[Bagian 17]Jadi ceritanya, KPU bikin aturan kayak reality show rahasia: dokumen capres–cawapres itu katanya demi rakyat, tapi rakyat malah kagak boleh ngelihat. Transparansi ala kadarnya, kayak kaca mobil pakai kaca film lima lapis—katanya masih bisa tembus, tapi kenyataannya gelap gulita. Akuntabilitas? Mirip sulap panggung: tadinya ada, eh tahu-tahu lenyap kayak kartu hilang di saku pesulap. Publik bukannya dikasih akses buat ngecek kualitas calon pemimpin, malah disuruh percaya aja, kayak ikut undian arisan politik yang hadiahnya lima tahun kekuasaan. Intinya, ini demokrasi rasa bioskop kelas ekonomi: tirai ditutup, lampu mati, pemainnya santai, penontonnya bengong.Bilang aturan ini wajar tuh sama aja kayak bilang kotak suara kosong udah cukup buat pesta demokrasi. Intinya kaan rakyat itu bos, jadi sah-sah aja kalau mereka pengen ngecek dulu CV calon pegawainya sebelum tanda tangan kontrak lima tahun. Tapi KPU kayaknya kepikiran ide kocak: presiden dipilih model tebak-tebakan kotak misteri di pasar malam—buka isi kotaknya nanti aja, biar seru! Padahal mestinya kebalik: dokumen calon ya dibuka lebar, toh yang rahasia itu urusan intelijen, bukan rapor sekolah atau rekam medis calon raja dadakan republik. Kalau demokrasi mau lebih dari sekadar kata manis di pidato, ya harus siap dikuliti publik, meski bikin pejabat malu-malu kucing. Kesimpulannya, demokrasi transparan bikin rakyat percaya, demokrasi gelap cuma bikin curiga dan melahirkan meme receh di medsos.Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia menerbitkan Keputusan Nomor 731 Tahun 2025 tentang Penetapan Dokumen Persyaratan Pendaftaran Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagai Informasi Publik yang Dikecualikan. Keputusan ini, yang ditandatangani pada 21 Agustus 2025 oleh Ketua KPU Afifuddin, menyatakan bahwa terdapat 16 jenis dokumen yang diajukan oleh capres dan cawapres, dikategorikan sebagai informasi yang tidak dapat diakses publik tanpa persetujuan tertulis dari pihak yang bersangkutan. Pengecualian ini berlaku selama lima tahun sejak ditetapkan, kecuali pengungkapan terkait dengan jabatan publik yang diemban oleh seseorang.
Adapun keenam belas dokumen tersebut adalah:
- Fotokopi KTP elektronik dan akta kelahiran WNI.
- Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dari Mabes Polri.
- Surat keterangan kesehatan dari rumah sakit pemerintah yang ditunjuk KPU.
- Bukti penyampaian laporan harta kekayaan pribadi (LHKPN) ke KPK.
- Surat keterangan dari pengadilan negeri bahwa tidak dalam keadaan pailit atau memiliki tanggungan utang.
- Surat pernyataan tidak sedang dicalonkan sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD.
- Fotokopi NPWP dan bukti penyampaian SPT tahunan PPh orang pribadi selama 5 tahun terakhir.
- Daftar riwayat hidup, profil singkat, dan rekam jejak bakal calon.
- Surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 periode dalam jabatan yang sama.
- Surat pernyataan setia kepada Pancasila, UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
- Surat keterangan dari pengadilan negeri bahwa tidak pernah dipidana penjara 5 tahun atau lebih.
- Bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, surat tamat belajar, atau dokumen setara yang dilegalisasi.
- Surat keterangan dari kepolisian tidak terlibat organisasi terlarang atau G30S/PKI.
- Surat pernyataan bermeterai tentang kesediaan dicalonkan sebagai pasangan capres-cawapres.
- Surat pengunduran diri dari TNI, Polri, atau PNS setelah ditetapkan sebagai pasangan calon.
- Surat pengunduran diri dari karyawan atau pejabat BUMN/BUMD setelah ditetapkan sebagai pasangan calon.
Waah, KPU kayak ngajak kita nonton konser VIP nih: semua dokumen penting capres–cawapres ditempelin pita merah, cuma yang pegang undangan yang boleh ngintip. Ijazah, laporan pajak, LHKPN—semua ini, yang semestinya jadi bahan cek and balance—ditutup rapat seakan-akan itu resep rahasia keluarga kerajaan. Secara hukum sih nggak cocok: undang-undang keterbukaan bilang pengecualian harus sempit dan ada uji konsekuensi, bukan ditutup karena malu-maluin. Kalau bungkusannya lima tahun tanpa kriteria jelas, ya ujung-ujungnya publik malah jadi pusing, muncul desas-desus, dan netizen sibuk bikin meme-detektif nyari bukti sendiri. Intinya, daripada bikin suasana adem ayem, keputusan ini malah bikin drama panjang—kayak sinetron yang episodenya gak berujung dan ratingnya rame karena penonton gak dikasih jawaban.
Kalau aturan ini lanjut terus, demokrasi kita bakal kayak konser bayangan: penonton bayar tiket, tapi panggungnya ketutup tirai. Rakyat disuruh tepuk tangan buat calon pemimpin yang dokumennya dijaga selevel dokumen nuklir, sementara gosip dan teori konspirasi bebas berkeliaran ngisi kekosongan informasi. Ijazah yang dikunci rapat malah bikin isu makin laris, laporan pajak yang disembunyikan jadi bahan gosip warung kopi, dan rekam medis yang ditutup rapat lebih sering dibahas kayak infotainment ketimbang visi-misi. Ujung-ujungnya, pemimpin dipilih bukan karena kredibilitas, tapi karena tebalnya tembok yang jaga berkas pribadinya. Akuntabilitas? Tinggal jadi kata manis di pidato. Jadi konsekuensinya bukan adem ayem, tapi karnaval sinis: rakyat nyoblos sambil manyun, lebih karena spekulasi ketimbang keyakinan.Aturan ini potensinya kayak nyiram bensin ke bara yang belum padam. Rakyat baru aja ngerasain pahitnya politik gelap—mulai dari sulap-sulapan di MK yang ngelahirin kandidat politik dinasti dadakan sampai drama ijazah yang nggak pernah kelar—eeh sekarang dibilang kalau rasa penasaran itu udah nggak termasuk paket demokrasi. Nutup dokumen di saat kepercayaan publik lagi tipis-tipis tuh ibarat bagi-bagi penutup mata di demo: bukannya bikin tenang, malah bikin orang tambah curiga. Alih-alih bikin adem, aturan ini justru bisa nge-upgrade warung kopi jadi parlemen teori konspirasi, akun meme jadi kantor investigasi, dan bisik-bisik jadi headline. Jadi bukannya meredam kemarahan, keputusan ini malah berpotensi nyulut api lebih besar—karena kalau negara pilih rahasia ketimbang transparansi, ya amarah rakyat jadi satu-satunya “keterbukaan” yang tersisa.Sebelum kita nyemplung lagi ke bahasan utama, kita buka dengan istilah lokal yang tajem tapi jujur banget: ‘duri dalam daging’. Ini tuh kayak kebijakan publik yang katanya pro-rakyat tapi ujung-ujungnya nyakitin. Nempel, nyiksa, tapi nggak bisa dicabut sembarangan.
Ungkapan khas Indonesia “duri dalam daging” kalau diterjemahin langsung ke Ingglisy jadi “a thorn in the flesh.” Maksudnya, ada sesuatu atau seseorang yang bikin hidup nggak pernah tenang—nggak sampai ngehancurin total, tapi gangguin terus kayak duri kecil yang tiap gerak dikit langsung nyiksa. Dalam British English, ungkapan yang sama persis itu “a thorn in one’s side” atau “a thorn in the flesh.” Artinya sama: sumber gangguan yang kagak habis-habis.
Ungkapan ini kerap muncul dalam politik, bisa dipakai buat nyebut oposisi yang nggak pernah hilang; di kehidupan sehari-hari, bisa buat nyindir orang atau masalah yang udah dicuekin tapi tetep aja bikin ribet. Dalam politik, “duri dalam daging” sering banget dipakai buat nyebut lawan yang bandelnya minta ampun, kayak partai oposisi kecil yang nggak pernah bisa nguasain kursi mayoritas tapi kerjaannya tiap hari ngusik pemerintah. Gangguannya nggak bikin rezim jatuh, tapi bikin gatel terus kayak duri kecil yang nggak bisa dicabut.Dalam ekonomi, “duri dalam daging” bisa jadi masalah kayak inflasi, korupsi, atau defisit perdagangan. Nggak langsung bikin negara bangkrut, tapi ngerepotin banget lantaran kudu terus ditanganin—ibarat bisul kecil yang nggak pernah sembuh-sembuh.Secara sosial, ungkapan ini bisa dipakai buat ngomongin masalah laten kayak diskriminasi, ketidakadilan, atau suara minoritas yang dianggep remeh tapi terus-menerus bikin masyarakat sadar ada luka lama yang nggak pernah sembuh.Dari perspektif budaya, “duri dalam daging” muncul pas tradisi lama ngotot bertahan sementara generasi muda ngegas ke arah modernisasi. Hasilnya? Tabrakan nilai, dimana budaya lama jadi ganjelan yang bikin perubahan kagak bisa jalan mulus.Ungkapan “Musuh dalam Selimut” dan “Duri dalam daging”, keduanya menyiratkan ancaman dari dalam, tapi membawa bayangan makna yang berbeda. “Musuh dalam Selimut” itu ibarat temen kosan loe yang keliatannya baik-baik aja, suka minjemin charger, tapi ternyata nyolong kuota Wi-Fi loe tiap malem. Sementara “Duri dalam Daging” itu lebih kayak temen kantor yang hobinya bikin ribet—nggak jahat secara terang-terangan, tapi selalu aja ada ulahnya bikin kerjaan loe kagak kelar-kelar. Bedanya, yang satu itu penipu licik, yang satunya lagi pengganggu abadi. Dan kalau di dunia politik, musuh yang awalnya cuma “musuh dalam selimut” bisa naik level jadi “duri dalam daging”—alias udah ketahuan busuknya, tapi tetep nongkrong di kursi empuk dan susah banget disingkirin.
Dalam British English, “snake in the grass” atau “wolf in sheep’s clothing” itu mirip “Musuh dalam Selimut”, sementara “thorn in one’s side” atau “pebble in one’s shoe” itu padanannya “Duri dalam Daging”. Bedanya, yang satu licik, yang lain ngeselin.Dua ungkapan ini kadang nyambung. Musuh yang awalnya sembunyi bisa ketahuan, tapi tetep susah disingkirin, akhirnya jadi duri yang nempel terus kayak tattoo. Dari drama sembunyi-sembunyi jadi drama permanen.Kalau lihat sejarah, banyak kerajaan hancur bukan karena diserang luar, tapi karena ada musuh dalam selimut yang akhirnya jadi duri dalam daging. Musuh luar gampang ditangkis, tapi musuh deket yang nempel susah banget dibasmi. Buat kehidupan pribadi, dua pepatah ini ngajarin banyak hal. Kita harus waspada sama yang licik, tapi juga kuat menghadapi yang ngeselin dan nggak bisa dihindarin. Paket komplit: hati-hati sekaligus sabar.Jadi, “Musuh dalam Selimut” sama “Duri dalam Daging” itu kayak peringatan ganda. Yang satu bikin kita jangan gampang percaya, yang satunya bikin kita tahan mental. Intinya: musuh itu kadang bukan di luar pagar, tapi justru ada di meja makan bareng kita.Konsepsi Bahaya laten itu artinya bahaya yang diem-diem aja, ngumpet di balik layar, nunggu timing pas buat muncul lagi. Bedanya sama serangan terbuka, dia nggak bikin ribut, justru tumbuh subur karena orang udah ngerasa aman. Kalau dikaitin ama “Musuh dalam Selimut”, bahaya laten itu keliatan banget. Temen palsu yang pura-pura deket, padahal lagi nyimpen pisau buat nusuk loe pas lengah. Ini pengkhianatan yang disamarkan, ancaman paling halus tapi paling nyakitin. Sedangkan “Duri dalam Daging” ngegambarin sisi lain bahaya laten. Bukan musuh yang langsung nyerang, tapi rasa sakit kecil yang nggak kelar-kelar. Lama-lama bikin infeksi, bikin hidup lo nggak nyaman terus-terusan. Dua pepatah ini kalau digabung jadi definisi lengkap bahaya laten: ada yang nyamar jadi sahabat, ada juga yang jadi masalah kronis yang susah dicabut. Intinya, musuh paling bahaya bukan yang teriak-teriak, tapi yang diem-diem deket sama loe.Dalam politik, bahaya laten paling gampang keliatan di ideologi atau kelompok yang udah dibilang kalah, tapi sebenernya masih hidup di bawah tanah. Kayak “Musuh dalam Selimut” karena nyamar, sekaligus kayak “Duri dalam Daging” karena nggak bisa disingkirin.Dalam dunia ekonomi, bahaya laten itu perusahaan yang kelihatan untung, tapi di dalemnya penuh praktik kotor. Partner curang jadi musuh dalam selimut, sementara birokrasi ribet dan inefisiensi jadi duri dalam daging yang bikin bisnis nggak bisa ngebut. Dalam kehidupan sosial, bahaya laten itu temen yang kelihatannya manis, tapi doyan ngejulidin loe. Doi musuh dalam selimut. Sementara konflik receh yang nggak pernah kelar di tongkrongan atau keluarga jadi duri dalam daging, bikin suasana selalu panas.Secara budaya, bahaya laten jadi semacam alarm bawaan. Para orangtua sering ngingetin, jangan gampang percaya sama yang keliatan baik-baik aja. Dari pepatah ular di rumput sampai duri di sisi, semuanya ngajarin kita hati-hati sama bahaya yang nyamar.Kekuatan bahaya laten ada di keheningannya. Musuh terang-terangan bikin kita siap-siap bertahan, tapi musuh yang diem-diem bikin kita lengah. Justru karena nggak kelihatan, efeknya bisa lebih ngeri pas akhirnya meledak. Sejarah udah sering nunjukin, kerajaan dan negara ambruk bukan cuma karena diserang luar, tapi karena ada pengkhianat dan masalah dalam yang nggak kelar-kelar. Bahaya laten itu nggerogotin pondasi sebelum kita sadar semuanya udah rapuh. Buat kehidupan pribadi, ngerti konsep bahaya laten bikin kita lebih bijak. Musuh dalam selimut ngajarin waspada, duri dalam daging ngajarin sabar. Dua-duanya bikin mental kita lebih tahan banting.
Istilah bahaya laten di Indonesia paling terkenal dipake buat ngomongin komunisme. Katanya udah diberesin, tapi masih bisa nongol kapan aja. Tapi kalau ditarik lebih luas, ini sebenernya tentang semua ancaman yang diem-diem tetep hidup. Karena ancaman kayak gini biasanya nggak mati, bisa nyamar, berubah bentuk, atau numpang hidup di sistem sehari-hari. Makanya pepatah musuh dalam selimut dan duri dalam daging jadi pas banget buat ngejelasin konsep bahaya laten.Hidup bijak artinya ngerti bahaya laten bisa muncul di mana aja: temen palsu, masalah yang kagak kelar-kelar, kebiasaan buruk, sampai ideologi yang disangka udah hilang. Semua diem-diem nunggu momen buat nyerang lagi.Akhirnya, musuh dalam selimut dan duri dalam daging itu bukan cuma pepatah, tapi potret nyata bahaya laten. Mereka ngingetin kalau musuh paling berbahaya biasanya bukan di luar pagar, tapi justru duduk manis di sebelah loe, pura-pura jadi kawan.Setiap negara itu, walaupun kelihatan adem ayem dari luar, sebenernya selalu punya "bom waktu" yang bisa meledak kapan aja. Bahaya laten ini bukan sekadar mitos, tapi semacam virus tidur yang nungguin momen pas buat bangun. Bisa berupa dendam sejarah yang nggak pernah selesai, gesekan etnis atau agama yang selalu dipendam, korupsi yang udah jadi budaya, atau sifat otoriter yang cuma disamarkan sementara. Makanya, seringkali, musuh terbesar suatu bangsa bukan datang dari luar negeri, tapi dari dalam dirinya sendiri.
Kalau rakyat udah kehilangan kepercayaan pada institusi, kalau elite politik sibuk main pencitraan sementara ekonomi merosot, kalau anak mudanya makin apatis dan gampang dimakan ideologi ekstrem, di situlah bahaya laten mulai nunjukin giginya. Jadi, jangan heran kalau negara bisa runtuh bukan karena perang, tapi karena rapuh dari dalam. Makanya kewaspadaan itu bukan berarti parno, tapi justru tanda sayang pada tanah air—karena musuh kadang bukan yang ngegebuk dari depan, tapi yang udah ngumpet di balik tembok, siap nusuk dari belakang.
Di Jerman, jauh sebelum Hitler naik ke panggung, bahaya laten udah ngendap lewat rasa sakit hati karena Perjanjian Versailles dan krisis ekonomi parah. Orang-orang udah kesal, politik makin pecah belah, dan ketika ada orator jago ngegas kayak Hitler, bom waktunya meledak jadi Nazi yang ngerusak negaranya sendiri dan nyeret dunia ke perang.Di Rwanda, konflik Hutu-Tutsi awalnya kayak bara kecil yang ketutup abu. Ditinggalin kolonialisme dan identitas palsu yang dimanipulasi, akhirnya gampang banget dipantik. Begitu propaganda politik main, tahun 1994 meledak jadi genosida, tragedi kemanusiaan yang masih bikin merinding sampai sekarang.Indonesia juga nggak kebal. Persaingan ideologi antara komunis, nasionalis, dan agama di tahun 60-an itu sebenarnya bahaya laten yang udah lama nunggu. Begitu kondisi politik kacau, meledak jadi pembantaian massal. Belum lagi korupsi—nggak bikin headline heboh setiap hari, tapi kayak rayap yang lama-lama bikin rumah ambruk dari dalam.Uni Soviet pun gitu. Dari luar kelihatan kayak raksasa baja, tapi dalemnya udah kropos sama sistem ekonomi yang nggak efisien, sensor, dan kurangnya kebebasan. Akhirnya bukan ditembak musuh, tapi roboh sendiri karena internalnya udah membusuk.Kalau ditarik benang merahnya, bahaya laten itu kayak rumus universal: kekecewaan + pembiaran + eksploitasi = ledakan. Pertama ada kekecewaan, entah itu sakit hati sejarah, ketimpangan ekonomi, atau gesekan identitas. Biasanya sih nggak pernah bener-bener selesai, cuma dipoles pake janji-janji atau ditutupin propaganda. Lalu masuk fase pembiaran: pemerintah cuek, institusi makin ompong, rakyat udah gak percaya. Nah, kekecewaan ini jadi kayak racun dalam botol yang disimpen rapat-rapat. Begitu ada pihak yang pinter manfaatin—entah politisi licik, elite rakus, atau bahkan pihak asing—racun itu langsung dipakai buat nyulut krisis besar-besaran.Polanya selalu sama: negara sibuk bikin benteng jagain perbatasan, tapi nggak sadar rayap udah gerogotin fondasi dari dalam. Mereka pamer pertumbuhan ekonomi, tapi tutup mata ama jurang sosial yang makin lebar. Jadinya pas bom waktunya meledak, bukan karena percikan kecil semata, tapi karena tanahnya udah basah kuyup sama bensin sejak lama. Jadi pelajaran pentingnya jelas: waspada itu bukan berarti hidup parno, tapi rajin ngerawat akar persatuan, keadilan, dan rasa adil biar retakan kecil kagak berubah jadi jurang gede yang nggak bisa ditutup lagi.Di dunia digital, bahaya laten di negara itu mirip banget kayak bug tersembunyi di software. Awalnya aplikasi jalan mulus, tampilannya oke, user happy-happy aja. Tapi di balik kode ada celah fatal yang nggak pernah dibenerin. Selama belum ada yang ngeksploit, sistem kelihatan aman. Begitu ada hacker yang nemu dan manfaatin, sistem bisa jebol total. Sama kayak negara: di luar kelihatan kinclong, tapi kalau di dalamnya udah ada “kode busuk” kayak korupsi, ketidakadilan, atau kesenjangan, suatu saat bisa aja dipakai pihak tertentu buat bikin negara ambruk.Analogi lain: bayangin api kecil di kompor yang nggak dijaga. Awalnya cuma nyala kecil, kayak nggak bahaya sama sekali. Tapi lama-lama gas numpuk, oksigen makin banyak, dan api kecil itu bisa berubah jadi kebakaran gede yang ngabisin dapur. Nah, isu-isu kecil di masyarakat—kayak ketidakpercayaan, prasangka, atau arogansi politik—kalau dibiarkan terus, bisa jadi api gede yang ngerusak negara dari ujung ke ujung.Di jaman now, bahaya laten paling gede salah satunya adalah perubahan iklim. Bukan kayak perang yang langsung meledak, tapi dateng pelan-pelan: air laut naik, cuaca makin kagak jelas, kekeringan ama banjir makin sering. Banyak pemerintah nganggep ini masalah “nanti”, padahal racunnya udah masuk sekarang, bikin pertanian jeblok, orang-orang kudu pindah kampung, dan ekonomi negara makin keteteran.Bahaya lain: polarisasi medsos. Awalnya cuma debat receh online, lama-lama berubah jadi kubu-kubuan keras. Algoritma makin doyan konten marah-marah, hoaks lari lebih cepet daripada fakta, dan masyarakat terjebak di gelembung ideologi masing-masing. Politisi kadang malah sengaja manas-manasin demi suara, tapi efek jangka panjangnya, bangsa bisa pecah belah dari dalam.Terus ada juga jebakan utang negara. Pinjem buat pembangunan sih sah-sah aja, tapi kalau numpuk kebanyakan, bisa bahaya. Selama cicilan masih jalan, kelihatan aman-aman aja. Tapi begitu krisis datang, negara bisa kehilangan kendali, kebijakan lebih diatur sama kreditur ketimbang kebutuhan rakyat. Itu ibarat minum kopi tiap hari: awalnya bikin melek, tapi kalau kebanyakan bisa jantungan.Di setiap kajian serius tentang negara, selalu ada tema berulang: bangsa itu punya bom waktu tersembunyi yang nggak pernah bener-bener mati, cuma dipendam atau digeser ke tempat lain. Hannah Arendt lewat The Origins of Totalitarianism bilang, otoritarianisme itu kagak muncul tiba-tiba kayak meteor jatuh, tapi tumbuh diem-diem di lahan subur kekecewaan, birokrasi, dan konformitas massal. Musuh laten itu bukan selalu serangan dari luar, tapi pembusukan kehidupan sipil dari dalam, ketika ketakutan dan kepatuhan perlahan-lahan mencekik keberagaman.Francis Fukuyama dalam Political Order and Political Decay ngasih perspektif lain: institusi negara yang dulu dibangun buat bikin stabil, lama-lama bisa jadi sumber keropos juga. Negara jarang ambruk karena kiamat dadakan; biasanya busuk pelan-pelan kalau hukum jadi alat keuntungan segelintir orang, elit ngerampok mesin kekuasaan, dan rakyat udah kagak percaya sama keadilan sistem. Bahaya laten di sini adalah stagnasi yang nyamar jadi stabilitas, kayak bangunan yang kelihatan kokoh padahal udah kropos dimakan rayap.Samuel P. Huntington di Political Order in Changing Societies bilang, bahaya lain muncul waktu perubahan sosial ngebut tapi politiknya jalan di tempat. Kalau harapan masyarakat tumbuh lebih cepat daripada kemampuan negara buat menampung, kekecewaan jadi bara tersembunyi. Ini kayak gunung api tidur: bisa puluhan tahun adem, tapi sekali meledak, ledakannya bisa nyapu semuanya. Pesannya jelas: masalahnya bukan modernisasi, tapi ketidakcocokan antara semangat masyarakat dan kelambatan politik.Timothy Snyder dalam On Tyranny kasih peringatan kontemporer: demokrasi bisa rontok bukan karena kudeta dramatis, tapi karena kebebasan dianggap sepele. Tirani masuk pelan-pelan lewat propaganda, erosi norma, dan rasa pasrah massal. Bahaya latennya ada di kepala orang: begitu warga berubah jadi penonton pasif, negara bisa terjun bebas tanpa ada yang sadar.
Kalau digabung, semua buku ini ngasih satu kesimpulan pahit: bahaya terbesar buat bangsa itu jarang yang heboh di berita. Bahaya itu ngumpet di dalam struktur yang kelihatan kuat tapi rapuh di dalam, di pemimpin yang teriak soal ketertiban tapi diam-diam nanam kerusakan, dan di masyarakat yang ngira ketenangan sementara itu damai selamanya. Bahaya laten itu bukan petir menyambar, tapi rayap yang bikin fondasi negara pelan-pelan rapuh sampai bisa ambruk sewaktu-waktu.
Pada akhirnya, setiap negara punya bayangan gelapnya sendiri, entah itu dendam lama, ketidakadilan yang dibiarkan, atau tantangan baru kayak perubahan iklim, polarisasi medsos, sampai utang yang numpuk. Bahaya ini kagak datang pake sirene atau tank, tapi merayap pelan, sabar nunggu waktu. Negara enggak runtuh dalam sehari; melainkan rapuh pelan-pelan, dan pas ada krisis, retakan yang udah lama ada, baru kelihatan jelas. Kekuatan sejati sebuah bangsa bukan cuma di tentara, gedung tinggi, atau angka ekonomi, tapi di kewaspadaannya menjaga bahaya diam-diam ini. Supaya tetep bertahan, rakyat dan pemimpin hendaknya ngerawat keadilan, persatuan, dan kebijaksanaan. Soalnya, acapkali, bukan musuh paling berisik di luar pagar yang bikin negara rungkad—tapi api kecil yang udah lama nyala di dalam rumah sendiri.
[Bagian 15]