Beberapa proyek infrastruktur penting yang dimulai di era Jokowi sampai sekarang mangkrak, belum kelar atau rampung tapi dipandang merugikan publik, bikin banyak orang debat soal dampak sosial dan moralnya. Kalau kita pakai lima prinsip David Miller—kebutuhan, prestasi, kesetaraan, kebebasan, dan komunitas—kita bisa lihat lebih jelas dampaknya terhadap keadilan sosial.Pertama, prinsip kebutuhan bilang bahwa proyek publik seharusnya fokus ke kebutuhan paling mendesak rakyat. Contohnya, jalan desa yang belum kelar, bendungan atau rumah sakit di daerah terpencil. Kalau mangkrak, yang paling miskin dan rentan justru nggak kebagian manfaatnya, padahal seharusnya mereka prioritas.Kedua, prinsip prestasi menekankan tanggungjawab dan akuntabilitas. Mereka yang merencanakan, dananya dicairkan, sampai mengeksekusi proyek wajib memastikan proyek selesai. Proyek mangkrak ini nunjukin kegagalan prinsip ini—birokrasi lambat, intervensi politik, atau salah manajemen bikin proyek nggak jalan, bikin rakyat kehilangan kepercayaan, dan usaha yang seharusnya dihargai jadi sia-sia.Ketiga, prinsip kesetaraan kelihatan dari distribusi manfaat infrastruktur. Banyak proyek mangkrak ada di daerah terpencil, sementara kota besar udah nikmatin infrastruktur yang selesai. Ini bikin ketimpangan makin parah, karena akses ke fasilitas publik nggak merata.Keempat, prinsip kebebasan ngingetin kita bahwa keadilan sosial harus bikin warga lebih berdaya, bukan stuck atau frustrasi. Proyek mangkrak kayak bandara, jalan tol, atau kawasan industri yang nggak selesai membatasi mobilitas, peluang kerja, dan bisnis rakyat. Artinya, kebebasan orang buat ningkatin hidupnya sendiri ikut terhambat.Terakhir, prinsip komunitas menekankan hubungan moral antara negara dan rakyat. Proyek yang mangkrak bikin kepercayaan warga menurun, solidaritas sosial melemah, dan rasa tanggung jawab bareng berkurang. Supaya keadilan sosial bener-bener terasa, warga harus ngerasa negara bertindak adil dan sumber daya publik dikelola dengan etis.Kalau dianalisis lewat prinsip Miller, proyek mangkrak itu bukan sekadar masalah teknis, tapi tantangan multi-dimensi terhadap keadilan sosial. Mengatasinya butuh birokrasi yang efisien sekaligus akuntabilitas moral dan sipil—supaya sumber daya publik dibagi sesuai kebutuhan, dieksekusi dengan benar, didistribusi adil, bikin rakyat berdaya, dan ngerawat rasa kebersamaan di masyarakat.Sebuah proyek pemerintah yang benar-benar buat kepentingan publik itu cuma bisa dibilang “bersih” dari korupsi dan kepentingan pribadi kalau semua prosesnya berdiri di atas fondasi transparansi, akuntabilitas, dan keputusan yang netral tanpa titipan. Dari tahap perencanaan, tender, sampai pelaksanaan dan evaluasi, semuanya harus bisa diaudit publik—tercatat jelas duitnya ke mana, siapa yang dapat kontraknya, dan apa hasil yang dijanjikan. Nggak boleh ada deal di belakang meja, proyek titipan, atau tender yang dimanipulasi demi orang dalam. Integritas jangan cuma jadi slogan di spanduk, tapi sistem nyata yang dijaga lembaga pengawas independen dengan gigi dan wewenang penuh buat nyidik tanpa takut diintervensi. Kalau pejabat wajib lapor konflik kepentingan, warga bisa ngintip data pengeluaran secara real-time, dan media atau LSM bebas nanya tanpa takut dibungkam, baru deh proyek itu beneran milik rakyat—bukan milik segelintir orang yang doyan nyari untung di balik baju jabatan..
Kita semua disuruh takjub sama klaim bahwa Whoosh itu “Karya Terbaik Sepanjang Masa,” padahal cuma karena nama penulisnya terkenal terus tulisan di buku itu otomatis jadi emas murni. Kritikus kayaknya diharapkan tunduk sambil bilang, “Wah, genius banget!” padahal kenyataannya jelas: tulisannya kadang nyasar kayak turis nyasar di mall, beberapa bab malah kerasa cuma diisi biar tebal aja sambil ngopi. Tapi, mesin marketing jalan terus, bikin publik yakin beli buku ini kayak beli tiket pencerahan, padahal sebenernya cuma beli alas tidur mahal dikit aja.
Mari kita telaah penyimpangan yang dilaporkan dan fakta-fakta bermasalah tentang proyek kereta cepat Whoosh Jakarta–Bandung yang menurut para kritikus mengarah pada penggelembungan biaya, pilihan pengadaan yang buruk, dan kegagalan tatakelola—serta menimbulkan tanggungjawab politik di tingkat tertinggi. Kita berpegang pada apa yang telah didokumentasikan oleh laporan dan pernyataan publik yang kredibel (dugaan, investigasi, dan angka resmi) dan menandai hal-hal yang masih diperdebatkan atau sedang diselidiki.Pertama, proyek Whoosh ini sempet “dideketin” ama Jepang yang penawarannya lebih ramah di dompet, lalu tiba-tiba berbelok ke China—dan yang bikin orang garuk-garuk kepala, perubahan ini kelihatan enggak mulus dan ada jejak politisnya. Beberapa tokoh publik bahkan nunjukin kalau keputusan mengganti mitra itu berujung ke meja istana, makanya publik nuntut jawaban.Kedua, angkanya melonjak. Proyek yang awalnya diperkirakan beberapa miliar dollar, naik jadi sekitar US$7,2–7,3 miliar; hitungan per-kilometernya juga lebih mahal dari proyek serupa. Nah, kalau biaya naik gitu besar, wajar ada tuduhan mark-up atau perubahan scope yang perlu dijelasin.Ketiga, cara pembiayaan dan kontraknya dibuat pake model joint venture dan pinjaman yang akhirnya nambah risiko ke BUMN dan publik—jadi beban utang dan bunga bisa baliknya ke kantong rakyat kalau operatornya boncos. Itu bikin orang bilang “kok risikonya kita yang nanggung?” bukan pihak swasta asingnya.Keempat, dugaan mark-up pun terbuka dan sekarang KPK sampai mulai ngorek. Bedanya: tuduhan itu belum vonis, tapi masuk ranah penyelidikan—artinya bukan sekadar gosip warung kopi lagi.Kelima, klausul kontrak dan syarat pinjaman yang ditulis di beberapa laporan tampak bikin negara lebih susah gerak kalau masalah muncul—beberapa pejabat hukum publik udah ngasih peringatan soal ini.Keenam, jalannya kereta juga enggak seramai janji feasibility study—penumpang jauh di bawah target, rugi operasional juga ada. Kalau manfaat sosial-ekonominya kecil sementara biaya besar, warga layak marah karena yang kena ya beban publik.Jadi intinya: akumulasi fakta-fakta itu (pengalihan mitra/pendanaan, lonjakan biaya, struktur kontrak yang bikin negara nanggung risiko, tuduhan mark-up dan penyelidikan, plus performa yang mengecewakan) menjadi dasar kuat buat nuntut pertanggungjawaban politik level atas—termasuk menjelaskan peran Presiden Jokowi dalam keputusan-keputusan itu.Kalau kita lihat kasus Whoosh lewat kacamata keadilan sosial, kelihatan banget konfliknya: sumber daya negara dan beban rakyat enggak dibagi adil. Keadilan sosial itu dasarnya ngomong: duit, kesempatan, dan risiko negara harus jelas dibagi, dan warga dapat manfaat yang sebanding sama yang mereka bayar. Nah, di Whoosh, kritik bilang biaya naik gila-gilaan, tendernya nggak transparan, dan risiko finansial dipindahin ke negara—ini jelas nabrak prinsip keadilan distributif. Rakyat biasa bayar mahal tapi manfaatnya minim, sementara segelintir orang di lingkaran politik dan kontraktor bisa cuan gede lewat mark-up atau kontrak.Selain itu, fairness prosedural juga bermasalah. Keputusan yang dibuat tanpa tender kompetitif yang jelas, evaluasi terbuka, atau kontrol publik, bikin warga nggak bisa ikut ngerasain atau kontrol proyek yang jelas-jelas bakal ngaruh ke infrastruktur dan ekonomi mereka. Penumpang kereta sedikit dan manfaat sosial rendah makin memperkuat kesan: biayanya tinggi, manfaatnya minim, dan beban ditimpain ke orang yang paling nggak kuat nanggung—ini jelas tanda ketidakadilan sosial.Dari sisi ini, kasus Whoosh bisa dijadiin peringatan: proyek infrastruktur kalau ngawur bisa bikin ketimpangan tambah parah dan bikin warga nggak percaya pemerintah. Pertanggungjawaban pemimpin, terutama yang nyetujui dan ngawasin proyek, jadi masalah keadilan sosial juga, karena keadilan bukan cuma soal hukum atau kebijakan—tapi soal memastikan keputusan publik benar-benar adil dan buat kebaikan bersama, bukan cuma nguntungin segelintir orang. Kasus ini juga menunjukkan bahwa tuntutan agar "Jokowi segera diadili" masih sangat relevan.
Kalau dipandang dari perspektif keadilan sosial, kontroversi soal dokumen pendidikan Wakil Presiden Gibran—apalagi dugaan bahwa ia mungkin enggak sampai setara SMA—bikin banyak pertanyaan serius soal fairness, transparansi, dan merit dalam kepemimpinan politik. Keadilan sosial itu nggak cuma soal uang atau materi, tapi juga soal integritas prosedur, standar etika, dan aturan yang berlaku sama bagi semua orang. Kalau pejabat tinggi keliatan bisa “lompati” aturan atau sembunyiin kualifikasi, kepercayaan rakyat sama institusi runtuh, dan prinsip bahwa pemimpin harus kompeten dan sah secara moral jadi goyah.Kalau pakai prinsip Miller, kesetaraan paling terasa. Rakyat berharap syarat agar jabatan politik berlaku sama ke semua kandidat. Kalau pendidikan Gibran nggak jelas tapi tetap pegang posisi tinggi, ini bikin ketimpangan: rakyat biasa atau calon pemimpin lain harus patuh aturan yang mungkin dilewatin elit. Rasanya jelas enggak adil.Prinsip prestasi atau merit juga kena imbas. Posisi pimpinan itu punya otoritas moral yang seharusnya berdasarkan kualifikasi, usaha, dan tanggung jawab. Kalau kredensial dipertanyakan, dasar etis memberi kekuasaan melemah, kontrak sosial antara pemerintah dan rakyat jadi renggang. Meritokrasi terganggu, kepercayaan publik ikut anjlok.Prinsip kebutuhan juga nyambung secara nggak langsung. Pemimpin yang nggak cukup kualifikasi bisa kurang efektif bikin kebijakan yang bener-bener memenuhi kebutuhan masyarakat, apalagi yang paling rentan. Akhirnya, hasil keadilan sosial pun ikut terganggu.Prinsip solidaritas dan komunitas juga kena dampak. Kalau standar di level atas nggak jelas atau nggak adil, kepercayaan masyarakat luntur. Rakyat bisa ngerasa tersisih atau skeptis soal kemampuan mereka ikut sistem politik yang adil, solidaritas sosial melemah, dan rasa kebersamaan dalam masyarakat jadi berkurang.Dari sisi keadilan sosial, isu pendidikan Gibran bukan cuma urusan pribadi atau prosedur, tapi masalah etika publik. Kasus ini nunjukin betapa pentingnya transparansi, penunjukan berbasis prestasi, dan aturan yang berlaku sama bagi semua, supaya keadilan sosial dan legitimasi demokrasi tetap terjaga.
Argumen bahwa Wakil Presiden Gibran harus dimakzulkan atau mengundurkan diri karena keraguan seputar kualifikasi pendidikannya memang beralasan secara moral, terutama dalam hal transparansi, kesetaraan, dan meritokrasi. Argumen ini hendaklah diselaraskan dengan kerangka hukum dan mekanisme politik Indonesia. Para advokat dapat menggunakan tekanan publik, pengawasan, dan seruan reformasi kelembagaan untuk memperkuat pentingnya kepemimpinan yang etis dan berkompeten.
Dalam karya penting Thomas Risse, Transparency, Accountability, and Global Governance (2008, Global Governance Vol. 14, No. 1 (January–March 2008), pp. 73-94, published by: Brill), ia membahas bagaimana transparansi berfungsi sebagai dasar akuntabilitas dalam tatakelola global. Risse mengidentifikasi tiga kekuatan utama—tekanan pasar, wacana eksternal, dan norma internal—yang mempengaruhi perilaku aktor global melalui transparansi. Kekuatan-kekuatan ini dapat mengatur tindakan dengan membuatnya terlihat dan dapat diawasi, sehingga memegang aktor bertanggung jawab kepada publik dan pemangku kepentingan lainnya.Menerapkan kerangka kerja Risse pada kontroversi seputar dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi dan dokumen pendidikan Wakil Presiden Gibran yang tidak jelas, mengungkapkan kekhawatiran signifikan mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan Indonesia. Kurangnya kejelasan dan transparansi tentang kualifikasi pendidikan pejabat tinggi ini merusak kepercayaan publik dan menimbulkan pertanyaan tentang legitimasi mereka serta kepatuhan terhadap prinsip-prinsip demokratis.Analisis Risse menekankan pentingnya transparansi sebagai mekanisme akuntabilitas. Ketika kualifikasi pemimpin disembunyikan atau disalahartikan, hal itu tak hanya melanggar hak publik untuk mengetahui tetapi juga merusak norma-norma dasar yang mendukung pemerintahan demokratis. Dalam konteks Indonesia, masalah seperti ini menyoroti kebutuhan akan langkah-langkah transparansi yang kuat untuk memastikan bahwa pemimpin politik bertanggungjawab dan bahwa otoritas mereka berasal dari kredensial yang sah dan dapat diverifikasi.
Dalam aksi yang bisa dibilang teatrikal banget, Jokowi kabarnya nunjukin ijazahnya ke kerumunan pendukung, yang langsung sorak-sorai “ASLI LI!” seolah sekadar nunjukin selembar kertas bisa langsung bikin semua keraguan ilang seketika. Bayangin aja, di semesta lain, buku-buku sekolah mungkin udah direvisi: bukti kompetensi sekarang bukan lagi ujian atau pengalaman, tapi tepuk tangan spontan dari fans. Sementara itu, rakyat yang lain cuma bisa melotot, nanya-nanya, “Verifikasinya ini gimana sih, kudu dicek serius atau cukup teriak-teriak doang?”
[Bagian 5]Kalau dibandingin kasus ijazah Jokowi yang diduga palsu sama dokumen pendidikan Gibran yang gak jelas, keduanya bikin masalah serius dari perspektif keadilan sosial, tapi cara dampaknya agak beda-beda. Keduanya sama-sama nyentuh isu transparansi, akuntabilitas, dan fairness—hal-hal penting buat tatakelola etis negara.Prinsip kesetaraan langsung kena di dua kasus ini. Rakyat berharap syarat untuk jabatan tinggi berlaku sama ke semua orang. Kalau aturan ini keliatannya dilewatin oleh pejabat tinggi, muncul ketimpangan moral dan prosedural, bikin kepercayaan rakyat luntur. Bedanya, kasus Jokowi soal dugaan ijazah palsu, sedangkan Gibran lebih ke dokumen pendidikan nggak lengkap atau nggak jelas. Tapi intinya sama: rakyat biasa harus lebih ketat, sementara elit bisa lolos.Prinsip prestasi atau merit juga terganggu. Legitimitas pemimpin seyogyanya berdasarkan kompetensi dan integritas. Kalau ada keraguan soal kualifikasi pendidikan, dasar etis memimpin jadi goyah. Rakyat bisa ngerasa kekuasaan diberikan karena politik atau privilege, bukan karena prestasi, dan kontrak sosial antara negara dan warga melemah.Prinsip kebutuhan nyambung secara nggak langsung. Pemimpin yang kompeten berpengaruh ke kemampuan negara buat bagi-bagi sumber daya secara adil. Kalau kualifikasi pemimpin dipertanyakan, kebijakan buat pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur bisa terganggu, yang paling kena dampak ya masyarakat rentan.Prinsip solidaritas dan komunitas juga kena imbas. Kedua kontroversi ini bisa bikin kepercayaan publik sama pemerintah luntur. Transparansi di level atas penting supaya rakyat ngerasa bagian dari kehidupan etis dan sipil bangsa. Kalau kredensial pemimpin dipertanyakan atau disembunyiin, rasa percaya kolektif ke institusi ikut menurun.Walau kasus Jokowi dan Gibran beda secara spesifik—dugaan palsu vs dokumen nggak lengkap—keduanya sama-sama nge-challenge sisi etis dan prosedural keadilan sosial. Kasus ini nunjukin pentingnya transparansi, penunjukan berbasis prestasi, dan aturan yang berlaku sama buat semua, supaya sistem politik adil dan masyarakat tetap kompak.Kontroversi soal dugaan ijazah palsu Jokowi dan dokumen pendidikan Gibran yang nggak jelas punya dampak berlapis buat keadilan sosial di Indonesia. Dalam jangka pendek, kasus ini paling terasa di persepsi dan kepercayaan publik. Rakyat bisa ngerasa pemimpin nggak kena standar yang sama kayak orang biasa, bikin prinsip kesetaraan goyah dan bikin rakyat skeptis sama pemerintah. Ini bisa bikin partisipasi warga turun dan kohesi sosial melemah.Dalam jangka menengah, kurangnya transparansi dan akuntabilitas bisa ngefek ke norma politik dan praktik pemerintahan. Kalau dibiarkan, kasus ini bisa jadi preseden: elit politik merasa bisa lolos dari pengawasan, standar meritokrasi jeblok. Akhirnya, kesempatan dan sumber daya bisa dibagi berdasarkan privilege, bukan kompetensi atau kebutuhan rakyat.Dalam jangka panjang, keraguan terus-menerus soal integritas pemimpin bisa bikin legitimasi demokrasi dan kepercayaan publik runtuh. Keadilan sosial nggak cuma soal pembagian sumber daya, tapi juga soal pemerintahan yang etis. Kalau rakyat terus merasa pemimpin ngeles atau nutup-nutupin kualifikasi, kemampuan negara buat ngejalanin kebijakan adil terganggu. Lama-lama, kontrak sosial melemah, aksi kolektif buat kebaikan bareng susah jalan, dan ketidakadilan sistemik makin mengakar.Singkatnya, dua kasus ini serius banget dampaknya buat keadilan sosial di Indonesia. Keduanya nunjukin pentingnya transparansi, penunjukan berbasis prestasi, dan aturan yang berlaku sama untuk semua, supaya kepercayaan publik, kesetaraan, dan pemerintahan yang etis tetap terjaga.
[Bagian 3]

