Selasa, 16 September 2025

Bahaya Komunisme bagi Demokrasi Indonesia (17)

Pendidikan agama yang beneran kuat, dalem, dan nggak sekadar hafalan bisa jadi vaksin paling ampuh lawan Komunisme. Komunisme selalu ngegas pake jargon Marx: “agama itu candu rakyat,” seolah-olah iman cuma kayak obat bius yang bikin orang pasrah sama nasib. Padahal kalau diajarkan dengan tepat, agama justru jadi energi: bikin orang tabah, bermartabat, dan solid dalam komunitasnya. Jadi bukan bikin teler, tapi bikin melek hati.
Nah, di sinilah Komunisme malah kejebak sama metaforanya sendiri. Komunisme nuduh agama candu, tapi malah doi sendiri yang kecanduan: candu ideologi. Obsesi sama kelas, sama materialisme, sama doktrin, bikin Komunisme jadi kayak orang sakau yang gak bisa kompromi. Sementara orang beriman malah tenang, doa jadi charger mental, akhlak jadi pegangan, dan spiritualitas bikin mereka tahan banting.
Kalau ditaro di ring tinju, Komunisme itu kayak petarung yang ngejek lawannya “candu,” tapi malah tumbang duluan karena overdosis ideologi. Agama justru muncul sebagai lawan tangguh: katanya candu, tapi kenyataannya, malah jadi obat penawar.

Contoh paling ngegas itu ada di Afghanistan pas Soviet masuk tahun 1979. Uni Soviet, raksasa Komunis, datang bawa ideologi ateis dan maksa rakyat Afghanistan buat nurut. Tapi masyarakat sana punya identitas Islam yang super kental. Buat para mujahidin, perang itu bukan sekadar politik, tapi jihad lawan penjajah kafir yang mau ngapus agama. Hasilnya? Meski Soviet punya tank dan jet tempur, mereka nggak bisa ngelawan doa plus semangat jihad rakyat desa. Malah akhirnya perang Afghanistan jadi salah satu paku peti mati buat runtuhnya Uni Soviet.
Contoh lain ada di Asia Tengah pas masih dikuasai Soviet. Negara kayak Uzbekistan, Kazakhstan, Tajikistan dipaksa hidup ala ateis Komunis. Masjid ditutup, ngajarin Qur’an dilarang, ulama digencet habis-habisan. Tapi Islam gak mati. Islam tetep hidup sembunyi-sembunyi, doa dibisikkan, ngaji di rumah-rumah, bahkan diwarisin lewat lisan. Begitu Soviet bubar, Islam nongol lagi ke permukaan, kuat dan meriah, kayak api yang cuma ditutupin abu.
Di Indonesia juga ada kisahnya. Tahun 1965, PKI coba ngasih gebrakan gede, tapi bentrok sama kelompok Islam. Begitu panas, umat Islam rame-rame bangkit, bilang ini bukan cuma politik tapi juga soal iman lawan ideologi yang nggak kenal Tuhan. Akhirnya PKI habis, sementara Islam tetep jadi tulang punggung identitas bangsa.
Memang sih, ironi banget: Komunisme bilang agama itu candu, tapi malah agama yang bikin Komunisme megap-megap trus keok. Ternyata, agama, yang kata Komunis “candu ” itu, justru jadi energi yang bikin orang tahan banting, bersatu, dan berani ngelawan tirani.

Setiap negara, besar maupun kecil, menyimpan bahaya laten yang mengintai, siap muncul kapan aja. Bahaya ini tak selalu berupa musuh dari luar, tapi seringnya berasal dari dalam: ketimpangan sosial, korupsi, fanatisme ideologi, atau pudarnya kepercayaan rakyat pada negara. Karena sifatnya yang tersembunyi, ia lebih berbahaya—diam-diam menggerogoti fondasi bangsa sampai pada saatnya meledak jadi krisis besar.
Sejarah udah banyak nyajiin contoh. Romawi runtuh bukan hanya karena serangan barbar, tapi juga karena busuk dari dalam. Kerajaan-kerajaan di Asia dan Afrika rontok bukan cuma karena penjajah, tapi juga karena para pemimpin abai pada jeritan rakyatnya. Intinya, musuh paling mematikan kerap bukan yang datang dari luar, melainkan dari dalam rumah sendiri.
Bahaya laten ini juga biasanya menyamar sebagai sesuatu yang “biasa saja.” Ketimpangan dianggap wajar sampai akhirnya jadi jurang sosial. Korupsi dianggap lumrah sampai semua kepercayaan habis. Fanatisme dianggap masalah kecil sampai tiba-tiba jadi perang terbuka. Kalau pemimpin salah baca atau pura-pura nggak lihat, itu sama aja main api di gudang bensin. Maka, waspada itu bukan cuma buat menghadapi serangan luar, tapi juga buat ngawasin retakan dalam negeri yang bisa menghancurkan segalanya.

Dalam konteks Indonesia, bahaya laten itu jelas kelihatan walaupun sering pura-pura diabaikan. Salah satunya adalah korupsi, yang sudah jadi bagian dari sistem politik dan ekonomi. Orang udah terlalu sering denger kasus korupsi, sampai lama-lama dianggep biasa. Nah, di situlah bahayanya—kalau udah dianggap wajar, maka busuknya negara gak kelihatan lagi, tapi rakyat makin muak. Lama-lama, bisa meledak dalam bentuk ketidakpercayaan total pada pemerintah.
Bahaya laten lain ada di ketimpangan sosial-ekonomi. Pertumbuhan Indonesia memang keren kalau dilihat dari angka-angka, tapi kenyataannya cuma segelintir elite yang kenyang. Sementara di desa-desa atau di kalangan anak muda pencari kerja, hidup makin susah. Ini bikin jurang sosial makin lebar. Memang nggak langsung jadi kerusuhan, tapi rasa iri, benci, dan nggak percaya bisa numpuk, tinggal nunggu waktu buat pecah.
Lalu ada ekstremisme ideologi. Indonesia selama ini bangga dengan pluralisme, tapi kelompok garis keras makin berani tampil. Mereka pintar main isu ekonomi dan politik buat nyari pengikut. Masalahnya, mereka menyebar diam-diam lewat sekolah, medsos, dan komunitas, jadi pas sadar sudah keburu jadi polarisasi.
Terakhir, ada bahaya pemimpin yang terlalu sibuk pencitraan. Fokusnya bikin citra kinclong ketimbang beresin masalah struktural. Hasilnya, negara kelihatan stabil dari luar, tapi dalamnya rapuh. Rakyat mungkin diam dulu, tapi kalau kekecewaan dipendam, sejarah nunjukin pasti suatu saat akan meledak.

Kalau dibikin kayak “tingkat kewaspadaan nasional,” bahaya laten itu bisa dibayangkan kayak alarm darurat dengan beberapa level. Di level terendah, suasana negara masih adem-adem aja, tapi masalah kecil kayak korupsi receh atau ketimpangan tipis-tipis udah nongol. Orang masih nganggep itu normal, padahal kalau dibiarkan bisa jadi bom waktu.
Naik satu level, ketidakpercayaan mulai terasa. Masyarakat mulai ngerasa negara nggak bener-bener ngurus mereka. Korupsi jadi hal biasa, jurang kaya-miskin makin kelihatan, dan kelompok garis keras mulai muncul terang-terangan. Nah, di sini sebenarnya negara harus waspada: perlu dialog terbuka, hukum yang adil, dan pemimpin yang berani, bukan cuma jago pencitraan.
Level berikutnya lebih panas lagi: keresahan udah nggak individual, tapi kolektif. Demo makin sering, masyarakat makin terbelah, dan narasi populis gampang banget nyari panggung. Di titik ini, persatuan nasional bener-bener diuji. Negara mesti berani ngegas dengan reformasi nyata: atur ulang distribusi kekayaan, bangun kembali kepercayaan publik, dan kuatkan pendidikan warga biar gak gampang dimanipulasi ideologi.
Nah, di level paling tinggi, semua bahaya itu udah numpuk jadi krisis nyata. Korupsi bikin negara rapuh, ketimpangan bikin masyarakat pecah, ekstremisme meledak jadi kekerasan, dan populisme bikin pemerintah lumpuh. Kalau udah sampai sini, alarmnya bukan cuma bunyi—tapi udah kebakaran. Yang dibutuhin bukan sekadar waspada, tapi reformasi serius dan kepemimpinan moral yang bisa narik bangsa keluar dari jurang.

Kalau kita tarik ke konteks Indonesia, pendidikan agama yang baik bisa menjadi tameng paling ampuh menghadapi bahaya laten Komunisme. Komunisme klasik kan suka nyinyir bilang “agama itu candu.” Tapi lucunya, justru agama yang bikin orang kuat, teguh, dan punya pegangan hidup yang nggak bisa direduksi cuma jadi urusan perut atau kelas sosial. Pendidikan agama yang sehat bukan cuma bikin orang rajin ibadah, tapi juga ngajarin persaudaraan dan nilai moral yang kagak bisa dibeli sama ideologi apa pun.
Allah udah ngasih warning dalam Al-Qur’an, Surah Ali Imran ayat 103: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai.” Ayat ini jelas banget: kalau mau aman, jangan gampang dipecah-belah. Kalau rakyat pegang teguh agama, mereka punya kekebalan dari ideologi yang cuma jualan janji keadilan tapi ujung-ujungnya bikin tirani.
Pendidikan agama yang baik punya tiga jurus. Pertama, bikin orang punya moral jelas, jadi nggak gampang ketipu narasi “kelas atas lawan kelas bawah” ala Komunis. Kedua, bikin masyarakat kompak, nggak gampang diadu domba. Ketiga, kasih harapan yang lebih tinggi daripada dunia—dan ini hal yang Komunisme nggak bisa ngasih karena mikirnya serba materi. Jadi kalau Komunisme datang buat ngehapus iman, agama malah ngajarin: “Kalau mau adil dan bersatu, peganganmu kudu Tali Allah.”

Pendidikan agama di Indonesia, kalau mau jadi tameng beneran buat ngelawan bahaya laten Komunisme, nggak boleh berhenti di level doa dan hafalan doang. Yang dibutuhin itu isi, bukan bungkus. Anak-anak muda mesti diajarin kalau agama bukan sekadar urusan pribadi, tapi energi hidup yang bikin adil, bikin kompak, dan bikin bangsa punya arah. Kalau udah kayak gitu, mereka bakal kebal sama ideologi yang cuma jualan duniawi.
Ayat Qur’an di Ali Imran 103 udah kasih clue: “Berpeganglah kamu semuanya pada tali Allah, dan janganlah bercerai-berai.” Komunisme kan demennya bikin dunia kelihatan kayak ring tinju, kelas atas lawan kelas bawah. Islam malah ngajarin kalau persatuan dan keadilan itu perintah langsung dari Allah. Jadi kalau sekolah-sekolah bisa ngajarin iman yang bikin orang ngerasa satu keluarga besar, otomatis rayuan Komunisme jadi basi.
Pendidikan agama juga kudu nyambungin iman sama keadilan sosial. Komunisme suka banget ngumbar janji kesetaraan ekonomi, padahal Islam udah ada konsep zakat, sedekah, dan larangan nindas orang lain. Kalau ini bukan cuma diajarin di kelas, tapi dipraktikkan lewat aksi nyata—kayak program sosial atau kerja komunitas—maka orang bakal sadar, “Eh, ternyata yang Komunisme janjiin udah ada di agama gue, malah lebih bermakna.”
Sejarah juga kagak boleh di-skip. Anak muda mesti tau gimana di tahun 60-an PKI coba nyingkirin agama, dan gimana umat bangkit nolak. Bukan buat glorifikasi konflik, tapi biar sadar kalau ancaman itu nyata, bukan dongeng. Terakhir, agama harus ditampilin relevan sama zaman: jadi jawaban buat korupsi, ketimpangan, dan krisis moral. Kalau agama keliatan hidup dan solutif, janji manis ideologi asing nggak bakal laku.
Buku-buku kayak Religion and Politics in Indonesia (Carool Kersten, 2015) atau karya Deliar Noer Agama dan Ideologi (1983) udah nunjukin gimana benturan Islam dan Komunisme itu bukan cuma soal sejarah, tapi juga soal pemikiran. Abuddin Nata lewat Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional (2016) ngingetin kalau pendidikan agama bisa menjadi kompas moral di sekolah-sekolah. Semua itu intinya sama: agama punya kekuatan buat nyatuin hati dan pikiran, sesuatu yang nggak bisa ditandingin oleh materialisme.

Pancasila itu kalau dilihat dari kacamata para founding parents Indonesia, bukan sekadar formula politik kering, tapi semacam “mix tape” ideologi yang isinya iman, moral, dan arah bangsa. Prinsip pertama—Ketuhanan Yang Maha Esa—jelas bukan tempelan, tapi pondasi. Dengan begitu, Pancasila langsung naruh Tuhan di tengah-tengah identitas bangsa. Jadi kalau ada ideologi yang pengen ngapus agama, kayak Komunisme, otomatis nabrak langsung ke jantung Republik.
Tapi Pancasila juga bukan doktrin agama murni. Prinsip-prinsip berikutnya—kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan sosial—nunjukin gimana agama kalau diajarin dengan benar bisa melahirkan nilai yang sifatnya universal dan inklusif. Inilah keunikan Pancasila: rooted di Indonesia, tapi punya resonansi global. Kalau Komunisme ngeliat hidup cuma soal kelas dan materi, Pancasila bilang hidup itu kagak bisa dipisahin dari moralitas, solidaritas, dan rasa adil yang lebih tinggi.
Kalau disambung sama Ali Imran 103, Pancasila bisa dilihat kayak tali Allah versi bangsa Indonesia: ngiket semua orang yang beda-beda budaya jadi satu, tapi tanpa nyuruh mereka ninggalin identitas masing-masing. Pendidikan agama jadi serat moral yang bikin tali itu kuat, sementara pendidikan kewarganegaraan jadi alat buat jalan bareng ke depan. Komunisme yang hobinya bikin pecah belah jadi nggak punya daya kalau ketemu falsafah yang bikin persatuan jadi sakral dan keadilan jadi ilahi.
Rujukan kayak Negara Paripurna karya Yudi Latif (2011) ngegas banget nunjukin kalau Pancasila itu pencapaian moral-filosofis, bukan sekadar aturan konstitusi. Herbert Feith lewat The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (1962) ngingetin kalau demokrasi bisa rapuh kalau lepas dari landasan moral. Jadi jelas, kalau Pancasila digandengin sama pendidikan agama yang sehat, hasilnya bukan cuma benteng anti-Komunisme, tapi juga kompas buat nentuin arah bangsa: adil, bersatu, dan bermartabat.

Nah, kenapa sih Pancasila sering jadi ajang rebutan tafsir ideologi politik di Indonesia, sehingga rawan disalahgunakan?
Pancasila tuh sering banget jadi ajang tarik-ulur tafsir ideologi politik di Indonesia karena sifatnya yang super luas, dasar negara, tapi gampang dipelintir. Harusnya sih Pancasila jadi payung bersama buat nyatuin rakyat dari segala macam suku, agama, sampai aliran politik. Tapi justru karena terlalu “open-ended,” tiap kelompok politik merasa paling berhak ngaku-ngaku kalo mereka lah yang bawa tafsir Pancasila paling murni. Akhirnya Pancasila lebih mirip piala rebutan ketimbang pedoman hidup, dijadiin bahan propaganda sesuai selera politik hari itu. Dari jaman Orde Baru sampai era sekarang, tafsir tunggal sering dipaksain sama rezim, bikin Pancasila yang mestinya inklusif malah berubah jadi senjata buat ngebungkam lawan. Yang berani beda langsung dicap “anti-Pancasila” atau “anti-NKRI”, stempel horor yang bisa bikin karier politik tamat seketika. Bahayanya, Pancasila jadi kehilangan ruh, cuma jadi jargon di spanduk dan pidato, bukan lagi jiwa bangsa. Ironis banget kan? Ideologi yang dibikin buat ngerangkul keberagaman malah terancam kosong makna gara-gara syahwat politik praktis.
Cara biar Pancasila nggak lagi jadi bahan rebutan tafsir politik itu sebenernya simpel tapi butuh niat serius: jangan lagi dimonopoli sama elit kuasa. Pancasila harus ditanamkan lewat pendidikan yang sehat, dibahas dalam ruang publik secara terbuka, bukan cuma jadi alat gebuk buat nundukin lawan politik. Kalau rakyat sejak sekolah udah diajarin Pancasila sebagai ruang dialog yang cair, bukan dogma yang kaku, siapa pun yang coba klaim tafsir tunggal bakal keliatan norak. Selain itu, badan-badan negara yang independen harus diperkuat, biar tafsir Pancasila nggak gampang dipolitisasi. Kuncinya: biasain budaya kritis, hargai pluralitas, dan sadar kalau Pancasila itu bukan milik partai atau penguasa, tapi milik semua warga. Begitu masyarakat merasa Pancasila itu warisan kolektif, bukan properti rezim, permainan tafsir searah bakal otomatis kehilangan pamornya.

Salah satu rujukan paling tajam datang dari Eka Darmaputera lewat Pancasila and the Search for Identity and Modernity in Indonesian Society (1997, BRILL). Darmaputera bilang kalau Pancasila itu bukan doktrin kaku, tapi respons dinamis terhadap masyarakat Indonesia yang super majemuk. Justru karena sifatnya yang luas dan inklusif, Pancasila gampang banget dimanipulasi sama elit politik yang pengin maksa tafsir tunggal. Pesan bukunya jelas: Pancasila cuma bisa bertahan kalau dipahami sebagai ruang dialog, bukan dogma mati.
Lalu ada Damien Kingsbury dengan The Politics of Indonesia (2002, Oxford University Press). Kingsbury ngebongkar gimana sejarah politik Indonesia sering banget ngejual Pancasila sebagai alat kekuasaan, terutama di era Orde Baru. Lewat kebijakan “asas tunggal,” rezim Suharto maksa semua organisasi tunduk pada tafsir resmi Pancasila, dengan alasan persatuan, padahal intinya buat ngebungkam oposisi. Analisis Kingsbury bikin kita sadar: kalau Pancasila dijadiin slogan negara doang, ia kehilangan legitimasinya sebagai pedoman moral.
Sebagai landasan teori yang lebih luas, ada Jürgen Habermas lewat Between Facts and Norms (1996, MIT Press). Memang nggak ngomong langsung soal Indonesia, tapi Habermas bahas gimana prinsip dasar dalam masyarakat demokratis cuma bisa legit kalau terus-menerus diuji lewat diskusi publik. Konsep “patriotisme konstitusional” dari Habermas cocok banget buat ngaca: nilai dasar kayak Pancasila harus jadi ruang debat inklusif, bukan monopoli tafsir penguasa.
Kalau ditarik ke konteks Indonesia, buku-buku ini nunjukin paradoks Pancasila: kekuatannya ada di fleksibilitas dan inklusivitas, tapi juga yang membuatnya rawan dipelintir. Jalan keluarnya? Ya dengan nanem Pancasila dalam institusi demokratis, budaya sipil independen, dan diskursus publik yang bebas, bukan lewat propaganda penguasa.

Pancasila itu disebut warisan kolektif karena lahir bukan dari satu orang atau dipaksakan pihak luar, tapi hasil dialog panjang, kompromi, dan konsensus para pendiri bangsa waktu merintis kemerdekaan. Di dalamnya ada suara kaum nasionalis, tokoh agama, sampai pemikir budaya yang pengin bikin dasar negara cukup luas buat nyatuin bangsa yang super beragam. Pancasila juga warisan sejarah karena jadi simbol momen penting 1945: titik dimana cita-cita kemerdekaan dan persatuan akhirnya dikristalkan, setelah perjuangan panjang melawan kolonialisme. Pancasila dan UUD 1945 nyimpen memori perjuangan, perdebatan di BPUPKI dan PPKI, sampai pengorbanan generasi yang pengin Indonesia merdeka.
Merawat Pancasila dan UUD 1945, meski udah diamandemen, itu penting banget karena bikin bangsa ini tetap nyambung sama akar sejarahnya sambil tetap bisa berkembang demokratis. Dengan ngerawat warisan ini, rakyat jadi inget kalau demokrasi Indonesia nggak jatuh dari langit, tapi dibangun dari darah, keringat, dan mimpi kolektif. Di sisi lain, warisan ini juga bikin negara lebih stabil karena nyediain narasi pemersatu di tengah politik yang kadang pecah belah. Kalau Pancasila dan UUD diperlakukan bukan cuma sebagai aturan, tapi juga sebagai pusaka sejarah, bangsa ini bisa tumbuh dengan identitas kuat, kompak, dan tetep terbuka buat pembaruan.

Mari kita bandingkan dengan contoh negara lain supaya lebih jelas bagaimana “historical legacy” dirawat, lalu kita tarik kembali ke konteks Pancasila dan UUD 1945.
Di Amerika Serikat, Declaration of Independence (1776) dan Constitution (1787) itu nggak cuma dianggap kertas hukum, tapi udah kayak pusaka nasional. Dokumennya disimpan rapi di National Archives, diajarin serius di sekolah, dan selalu dipakai buat bahan debat publik. Walau konstitusinya udah sering diamandemen, teks asli tetap dihormati sebagai fondasi demokrasi mereka. Hasilnya? Politik mereka punya legitimasi kuat, karena tiap perubahan selalu nyambung ke tradisi awal.
Jepang punya cerita lain. Konstitusi 1947, yang lahir setelah kekalahan perang, jadi simbol perubahan besar. Walaupun banyak pihak ingin revisi, konstitusi itu tetap dipertahankan selama lebih dari tujuh dekade. Buat rakyat Jepang, ia bukan sekadar hukum, tapi bagian dari identitas modern: simbol komitmen pada perdamaian dan demokrasi. Jadi, meski ada pro-kontra, konstitusi mereka diperlakukan kayak warisan sejarah yang hidup.
Kalau ditarik ke Indonesia, posisi Pancasila dan UUD 1945 mirip banget. Mereka bukan cuma aturan formal, tapi ingatan kolektif tentang kemerdekaan dan persatuan. Merawatnya sebagai warisan sejarah berarti ngejaga dia di pendidikan, budaya, dan simbol bangsa, persis kayak AS dan Jepang ngelakuin dengan dokumen mereka. Dengan begitu, Pancasila nggak jadi jargon politik semata, tapi pusaka hidup—kompas yang bikin reformasi demokrasi kita tetap nyambung sama sejarah dan identitas bangsa.

Kalau sebuah bangsa ngabaikan atau melintir warisan sejarahnya, akibatnya bisa kacau: legitimasi hancur, politik goyah, rakyat jadi terpecah. Contoh paling dramatis ya Uni Soviet tahun 1991. Ideologi sosialisme awalnya diperlakukan kayak kitab suci, tapi karena dimonopoli partai penguasa dan nggak nyambung sama realitas, lama-lama kehilangan kredibilitas. Begitu runtuh, rakyat ditinggalin dalam kekosongan ideologi. Nggak ada narasi pemersatu, akhirnya negara itu masuk ke era krisis politik dan ekonomi yang panjang.
Contoh lain ada di beberapa negara pasca-kolonial Afrika. Falsafah nasional kayak Ujamaa di Tanzania, awalnya dielu-elukan sebagai warisan sejarah, tapi lama-lama jadi slogan kosong gara-gara rezim otoriter. Begitu warisan itu kehilangan makna, konflik lama berbasis suku, agama, dan daerah balik lagi dengan lebih keras.
Buat Indonesia, pelajarannya jelas banget. Kalau Pancasila dan UUD 1945 cuma diperlakukan kayak hiasan politik, bukan pusaka sejarah kolektif, fungsinya sebagai pemersatu bakal luntur. Elit politik bisa gampang muter-muter tafsir demi kepentingan sesaat, rakyat makin sinis, dan kepercayaan ke negara bisa runtuh. Sebaliknya, kalau dirawat sebagai warisan sejarah, Pancasila dan UUD bisa jadi tameng identitas, pengisi kekosongan ideologi, dan peredam manipulasi politik.

UUD 1945 hasil amandemen jadi lebih liberal dan agak kapitalis dibanding versi aslinya, bisa dibilang benar sebagian. Amandemen pasca-1999 banyak nambahin nuansa demokrasi liberal, kayak pemilihan presiden langsung, check and balances yang lebih kuat, sampai pasal-pasal HAM yang lebih luas. Di bidang ekonomi, ada kritik kalau penghapusan beberapa detail soal kontrol negara bikin ruang lebih besar buat kebijakan pasar bebas dan investasi asing—yang kesannya lebih kapitalis. Tapi, jangan lupa Pasal 33 tetap ada, yang bilang sumber daya alam dikuasai negara buat kemakmuran rakyat. Jadi, bukan berarti total berubah, lebih tepatnya UUD 1945 hasil amandemen itu jadi campuran: idealisme nasionalis-sosialis masih ada, tapi dibalut dengan warna liberal-demokratis dan kapitalis sebagai hasil tekanan reformasi dan globalisasi.
Dalam UUD 1945 hasil amandemen, sisi liberal paling kelihatan di aturan soal pemilihan presiden langsung (Pasal 6A), check and balances antar lembaga negara, dan tambahan pasal-pasal HAM di Bab XA (Pasal 28A–28J). Semua itu nuansa demokrasi liberal. Di bidang ekonomi, banyak yang sorot Pasal 33 setelah diamandemen jadi lebih longgar, sehingga dianggap membuka ruang privatisasi dan liberalisasi pasar.
Tapi, semangat nasionalis-sosialis masih ada, misalnya di Pasal 33 ayat (3) yang bilang sumber daya alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, dan Pasal 27 ayat (2) yang jamin hak warga atas pekerjaan dan penghidupan layak. Jadi, roh keadilan sosial tetap dipertahankan, walau penerapannya masih jadi ajang perdebatan.
So, abis diamandemen, UUD 1945 jadi keliatan lebih kapitalis-liberal, soalnya lebih ngandelin mekanisme pasar, peran negara makin dibatesin, dan nyambung sama arus neoliberal global, meskipun masih ada sisa-sisa jargon keadilan sosial.
Pancasila mesti ditaro lagi sebagai roh UUD, bukan jadi senjata politik buat gebuk lawan. Lembaga-lembaga hasil amandemen kayak Mahkamah Konstitusi sama batasan jabatan Presiden tetep dipertahanin, tapi pasal-pasal ekonomi dan keadilan sosial diberi warna ulang biar bener-bener nyambung sama semangat “gotong royong” dan anti-kolonial yang dulu dibayangin pendiri bangsa.

Singkatnya, solusinya tuh nggak restorasi buta, nggak juga jalan terus buta, tapi harmonisasi: demokrasi modern tetep jalan, tapi jiwa sosial kerakyatan ala pendiri bangsa hidup lagi.

Ada ide buat balik lagi ke UUD 1945 “asli”, karena dianggap lebih ngejaga semangat “Sosialis Demokratis” ala pendiri bangsa yang pro kesejahteraan bareng-bareng dan tanggungjawab negara. Kelebihannya, bisa bikin semangat keadilan sosial makin kental, kedaulatan negara atas sumber daya lebih kuat, dan negara punya power lebih buat ngatur ekonomi demi rakyat. Tapi kekurangannya juga ada, UUD asli itu terlalu sentralistik, banyak pasal ngambang, dan gampang dipelintir jadi alat otoritarian, kayak pas Orde Lama sama Orde Baru, dimana kekuasaan numpuk tanpa kontrol yang jelas.
Di UUD 1945 yang “asli”, ada Pasal 33 yang bener-bener kerasa vibes “Sosialis Demokratis” banget. Intinya ekonomi itu dikelola bareng-bareng, kayak gotong-royong, dan sumber daya vital harus dikuasai negara buat kesejahteraan rakyat. Itu anti banget sama kapitalisme bebas ala Barat. Tapi setelah diamandemen, muncul kata-kata “efisiensi berkeadilan” yang bikin ruang privatisasi makin lebar. Nah, di sinilah banyak yang bilang UUD jadi makin liberal dan kebawa arus kapitalis global.
Masalah lain, UUD 1945 asli bikin Presiden super power, kayak “Thanos” politik, tapi tanpa Avengers yang bisa nge-rem. Dulu ini dianggap oke buat masa Revolusi, tapi lama-lama dipake Sukarno di era Demokrasi Terpimpin dan Suharto di Orde Baru buat nahan kekuasaan biar nggak ada yang bisa ngelawan. Amandemen bikin lebih modern: masa jabatan dibatesin, DPR lebih kuat, terus ada Mahkamah Konstitusi biar nggak semena-mena.
Bagian hak asasi manusia juga beda jauh. UUD asli cuma nyebut secara umum doang, kayak template kosong. Setelah diamandemen, jadi lengkap banget, mirip standar internasional yang pro demokrasi liberal. Bagi yang pro-amandemen, ini keren karena bikin rakyat lebih terlindungi. Tapi bagi yang kontra, ini terlalu kebarat-baratan dan lupa sama semangat kolektivisme Indonesia.
Jadi, menurut yang pro balik ke UUD asli: bisa balikin semangat anti-kolonial dan keadilan sosial ala pendiri bangsa. Kontranya: rawan jadi pintu masuk otoritarianisme lagi. Pro tetep pake amandemen: demokrasi lebih sehat, transparansi lebih oke, rakyat lebih punya perlindungan. Kontranya: kebijakan ekonomi makin liberal, dan rakyat sering ngerasa kesejahteraan malah makin jauh.

Jalan keluarnya tuh bukan balik ke UUD 1945 asli yang bikin Presiden bisa jadi “boss final” tanpa lawan, tapi juga bukan nerusin UUD amandemen yang bikin kita kebawa arus liberal-kapitalis. Kuncinya ada di fine-tuning alias setel ulang pasal-pasal biar nyambung lagi sama cita-cita pendiri bangsa. Misalnya, Pasal 33 bisa dipertegas: negara tetep jadi pemain utama ngurus sumber daya vital, tapi swasta boleh ikutan asal aturannya ketat dan ujungnya tetep buat rakyat, bukan buat segelintir konglomerat.
Bagian HAM juga bisa diseimbangin: bukan cuma hak kebebasan individu, tapi hak sosial-ekonomi kayak pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan harus dijamin kuat. Jadi kebebasan nggak nabrak keadilan sosial.

Salah satu alesan kenapa ide balik ke UUD 1945 “asli” sering nongol lagi adalah karena biaya pemilu sekarang bikin dompet negara megap-megap dan bikin kandidat tekor setengah mati. Pemilu langsung emang keliatan demokratis, tapi ujungnya jadi lahan subur buat politik uang, utang politik, dan balas jasa ke cukong. Buku kayak Money, Power, and Ideology karya Marcus Mietzner udah nunjukin jelas gimana demokrasi pasca-reformasi kebanyakan digerogoti oligarki duit.
Karenanya, ada beberapa ide yang digulirkan. Ada yang bilang sistem pemilu harus diubah ke proporsional tertutup, biar caleg nggak perlu bakar duit gede buat saingan sama temen separtai. Ada juga usul naikin subsidi partai dari negara, biar partai nggak jadi ATM berjalan para pengusaha. Terus ada usulan agak kontroversial, yaitu pilkada balik ke DPRD, katanya sih lebih murah, tapi rakyat jadi kayak ditinggal nggak diajak pesta demokrasi. Intinya sih, kita lagi cari formula biar demokrasi tetep jalan tapi dompet negara dan kandidat nggak jebol, sekaligus menjaga semangat pendiri bangsa yang maunya politik itu soal keadilan sosial, bukan soal siapa yang punya dana kampanye paling tebal.
Kalau kita bandingin, ternyata Indonesia nggak sendirian soal pemilu yang bikin kantong jebol. Jerman punya sistem keren dimana partai politik dapet subsidi gede dari negara, tapi ada aturan ketat soal transparansi. Jadi partai nggak bisa seenaknya jadi “tuyul duit” para oligark. Hasilnya, persaingan politik lebih fokus ke ide ketimbang isi ATM. Ini yang bikin demokrasi Jerman stabil dan nggak gampang diacak-acak.
Brasil malah mirip banget sama Indonesia: pemilu langsung, biayanya selangit, dan ujung-ujungnya penuh skandal. Kasus Mensalão sama Lava Jato jadi contoh nyata gimana duit bisa ngerusak kepercayaan publik ke demokrasi. Tapi Brasil juga nyoba ngasih dana kampanye publik gede, biar sponsor pribadi nggak jadi raja.
Dari dua contoh ini, kelihatan kalau masalah utamanya bukan cuma soal “langsung” atau “nggak langsung”, tapi gimana cara ngatur duit kampanye. Buat Indonesia, mungkin solusinya kombinasi: pemilu langsung tetep ada biar rakyat merasa punya suara, tapi partai dapet subsidi negara lebih gede, aturan pengeluaran dibatesin, dan transparansi diperketat. Dengan begitu, demokrasi bisa tetep jalan, tapi dompet negara dan kandidat nggak kebakaran, sambil tetep ngejaga semangat pendiri bangsa: politik itu buat keadilan sosial, bukan buat siapa yang paling tebal isi rekeningnya.
Ada ide “ekstrem” yang sering nongol di meja diskusi akademisi: pemilu langsung dibatasi. Presiden tetep dipilih langsung biar rakyat ngerasa punya power, tapi kepala daerah kayak gubernur, bupati, sama walikota balik lagi dipilih DPRD.
Pro-nya jelas: ongkos bisa dipangkas habis-habisan. Pilkada itu paling banyak jumlahnya dan paling bikin dompet jebol. Kalau lewat DPRD, negara bisa hemat, kandidat juga gak harus jual ginjal buat bayar kampanye. Selain itu, partai bisa dipaksa jadi lebih serius soal program, bukan cuma tebar baliho dan gimmick.
Kontranya juga gede: rakyat bisa ngerasa “diambil alih” haknya. Sejak Reformasi, milih langsung itu udah jadi budaya demokrasi yang bikin orang ngerasa suaranya berharga. Kalau balik ke DPRD, bisa-bisa orang flashback ke Orde Baru, dimana semua keputusan diatur elite di ruang rapat penuh asap rokok, tanpa suara rakyat.
Solusinya? Bisa kompromi. Pemilu langsung tetep ada, tapi duit kampanye ditekan lewat aturan: subsidi partai dibesarin, batas pengeluaran dipasang ketat, pengawasan diperkuat, dan kampanye lebih diarahkan ke media digital biar kagak boros baliho. Atau bisa juga bikin model hybrid: kota besar dan provinsi penting tetep pemilu langsung, tapi daerah kecil bisa lewat DPRD biar hemat. Jadi rakyat tetep punya suara, tapi sistem kagak bikin negara bangkrut gara-gara pesta demokrasi kebanyakan panggung.

Bahaya komunisme buat demokrasi Indonesia nggak cuma soal ideologi doang, tapi juga kapasitas historisnya buat ngegocek institusi dan bikin masyarakat pecah. Ingat 1965? Percobaan kudeta sama purge yang terjadi nunjukin kalau gerakan komunis, kalo nggak dihadang, bisa ngejar kekuasaan totaliter, nutup kebebasan sipil, dan ngerem oposisi. Buat demokrasi muda kayak Indonesia, munculnya ideologi komunisme—even versi halus—bisa bikin sebagian pihak lebih mikirin loyalitas ideologi ketimbang prinsip demokrasi dan hak individu.
Selain itu, fokus komunisme ke “class struggle” sama kontrol kolektif sumber daya bisa clash sama demokrasi versi Pancasila yang pengen keseimbangan antara keadilan sosial, pluralisme, dan kebebasan individu. Risiko nggak cuma politik, tapi juga ekonomi: kebijakan kolektivis yang nggak dikawal bisa bikin wirausaha males, pasar jadi ancur, dan kekuasaan numpuk di satu partai atau elite, bikin demokrasi lemah. Makanya, warga sama pemimpin harus stay alert: edukasi sipil, dialog plural, sama institusi yang kuat jadi tameng biar demokrasi nggak kebobolan ideologi yang mau nge-subvert sistem.

[Bagian 1]
[Bagian 16]