Sabtu, 01 November 2025

Demokrasi dan Kritikannya (1)

Presiden Prabowo, dalam pidato simbolis saat pemusnahan lebih dari 214 ton narkotika, menekankan pentingnya kritik dalam masyarakat demokratis. Beliau menegaskan bahwa seorang pemimpin yang tak mau dikoreksi atau dikritik pasti akan terjerat kesalahan. Beliau mengakui bahwa dirinya sendiri sering dicap otoriter, tetapi beliau menangkal persepsi tersebut dengan menegaskan keterbukaannya terhadap pengawasan dan koreksi publik. Menurutnya, kritik dan koreksi bukanlah ancaman terhadap otoritas, melainkan perlindungan penting terhadap kebutaan kekuasaan yang tak terkendali. Dalam kata-kata beliau, "Pemimpin yang tidak mau dikoreksi—tidak mau dikritik—dia akan terjebak dalam kesalahan-kesalahan."

Sepanjang sejarah, penolakan menerima kritik seringkali menjerumuskan para pemimpin ke dalam kesalahan fatal. Dari raja yang membungkam suara-suara berbeda pendapat hingga para otokrat modern yang mengelilingi diri mereka dengan para penjilat, polanya jelas: kekuasaan yang tak terkendali melahirkan titik-titik buta. Kritik, ketika berlandaskan kebenaran dan disampaikan secara konstruktif, bertindak sebagai cermin—memantulkan kekurangan yang mungkin tersembunyi. Dalam masyarakat demokratis, kritik bukan sekadar hak, melainkan keharusan. Seorang pemimpin yang menerima kritik mendorong transparansi, akuntabilitas, dan tatakelola yang adaptif. Sebaliknya, pemimpin yang menghindarinya berisiko membangun ruang gema, tempat keputusan-keputusan buruk diperkuat dan diulang. Pernyataan Presiden Prabowo tersebut, dengan demikian, bukan sekadar peringatan—melainkan seruan untuk merangkul peran pengawasan publik yang tidak nyaman namun vital.

Iya sih, kritikan itu rasanya kagakgak enak. Seperti yang diomongin Presiden Prabowo: "bikin dongkol", bikin hati kayak abis digoreng tanpa minyak. Tapi justru rasa nggak enak itulah yang bikin kritik berharga. Kritik tuh kayak alarm—berisik, gangguin, tapi nyelametin dari kebakaran. Kritik itu nusuk zona nyaman, nyentil ego, dan maksa pemimpin buat ngaca. Bukan nyerang pribadi, tapi ngasih cermin publik. Rasa perih dari kritik itu tandanya ada yang peduli, ada yang berani ngomong jujur ke kekuasaan. Dan pemimpin yang bisa duduk tenang di tengah rasa dongkol, yang bisa dengerin meski kuping panas, itu pemimpin yang tumbuh. Nggak cuma makin berkuasa, tapi makin bijak. Jadi, kritik itu emang nyakitin ego, tapi juga, ngasah nurani.

Dalam negara demokrasi, kritik itu ibarat detak jantung yang bikin sistem tetep hidup dan sehat. Tanpa kritik, kekuasaan gampang banget berubah jadi otoriter, karena gak ada yang berani bilang “itu keliru, bos!” Kritik bikin pejabat sadar bahwa jabatan itu amanah, bukan warisan keluarga atau hak pribadi. Lewat kritik yang terbuka dan beralasan, kebijakan bisa diperbaiki, kesalahan bisa dikoreksi, dan lembaga bisa berbenah tanpa harus takut atau pura-pura suci. Saat rakyat bebas mengkritik, demokrasi bernafas lega; tapi begitu kritik dibungkam, demokrasi mulai megap-megap. Jadi sebenernya, kritik itu bukan bentuk pembangkangan—melainkan tanda cinta rakyat terhadap negeri dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, serta martabat bersama.

Kritik yang baik itu lahir bukan karena emosi, tapi karena niat tulus buat memperbaiki yang rusak, dalam negara demokrasi. Ia berani bicara jujur ke penguasa tanpa harus marah-marah, dan berani menantang otoritas tanpa bermaksud menghancurkannya. Kritikus yang baik bukan tukang uring-uringan di kolom komentar, tapi orang yang tahu gimana caranya ngasih solusi, bukan cuma nyinyir. Inti dari kritik yang baik itu keadilan—melihat dulu sebelum menilai, mendengar dulu sebelum ngomong, dan berargumen pakai bukti, bukan pakai ego. Ia tetep menghormati perbedaan pendapat, karena tahu bahwa beda pandangan bukan berarti musuh negara. Jadi, kritik yang baik itu bukanlah lemparan batu, melainkan kompas moral yang bantu negara melangkah ke arah kebijaksanaan, tanggungjawab, dan keadilan.

Salah satu rujukan yang amat dihormati adalah Democracy and Its Critics (1989, Yale University Press) karya Robert A. Dahl, yang mengkaji asumsi-asumsi fundamental teori demokrasi, mengujinya terhadap keberatan-keberatan yang diajukan para kritikus, dan kemudian membentuk kembali teori demokrasi menjadi satu kesatuan yang koheren. Karya ini gak ngebahas "kritik" dalam makna sempit semacam protes publik semata, melainkan menempatkan bagaimana demokrasi dapat menyerap, merespons, dan disempurnakan melalui kritik internal.
Menurut Dahl, demokrasi bisa benar-benar dipertanggungjawabkan justru lewat hadirnya kritik yang terus-menerus. Dahl berpendapat bahwa inti kehidupan demokratis bukan sekadar pada pemilu atau perwakilan, melainkan pada kemampuan warga negara untuk mempertanyakan, menantang, dan menilai tindakan para penguasa. Kritik, menurutnya, berfungsi sebagai pagar agar kekuasaan tidak menumpuk dan tanggungjawab publik tak membusuk. Ketika warga berani menyuarakan ketidaksetujuan atau memberikan kritik yang masuk akal, mereka memaksa para pemimpin agar menjelaskan keputusan mereka secara terbuka—menjadikan pemerintahan sebagai proses saling bertanggungjawab, bukan hubungan “yang berkuasa dan yang manut.” Dahl juga menegaskan bahwa demokrasi yang sehat bukan hanya menoleransi kritik, tapi justru menciptakan ruang agar kritik bisa tumbuh: lewat kebebasan berbicara, akses terhadap informasi, dan lembaga yang transparan. Tanpa kritik, demokrasi cuma jadi ritual kosong—ada partisipasi di atas kertas, tapi tiada maknanya di hati rakyat.
Dahl memperkenalkan teori demokrasi yang koheren dan terintegrasi yang dikenal dengan istilah “polyarchy”. Dahl berpendapat bahwa demokrasi sempurna dalam bentuk idealnya jarang bisa tercapai, sehingga polyarchy menjadi pendekatan praktis yang berbasis kenyataan empiris terhadap pemerintahan demokratis. Teorinya menyatukan beberapa prinsip penting dalam satu kerangka: partisipasi efektif, kesetaraan dalam pemungutan suara, pemahaman yang tercerahkan, pengendalian agenda, dan inklusivitas. Bersama-sama, elemen-elemen ini membentuk model yang koheren dimana warga memiliki pengaruh nyata terhadap keputusan politik, pemimpin bertanggungjawab, dan lembaga menciptakan ruang bagi kritik serta diskusi publik yang berkelanjutan. Pendekatan Dahl menjembatani ideal normatif dengan kenyataan empiris, sehingga teorinya relevan sekaligus bisa diterapkan pada masyarakat demokratis modern.

Menurut Dahl, demokrasi itu bukan sistem yang statis, tapi proses dinamis yang terus berkembang lewat kritik internal. Ia menjelaskan bahwa demokrasi yang sehat harus mampu menyerap suara-suara yang berbeda, menanggapi keluhan publik, dan memperbaiki lembaga serta kebijakan secara terus-menerus. Kritik internal berfungsi sebagai mekanisme koreksi diri: ketika warga dan kelompok kepentingan mempertanyakan keputusan pemerintah, membuka kelemahan, atau menyoroti ketidakadilan, para aktor politik terpaksa meninjau ulang tindakan mereka dan menyesuaikan kebijakan agar lebih mencerminkan kehendak dan kesejahteraan rakyat. Dahl menekankan bahwa kemampuan untuk memperbaiki diri ini bergantung pada kondisi struktural dan budaya tertentu, semisal kebebasan berbicara, akses informasi yang terbuka, dan partisipasi inklusif. Dengan menerima kritik internal, bukan dengan supresi, demokrasi bisa terus belajar, beradaptasi, dan memperkuat dirinya sendiri, sehingga terhindar dari stagnasi atau pergeseran menuju otoritarianisme.

Karya Robert A. Dahl, On Political Equality (2006, Yale University Press), berfokus pada prinsip bahwa demokrasi sejati bergantung pada pengaruh politik yang setara bagi seluruh warga negara. Dahl menelaah apa makna partisipasi yang setara dalam pengambilan keputusan kolektif, dan mengapa kesetaraan ini menjadi keharusan moral sekaligus kebutuhan praktis bagi legitimasi institusi demokratis. Ia menganalisis kondisi-kondisi yang memungkinkan kesetaraan politik tercapai, termasuk faktor struktural, sosial, dan ekonomi yang seringkali merajai pengaruh, semisal kekayaan, pendidikan, dan akses informasi. Dahl juga membahas mekanisme—seperti hak pilih universal, lembaga perwakilan, dan praktik partisipatif—yang dapat mendorong kesetaraan dalam suara politik. Karya ini menegaskan bahwa tanpa kesetaraan politik, demokrasi berisiko menjadi tampilan semu, karena keputusan hanya mencerminkan preferensi minoritas yang istimewa, bukan kehendak kolektif rakyat.
Menurut Dahl dalam On Political Equality, partisipasi yang setara dalam pengambilan keputusan kolektif berarti setiap warga negara harus punya kemampuan yang sebanding untuk mempengaruhi hasil pilihan politik yang berdampak pada komunitas. Hal ini bukan berarti setiap individu selalu berpengaruh yang identik di setiap saat, tetapi sistem politik hendaknya meminimalkan hambatan struktural, sosial, dan ekonomi yang secara sistematis memihak suara tertentu. Partisipasi yang setara mencakup akses terhadap informasi, kebebasan menyampaikan pendapat, kemampuan berdebat, serta sarana institusional untuk mengubah pandangan menjadi kebijakan nyata.
Dahl berargumen bahwa kesetaraan politik merupakan kebutuhan moral sekaligus praktis. Secara moral, ini mencerminkan prinsip keadilan: tiada suara atau kepentingan individu yang seharusnya lebih dihargai hanya karena kekayaan, status sosial, atau latar belakang. Secara praktis, kesetaraan esensial bagi legitimasi dan stabilitas institusi demokratis. Ketika warga merasa suaranya berarti dan bisa mempengaruhi keputusan, mereka lebih cenderung mendukung dan menaati keputusan demokratis. Sebaliknya, ketidaksetaraan partisipasi yang sistematis merusak kepercayaan, menimbulkan rasa frustrasi, dan berisiko menumpuk kekuasaan pada segelintir elit, sehingga melemahkan fondasi demokrasi itu sendiri.

Dalam Civic Literacy: How Informed Citizens Make Democracy Work (2002, University Press of New England), Henry Milner menegaskan bahwa pondasi utama demokrasi yang sehat terletak pada kemampuan warga negara memahami dan menilai informasi politik secara kritis. Ia berpendapat bahwa ketika warga negara berpengetahuan yang cukup, mereka tak hanya jadi penonton pasif kebijakan pemerintah, tapi juga peserta aktif yang mampu menegur, mengoreksi, dan mengarahkan pemimpinnya lewat kritik yang beralasan. Menurut Milner, civic literacy itu ibarat vaksin melawan kebodohan politik—ia membuat seseorang mampu membedakan mana ucapan politik yang cuma gimik, mana kebijakan yang beneran berdampak. Warga yang melek politik juga tak mudah ditipu oleh janji populis atau propaganda murahan, karena mereka tahu cara membaca konteks institusional dan fakta-fakta yang lebih luas. Pada akhirnya, kata Milner, negara dengan tingkat civic literacy tinggi akan punya masyarakat yang lebih percaya pada lembaga demokrasi, partisipasi pemilu yang lebih besar, dan ruang publik yang hidup—dimana kritik bukan dianggap ancaman bagi kekuasaan, melainkan tanda bahwa demokrasi sedang bekerja sebagaimana mestinya.
Milner menjelaskan bahwa civic knowledge and capacity of the citizenry merupakan gabungan antara pengetahuan faktual, kemampuan analisis, dan kecakapan berpartisipasi yang memungkinkan warga benar-benar terlibat dalam kehidupan demokrasi. Civic knowledge berarti tahu bagaimana lembaga politik bekerja, siapa peran para pejabat publik, apa isi kebijakan yang sedang dijalankan, dan bagaimana cara warga bisa ikut memengaruhi keputusan pemerintah. Pengetahuan ini jadi fondasi agar masyarakat bisa menilai politik secara masuk akal, bukan cuma termakan kesan dangkal atau jargon media.
Lalu, Milner menambahkan unsur civic capacity—yaitu kemampuan dan kepercayaan diri warga untuk bertindak berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki, entah lewat pemilu, kegiatan sosial, atau debat publik. Tanpa kapasitas ini, bahkan warga yang pintar secara politik bisa tetap diam tak berbuat apa-apa. Karena itu, bagi Milner, civic literacy bukan cuma soal hafal informasi politik, tapi soal bagaimana warga bisa memakainya agar benar-benar ikut berperan dalam urusan publik. Negara yang menumbuhkan kedua hal ini—pengetahuan dan kapasitas kewargaan—akan punya budaya politik yang sehat: pemerintah tak bisa semena-mena, dan rakyat merasa ikut memiliki proses demokrasi, bukan cuma jadi penonton dari jauh.

Milner memperingatkan bahwa ketika warga tidak melek politik atau gak punya kemampuan dan kepercayaan diri untuk berpartisipasi secara bermakna, demokrasi akan terganggu dalam berbagai cara. Pertama, warga yang tak terinformasi, lebih mudah dimanipulasi, terjebak retorika populis, atau percaya informasi palsu, sehingga elit politik bisa bertindak tanpa pertanggungjawaban. Kedua, kapasitas kewargaan yang rendah menimbulkan apatis politik: warga bisa saja memilih tanpa memahami isu, absen dari partisipasi, atau tidak ikut dalam diskusi publik, sehingga ruang publik menjadi mati atau stagnan. Milner menekankan bahwa kondisi seperti ini bisa melemahkan legitimasi demokrasi, karena pemerintah bisa terus menjalankan kebijakan tanpa diawasi sementara warga tetap disengage atau tersesat informasi. Kurangnya civic literacy membuat mekanisme demokrasi yang seharusnya responsif dan akuntabel jadi rapuh, sehingga struktur formal demokrasi hanya tinggal nama tanpa substansi nyata.

Pentingnya kritik rakyat bagi pemerintah itu fundamental banget dalam demokrasi yang sehat. Kritik berfungsi sebagai mekanisme umpan balik yang bikin pemerintah bisa lihat kesalahan, ketidakefisienan, dan ketidakadilan dalam kebijakan maupun institusi mereka. Kalau warga aktif menilai tindakan pemimpin, hal ini bikin pemerintah lebih akuntabel, transparan, dan responsif. Tanpa kritik rakyat, pemerintah bisa seenaknya jalan sendiri, cuma nguntungin segelintir orang tanpa peduli kepentingan publik.
Selain sebagai alat “rem” terhadap korupsi atau mismanajemen, kritik juga punya sisi konstruktif. Kritik yang cerdas dan berbasis informasi bisa bantu memperbaiki kebijakan, memicu solusi baru, dan bikin masyarakat percaya lagi karena pemimpin terlihat tanggap terhadap rakyat. Lebih luas lagi, kritik rakyat itu memperkuat legitimasi moral dan praktis pemerintah: ngingetin para penguasa bahwa kekuasaan mereka bukan buat kepentingan diri sendiri, tapi buat kesejahteraan bersama. Makanya, masyarakat yang menghargai kritik biasanya punya institusi demokrasi yang lebih kuat dan warga yang lebih aktif, dimana pemerintah bukan cuma ngomong sendiri, tapi ngobrol bareng rakyat.

Dalam The Good Citizen: A History of American Civic Life (1998, Free Press), Michael Schudson bilang kalau kesehatan demokrasi gak cuma tergantung pada institusi formal atau prosedur pemilu, tapi juga pada keterlibatan aktif warganya. Ia menekankan kalau scrutiny dan diskusi publik itu mekanisme penting supaya warga bisa menilai tindakan pemerintah, bongkar penyalahgunaan kekuasaan, dan ikut membentuk kebijakan. Schudson berpendapat bahwa ketika warga aktif debat isu politik dan kritis menilai keputusan para pemimpin, hal ini bantu mencegah kekuasaan terkonsentrasi dan munculnya kecenderungan otoriter. Ia juga nunjukin bahwa keterlibatan kewargaan semacam ini menumbuhkan budaya akuntabilitas dan tanggungjawab bersama, dimana setiap tindakan pemerintah selalu diawasi dan dipertanyakan, bukan diterima begitu saja. Menurut Schudson, demokrasi itu hidup kalau warganya jeli, kritis, dan berani menyuarakan dissent—jadi dialog warga itu senjata ampuh untuk cegah ekstremisme dan pemerintah yang kelewat batas.

Dalam Democracy and Its Discontents: Critical Literacy across Global Contexts (2005, SensePublishers), Robert E. White dan Karyn Cooper membahas tantangan-tantangan yang dihadapi demokrasi masa kini. Mereka berpendapat bahwa demokrasi kerap tak memenuhi idealnya, yang menyebabkan rasa tidak puas atau "discontent" di kalangan warga. Rasa tidak puas ini muncul dari beberapa faktor:
Pertama, para penulis menyoroti ketidaksesuaian antara idealisme demokrasi dan realitas politik. Meskipun sistem demokrasi mengusung nilai-nilai seperti kesetaraan dan partisipasi, pada praktiknya, ketimpangan kekuasaan dan elitisme dapat merusak prinsip-prinsip ini, membuat warga merasa terpinggirkan dan kecewa.
Kedua, ketimpangan ekonomi memperburuk ketidakpuasan terhadap demokrasi. Ketika kekayaan dan sumber daya terkonsentrasi di tangan segelintir orang, hal ini menyebabkan akses yang tak setara terhadap peluang dan pengaruh politik, merusak prinsip dasar demokrasi tentang representasi yang setara.
Selain itu, penurunan kualitas institusi demokrasi turut berkontribusi pada rasa tidak puas ini. Ketika institusi yang seharusnya menjaga proses demokrasi menjadi lemah atau korup, warga kehilangan kepercayaan terhadap efektivitas dan keadilannya, yang menyebabkan keterlibatan yang rendah dan skeptisisme terhadap pemerintahan demokratis.
Terakhir, globalisasi dan kemajuan teknologi telah memperkenalkan kompleksitas yang menantang kerangka demokrasi tradisional. Isu-isu semacam misinformasi, pengawasan, dan laju perubahan yang cepat dapat membebani institusi demokrasi, membuatnya sulit beradaptasi dan merespons kebutuhan warga secara efektif.
White dan Cooper menyarankan bahwa mengatasi tantangan-tantangan ini memerlukan komitmen terhadap literasi kritis—kemampuan menganalisis dan mempertanyakan struktur dan sistem yang membentuk masyarakat kita. Dengan membangun literasi kritis, individu dapat menjadi peserta yang lebih terinformasi dan aktif dalam demokrasi, memperjuangkan reformasi yang menyelaraskan praktik demokrasi dengan ideal-idealnya.

Richard Haass, dalam bukunya The Bill of Obligations: The Ten Habits of Good Citizens (2023, Penguin Publishing Group), berpendapat bahwa demokrasi tak dapat bertahan hanya dengan hak asasi manusia; demokrasi harus ditopang oleh rasa tanggungjawab bersama di antara warganya. Haass berpendapat bahwa Amerika Serikat—dan lebih luas lagi, semua negara demokrasi modern—telah menjadi sangat tidak seimbang, terlalu menekankan kebebasan individu sementara mengabaikan kewajiban sipil yang membuat kebebasan tersebut bermakna. Ia memperingatkan bahwa obsesi terhadap hak asasi manusia ini, ditambah dengan polarisasi politik, misinformasi, dan terkikisnya kepercayaan publik, telah menciptakan masyarakat yang bebas namun rapuh.

Di bagian awal, ia cerita gimana sejarah demokrasi Amerika dibangun, hak warga jadi pusat perhatian, tapi sekarang banyak celah—ketidakadilan, ideologi ekstrem, norma sosial yang mulai lepas kontrol. Lalu bagian kedua: doski bangun 10 kebiasaan atau “kewajiban” warga baik yang bisa kita praktikkan. Misalnya: wajib tahu (think!), ikut aktif (oke, bukan cuma scroll medsos), siap kompromi, tetap sopan santun (walau beda pendapat), tolak kekerasan, hargai norma, pikir bareng demi kebaikan bersama, hormati yang kerja di pemerintahan, dukung pelajaran kewargaan (civics)—dan yang paling “jalan” di kampung: utamakan negara di atas geng atau grup loe.
Yang keren: kewajiban ini nggak dipaksain lewat hukum, tapi lebih ke kebiasaan yang lahir dari hati, dari kesadaran bahwa “gue punya tanggung jawab ke loe dan negara ini”. Demokrasi itu bukan acara nonton dari sofa—perlu aksi, perlu attitude, perlu kita semua turun tangan. Karya ini ngajak kita buat take responsibility, bukan cuma ngeluh atau bebasan-bebasan tanpa hasil. Intinya: hak itu keren, tapi tanpa kewajiban, hak bisa jadi sia-sia. Kalau kita mau demokrasi “rewel” ini tetap jalan, ya kita kudu mau bayar harga: ikut peduli, aktif, dan ngerti bahwa kita nggak hidup sendiri.

Haass ngajak kita semua buat gak cuma “minta hak” doang tapi juga ngambil bagian jadi warga negara yang aktif dan keren. Nah menurutnya, ada 10 kebiasaan warga negara yang baik itu. Pertama: be informed—alias jangan cuma scroll medsos, tapi ngerti gimana negara loe jalan, aturan-aturan, dan gimana loe bisa ikut ambil bagian. Kata Haass, jangan cuma jadi “netizen paling update” tapi otaknya kosong. Be informed tuh artinya ngerti kenapa kebijakan dibuat, siapa yang diuntungin, dan sumber beritanya valid apa cuma hoaks yang dibungkus keren. Kalau warga negaranya gak ngerti apa-apa, demokrasi bisa dijajah opini buzzer dalam sekejap.
Kedua: get involved—nggak cukup jadi penonton, ayo terjun ke lapangan, ikut komunitas, ngobrol dengan tetangga, ikut diskusi, jangan cuma hashtag. Haass bilang, jadi warga negara itu bukan kayak nonton bola—tepuk tangan dari tribun doang. Loe kudu turun ke lapangan: nyoblos, ikut kegiatan sosial, atau minimal peduli sama sekitar. Demokrasi itu busuk kalau warganya cuma rebahan sambil ngeluh di kolom komentar.
Ketiga: stay open to compromise—stop nge-blok lawan politik loe, jangan kaku, karena kadang kita harus geser supaya semua bisa menang sebagian. Kata Haass, kalau semua orang pengin menang 100%, negara bakal jadi ajang adu ego, bukan rumah bersama. Kompromi itu bukan kalah, tapi pinter ngatur langkah biar semua bisa jalan bareng, kayak nego harga di warung tapi tetep temenan. 
Keempat: remain civil—meski beda pendapat, tetep santun; lawan idenya, bukan orangnya. Haass ngajarin: tetep sopan walau panas. Lawan argumen, bukan orangnya. Soalnya kalau debat udah jadi caci maki, negara bisa kayak kolom komentar TikTok—rame tapi kagak ada maknanya. 
Kelima: reject violence—kagak boleh lepas kendali atau pake kekerasan, jalan damai tetep nomor satu. Haass tegas: jangan bawa emosi ke jalanan. Demo boleh, ngamuk jangan. Demokrasi itu ruang adu ide, bukan adu pukul. Loe mau bener tapi kalau caranya brutal, hasilnya tetep ngerusak. 
Keenam: value norms—hargai aturan gak tertulis, tradisi, kebiasaan yang bikin bangsa kita tetep nyambung dan gak gampang terpecah-belah. Haass bilang, hukum emang penting, tapi norma itu lemnya demokrasi. Kalau semua orang cuma main literal “mana pasal yang dilanggar?”, tanpa etika dan rasa malu, negara bisa sah secara hukum tapi busuk secara moral. 
Ketujuh: promote the common good—jangan mikirin “gue-gue aja”, tapi gimana komunitas dan negara loe maju bareng-bareng. Haass ngajak kita buat mikir bareng: “Apa yang bikin semua sejahtera?”, bukan “Gue dapet apa?” Kalau cuma mikir diri sendiri, bangsa ini gak bakal naik level—cuma upgrade ego doang. 
Kedelapan: respect government service—hormatin mereka yang kerja di pemerintahan atau institusi publik, alih-alih mengabaikan mereka. Bila Richard Haass berbicara tentang “menghormati pelayanan pemerintah,” ia bukan sedang meminta kita untuk memuja para pejabat atau memberikan kesetiaan buta kepada penguasa. Yang ia maksud yalah menghormati institusi pelayanan publik itu sendiri—bahwa bekerja untuk negara, melayani masyarakat melalui pemerintahan, adalah tugas yang mulia dan amat penting. Haass menyesalkan bahwa di banyak negara demokrasi, termasuk Amerika Serikat, pandangan masyarakat terhadap birokrasi dan pejabat publik sudah berubah jadi sinis dan penuh cemooh. Akibatnya, orang-orang baik, jujur, dan kompeten enggan terjun ke pemerintahan, meninggalkan ruang kosong yang akhirnya diisi oleh mereka yang oportunis atau hanya mencari keuntungan pribadi.

Jadi, “menghormati pelayanan pemerintah” bukan berarti menutup mata terhadap kebusukan. Kita boleh, bahkan wajib, mengkritik pejabat yang korup, sombong, atau hidup berlebihan, tapi di saat yang sama tetep menghormati nilai dan fungsi pemerintahan sebagai pilar penting kehidupan bernegara. Haass yakin bahwa demokrasi hanya bisa bertahan kalau ada hubungan timbal balik yang sehat: rakyat menghargai pejabat yang jujur, dan pejabat membuktikan diri pantas dihargai lewat integritas dan keterbukaan. Kalau salah satu gagal—rakyat kehilangan kepercayaan, atau pejabat menyalahgunakan jabatan—kontrak sosial itu mulai retak. Kalau diterapkan di Indonesia, gagasan Haass ini bukan ajakan untuk membela para pejabat “tut tut wuk wuk” atau perilaku hedon mereka. Justru sebaliknya: kita diajak agar tetap menghargai makna “pengabdian publik,” sambil menuntut agar yang duduk di kursi kekuasaan bener-bener ngelayanin, bukan nikmatin. Respek, dalam arti ini, bukan sesuatu yang otomatis melekat pada jabatan, tapi sesuatu yang harus diperjuangkan melalui kejujuran, kesederhanaan, dan keberpihakan pada rakyat.

Kesembilan: support the teaching of civics—pendidikan kewarganegaraan itu penting, jangan diganti jadi “kursus netizen pro” aja. Haass bilang, kalau generasi muda gak ngerti cara kerja negara, gampang banget ditipu politisi drama. Pelajaran kewarganegaraan itu bukan jadul, tapi antivirus biar gak gampang ke-brainwash sama orasi yang keliatannya keren tapi bodong.
Dan terakhir: put country first—utamakan bangsa di atas geng loe, di atas label politik, karena negara yang sehat bikin kita semua aman dan sejahtera. Cinta negara bukan berarti nyembah tokoh politik atau partai, tapi jagain sistemnya biar tetep adil. Patriot sejati itu berani bilang “stop” bahkan ke kubunya sendiri kalau udah nyerempet bahaya buat demokrasi.

Sepuluh kebiasaan warga negara ala Richard Haass, meskipun ditulis untuk konteks Amerika, sebenarnya sangat relevan dengan nilai-nilai dasar Indonesia, khususnya prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan gagasan Kewarganegaraan Aktif. Intinya, Haass dan Pancasila sama-sama menekankan keseimbangan antara hak individu dan tanggungjawab sosial. Haass bilang demokrasi gak bakal bertahan kalau warga cuma minta hak tapi lupa kewajiban. Begitu juga Pancasila: prinsip pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) dan prinsip sosial seperti Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia mengingatkan bahwa warga punya kewajiban moral dan sosial, bukan sekadar hak semata.
Kebiasaan seperti menjadi warga yang tahu informasi (be informed) dan aktif terlibat (get involved) sejalan dengan Kewarganegaraan Aktif, yang mendorong orang Indonesia agar ikut serta secara sadar dalam kehidupan politik, sosial, dan sipil. Di kedua kerangka ini, partisipasi aktif bukan opsional, tapi krusial untuk menjaga demokrasi sehat. Begitu juga, ajakan Haass agar tetap sopan (remain civil), menolak kekerasan (reject violence), dan mau kompromi (stay open to compromise) sejalan dengan prinsip Musyawarah untuk Mufakat di Indonesia, yang menekankan dialog dan menghormati pendapat orang lain sebagai cara menjaga persatuan dan ketertiban sosial.
Konsep Haass tentang menghargai norma, mendorong kebaikan bersama, dan menghormati pelayanan pemerintah bisa dikaitkan dengan nilai Pancasila seperti persatuan (Persatuan Indonesia) dan keadilan sosial (Keadilan Sosial). Di Indonesia, menghormati pelayanan pemerintah bisa dipahami bukan sebagai taklid buta, tapi menghargai ide pengabdian publik sambil tetap menuntut pejabat berlaku jujur—perspektif ini bisa menengahi skeptisisme publik terhadap birokrasi. Terakhir, ajakan Haass agar mendukung pendidikan kewarganegaraan dan menempatkan negara di atas segalanya, sejalan dengan semangat Pancasila tentang kewarganegaraan yang berkesadaran, mengingatkan bahwa loyalitas kepada bangsa harus lebih penting daripada kepentingan partai atau pribadi.
Kesimpulannya, sepuluh kebiasaan Haass dan nilai-nilai Pancasila serta Kewarganegaraan Aktif saling memperkuat. Keduanya menggalakkan visi warga yang aktif, berbasis moral, dan peduli pada kebaikan bersama. Tantangan di Indonesia bukan karena prinsip-prinsip ini tidak ada, tapi karena penerapannya belum konsisten, sehingga dibutuhkan penguatan budaya, pendidikan, dan institusi guna membentuk warga yang benar-benar terinformasi, bertanggungjawab, dan berdedikasi pada demokrasi.

[Bagian 2]