Rabu, 26 November 2025

Konflik Kepentingan (4)

Kontroversi seputar kawasan bandara Morowali, dimana aparat negara semisal polisi dan petugas bea cukai dilaporkan tidak hadir, menyoroti sebuah perjalanan sejarah yang mengkhawatirkan, dimana kawasan industri tertentu dibiarkan beroperasi dengan otonomi luar biasa demi mengejar investasi asing, khususnya dari China. 
Pada kenyataannya, hanya ada satu entitas politik yang secara resmi menyebut dirinya “China”, tetapi konflik muncul pada siapa yang berhak mewakilinya. Setelah Perang Saudara Tiongkok berakhir pada tahun 1949, Partai Komunis mendirikan the People’s Republic of China (PRC) atau Republik Rakyat China (RRC) di Beijing, sementara pemerintah Nasionalis yang kalah mundur ke Taiwan dan tetap menyebut dirinya Republik of China (ROC). Kedua pemerintahan tersebut awalnya sama-sama mengklaim sebagai penguasa sah seluruh wilayah China, termasuk daratan utama dan Taiwan, sehingga muncullah kesan bahwa ada “dua China.” Seiring waktu, komunitas internasional secara besar-besaran mengakui Republik Rakyat China sebagai satu-satunya perwakilan China di Perserikatan Bangsa-Bangsa, terutama setelah tahun 1971 ketika kursi PBB yang sebelumnya dipegang Republik China dialihkan ke RRC. Akibatnya, RRC bersikeras pada prinsip “Satu China,” yang menyatakan bahwa Taiwan merupakan bagian dari China, sementara Taiwan punya pemerintahan, militer, sistem hukum, dan institusi demokrasi sendiri, sehingga secara praktik berfungsi sebagai negara terpisah.

Secara etnis, mayoritas masyarakat, baik di China daratan maupun di Taiwan, adalah Han Chinese, yang berarti bahwa dari perspektif biologis atau etnis, mereka dapat disebut “Chinese.” Dalam pengertian ini, orang Taiwan juga termasuk dalam kategori etnis “Chinese.” Namun, dalam hal kewarganegaraan, politik, dan identitas nasional, orang Taiwan biasanya mengidentifikasi diri mereka sebagai Taiwanese. Mereka memegang paspor Republik of China (ROC), memiliki pemerintahan sendiri, dan menjalankan sistem demokrasi yang berbeda dari Republik Rakyat China (RRC). Makanya, dalam wacana internasional modern, istilah Chinese umumnya merujuk pada warga RRC atau orang yang berasal dari daratan China, sedangkan Taiwanese merujuk pada warga Taiwan (ROC), yang secara politik terpisah dari RRC. Walau secara etnis mereka adalah Han Chinese, secara kewarganegaraan dan identitas politik mereka adalah Taiwanese, bukan “Chinese” dalam artian sebagai warga RRC.

Republik Rakyat China (RRC / People’s Republic of China – PRC) didirikan oleh Partai Komunis China pada 1 Oktober 1949 di Beijing, setelah berakhirnya Perang Saudara Tiongkok. RRC menguasai daratan China, termasuk Hong Kong dan Makau, meskipun kedua wilayah terakhir memiliki status Kawasan Administratif Khusus (SAR). Secara internasional, ketika orang menyebut “China,” yang dimaksud secara resmi adalah RRC. RRC menegaskan prinsip “Satu China,” yang menyatakan bahwa Taiwan adalah bagian dari wilayahnya, meskipun secara praktis RRC tidak mengendalikan pemerintahan di Taiwan.
Republik of China (ROC / Taiwan) merupakan pemerintahan yang sebelumnya menguasai seluruh China sebelum kalah dalam Perang Saudara. Setelah 1949, ROC mundur ke pulau Taiwan dan tetap beroperasi di sana. ROC mengendalikan Taiwan, Kepulauan Penghu, Kinmen, Matsu, dan beberapa pulau kecil sekitarnya. ROC punya sistem pemerintahan sendiri, termasuk presiden, legislatif, yudikatif, militer, ekonomi, dan demokrasi politik modern.
Dalam hal terminologi, ketika secara umum disebut “China,” biasanya orang merujuk pada RRC, karena RRC telah menjadi perwakilan sah China di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan diplomasi internasional sejak 1971. Ketika menyebut “Taiwan,” yang dimaksud adalah wilayah yang dikelola oleh ROC, yang kadang-kadang secara informal disebut “Republik Taiwan” dalam percakapan populer, meskipun nama resmi tetap ROC.

Kesimpulannya, China = RRC (People’s Republic of China), pengakuan internasional resmi, sedangkan Taiwan = ROC (Republic of China), de facto negara merdeka dengan pemerintahan sendiri.

Taiwan tidak berada di bawah kekuasaan Republik Rakyat China (RRC). Secara praktis, Taiwan memiliki pemerintahannya sendiri, yaitu Republik of China (ROC), serta militer, sistem hukum, dan ekonomi yang sepenuhnya terpisah dari Beijing. RRC mengklaim Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya dan menekankan prinsip “Satu China,” tetapi klaim ini bersifat politik dan diplomatik, bukan mencerminkan realitas pemerintahan di pulau tersebut. Dengan kata lain, meskipun RRC secara resmi menyatakan Taiwan sebagai wilayahnya, Taiwan beroperasi de facto sebagai negara merdeka, dan RRC tak memiliki kendali administratif, legislatif, maupun militer atas pulau tersebut.

Dalam wacana internasional kontemporer, istilah “China” lebih tepat dan lebih dikenal luas ketimbang “Tiongkok.” Sementara “Tiongkok” merupakan transliterasi historis dan tradisional yang digunakan terutama dalam teks-teks lama Indonesia dan karya sastra klasik, “China” telah menjadi istilah baku dalam diplomasi, hukum internasional, dan media global. Dokumen resmi, perjanjian internasional, dan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa secara konsisten menggunakan “China” untuk merujuk pada Republik Rakyat China (RRC), mencerminkan konsensus global mengenai legitimasi politik dan pengakuan internasionalnya.
Selain itu, penggunaan istilah “China” sejalan dengan praktik global kontemporer, sehingga mempermudah komunikasi yang jelas dalam konteks akademik, ekonomi, dan politik. Misalnya, dalam perjanjian perdagangan, laporan internasional, atau operasi perusahaan multinasional, istilah “China” dipahami secara universal, sedangkan “Tiongkok” dapat menimbulkan kebingungan bagi penutur non-Indonesia dan tak muncul dalam dokumen resmi internasional. Dengan demikian, meskipun “Tiongkok” masih memiliki resonansi budaya dan historis di Indonesia, “China” lebih akurat, praktis, dan diakui secara internasional di era modern, sehingga memastikan konsistensi dan kejelasan dalam wacana global.

Secara legal dan diplomatik, sebagian besar negara hanya mengakui satu China—yakni Republik Rakyat China—seraya menjalin hubungan informal atau tidak resmi dengan Taiwan. Namun secara praktik, Taiwan beroperasi secara mandiri dan tidak menerima pemerintahan dari Beijing, sehingga memunculkan keadaan unik dimana satu entitas berfungsi layaknya negara berdaulat tanpa pengakuan diplomatik luas. Kebenarannya bukan bahwa ada dua China, melainkan bahwa ada satu China yang diakui secara internasional dan satu entitas yang memerintah dirinya sendiri serta mengklaim kesinambungan sejarah, sehingga memicu sengketa berkepanjangan tentang kedaulatan dan identitas.

Nah, balik ke persoalan Morowali. Akar dari pengaturan ini dapat ditelusuri kembali ke akhir 2010-an, ketika pemerintah Indonesia meresmikan kawasan industri nikel dan baja nirkarat berskala besar di Morowali melalui perjanjian kerja sama dengan perusahaan yang berafiliasi dengan negara China semisal Tsingshan Group. Perjanjian-perjanjian ini dilegalkan melalui peraturan presiden tentang proyek strategis nasional dan kawasan ekonomi khusus, yang pada praktiknya memberikan kewenangan operasional yang biasanya hanya dimiliki negara, termasuk pengelolaan keamanan dan kontrol logistik.
Proses ini semakin diperkuat oleh doktrin percepatan hilirisasi, dimana investor asing diberikan berbagai konsesi besar dengan imbalan aliran modal dan transfer teknologi. Akibatnya, muncul sistem keamanan perusahaan dan akses yang dikendalikan korporasi sebagai pengganti kehadiran formal negara, menciptakan struktur tatakelola hybrid dimana negara Indonesia menyerahkan kewenangan praktis kepada entitas korporasi yang didukung asing. Fakta bahwa fungsi keimigrasian, kepabeanan, dan kepolisian kabarnya dapat dikelola secara internal oleh perusahaan menunjukkan kompromi kelembagaan yang sangat serius, mengaburkan batas antara kedaulatan nasional dan ketergantungan komersial.

Implikasinya bagi Indonesia sangat luas. Secara politik, pengaturan seperti ini melemahkan monopoli negara atas otoritas yang sah, sehingga memperkuat anggapan bahwa kawasan tersebut merupakan “negara dalam negara.” Secara ekonomi, hal ini memperdalam ketergantungan struktural pada modal dan rantai pasok yang dikendalikan China, terutama dalam industri baterai dan kendaraan listrik global. Secara sosial, kondisi ini berisiko memarginalkan masyarakat dan tenaga kerja lokal, yang mungkin tidak tunduk pada sistem hukum Indonesia, melainkan pada aturan korporasi yang ditegakkan tanpa akuntabilitas demokratis. Secara strategis, situasi ini menimbulkan kekhawatiran mengenai keamanan nasional, karena enklave industri yang terhubung dengan pihak asing dan sulit diakses oleh negara berpotensi berfungsi sebagai pijakan geopolitik.

Kasus Bandara Morowali sangat mungkin dianalisis melalui lensa konflik kepentingan, baik secara institusional maupun pribadi, dan memang layak dibahas secara komprehensif. Secara historis, bandara ini berada di kawasan industri nikel yang sebagian besar dikendalikan oleh investor asing, khususnya perusahaan China, yang memperoleh konsesi luas dari pemerintah Indonesia semasa rezim Jokowi. Konsesi tersebut mencakup pengelolaan fasilitas strategis seperti bandara yang secara fungsional mendukung kegiatan industri mereka. Dalam konteks ini, konflik kepentingan muncul ketika aparat negara yang bertanggungjawab atas keamanan, imigrasi, dan kepabeanan justru tidak hadir atau dilemahkan, padahal keputusan memberikan keleluasaan tersebut dibuat atau disetujui oleh pejabat negara.
Konflik institusional muncul ketika lembaga negara seperti kepolisian dan bea cukai, yang seharusnya memiliki kewenangan penuh untuk mengawasi seluruh bandara, justru melihat kewenangannya secara de facto bergeser ke pihak swasta akibat konsesi industri. Situasi ini merupakan contoh konflik antara tugas negara dan tekanan atau imbalan dari investor. Pada tingkat pribadi atau politik, konflik kepentingan semakin terlihat apabila pejabat yang menyetujui konsesi tersebut memperoleh keuntungan langsung atau tidak langsung—semisal dukungan politik, kemudahan bisnis, atau proyek tertentu—sehingga kepentingan pribadi lebih diutamakan daripada kepentingan publik.
Ada pula dimensi strategis dan geopolitik, karena banyak perusahaan pengelola terhubung dengan jaringan China, sehingga muncul risiko kepentingan ekonomi dan politik asing bertabrakan dengan kedaulatan nasional. Dalam hal ini, konflik kepentingan hadir pada level keamanan dan strategi negara, ketika keputusan atau regulasi pemerintah dapat terwarnai agenda asing.
Dengan demikian, kasus ini bukan sekadar persoalan operasional bandara, melainkan simbol interaksi konflik kepentingan antara pemerintah, investor asing, dan aparat negara. Analisis ala Dennis F. Thompson, misalnya, akan menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, serta mekanisme checks and balances, karena pelemahan pengawasan negara membuka peluang bagi kepentingan pribadi atau korporasi yang akan bertentangan dengan kepentingan publik.

Sudah terdokumentasi dengan baik bahwa kompleks IMIP (PT Indonesia Morowali Industrial Park) mempekerjakan sejumlah besar pekerja asing, yang sebagian besar berasal dari China. Kantor berita bereputasi, laporan perusahaan, dan penelitian akademik mengonfirmasi bahwa ribuan pekerja China telah didatangkan dalam beberapa tahun terakhir untuk mendukung operasi industri berbasis nikel di kawasan tersebut. Dalam konteks ini, sangat masuk akal bahwa arus pekerja asing yang besar memanfaatkan bandara atau fasilitas transportasi yang terhubung dengan kawasan industri tersebut.
Dari sudut pandang risiko geopolitik, kemungkinan bahwa personel asing dapat masuk ke Indonesia melalui Morowali tanpa pengawasan negara memunculkan prospek mengkhawatirkan tentang adanya pengaruh senyap yang tertanam dalam infrastruktur industri vital. Jika skenario ini terbukti, risiko jangka pendek akan terlihat dalam ledakan kemarahan publik dan ketidakstabilan politik, ketika masyarakat mulai mempertanyakan apakah pemerintah masih mengendalikan penuh perbatasan dan aset strategisnya. Seiring waktu, risikonya bergeser menuju ketergantungan struktural, di mana operasi industri Indonesia, terutama sektor nikel dan baterai listrik, semakin bergantung pada keahlian, jaringan logistik, dan aliran modal asing. Ketergantungan ini dapat memberi sebuah kekuatan asing pengaruh yang cukup besar untuk membentuk keputusan kebijakan Indonesia, terutama terkait sengketa maritim, kerja sama keamanan regional, dan arah perdagangan. Dalam skenario jangka panjang yang paling parah, Indonesia dapat menemukan dirinya perlahan-lahan bergeser ke dalam lingkup pengaruh geopolitik negara lain, bukan melalui penaklukan militer, melainkan melalui keterikatan ekonomi dan penetrasi infrastruktur.
Fakta bahwa sebuah bandara—di dalam kawasan industri besar—telah beroperasi selama bertahun-tahun tanpa pengawasan negara merupakan kegagalan tatakelola yang serius. Risiko potensial meliputi imigrasi ilegal, penyelundupan barang atau bahan berbahaya, eksploitasi tenaga kerja, kerusakan lingkungan, dan erosi kedaulatan negara. Ketidakjelasan dan kurangnya transparansi menciptakan lahan subur bagi penyalahgunaan atau operasi rahasia, yang tentu saja memicu kecemasan publik.

Perdebatan mengenai Morowali sebagai “negara dalam negara” mencerminkan kecemasan yang lebih dalam tentang kedaulatan, bukan tentang penyebaran ideologi komunis. Komunisme sebagai ideologi global sebagian besar telah kehilangan daya tariknya, dan China tidak lagi mengekspor komunisme dalam pengertian klasik. Sebaliknya, Partai Komunis China menggunakan kerangka politiknya untuk mempertahankan kendali negara dan mengamankan pengaruh ekonomi dan geopolitik, alih-alih menyebarkan doktrin Marxis.
Kemunduran komunisme sebagai ideologi global terlihat jelas dari transformasi China selama empat dekade terakhir. Analisis akademik menunjukkan bahwa krisis legitimasi pada akhir 1970‑an dan 1980‑an memaksa Partai Komunis China meninggalkan gagasan mengekspor komunisme revolusioner. Sebagai gantinya, Partai mengadopsi reformasi pasar ala Deng Xiaoping, menciptakan sistem hibrida yang sering disebut kapitalisme negara. Sistem ini mempertahankan monopoli politik Leninist, tetapi bertumpu pada pragmatisme ekonomi, bukan pada penyebaran ideologi.
Survei menunjukkan bahwa ideologi sosialis resmi hanya relevan bagi pejabat Partai dan mereka yang dekat dengan pusat kekuasaan, sementara warga biasa, pelaku bisnis, dan mahasiswa sering menganggapnya tidak relevan. Hal ini menegaskan bahwa komunisme sebagai sistem keyakinan tak lagi berfungsi sebagai kekuatan mobilisasi massa. Ideologi kini lebih dipakai sebagai alat kontrol internal, menjaga loyalitas dalam Partai dan menekan oposisi, bukan sebagai komoditas ekspor.
Pengamat seperti Minxin Pei menilai bahwa China telah kembali pada bentuk neo‑Stalinis, dimana ideologi bukan lagi soal keyakinan, melainkan legitimasi bagi pemerintahan otoriter. Dengan demikian, Partai Komunis tidak “menjual komunisme” ke luar negeri; yang dijual adalah kemitraan ekonomi, proyek infrastruktur, dan pengaruh strategis. Label komunisme dipertahankan di dalam negeri untuk membenarkan sistem satu partai, tetapi di luar negeri ambisi China adalah menguasai sumber daya, pasar, dan leverage politik.
Kesimpulannya, komunisme saat ini bukanlah produk yang dipasarkan China ke dunia. Ia hanya berfungsi sebagai instrumen domestik untuk kontrol, sementara ekspor nyata China adalah kekuatan ekonomi dan pengaruh geopolitik.

Kehadiran besar perusahaan‑perusahaan China di industri nikel dan baja telah menuai sebuah enklave yang tampak beroperasi dengan pengawasan terbatas dari otoritas Indonesia, khususnya terkait bea cukai dan imigrasi. Situasi ini memunculkan kecurigaan bahwa China tak semata mengekspor modal, melainkan pula berusaha memproyeksikan pengaruh dengan cara yang melemahkan kontrol nasional. Namun, penting membedakan antara dominasi ekonomi dan penetrasi ideologi. China kontemporer tak mengekspor komunisme dalam artian klasik; sebaliknya, ia menjalankan bentuk kapitalisme negara yang menggabungkan mekanisme pasar dengan kontrol pemerintah yang kuat. Risiko nyata di Morowali terletak pada ketergantungan ekonomi, melemahnya otoritas negara, dan munculnya enklave industri yang berfungsi di luar jangkauan institusi nasional. 

Enklave merujuk pada sebuah wilayah atau area yang secara geografis dikelilingi oleh negara atau otoritas lain, namun tetap berada di bawah kekuasaan atau administrasi yang berbeda. Istilah ini dapat menggambarkan wilayah berdaulat yang sepenuhnya dikelilingi oleh negara lain, atau sebuah zona kecil dalam sebuah negara yang memiliki aturan hukum, ekonomi, atau politik yang terpisah.
Dalam penggunaan modern, istilah ini juga digunakan secara metaforis untuk menggambarkan sebuah kawasan di mana kelompok asing memiliki pengaruh eksklusif atau menjalankan aturan yang berbeda dari negara tempatnya berada.
Sebagai contoh, sebuah kawasan industri yang dikelola oleh pihak asing dan mengatur sendiri keamanan, imigrasi, serta akses keluar-masuk tanpa pengawasan efektif dari negara dapat disebut sebagai enklave, karena berfungsi seperti ruang semi-otonom di dalam suatu negara. Inti dari konsep enklave adalah keterpisahan: secara hukum, administratif, budaya, atau operasional, wilayah tersebut berdiri terpisah dari lingkungan sekitarnya meskipun secara fisik berada di dalamnya.

Keberadaan sebuah enklave di dalam suatu negara membawa bahaya besar terhadap keutuhan negara, terutama ketika enklave tersebut beroperasi dengan aturan, otoritas, atau pengaruh yang berbeda dari pemerintahan nasional. Bahaya paling mendasar adalah erosi terhadap kedaulatan negara. Ketika sebuah wilayah di dalam negeri menjalankan keamanan, kontrol imigrasi, atau administrasi sendiri yang bukan melalui lembaga negara, maka negara secara efektif kehilangan kewenangan atas sebagian wilayahnya sendiri. Hal ini menciptakan preseden bahwa monopoli kekuasaan yang sah—yang menjadi dasar utama sebuah negara modern—dapat terpecah.
Bahaya lain muncul dari melemahnya kohesi teritorial. Enklave dapat berkembang menjadi ruang dimana hukum nasional tak diterapkan secara merata, sehingga muncul pluralisme hukum yang merusak kepastian hukum. Jika orang atau entitas di dalam enklave menikmati privilese yang tidak dimiliki warga di luar, maka rasa iri, ketidakadilan, dan perpecahan sosial bisa semakin dalam. Dalam jangka panjang, enklave dapat menjadi terpisah secara budaya atau politik, membentuk identitas paralel yang menantang persatuan nasional.
Enklave yang dikendalikan atau sangat dipengaruhi oleh aktor asing menambah risiko yang lebih besar. Wilayah semacam ini dapat menjadi jalur untuk dominasi ekonomi, pengaruh politik terselubung, atau bahkan aktivitas militer dan intelijen. Ketika kepentingan asing menguasai secara de facto infrastruktur strategis—seperti pelabuhan, bandara, atau kawasan industri—negara dapat menjadi bergantung pada kekuatan eksternal bagi fungsi vital, sehingga melemahkan kemampuan mengambil keputusan secara mandiri. Dalam kasus ekstrem, sebuah enklave dapat berkembang menjadi “negara dalam negara,” dimana pemerintah tak mampu menegakkan hukum, mengatur pergerakan, atau menjamin keamanan.
Terakhir, bahaya simbolik juga sangat penting. Persepsi publik bahwa ada bagian negara yang tak lagi berada di bawah kendali pemerintah dapat memicu ketidakpercayaan, nasionalisme ekstrem, dan instabilitas politik. Kekuatan asing dapat menggunakannya sebagai alat tekanan atau tawar-menawar. Dengan demikian, keberadaan enklave tak hanya mengancam keutuhan fisik dan administratif negara, tetapi juga kohesi psikologis dan politiknya.

[Bagian 5]
[Bagian 3]