Jumat, 28 November 2025

Konflik Kepentingan (6)

Kalau Indonesia sedang lantang-lantangnya membela hak kemerdekaan Palestina dari agresi Zionis Israel, lalu tiba-tiba ketua sebuah organisasi keagamaan di Indonesia malah mengundang pembicara Zionis—apalagi yang konon “sahabat dekatnya”—publik ya pasti langsung geleng-geleng kepala. Tindakan begitu seolah-olah menusuk jantung sikap politik Indonesia sendiri, bukan cuma sebagai urusan diplomasi, tapi sebagai prinsip moral yang sudah tertulis dalam konstitusi: menolak kolonialisme dalam bentuk apa pun. Kesan yang muncul: kok seperti urusan pertemanan pribadi lebih penting daripada prinsip negara? Atau jangan-jangan, jaringan pertemanan seseorang tiba-tiba menggeser komitmen moral seluruh umat?
Di mata masyarakat, langkah itu hampir pasti dianggap sebagai bentuk normalisasi halus—kayak usaha memasukkan agenda kompromi lewat pintu belakang dengan alasan “dialog” atau “tukar pikiran”. Dan ini memunculkan pertanyaan lebih dalam: apakah para elit tertentu sudah semakin jauh dari perasaan rakyat biasa, yang solidaritasnya kepada Palestina justru jadi salah satu sikap paling kompak di Indonesia modern. Sang ketua organisasinya mungkin akan berdalih bahwa dialog itu penting, atau bahwa mendengar “sisi lain” itu sehat secara intelektual, tapi melihat kondisi Gaza yang penuh kekerasan, penjajahan, dan penderitaan kemanusiaan, alasan begitu rasanya justru kedengaran enggak peka.
Kejadian ini akan dibaca bukan hanya sebagai kekeliruan, tapi sebagai retakan simbolik dalam kesatuan moral bangsa. Ia menandakan bahwa bahkan lembaga yang mestinya jadi penjaga etika pun bisa goyah ketika masuk urusan pertemanan dan ambisi pribadi. Dalam arti itu, kontroversinya lebih memamerkan rapuhnya integritas sebagian elite ketimbang kerumitan geopolitik yang mereka jadikan alasan.

Secara sosial, kejadian ini akan membuat banyak orang Indonesia merasa seperti ada yang “gak nyambung”. Selama ini Palestina itu bukan isu luar negeri biasa—tapi amanah moral yang nyatu di hati rakyat dari Sabang sampai Merauke. Begitu muncul ketua ormas yang malah kirim undangan ke pembicara Zionis, rasa kebersamaan itu langsung retak. Orang-orang akan mulai bertanya-tanya: mulai kehilangan arah moralkah para elit yang selama ini jadi identitas Indonesia di mata dunia? Obrolannya bakal ramai mulai dari tongkrongan warung kopi, majelis taklim, sampai linimasa X dan TikTok.
Media hampir pasti ikut mengeraskan efeknya. Media independen bakal membingkainya sebagai pelanggaran etika yang “gak masuk akal”, menunjukkan betapa jauhnya elite dari suara rakyat. Media arus utama yang lebih dekat ke penguasa mungkin akan memilih narasi halus—semacam “dialog itu jembatan perdamaian”—tapi arus besarnya tetap kontroversi. Sementara itu, media sosial bakal pecah dua kubu: satu kubu menuding ketua ormas itu sebagai pengkhianat solidaritas nasional; kubu satunya yang biasanya pro-elit akan mencoba merapikan keadaan dengan alasan teknokratis tentang “engagement” atau “melihat kedua sisi”.
Dalam spektrum politik Indonesia, reaksinya akan menunjukkan garis ideologinya dengan sangat jelas. Organisasi Islam yang sejak dulu pro-Palestina pasti menganggap ini sebagai penyimpangan moral. Kelompok nasionalis akan menyebutnya ancaman terhadap identitas anti-kolonial Indonesia. Aktivis progresif akan melihatnya sebagai contoh lain dari kemunafikan elit yang makin hari makin terlihat hidup dari patronase dan jaringan pribadi. Bahkan kelompok konservatif, yang biasanya menghindari isu luar negeri, kemungkinan akan ikut menjauh karena takut dicap tidak sejalan dengan rakyat.

Implikasinya dapat menambah tekanan yang cukup berat bagi kerja keras Presiden Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Meski undangan pembicara Zionis itu bukan tindakan resmi negara, kesannya jadi seperti ada kegamangan internal—seakan-akan bagian dari masyarakat sipil Indonesia tiba-tiba tidak seirama dengan moral politik luar negeri Presiden. Ini bisa mengurangi wibawa Indonesia di mata negara-negara Timur Tengah yang selama ini melihat Indonesia sebagai suara yang tegas membela Palestina. Di dalam negeri, Presiden mungkin terpaksa tampil lebih lantang menegaskan sikapnya demi meredakan keresahan rakyat dan menunjukkan bahwa arah moral bangsa tetap lurus. Intinya, kejadian ini memperlihatkan betapa rapuhnya solidaritas nasional ketika pertemanan pribadi dan ego elit menabrak perjuangan historis yang menuntut komitmen tanpa keraguan.

Dari sudut pandang strategi politik, lawan-lawan sang ketua pasti langsung mencium peluang emas. Keputusan mengundang pembicara Zionis itu bisa dijadikan amunisi untuk meruntuhkan legitimasinya dan mencoreng wibawa moral lembaga yang ia pimpin. Politisi oposisi bisa menarasikan bahwa ia bukan penjaga yang bisa dipercaya untuk meneruskan perjuangan solidaritas Indonesia kepada Palestina. Mereka tinggal menyentil bahwa sang ketua ini rentan dipengaruhi ideologi asing atau terlalu mengikuti ego pribadi dengan dalih “keterbukaan intelektual”. Tak perlu dilebihkan—isu Palestina sendiri sudah cukup emosional untuk membesar-besarkan kritiknya. Akhirnya, kontroversi ini bisa dipakai untuk menyerang tak hanya kemampuan judgement-nya, tapi juga kesetiaannya pada nilai-nilai yang jadi perekat bangsa.
Dalam jangka panjang, ormas yang dipimpinnya bakal menghadapi turbulensi reputasi. Ormas di Indonesia hidup bukan hanya dari struktur organisasi, tapi dari modal moral. Kalau modal moral itu retak, membangun ulang kepercayaan publik bakal berat. Anggotanya bisa pecah dua: anak-anak muda yang menuntut akuntabilitas versus senior-senior yang ingin mengecilkan masalah. Kalau perpecahan ini dibiarkan, ormas itu bisa pelan-pelan kehilangan pengaruh, terutama di saat Indonesia butuh suara moral yang solid. Donatur, lembaga mitra, sampai jaringan komunitas pun bisa mulai ragu berafiliasi dengan ormas yang dianggap labil secara ideologis.
Dari sisi Palestina, responsnya mungkin halus tapi jelas bermakna. Pedoman mereka biasanya: tetap menghargai dukungan Indonesia selama puluhan tahun, tapi juga mengungkapkan keprihatinan atas simbolisasi langkah seperti ini. Para diplomat dan aktivis Palestina sangat peka terhadap perubahan angin global, jadi sekecil apa pun tanda bahwa Indonesia sedang “melunak” bisa membuat mereka kecewa. Respons resmi mungkin tetap sopan—ucapan terima kasih disertai pesan “tolong jaga konsistensi solidaritas”. Tapi di balik layar, para aktivis dan intelektual Palestina mungkin bertanya-tanya: “Kenapa negara yang paling lantang membela kami tiba-tiba punya celah seperti ini?” Hasilnya adalah muncul rasa ragu tipis, walau bukan keretakan permanen, terhadap keteguhan moral Indonesia.
Pada akhirnya, kejadian ini berubah menjadi pelajaran besar tentang rapuhnya otoritas moral lembaga politik dan keagamaan. Hanya karena satu keputusan pribadi, dampaknya bisa merembet ke mana-mana: merusak posisinya di politik domestik, menggerus kredibilitas ormas, dan bahkan menggetarkan sedikit rasa percaya dari rakyat yang sedang berjuang untuk sebuah kemerdekaan.

Kalau dilihat dari kacamata buku Conflict of Interest in the Professions karya Michael Davis dan Andrew Stark, kasus ketua ormas yang mengundang pembicara Zionis ini benar-benar pas masuk kategori konflik kepentingan versi akademik. Buku tersebut menegaskan bahwa konflik kepentingan itu bukan cuma urusan industri, bisnis, dokter, atau pengacara—tapi bisa muncul di profesi apa pun yang memegang trust dari publik, termasuk pemimpin agama. Artinya, ketika seseorang duduk di kursi keagamaan, publik berharap ia mengambil keputusan berdasarkan nilai moral lembaganya, bukan berdasarkan pertemanan, preferensi pribadi, atau ego.
Dengan kacamata Davis dan Stark, masalah besar dari tindakan sang ketua bukan sekadar “tidak sensitif”, melainkan karena ia memegang posisi yang punya tanggungjawab fiduciary tinggi: menjaga integritas moral masyarakat, menjaga konsistensi ajaran, dan memastikan lembaga tetap berada di garis etisnya. Begitu ada pertemanan pribadi—apalagi dengan figur Zionis—yang ikut mempengaruhi keputusan publik, langsung terjadi apa yang disebut para editor buku itu sebagai role conflict: benturan antara kewajiban jabatan dan kepentingan pribadi. Walaupun jika tiada uang korupsi, tiada transaksi gelap, atau tiada pengkhianatan eksplisit, sekadar penampakan loyalitas yang terbelah saja sudah cukup merusak. Dan masalahnya, ada selentingan dugaan pencucian uang senilai Rp. 100 milyar.
Dalam logika Davis dan Stark, pelanggarannya bukan karena ada dosa finansial, tetapi karena ia menciptakan ambiguitas dalam peran yang seharusnya sangat jelas. Mereka menulis bahwa konflik kepentingan merusak karena membuat publik bertanya-tanya: “Dia ini sedang mewakili lembaga, atau sedang mewakili diri sendiri?” Nah, inilah persis yang terjadi: masyarakat jadi bingung apakah ketua ini sedang menjalankan amanah umat atau sedang memenuhi keinginan pribadi. Kebingungan ini, kata buku tersebut, adalah bentuk kerusakan institusi yang paling berbahaya: hilangnya otoritas moral, runtuhnya kepercayaan publik, dan kemungkinan misi lembaga jadi melenceng karena ego individu.
Kasus ini mengingatkan kita bahwa lembaga agama sama rentannya dengan dunia korporasi atau pemerintah dalam soal konflik kepentingan. Beban moral yang mereka emban jauh lebih berat—makanya langkah kecil saja bisa bikin kegaduhan besar. Keputusan sang ketua memperlihatkan betapa cepatnya integritas lembaga keagamaan bisa goyah jika kepentingan pribadi diberi ruang lebih besar daripada tanggungjawab moral.

Konflik kepentingan berulangkali membentuk hasil sejarah dengan merajai keputusan di level kekuasaan tertinggi. Salah satu contoh paling jelas adalah krisis keuangan global 2008. Eksekutif di institusi keuangan besar punya kepentingan pribadi dalam sekuritas berbasis hipotek berisiko tinggi sekaligus mempengaruhi strategi perusahaan. Komitmen ganda mereka—memaksimalkan keuntungan pribadi dan institusi—mendorong praktik pinjaman berisiko, produk keuangan yang tidak transparan, dan akhirnya keruntuhan ekonomi global. Krisis ini mengubah ekonomi di seluruh dunia, memicu pengangguran massal, dan menimbulkan reformasi regulasi seperti Dodd-Frank Act di Amerika Serikat.
Ilustrasi sejarah lain adalah skandal Watergate di Amerika Serikat (1972–1974). Pejabat penting dalam pemerintahan Nixon membiarkan loyalitas pribadi dan politik mengalahkan kewajiban hukum dan etis. Konflik kepentingan mereka—antara menjaga diri, loyalitas partai, dan tanggungjawab konstitusional—menyebabkan penutup-nutupan dan penyalahgunaan kekuasaan. Skandal ini tak hanya memaksa pengunduran diri seorang presiden AS, tetapi juga memperkuat mekanisme pengawasan institusional Amerika, merombak norma akuntabilitas politik.
Di bidang korporasi dan politik, keruntuhan Enron pada 2001 menunjukkan bagaimana konflik kepentingan dapat berdampak nasional dan global. Eksekutif yang berperan ganda sebagai auditor dan konsultan memanipulasi praktik akuntansi demi keuntungan pribadi. Peran ganda ini merusak transparansi, menyebabkan kerugian besar bagi investor, dan mendorong perubahan regulasi semisal Sarbanes-Oxley Act, yang mengubah standar tatakelola perusahaan secara global.
Pun, dalam sejarah sains, konflik kepentingan mempengaruhi keputusan global. Contohnya, perusahaan farmasi yang merajai riset obat berbahaya—semisal kasus Vioxx—menunda intervensi regulatori, mempengaruhi keputusan kesehatan publik, dan menyebabkan ribuan kematian yang seharusnya bisa dicegah.
Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa konflik kepentingan bukan sekadar abstraksi etis; semuanya bisa membentuk ulang ekonomi, struktur pemerintahan, kepercayaan publik, bahkan nyawa manusia secara global. Sejarah membuktikan bahwa loyalitas ganda dan peran tumpang-tindih yang tak terkendali, acapkali memperbesar konsekuensi, jauh melampaui individu yang terlibat.

Buku Conflict of Interest in the Professions menjelaskan bahwa sektor jasa keuangan adalah arena yang paling rawan konflik kepentingan, karena seluruh industrinya berjalan di atas informasi yang timpang, tanggungjawab fiduciary yang berat, dan tekanan untuk mengejar keuntungan. Para penulis menunjukkan bahwa profesional di sektor keuangan sering berada dalam posisi yang menggabungkan otoritas memberi nasihat dengan peluang mendapatkan keuntungan pribadi, sehingga batas antara penilaian profesional dan kepentingan diri sendiri menjadi sangat tipis.
Buku ini menekankan bahwa arsitektur finansial modern—dari investment banking, auditing, analisis saham, underwriting, sampai fund management—punya ketegangan bawaan. Ketegangan ini muncul ketika profesional harus loyal kepada beberapa pihak sekaligus: klien yang ingin nasihat objektif, perusahaan yang mengejar untung, pasar yang menuntut transparansi, dan regulator yang menekan dengan aturan kehati-hatian. Menurut buku ini, konflik di sektor keuangan jarang tampil sebagai kejahatan terang-terangan; ia muncul sebagai distorsi halus dalam penilaian, ketika profesional membenarkan keputusan yang menguntungkan diri sendiri atas nama “logika pasar”.
Buku ini juga menjelaskan bahwa konflik di sektor keuangan makin parah karena mekanisme insentif jangka pendek, seperti bonus kinerja atau target akuisisi klien. Insentif semacam ini mendorong profesional mendahulukan karier atau pendapatan perusahaan daripada integritas fiduciary. Lebih parah lagi, perilaku seperti ini sering dianggap “normal industri”, sehingga makin sulit dideteksi karena lingkungannya sendiri memberikan legitimasi.
Beberapa penulis dalam buku ini turut menegaskan bahwa konflik kepentingan di sektor finansial sangat berbahaya karena berdampak sistemik. Ketika auditor juga menjadi konsultan bagi perusahaan yang sama, dikala para analis mempromosikan saham yang diam-diam mereka miliki, atau ketika investment bank memberi nasihat ke klien sambil melakukan trading yang merugikan klien tersebut, dampaknya tak hanya merugikan satu pihak—tetapi bisa mengguncang pasar. Buku ini memakai contoh-contoh tersebut untuk menunjukkan bagaimana kegagalan mengelola konflik bisa menghancurkan kepercayaan, merusak alokasi modal, dan bahkan memicu krisis ekonomi.
Buku ini melihat konflik kepentingan di sektor keuangan bukan semata-mata sebagai kegagalan moral individu, tetapi sebagai konsekuensi yang dapat diprediksi dari desain institusi. Regulasi, transparansi, dan pemisahan fungsi memang penting, namun tidak cukup; yang dibutuhkan adalah budaya profesional yang sadar betapa berbahayanya loyalitas yang terpecah, dan berani menahan diri meskipun aturan memungkinkan kelonggaran.

Sektor jasa keuangan Indonesia menunjukkan kerentanan struktural yang dibahas dalam Conflict of Interest in the Professions. Lembaga seperti bank BUMN, manajer investasi, auditor KAP, dan regulator seperti OJK beroperasi di jaringan kompleks peran, loyalitas, dan insentif yang memudahkan munculnya konflik kepentingan.
Pertama, bank BUMN mencontohkan konflik peran dan pengaruh. Para eksekutif harus menyeimbangkan kewajiban memaksimalkan nilai saham negara dengan tuntutan politik dari kementerian atau pejabat daerah. Tekanan ganda—untung versus mandat sosial/politik—bisa mendorong keputusan kredit yang menguntungkan pihak tertentu, bukan berdasarkan pertimbangan ekonomi. Ini sejalan dengan Baum: tumpang-tindih peran menimbulkan ketegangan etis struktural, dimana penilaian profesional bisa terganggu walau tak ada pelanggaran terang-terangan.
Kedua, manajer investasi dan administrator dana menghadapi commitment conflict. Mereka mengelola dana dari investor swasta maupun entitas pemerintah, sehingga terdorong memprioritaskan kinerja jangka pendek agar menarik atau mempertahankan modal. Kewajiban fiduciary kepada klien kadang bertabrakan dengan target internal, bonus kinerja, atau arahan manajemen. Rasionalisasi halus demi keuntungan pribadi atau organisasi ini mencerminkan influence conflict yang dibahas buku ini.
Ketiga, auditor KAP menunjukkan skenario konflik klasik. Ketika mereka mengaudit perusahaan yang sama dimana mereka juga memberikan jasa konsultansi, independensi mereka terganggu. Kasus Bank Century dan Jiwasraya di Indonesia menunjukkan bagaimana peran ganda seperti ini bisa menutupi penyimpangan finansial. Buku ini menekankan bahwa insentif struktural, bukan moral individu saja, sering menjadi akar masalah.
Terakhir, regulator seperti OJK punya konflik kepentingan sendiri. Mereka harus menegakkan regulasi prudensial, melindungi investor, dan menjaga kepercayaan pasar, sekaligus mendorong pertumbuhan sistem keuangan sesuai tujuan pembangunan nasional. Tekanan untuk mendorong investasi bisa mengurangi ketegasan pengawasan, menciptakan ketegangan antara tugas regulasi dan tujuan ekonomi. Baum menegaskan bahwa ketegangan seperti ini bersifat sistemik dan terprediksi, bukan sekadar akibat kesalahan moral individu.
Singkatnya, sektor keuangan Indonesia menunjukkan bagaimana peran profesional, loyalitas yang tumpang-tindih, dan struktur insentif menghasilkan konflik kepentingan yang luas. Buku ini jelas: tanpa perlindungan struktural, transparansi, dan budaya etis yang menomorsatukan integritas fiduciary di atas keuntungan pribadi atau institusi, konflik ini bisa merusak pengambilan keputusan, mengancam stabilitas pasar, dan menurunkan kepercayaan publik.

Selah seorang kontributor buku tersebut, Taylor Cowen, dalam The Economics of the Critic, membahas peran kritikus—baik di bidang sastra, seni, maupun budaya lain—dari perspektif insentif ekonomi dan konflik kepentingan. Cowen berargumen bahwa kritikus menempati posisi unik: penilaian mereka mempengaruhi pasar, reputasi, dan karier, namun insentif finansial atau sosial mereka sendiri mungkin tak selalu sejalan dengan kepentingan publik. Dengan demikian, konflik kepentingan menjadi hal yang melekat dalam profesi kritik.
Cowen menyoroti beberapa mekanisme munculnya konflik ini. Kritikus bisa punya hubungan pribadi dengan seniman, penerbit, atau galeri yang mempengaruhi penilaian mereka. Mereka juga menghadapi tekanan untuk mempertahankan jumlah pembaca atau visibilitas, sehingga terdorong menulis ulasan positif atau sensasional yang menarik perhatian, bukan memberikan evaluasi objektif. Lebih lanjut, kritikus yang bergantung pada honorarium, penghargaan, atau pekerjaan konsultasi mungkin menyesuaikan opini demi menjaga peluang di masa depan. Contoh-contoh ini menunjukkan cara halus dimana kewajiban profesional bisa terganggu oleh keuntungan pribadi atau tekanan sosial.
Hal yang krusial disini, bahwa Cowen menempatkan kritikus dalam kerangka pasar: nilai informasi, modal reputasi, dan tekanan kompetitif menciptakan insentif struktural yang sering bertentangan dengan ideal penilaian netral. Bahwa konflik kepentingan bukan sekadar kegagalan moral; ia muncul secara prediktabel dari konteks institusional dan ekonomi tempat kritikus beroperasi. Hal ini sejalan dengan tema utama Conflict of Interest in the Professions, yaitu menekankan peran faktor struktural dan sistemik dalam menimbulkan dilema etis.

Mengacu pada kerangka Taylor Cowen di The Economics of the Critic, lanskap media Indonesia menunjukkan lapisan konflik kepentingan yang kompleks, karena jurnalis, editor, dan komentator media menghadapi insentif ekonomi, sosial, dan politik yang tumpang-tindih. Inti pemikiran Cowen—bahwa penilaian profesional sering terganggu secara lampas oleh tekanan pribadi atau institusional—sangat relevan untuk memahami dinamika ini.
Di Indonesia, banyak media bergantung pada pendapatan iklan dari perusahaan, kontrak pemerintah, atau tokoh politik berpengaruh. Ketergantungan finansial ini mencuatkan konflik inheren: jurnalis diharapkan melaporkan secara objektif, tetapi organisasi mereka mungkin ditekan agar tak memberitakan hal negatif tentang sponsor atau pemangku kepentingan. Cowen menyebut ini sebagai masalah insentif struktural, dimana posisi pasar dan target pendapatan media membentuk perilaku profesional jurnalis.
Selain itu, jurnalis atau komentator bisa membangun hubungan dengan pejabat publik, selebritas, atau pemimpin perusahaan guna beroleh akses, cerita eksklusif, atau visibilitas sosial. Hubungan ini bisa menurunkan objektivitas, menghasilkan liputan menguntungkan, wawancara “soft”, atau penghilangan informasi kritis. Analisis Cowen menunjukkan bahwa konflik ini jarang berupa korupsi terang-terangan; konflik ini muncul secara alami dari ketergantungan ekonomi dan reputasi yang melekat pada peran profesional.
Fenomena influencer digital dan media online semakin memperumit keadaan. Personaliti media sosial yang mengulas film, buku, atau peristiwa politik sering menerima sponsor, affiliate deals, atau undangan ke acara eksklusif. Insentif untuk menjaga engagement dan kemitraan komersial bisa secara lembut mempengaruhi opini mereka, sesuai argumen Cowen bahwa penilaian kritikus selalu terkait dengan pertimbangan pribadi dan ekonomi.
Terakhir, dewan redaksi bisa menghadapi konflik antara kepentingan publik dan kelangsungan internal. Mempertahankan pembaca, menghindari sengketa hukum, atau menjaga operasional dapat mempengaruhi pilihan editorial yang bisa mengorbankan etika jurnalistik. Kerangka Cowen menunjukkan bahwa tekanan ini bersifat sistemik, bukan sekadar kegagalan individu, menekankan sifat struktural konflik kepentingan dalam profesi media.
Kesimpulannya, analisis Cowen memberikan lensa untuk memahami mengapa jurnalisme Indonesia, seperti bidang profesional lainnya, rentan terhadap konflik kepentingan. Tekanan dari pendanaan, akses, visibilitas, dan kelangsungan organisasi menciptakan ketegangan yang dapat diprediksi antara kewajiban profesional dan insentif pribadi, sehingga transparansi, pengungkapan, dan norma profesional menjadi sangat penting untuk menjaga standar etika.

[Bagian 7]
[Bagian 5]