. Dari sononya aja, fondasi republik ini udah dikasih rem biar jangan ngelenceng ke arah situ.Amerika Serikat langsung manfaatin tragedi Indonesia 1965 sebagai kemenangan gede di papan catur global Perang Dingin. Buat Washington, hancurnya PKI—yang waktu itu partai komunis terbesar ketiga di dunia setelah Soviet dan China—berarti satu bidak domino penting di Asia Tenggara berhasil disingkirin. Dokumen-dokumen yang sudah dideklasifikasi, termasuk yang dibahas dalam buku Bradley Simpson Economists with Guns: Authoritarian Development and U.S.–Indonesian Relations, 1960–1968 (Stanford University Press, 2008), nunjukin kalau Amerika bukan cuma seneng, tapi juga aktif dukung pembersihan itu: kasih intelijen, bantuan logistik, bahkan sampai nyodorin daftar nama-nama yang dicurigai komunis ke militer Indonesia. Semua ini nyambung sama teori domino, yang percaya kalau Indonesia jatuh ke komunisme, negara-negara Asia Tenggara lain bakal ikut jatuh.Dengan naiknya Suharto dan kokohnya Orde Baru, Indonesia langsung geser ke kubu Barat, jadi tembok penahan melawan ekspansi komunis. Para pejabat AS ngerayain ini sebagai kemenangan strategis, apalagi pas mereka lagi kesulitan di Vietnam. Bahkan ada yang di Washington nganggep peristiwa Indonesia sebagai bukti kalau kampanye anti-komunis brutal bisa berhasil dimana intervensi militer gagal.Tapi pelukan Amerika ke rezim Suharto jelas punya harga manusiawi yang mengerikan. Ratusan ribu orang Indonesia dibantai, trauma nasional ngebungkam oposisi politik selama beberapa generasi. Keterlibatan Amerika dalam tragedi ini masih jadi noda hitam dalam sejarah Perang Dingin. Alih-alih dukung demokrasi, Washington justru nyokong diktator yang berlindung di balik bendera anti-komunisme sambil nguatin otoritarianisme. Jadi, tragedi 1965 bukan cuma titik balik Perang Dingin, tapi juga pengingat pahit bahwa persaingan dua superpower sering bikin konflik lokal jadi panggung kekerasan yang gak kebayang.Kritik dunia Barat terhadap pembantaian massal di Indonesia tahun 1965–66 sebenernya berakar dari prinsip hak asasi manusia universal—nilai yang makin nge-tren di panggung internasional pasca Perang Dunia II, apalagi sejak era 1970-an. Tapi ironisnya, negara-negara seperti Amerika Serikat dan sekutunya yang dulu justru ngedukung diem-diem aksi militer Indonesia. Mereka ngasih intelijen, dana, dan semangat anti-komunis, seolah-olah itu bagian dari ‘misi suci’ ngelawan komunisme.Fast forward ke era setelah Perang Dingin mereda, narasi pun berubah. Yang dulu dipuji sebagai kemenangan geopolitik, sekarang disebut sebagai tragedi moral. Makanya, aktivis HAM dari Eropa dan AS mulai mendesak Indonesia buat minta maaf—padahal pemerintah mereka sendiri ikutan andil dalam kekerasan itu.Para akademisi seperti Bradley Simpson (Economists with Guns) dan Geoffrey Robinson (The Killing Season) nunjukin gimana standar ganda ini udah jadi bagian dari strategi Perang Dingin: dukung rezim otoriter kalau lagi butuh, lalu kutuk kalau udah aman secara politik.
Komunisme sebagai ideologi politik dan ekonomi memang punya akar yang dalam dari tulisan Karl Marx, tapi bukan sepenuhnya sama dengan Marxisme itu sendiri. Karl Marx bersama Friedrich Engels bikin pondasi teori Marxis lewat karya seperti The Communist Manifesto dan Das Kapital. Marxisme itu kayak payung besar pemikiran tentang sejarah, pertarungan kelas, dan sistem ekonomi. Nah, Komunisme adalah aplikasi spesifik dari ide-ide itu, tujuannya ngehapus kepemilikan pribadi, ngilangin kelas sosial, sampai ngebentuk masyarakat tanpa negara dan tanpa kelas.Komunisme bisa dibilang cabang yang tumbuh dari batang Marxisme, tapi prakteknya sering nyeleneh jauh dari visi awal Marx. Kalau Marx cuma bikin teori, tokoh-tokoh kayak Lenin, Stalin, dan Mao yang bikin Komunisme versi "negara nyata," nyampurin konsep Marxis dengan situasi politik lokal. Makanya, Komunisme lahir dari Marxisme, tapi apa yang dunia lihat di abad ke-20 itu sering lebih mirip interpretasi—atau bahkan distorsi—dari ide Marx. Seperti kata Eric Hobsbawm dalam How to Change the World: Tales of Marx and Marxism (2011, Yale University Press), beda antara teori Marxis sama praktek Komunis itu udah lama jadi bahan perdebatan panas, baik di kalangan akademisi maupun di dalam gerakan revolusi sendiri.
[Bagian 13]