Senin, 24 November 2025

Konflik Kepentingan (2)

Banyak kritikus hukum menyampaikan keprihatinan mendalam atas vonis penjara empat setengah tahun yang dijatuhkan kepada mantan Direktur ASDP, Ira Puspadewi. Mereka berpendapat bahwa kasus ini merupakan contoh yang mengkhawatirkan dari kriminalisasi keputusan bisnis, bukan tindakan korupsi yang sesungguhnya. Menurut para pengamat, tiada bukti bahwa ia menikmati keuntungan pribadi dari transaksi tersebut, dan tak ada pula demonstrasi jelas mengenai kerugian negara. Sebaliknya, keputusannya untuk mengakuisisi PT Jembatan Nusantara dipandang sebagai langkah strategis yang justru meningkatkan pendapatan ASDP. Para kritikus menggambarkan putusan ini sebagai tidak konsisten dengan prinsip Business Judgment Rule, yang seharusnya melindungi eksekutif yang mengambil keputusan dengan itikad baik, meskipun keputusan itu mengandung risiko. Beberapa bahkan menyebut putusan tersebut sebagai bentuk “keadilan yang sesat,” dengan peringatan bahwa hal ini dapat membuat para profesional di BUMN enggan mengambil inisiatif berani. Adanya dissenting opinion dari salah seorang hakim majelis semakin memperkuat kesan bahwa kasus ini berada di wilayah abu-abu antara resiko kesalahan manajerial, yang belum terbukti dalam kasus ini, dan pertanggungjawaban pidana. Bagi banyak komentator hukum, vonis ini menjadi simbol preseden berbahaya yang melemahkan inovasi dan profesionalisme di sektor BUMN Indonesia.

Netizen dan para kritikus hukum menyoroti keras Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas penanganan kasus Ira Puspadewi, dengan tuduhan tidak konsisten, berlebihan, dan gagal menghormati prinsip Business Judgment Rule. Banyak yang berpendapat bahwa upaya KPK memaksakan akuisisi ASDP sebagai korupsi, meski tidak ada bukti keuntungan pribadi, justru merusak kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut.
Bagi para pengamat, pendekatan KPK dalam kasus ASDP mencerminkan kekakuan yang bermasalah. Ekonom Didik J. Rachbini menyebut penuntutan ini sebagai bentuk “keadilan sesat,” menekankan bahwa KPK mengabaikan fakta bahwa Ira tidak menikmati keuntungan pribadi dan tidak ada audit BPK/BPKP yang membuktikan kerugian negara. Menurutnya, KPK telah mengkriminalisasi risiko bisnis, bukan korupsi yang nyata.

Netizen di media sosial juga menilai KPK telah kehilangan arah moral. Banyak yang mempertanyakan mengapa lembaga ini begitu keras mengejar Ira, padahal keputusannya justru memperkuat posisi keuangan ASDP. Istilah “kriminalisasi inovasi” ramai digunakan, mencerminkan keyakinan bahwa KPK menghukum eksekutif karena berani berinovasi, bukan karena mencuri uang negara.
Di sisi lain, KPK membela diri dengan menegaskan bahwa akuisisi PT Jembatan Nusantara menimbulkan kerugian negara Rp 1,25 triliun, dengan alasan kapal yang dibeli sudah tua dan valuasi transaksi terlalu tinggi. Namun, para kritikus menilai definisi “kerugian negara” yang dipakai KPK terlalu luas, sehingga mencampuradukkan risiko manajerial dengan niat jahat pidana.

Kontroversi ini semakin tajam karena adanya dissenting opinion dari salah seorang hakim, sehingga mempertanyakan apakah kasus ini benar-benar memenuhi unsur korupsi. Perbedaan pandangan di pengadilan memperkuat dugaan publik bahwa penuntutan KPK lebih berorientasi pada pencitraan ketimbang substansi.

Singkatnya, kritikus menuduh KPK melemahkan profesionalisme BUMN dengan mengkriminalisasi pengambilan risiko, sementara netizen menilai KPK merusak kepercayaan publik dengan mengejar kasus yang lebih mirip risiko manajerial daripada korupsi.

Sangat mungkin bahwa kasus seperti yang menimpa Ira Puspadewi akan menimbulkan bayang-bayang terhadap semangat banyak putera-puteri Indonesia yang telah belajar di luar negeri dan kembali dengan niat mengabdi kepada bangsa. Para kritikus hukum dan pengamat sudah memperingatkan bahwa kriminalisasi keputusan bisnis, bukan tindakan korupsi yang nyata, menciptakan iklim ketakutan. Bagi para profesional muda dan mereka yang pulang dari luar negeri, pesannya terasa jelas: kendati bertindak dengan itikad baik, mengambil risiko untuk berinovasi, dan memperkuat BUMN, tetap ada kemungkinan menghadapi tuntutan hukum. Persepsi ini dapat membuat individu berbakat enggan masuk atau bertahan di sektor publik, khususnya di BUMN, dimana keputusan strategis acapkali penuh risiko kompleks.
Dalam skala yang lebih luas, kasus semacam ini berisiko mengikis kepercayaan terhadap lembaga yang seharusnya melindungi integritas dan mendorong inovasi. Alih-alih menumbuhkan keyakinan, ia justru memperkuat skeptisisme tentang apakah sistem hukum Indonesia benar-benar mampu membedakan antara korupsi dan resiko manajerial. Bagi mereka yang kembali dengan pengalaman internasional, ketakutan akan dihukum karena inisiatif berani bisa berujung pada penyensoran diri, sikap menghindari risiko, atau bahkan keputusan untuk berkarier di luar sektor publik. Dengan demikian, dampaknya bukan hanya personal tetapi juga sistemik: ia mengancam untuk membungkam semangat pengabdian dan inovasi yang justru sangat dibutuhkan bangsa dari putera-puteri terbaiknya.

Tak ada informasi jelas atau otoritatif yang menyebutkan bahwa tindakan Ira Puspadewi merupakan resiko manajerial dalam arti konvensional. Yang banyak diperdebatkan adalah apakah keputusannya mengakuisisi PT Jembatan Nusantara harus dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi atau sekadar keputusan bisnis yang mengandung risiko. Para kritikus hukum dan pengamat menekankan bahwa ia tak menikmati keuntungan pribadi dari transaksi tersebut, dan akuisisi itu justru dimaksudkan untuk memperkuat operasi ASDP. Dissenting opinion dari salah satu hakim dalam persidangan juga menegaskan bahwa kasus ini berada di wilayah abu-abu, sehingga bukan perkara sederhana tentang kelalaian manajerial, melainkan interpretasi yang diperdebatkan mengenai keputusan bisnis.
Dengan kata lain, narasi tentang “kesalahan manajerial” tak pernah terbukti dalam catatan publik maupun temuan hukum. Kontroversinya justru berpusat pada apakah valuasi akuisisi itu dianggap sebagai “kerugian negara” menurut hukum, meskipun pendapatan ASDP dilaporkan meningkat setelah integrasi. Maka, lebih tepat dikatakan bahwa kasus ini menyangkut kriminalisasi keputusan bisnis, bukan pembuktian adanya ketidakmampuan manajerial.

Sesungguhnya, keputusan yang diambil oleh Ira Puspadewi untuk mengakuisisi PT Jembatan Nusantara bagi ASDP dapat ditafsirkan sebagai langkah strategis yang pada akhirnya menguntungkan negara, bukan merugikannya. Akuisisi tersebut memungkinkan ASDP mengonsolidasikan rute penyeberangan, memperkuat kapasitas operasional, dan menjamin keberlanjutan layanan di wilayah-wilayah yang konektivitasnya sangat penting bagi pergerakan orang dan barang. Jauh dari tindakan sembrono, keputusan itu merupakan langkah bisnis yang terukur dan sejalan dengan mandat BUMN untuk melayani kepentingan publik sekaligus menjaga keberlanjutan finansial. Yang lebih penting, tak ada bukti bahwa ia menikmati keuntungan pribadi dari transaksi tersebut, sehingga melemahkan dasar tuduhan korupsi.
Dari sisi finansial, integrasi aset Jembatan Nusantara meningkatkan skala operasi ASDP, menurunkan biaya per unit, dan memperbaiki efisiensi. Perbaikan ini menghasilkan pendapatan lebih tinggi dan margin yang lebih kuat, yang pada gilirannya berkontribusi pada setoran dividen dan penerimaan pajak yang lebih besar bagi negara. Di luar neraca keuangan, akuisisi ini membawa manfaat ekonomi yang lebih luas: mengurangi hambatan logistik, mendukung perdagangan regional, serta meningkatkan pariwisata dan peluang usaha lokal. Efek pengganda semacam ini tidak selalu tercermin dalam definisi sempit “kerugian negara,” namun nyata dan berkontribusi langsung pada pembangunan nasional.
Argumen bahwa akuisisi tersebut menimbulkan kerugian Rp 1,25 triliun bertumpu pada metode valuasi yang kaku dan terlalu sederhana, yang mengabaikan arus kas jangka panjang serta manfaat tak berwujud dari konsolidasi rute. Faktanya, kapal-kapal yang dibeli, meskipun sudah berusia, tetap layak digunakan dan menghasilkan pendapatan selama sisa masa pakainya. Ketika ditempatkan di rute dengan permintaan stabil, kapal-kapal tersebut terus memberikan nilai jauh melampaui harga pembelian. Dengan hanya berfokus pada selisih antara penilaian dan nilai transaksi, para pengkritik mengabaikan keuntungan ekonomi dan sosial yang lebih luas dari keputusan tersebut.
Oleh karena itu, jika dinilai berdasarkan prinsip itikad baik, pelayanan publik, dan kontribusi finansial, keputusan Ira Puspadewi tidak merugikan negara, melainkan memperkuat peran ASDP sebagai tulang punggung konektivitas nasional. Lebih tepat dikatakan bahwa kepemimpinannya memperkuat infrastruktur transportasi negara, mendukung pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan penerimaan fiskal pemerintah. Mengkriminalisasi keputusan semacam ini berarti menyamakan risiko bisnis dengan korupsi, dan dengan demikian, melemahkan inovasi serta dedikasi yang justru sangat dibutuhkan Indonesia dari para profesional terbaiknya.

Tidak ditemukan bukti  yang menunjukkan adanya konflik kepentingan dalam kasus Ira Puspadewi. Kontroversi justru berfokus pada apakah keputusannya mengakuisisi PT Jembatan Nusantara merupakan tindak pidana korupsi atau keputusan bisnis yang sah.

Ketika Ira dijatuhi hukuman empat setengah tahun penjara, alasan pengadilan adalah bahwa tindakannya secara melawan hukum menguntungkan korporasi lain, yakni PT Jembatan Nusantara. Namun, Ira sendiri dengan tegas membantah melakukan korupsi dan menegaskan bahwa akuisisi tersebut adalah bagian dari strategi bisnis. Para pengamat hukum menilai kasus ini kontroversial karena tidak ada bukti bahwa ia menikmati keuntungan pribadi. Dissenting opinion dari salah satu hakim juga menegaskan bahwa tindakannya seharusnya dipandang sebagai keputusan bisnis, bukan tindak pidana.

KPK berpendapat bahwa akuisisi tersebut menimbulkan kerugian negara Rp 1,25 triliun, dengan alasan kapal yang dibeli sudah tua dan valuasi transaksi terlalu tinggi. Namun, para kritikus menilai interpretasi ini mencampuradukkan risiko bisnis dengan korupsi. Yang penting dicatat, tidak ada laporan atau komentar yang menyebut Ira memiliki kepentingan pribadi atau keluarga di PT Jembatan Nusantara, ataupun bahwa ia memperoleh keuntungan pribadi dari transaksi tersebut. Tuduhan hanya terkait keuntungan korporasi, bukan konflik kepentingan individu.

Dengan demikian, meskipun kasus ini dibingkai sebagai korupsi oleh KPK, tidak ada dugaan konflik kepentingan yang terbukti dalam arti Ira menggunakan posisinya untuk memperkaya diri sendiri atau pihak terkait. Perdebatan tetap berpusat pada apakah negara benar-benar dirugikan, atau apakah keputusan tersebut adalah langkah bisnis sah yang justru dikriminalisasi.

Kritik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus Ira Puspadewi bernada yang mirip dengan kritik terhadap penanganan tokoh lain yang disorot publik, semisal Bobby Nasution. Dalam kasus Ira, kritik utamanya adalah bahwa KPK tampak mengkriminalisasi keputusan bisnis alih-alih membongkar korupsi yang nyata, sehingga melemahkan prinsip Business Judgment Rule dan membuat inovasi di BUMN terhambat. Para pengamat menilai KPK terlalu agresif mengejar kasus ini meski tidak ada bukti keuntungan pribadi, sehingga menimbulkan keraguan atas konsistensi dan keadilannya.

Dalam kasus Bobby Nasution, kritiknya berbeda bentuk tetapi mencerminkan masalah yang sama: ketidakmampuan KPK bertindak tegas dan transparan ketika berhadapan dengan figur yang sensitif secara politik atau dekat dengan kekuasaan. Publik menyoroti kegagalan KPK menghadirkannya untuk diperiksa secara cepat dan terbuka, yang memicu dugaan adanya penegakan hukum yang selektif. Banyak netizen dan komentator hukum menilai KPK cepat menghukum profesional seperti Ira yang tak memiliki perlindungan politik, tetapi ragu-ragu ketika berhadapan dengan tokoh yang punya jaringan politik kuat.

Perbandingan kedua kasus ini menunjukkan kritik ganda. Di satu sisi, KPK dituduh berlebihan—menghukum profesional atas keputusan yang diambil dengan itikad baik. Di sisi lain, KPK dituduh lemah—ragu menghadapi individu berpengaruh secara politik dengan ketegasan yang sama. Bersama-sama, kritik ini menggambarkan KPK sebagai lembaga yang tidak konsisten: keras di tempat yang seharusnya hati-hati, dan hati-hati di tempat yang seharusnya tegas. Ketidakselarasan ini merusak kepercayaan publik, karena masyarakat melihat KPK sekaligus terlalu bersemangat dan tidak efektif, tergantung siapa yang menjadi tersangka.

Sekarang, mari balik ke topik bahasan kita.

Gagasan “konflik kepentingan” itu sebenarnya bukan ide baru yang tiba-tiba muncul di era KPK atau auditor modern. Konsep ini udah muncul sejak manusia mulai sadar bahwa jabatan publik dan kepentingan pribadi itu bisa tabrakan dan bikin rusak tatanan. Di Yunani kuno, sekitar abad ke-5 SM, pejabat publik udah dilarang dagang tertentu biar nggak “main dua kaki” antara negara dan kantong pribadi. Walau belum ada istilah resminya, mereka udah paham kalau pejabat serakah bisa ngerusak demokrasi.
Di zaman Romawi kuno, aturan makin jelas. Lex Claudia tahun 218 SM ngelarang senator punya kapal dagang besar karena mereka bisa manfaatin jabatan buat ngatur kontrak perang dan perdagangan. Jadi dari dulu, orang Romawi udah mikir, “Kalau penguasa juga jadi pebisnis, siap-siap chaos.”
Masuk ke Eropa abad pertengahan, Gereja Katolik ngegas soal larangan “simony” dan jual beli jabatan. Intinya: jangan pakai otoritas rohani buat ngejar duit. Di sini konflik kepentingan mulai dikaitin langsung sama moral rusak.
Versi modernnya meledak di abad ke-17 dan 18, pas Inggris dan Amerika bikin sistem pemerintahan konstitusional. Negara makin gede, birokrasi makin banyak, peluang “main belakang” makin terbuka. Tokoh Enlightenment kayak John Locke dan Montesquieu bilang bahwa memisahkan kekuasaan publik dari kepentingan pribadi itu wajib biar negara nggak berubah jadi mesin tirani.
Di abad ke-19 dan awal abad ke-20, terutama di Amerika, industrialisasi dan konglomerat bikin praktik korupsi makin brutal. Era Progressive reform mulai bikin aturan resmi: pejabat jangan ikut bisnis yang bisa bikin keputusan mereka bias.

Istilah “conflict of interest” sendiri baru populer setelah Perang Dunia II, waktu organisasi internasional mulai bikin standar etika pejabat publik. PBB, OECD, dan asosiasi profesi memperjelas definisinya dan ngeframe ini sebagai isu tata kelola global.
Di akhir abad ke-20 sampai sekarang, konsep ini makin rame karena privatisasi, investasi global, dan proyek kerjasama pemerintah-swasta bikin batas antara negara dan bisnis makin blur. Konflik kepentingan jadi topik wajib kalau ngomongin transparansi, korupsi, governance, dan akuntabilitas publik.
Jadi, sejarahnya panjang banget: dari senator Romawi sampai komisaris BUMN zaman now, masalahnya tetep sama—ketika kekuasaan publik ketemu kepentingan pribadi, selalu ada peluang buat drama, skandal, dan trust publik rontok.

Menurut Johan Heilbron, konsep interest atau kepentingan sebagai ide dasar dalam pemikiran politik modern mulai muncul di Eropa awal modern, terutama setelah era Renaisans. Heilbron menekankan bahwa para filsuf politik abad ke-17 mulai menggunakan istilah “interest” sebagai kategori analitis utama untuk memahami motivasi aktor politik, bukan cuma soal moral atau agama. Pergeseran ini menandai awal bagaimana perilaku politik mulai dipahami lewat kepentingan pribadi dan kolektif, yang kemudian jadi dasar refleksi soal konflik kepentingan.

Di ranah teori politik klasik, meskipun Aristoteles dalam Politics banyak membahas konflik antar “bagian” masyarakat dan kepentingan polis, ia nggak pakai istilah conflict of interest seperti pengertian modern sekarang. Fokusnya lebih ke konflik kelas atau ketegangan antar segmen polis, bukan soal tumpang-tindih peran pribadi dan publik secara formal.

Dalam tradisi hukum dan pemerintahan modern, ide konflik kepentingan mulai dibahas lebih gamblang pada abad ke-20. Misalnya, dalam Conflict of Interest and Federal Service (1961), Charles Taft menyatakan bahwa meskipun konflik kepentingan kadang nggak bisa dihindari di pemerintahan, beberapa konflik harus diatur, dan beberapa bisa dibolehkan selama ada mekanisme kontrol yang efektif.

Enggak ada satupun tokoh yang pertama kali mendefinisikan konflik kepentingan persis seperti yang kita pahami sekarang. Ide ini berkembang secara bertahap dari pemikiran awal soal kepentingan politik, disempurnakan lewat teori kontrak sosial dan teori hukum, dan akhirnya diartikulasikan lebih formal dalam wacana akuntabilitas pemerintahan modern.

[Bagian 3]
[Bagian 1]