Senin, 27 Oktober 2025

Adilkah Keadilan Sosial Itu? (3)

Dari sisi ideologi, Social Justice atau Keadilan Sosial di Indonesia tertanam kuat dalam fondasi filosofis bangsa, yakni Pancasila. Lebih spesifik, termaktub dalam sila kelima: “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Prinsip ini bukan cuma ideal ekonomi atau politik, tapi kompas moral dan ideologis yang menuntun arah pembangunan bangsa. Ia menggambarkan cita-cita masyarakat yang memberi kesempatan setara, pembagian sumber daya yang adil, dan penghormatan terhadap martabat manusia tanpa pandang kelas, suku, atau agama. Dalam makna terdalamnya, Social Justice merupakan jiwa dari identitas ideologis bangsa—mencari jalan tengah antara kapitalisme liberal dan sosialisme totaliter.
Dari sisi cita-cita bangsa, Social Justice adalah blueprint tujuan nasional, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945: “untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia serta untuk memajukan kesejahteraan umum.” Maknanya, Social Justice bukan cuma target abstrak, tapi titik akhir dari perjuangan kemerdekaan—menjadikan kedaulatan politik sebagai jalan menuju penghapusan kemiskinan, kebodohan, dan ketimpangan. Maka, ketika kebijakan seperti pemerataan pendidikan, pembangunan desa, reformasi kepolisian, atau pemberantasan korupsi dijalankan dengan sungguh-sungguh, itulah wujud nyata dari cita-cita luhur tersebut. Dengan demikian, Social Justice berfungsi sebagai visi filosofis sekaligus komitmen praktis—jembatan antara ideologi dan kenyataan.

Kalau kita bandingkan prinsip keadilan sosial versi David Miller dengan sila kelima PancasilaKeadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia—ternyata dua-duanya punya “roh” yang sama, walau lahir dari dunia yang beda banget. Miller datang dari tradisi filosofi politik Barat yang akademis, sementara Pancasila lahir dari nilai-nilai spiritual, moral, dan gotong royong khas Indonesia. Tapi ujungnya sama: dua-duanya ingin masyarakat yang adil, bermartabat, dan saling peduli.
Pertama, prinsip kebutuhan ala Miller nyambung banget dengan semangat negara Indonesia buat memastikan rakyatnya hidup layak. Dalam Pancasila, keadilan sosial itu bukan cuma soal “semua sama di mata hukum,” tapi juga soal jangan sampai ada yang kelaparan atau tertinggal. Program kayak jaminan kesehatan, pendidikan gratis, dan bantuan sosial itu bukti nyata dari moralitas memenuhi kebutuhan dasar manusia.
Prinsip prestasi juga punya tempat spesial di dua dunia ini. Baik Miller maupun Pancasila sama-sama ngajarin kalau kerja keras, kejujuran, dan kontribusi itu hal mulia. Warga yang baik bukan cuma yang nerima bantuan, tapi juga yang berjuang dan berkontribusi buat sesama. Bedanya, Miller menekankan sistem penghargaan berbasis usaha, sementara Indonesia menambahkan sentuhan empati—jadi yang berprestasi dihargai, tapi yang kesusahan tetap dibantu.
Lanjut ke prinsip kesetaraan, ini bisa dibilang jembatan paling jelas antara teori Barat dan ideologi nasional kita. Sila kelima Pancasila terang-terangan menolak ketimpangan—baik itu ketimpangan ekonomi, pendidikan, atau kesempatan. Kalau Miller bedain antara kesetaraan formal dan substantif, Pancasila menggabungkannya jadi satu visi moral: semua warga harus dihormati dan dikasih peluang nyata buat maju, nggak peduli dari mana asalnya.
Prinsip solidaritas justru terasa paling “Indonesia banget.” Kalau Miller ngomongin solidaritas sebagai perekat moral masyarakat, Indonesia udah mempraktikkannya sehari-hari lewat gotong royong. Ini bukan cuma teori, tapi budaya hidup. Solidaritas ala Miller jadi hidup dan bernapas di tangan rakyat Indonesia—lewat aksi bantu tetangga, sumbangan spontan, atau saling tolong pas bencana.
Terakhir, prinsip keanggotaan sosial punya gema kuat di semangat nasionalisme Indonesia. Miller bilang, keadilan itu paling bermakna kalau tumbuh di komunitas yang punya identitas dan tanggung jawab bareng. Nah, di Indonesia, itu udah tertanam dalam Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Keadilan sosial bukan konsep global yang dingin, tapi realitas moral yang hidup di antara rakyat yang ngerasa satu bangsa.
Kalau disimpulkan, baik Miller maupun Pancasila sama-sama ngajarin bahwa keadilan sosial itu bukan sekadar pembagian uang atau hak, tapi soal keseimbangan moral dan kepedulian sosial. Bedanya, Miller ngasih kita “kerangkanya”, sedangkan Pancasila ngasih “jiwanya”. Yang satu teorinya, yang satu praktiknya — bareng-bareng, mereka ngajarin kita bahwa keadilan sejati bukan cuma ada di buku, tapi di hati yang mau peduli sama sesama.

Reformasi kelembagaan—misalnya Reformasi POLRI di Indonesia—bisa dipandang sebagai wujud nyata dari social justice, asal tujuannya benar-benar buat menciptakan keadilan, akuntabilitas, dan perlindungan hukum yang setara untuk semua warga. Dalam filsafat politik, keadilan sosial itu nggak cuma soal bagi-bagi ekonomi, tapi juga soal gimana lembaga negara dibenahi supaya kekuasaan, hak, dan tanggung jawab bisa tersebar secara adil.
Kalau pakai kerangka David Miller, reformasi seperti gini nyambung dengan tiga prinsip utama: kesetaraan, solidaritas, dan keanggotaan sosial. Reformasi POLRI misalnya, punya misi buat memastikan semua orang—kaya, miskin, pejabat, rakyat kecil—diperlakukan sama di depan hukum. Ini langsung mencerminkan prinsip kesetaraan. Ketika polisi jadi lebih transparan, nggak sewenang-wenang, dan lebih fokus melayani rakyat, kepercayaan publik balik lagi. Rakyat jadi ngerasa hukum itu milik semua, bukan alat orang berkuasa.
Selain itu, reformasi lembaga hukum juga memperkuat solidaritas sosial. Ketika polisi adil dan bisa dipercaya, rakyat ngerasa lebih tenang dan punya rasa aman. Nggak ada lagi jarak curiga antara rakyat dan aparat. Negara jadi kelihatan berpihak pada keadilan, bukan penindasan. Hal kayak gini bikin masyarakat lebih kompak dan menekan potensi konflik sosial—yang semuanya merupakan pondasi penting keadilan sosial.
Dari sisi keanggotaan sosial, reformasi institusi negara itu wujud tanggungjawab moral pemerintah buat jadi pelindung seluruh warganya. Polisi yang tugasnya melindungi, bukan menakuti, bikin rakyat ngerasa punya tempat dalam negaranya sendiri. Di situ keadilan jadi proses yang hidup—negara dan rakyat sama-sama punya peran buat jaga ketertiban dengan rasa adil, bukan dengan rasa takut.
Jadi, Reformasi POLRI kalau dilakukan dengan tulus—bebas dari kepentingan politik, korupsi, dan intervensi elit—sebenarnya bukan cuma soal modernisasi birokrasi. Proyek moral dan kebangsaan inilah yang mencerminkan cita-cita Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dalam sila kelima Pancasila. Ia mengubah prinsip keadilan dari teori jadi kenyataan—dari teks konstitusi jadi tindakan nyata di lapangan.

Lima prinsip Social Justice versi David Miller—kebutuhan, kelayakan, kesetaraan, kebebasan, dan komunitas—bisa dijadiin acuan keren buat kebijakan sosial modern Indonesia. Prinsip-prinsip ini bukan cuma teori kelas berat, tapi justru nyentuh banget kalau diterapkan dalam isu-isu kekinian kayak pemerataan pendidikan, pengentasan kemiskinan, sampai keadilan digital di era teknologi yang makin nyerempet kemana-mana. Dalam kacamata kritis, Miller ngasih model yang nyatuin antara etika dan realitas birokrasi—sesuatu yang sangat dibutuhkan Indonesia di tengah ketimpangan sosial dan ekonomi yang masih kelewat lebar.
Prinsip kebutuhan langsung nyambung sama misi Indonesia buat ngentasin kemiskinan. Di negeri yang jurang ekonominya masih dalam banget, negara harus prioritasin yang paling rentan—yang belum bisa makan layak, punya rumah, sekolah, atau berobat. Program kayak Bansos, Kartu Indonesia Pintar, dan BPJS Kesehatan bisa dilihat lewat kacamata ini: bukan cuma bantuan, tapi jaminan supaya nggak ada warga yang jatuh di bawah standar hidup manusiawi.
Prinsip kelayakan alias desert ngajak kita mikir soal merit dan tanggungjawab. Dalam konteks pendidikan, artinya akses ke kampus dan beasiswa hendaknya ngasih ruang buat mereka yang berjuang keras dan punya kontribusi sosial, bukan cuma yang punya koneksi politik. Jadi kebijakan afirmatif tetap bisa adil dan berbasis prestasi, bukan alat patronase.
Lalu prinsip kesetaraan bukan berarti hasilnya harus sama, tapi peluangnya yang mesti adil. Ini pas banget buat isu keadilan digital—dari koneksi internet sampai literasi digital. Semua daerah, dari Jakarta sampai pelosok Papua, berhak ikut nimbrung di ekonomi digital. Bukan soal semua orang punya gadget sama, tapi gimana akses dan skill-nya bisa bikin lapangan main yang setara.
Prinsip kebebasan jadi pengingat penting biar negara nggak terlalu ngatur-ngatur sampai bikin rakyat tergantung. Bantuan sosial itu perlu, tapi harus bikin warga berdaya, bukan pasif. Negara seharusnya bantu orang berdiri di kaki sendiri, bukan duduk manis nunggu subsidi turun.
Dan terakhir, prinsip komunitas jadi lem perekatnya semua nilai itu. Miller bilang keadilan itu soal relasi dan tanggungjawab moral bareng-bareng. Di Indonesia, ini nyambung banget sama semangat gotong royong. Kalau kebijakan sosial dibangun di atas solidaritas dan rasa kebersamaan, maka keadilan sosial nggak cuma datang dari atas (negara), tapi tumbuh dari bawah—dari masyarakat yang saling jaga dan saling bantu.

Kritik utama Thomas Patrick Burke terhadap keadilan sosial ada pada keyakinannya bahwa konsep itu—seperti yang sering dipakai di dunia politik dan moral modern—udah nyimpang dari makna sejati “keadilan.” Dalam bukunya The Concept of Justice: Is Social Justice Just? (2011), Burke bilang bahwa keadilan, dalam makna klasiknya, itu soal menilai tindakan individu—tindakan yang dilakukan oleh orang bebas dan bertanggung jawab, yang bisa dinilai benar atau salah. Tapi, menurutnya, keadilan sosial malah ngubah fokus itu dari tanggungjawab individu ke kondisi sosial, distribusi, dan hasil kolektif. Bagi Burke, pergeseran ini bahaya banget, karena bikin keadilan lepas dari akar moral pribadi dan nyerahin maknanya ke hal-hal abstrak kayak “masyarakat,” “sistem,” atau “negara,” yang sebenarnya nggak bisa bertindak secara moral kayak manusia.
Burke berargumen bahwa begitu keadilan jadi soal “hasil” bukan “tindakan,” keadilan kehilangan pijakan moralnya. Buat Burke, ngomongin “ketidakadilan sosial” tanpa jelas siapa pelaku yang bertanggungjawab itu cuma jadi jargon moral, bukan prinsip etika sejati. Jadi, menurutnya, keadilan sosial itu sebenernya nggak adil karena ngabaiin hubungan antara kehendak manusia dan hukum moral—dua hal yang jadi fondasi keadilan sejati. Burke ngeliat keadilan sosial sebagai ideologi politik yang nyamar jadi kebenaran moral, yang sering kali dipakai buat melegitimasi pemaksaan, pembagian ulang kekayaan, atau rasa bersalah kolektif. Ujung-ujungnya, kata dia, keadilan sosial itu ngerusak kebebasan dan tanggungjawab individu, dan bikin kebaikan hati (charity) yang seharusnya lahir dari moral pribadi malah jadi kebijakan wajib yang dipaksakan.

Dalam filosofi politik kontemporer, keadilan sosial didefinisikan sebagai tatanan moral dan kelembagaan yang memastikan pembagian hak dan kewajiban dalam masyarakat berlangsung secara adil, sambil mengakui bahwa ada faktor-faktor struktural yang memengaruhi peluang seseorang. Para pemikir kayak John Rawls, Amartya Sen, dan Martha Nussbaum bilang bahwa keadilan nggak bisa cuma dilihat dari tanggungjawab moral individu seperti yang Burke tekankan, tapi juga harus mencakup bagaimana institusi dirancang dan bagaimana ketimpangan sistemik diperbaiki biar semua orang punya kesempatan yang sama untuk bertindak bebas dan bertanggung jawab. Misalnya, menurut Rawls, masyarakat yang adil itu ketika ketimpangan sosial dan ekonomi diatur supaya menguntungkan kelompok yang paling lemah dan memastikan semua orang punya kesempatan yang setara. Dalam cara pandang ini, keadilan sosial bukan dipisahkan dari moralitas pribadi, tapi justru memperluasnya ke ranah kolektif—karena tanggungjawab pribadi itu sendiri dibentuk oleh struktur sosial, ekonomi, dan politik yang lebih besar.
Dari sudut pandang ini, kritik Burke dianggap belum lengkap, karena ia cuma fokus pada tindakan individu tanpa ngelihat bahwa tindakan itu dibentuk oleh sistem tempat orang hidup. Filosofi kontemporer berargumen bahwa keadilan sejati harus juga memperhitungkan kekuatan tak terlihat kayak privilese, penindasan, dan akses terhadap kesempatan yang menentukan apa yang bisa atau nggak bisa dilakukan seseorang. Jadi, untuk mengkonfrontasi pandangan Burke, keadilan sosial didefinisikan ulang bukan sebagai konsep abstrak yang lepas dari tanggungjawab, tapi sebagai sistem yang bikin individu dan institusi sama-sama punya tanggungjawab moral buat menciptakan kondisi dimana kebebasan dan keadilan bisa tumbuh bareng.

Dari perspektif Islam, keadilan sosial (al-‘adālah al-ijtimā‘iyyah) bukan cuma urusan hukum buatan manusia atau sistem politik—tapi perintah Ilahi yang jadi bagian dari tatanan moral, yang Allah tetapkan. Keadilan dalam Islam nyatuin dua hal penting: tanggungjawab pribadi (taklīf) dan tanggungjawab sosial (farḍ kifāyah), biar ada keseimbangan antara kebebasan individu dan harmoni masyarakat. Kalau Burke cuma ngeliat keadilan dari sisi tindakan individu yang bebas, Islam justru ngeliat keadilan sosial sebagai sistem menyeluruh dimana setiap orang, lembaga, bahkan pemimpin, semuanya punya tanggungjawab di hadapan Allah buat menjaga keadilan, keseimbangan, dan hak sesama. Keadilan di sini bukan cuma soal hukuman atau penilaian moral individu, tapi juga etika sosial (akhlaq ijtima‘i) buat ngejaga kemaslahatan seluruh umat (ummah).
Al-Qur’an berkali-kali memerintahkan umat Islam agar “berdiri tegak bagi keadilan, meskipun itu melawan dirimu sendiri atau keluargamu” (QS. An-Nisā’, 4:135), nunjukin bahwa keadilan dalam Islam melampaui kepentingan pribadi dan nyentuh keadilan struktural—termasuk soal kekayaan, kesempatan, dan pemerintahan. Rasulullah ﷺ sendiri udah ngasih contoh nyata: beliau melindungi yang lemah, melarang eksploitasi, dan memastikan distribusi sumber daya yang adil. Jadi, Islam nggak misahin moral pribadi dari keadilan sosial; dua-duanya nyatu. Setiap tindakan baik—semisal sedekah, adil dalam bisnis, atau nggak berat sebelah dalam menilai orang—itu bukan cuma urusan sosial, tapi juga bentuk ibadah.
Karenanya, dari lensa Islam, keadilan sosial bisa banget disebut “adil,” karena dasarnya bukan cuma akal manusia tapi hukum Ilahi (Shari‘ah), yang nentuin keadilan itu sesuai dengan hikmah Allah. Sistem zakat, larangan riba, dan kewajiban saling tolong (ta‘āwun) nunjukin gimana Islam ngemas kasih sayang dalam sistem yang tetap akuntabel—hal yang sering luput dari kritik Burke. Kalau Burke nganggap keadilan sosial itu ideologi buatan manusia yang lepas dari moral pribadi, Islam justru ngeliatnya sebagai perpanjangan iman ke ranah sosial: keadilan bukan slogan politik, tapi bentuk ibadah yang nyata.

Prinsip-prinsip keadilan sosial Islam, menurut ulama klasik maupun kontemporer, berakar kuat pada Al-Qur’an, Sunnah, dan pemikiran hukum-etika Islam selama berabad-abad. Ulama klasik seperti Al-Mawardi, Al-Ghazali, dan Ibnu Khaldun menekankan bahwa keadilan (adl) adalah fondasi tatanan masyarakat dan kompas moral bagi penguasa, institusi, dan individu. Menurut mereka, keadilan sosial harus melindungi martabat manusia, mendistribusikan sumber daya secara adil, dan memastikan para pemimpin bertanggung jawab. Al-Ghazali misalnya menegaskan bahwa kesejahteraan masyarakat (maslahah) hendaklah selalu berjalan bersamaan dengan ketakwaan individu, karena masyarakat yang adil adalah yang menyatukan kewajiban moral dan ekonomi. Ibnu Khaldun menganalisis hubungan antara kohesi sosial, distribusi kekayaan, dan naik-turunnya peradaban, menunjukkan bahwa ketidakadilan sistemik akan mengarah pada kerusakan sosial.
Pemikir Islam kontemporer, termasuk Sayyid Qutb, Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, dan Maulana Abul Kalam Azad, membangun gagasan klasik ini sekaligus menjawab tantangan politik, ekonomi, dan sosial modern. Mereka menekankan prinsip-prinsip seperti: tanggung jawab moral dan spiritual individu maupun pemimpin; perlindungan terhadap yang lemah dan tertindas (mazlum); larangan eksploitasi dan korupsi (zulm); distribusi kekayaan yang adil melalui zakat dan perdagangan yang fair; serta promosi pendidikan dan ilmu sebagai kepentingan publik. Mereka juga menyoroti bahwa keadilan sosial dalam Islam bersifat holistik, menyatukan moral pribadi, tanggung jawab komunitas, dan keadilan struktural. Artinya, keadilan sejati nggak bisa tercapai kalau cuma fokus ke perilaku individu tanpa memperbaiki sistem sosial.
Dari perspektif klasik maupun kontemporer, prinsip kunci muncul: keadilan (adl), mencegah penindasan (zulm), peduli pada yang membutuhkan (masakin), distribusi ekonomi yang adil, akuntabilitas penguasa, dan integrasi etika moral ke kehidupan sosial-politik. Keadilan sosial dalam Islam bukan sekadar konsep hukum atau politik, tapi kewajiban moral yang menyelaraskan praktik masyarakat dengan petunjuk Ilahi, menjamin kesejahteraan, martabat, dan hak semua anggota komunitas.

Dari perspektif Islam, keadilan sosial (al-‘adālah al-ijtimā‘iyyah) itu fundamentally kewajiban moral dan Ilahi, yang beda banget sama konsep yang dikritik Thomas Patrick Burke. Burke bilang kalau keadilan sosial modern—yang fokus ke hasil kayak redistribusi atau keadilan institusi—ngabur dari tanggungjawab moral individu, sehingga menurutnya “tidak adil” karena gak ada agen manusia yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Nah, dalam Islam, keadilan sosial nyatuin tanggungjawab etis individu dan keadilan struktural. Setiap orang, pemimpin, dan institusi punya tanggungjawab di hadapan Allah buat memastikan perlakuan adil, lindungi yang lemah (mazlum), dan bagi sumber daya dengan benar. Keadilan gak cuma soal hasil akhir, tapi soal ngejalanin tindakan manusia sesuai hukum moral Allah (Shari‘ah) supaya kesejahteraan pribadi dan masyarakat bisa terjaga.
Prinsip-prinsip Islam kayak adl (keadilan), maslahah (kesejahteraan umum), tawhid (kesadaran keesaan Tuhan, yang berarti semua manusia setara), larangan zulm (penindasan), dan mekanisme kayak zakat atau waqaf bikin keadilan itu nggak cuma aturan, tapi juga tanggungjawab moral yang nyata. Dalam kerangka ini, keadilan sosial itu emang “adil” karena gak memisahkan tindakan dari etika, dan tetap memperhitungkan faktor sistemik yang bentuk kesempatan manusia. Melawan ketidakadilan, melindungi yang tertindas, dan memastikan akses sumber daya yang adil semua jadi kewajiban etis sekaligus sosial. Jadi, dari perspektif Islam, kritik Burke terbatas: keadilan sosial bisa bener-bener adil kalau dibangun atas tanggungjawab moral, etika Ilahi, dan mekanisme institusional yang jaga fairness buat seluruh masyarakat. 

Konsep “keadilan sosial” di Indonesia, yang tercantum dalam Pancasila, menghadapi banyak tantangan di dunia nyata. Meski secara resmi ada komitmen buat kesejahteraan yang merata dan perlindungan bagi semua warga, kesenjangan struktural masih parah. Disparitas ekonomi jelas banget: kekayaan cuma numpuk di tangan segelintir elit, sementara banyak orang masih berjuang melawan kemiskinan, akses pendidikan yang buruk, dan kesehatan yang terbatas. Wilayah pedesaan dan terpencil sering kekurangan infrastruktur dan layanan publik, bikin ketidaksetaraan geografis makin nyolok.
Masalah keadilan sosial di Indonesia juga diperparah oleh korupsi sistemik dan birokrasi yang lambat. Kebijakan buat redistribusi atau kesejahteraan sering gagal karena salah urus atau dicaplok kepentingan politik. Kelompok marjinal, termasuk masyarakat adat, perempuan, dan minoritas agama atau etnis, sering kesulitan mengakses peluang ekonomi dan politik, nunjukin kalau jaminan hukum aja nggak cukup. Keadilan lingkungan juga jadi masalah besar, karena eksploitasi sumber daya skala besar sering lebih menguntungkan korporasi daripada masyarakat lokal, nabrak prinsip akses adil ke alam.
Belum lagi ketimpangan digital dan informasi jadi front baru buat keadilan sosial: akses ke teknologi, internet, dan literasi digital nggak merata, bikin partisipasi dalam ekonomi modern dan kehidupan sipil jadi terbatas. Pemerintah Indonesia udah bikin beberapa program kayak bantuan tunai bersyarat, jaminan kesehatan universal, dan pembangunan pedesaan, tapi semua itu sering gak cukup buat ngatasin ketimpangan struktural yang udah mengakar, dan belum sepenuhnya menerapkan akuntabilitas etis dalam pelaksanaan. Jadi, jurang antara ideal keadilan sosial dan kenyataan hidup masih besar banget, dan butuh bukan cuma reformasi kebijakan, tapi juga perubahan sistemik dalam pemerintahan, pemberdayaan masyarakat, dan nilai sosial.

[Bagian 4]
[Bagian 2]