Sebelum kita masuk ke topik utama bincang kita, coba perhatiin ini dulu:
"Beberapa bocah Pramuka kota lagi kemping. Nyamuk-nyamuknya brutal parah, sampe mereka kudu ngumpet di bawah selimut biar gak jadi snack. Terus, salah seorang ngeliat kunang-kunang dan ngomong ke temennya, 'Yaudah bro, kita nyerah aja… ini gak adil, musuh udah pada ngupgrade, sekarang bawa senter!'"
[Bagian 8]Skeptisisme publik soal UGM dan status alumni Jokowi itu sebenernya masuk akal banget. Kalau kita pakai logika dari Conflict of Interest in the Professions (Davis & Stark, 2001), masalahnya bukan soal “percaya atau gak percaya,” tapi lebih ke struktur dan tekanan yang bikin universitas, boleh jadi, enggak sepenuhnya netral.UGM itu punya peran ganda: di satu sisi sebagai kampus keren yang kudu objektif soal catatan akademik, di sisi lain, sebagai institusi nasional yang punya alumni top banget, termasuk Presiden. Nah, dua peran ini kadang bikin universitas kudu milih-milih, secara gak sadar, antara ngejaga reputasi dan mengungkap fakta apa adanya. Ini yang Davis dan Stark sebut “konflik loyalitas institusional.” Jadi wajar jika publik curiga kalau UGM kelihatan defensif atau cuma kasih klarifikasi setengah-setengah. Kita bisa saksikan penampilan Rektor UGM memberi klarifikasi, lagi dan lagi, hanya dengan narasi, tapi tanpa bukti, yang bisa diverifikasi.Selain itu, hubungan UGM dengan pemerintah juga bikin situasinya makin rumit. Pendanaan, regulasi, dan pengakuan politik bisa bikin universitas “terpaksa” menyesuaikan narasi. Artinya, walaupun niatnya kagak jelek, komunikasi bisa tetep bias karena tekanan politik dan sosial. Publik yang jeli tentu langsung merasa ada yang gak beres.Belum lagi soal birokrasi kampus yang super kompleks. Kadang, informasi penting bisa terlambat keluar atau tersaring karena prosedur internal yang ribet. Davis dan Stark bilang, konflik kepentingan struktural itu gak selalu disengaja, tapi bisa muncul dari aturan main dan struktur organisasi. Contohnya, kasus viral AI LISA yang bilang Jokowi “bukan alumni”—terlepas itu bener apa enggak—jadi meledak karena publik gak percaya 100% sama klarifikasi resmi.Kesimpulannya, keraguan publik itu wajar. Skeptisisme bukan berarti orang-orang paranoid atau suka konspirasi, tapi reaksi logis terhadap keadaan dimana universitas punya tekanan internal, politis, dan struktural. Jadi, kalau ada yang bilang “kok UGM kelihatan ngelindungin Jokowi?”, itu bukan cuma omong kosong, tapi bisa dijelaskan lewat teori konflik kepentingan yang Davis dan Stark ulas.Conflict of interest, atau disingkat COI, adalah kondisi ketika individu atau institusi punya kepentingan yang saling bertentangan sehingga dapat mempengaruhi penilaian profesional atau objektivitas tindakannya. Dalam konteks akademik, COI muncul ketika universitas, dosen, atau birokrasi kampus menghadapi tekanan—politik, finansial, atau reputasi—yang bertentangan dengan kewajiban mereka untuk menjaga objektivitas, transparansi, dan integritas etis. Davis dan Stark menekankan bahwa COI struktural di institusi akademik tak selalu bermakna ada kesalahan disengaja; COI muncul ketika prioritas institusi secara tak langsung mempengaruhi keputusan, komunikasi, atau pengelolaan informasi.Kasus LISA AI, sistem kecerdasan buatan di Universitas Gadjah Mada (UGM), memperlihatkan bagaimana konflik kepentingan ini bisa muncul dalam praktik. Sistem AI sangat bergantung pada dataset, pemrograman, dan pengawasan yang diberikan institusi. Dalam lingkungan yang rentan COI, faktor-faktor ini bisa dipengaruhi—secara sadar maupun tidak—oleh tekanan institusional. Misalnya, jika universitas berkepentingan melindungi reputasi alumni berprofil tinggi, staf bisa secara tak sengaja membentuk dataset, menyusun prompt, atau menafsirkan output AI agar sejalan dengan prioritas institusi, bukan sepenuhnya objektif.Selain itu, keterikatan politik meningkatkan risiko output AI dianggap bias atau kontroversial. Posisi UGM sebagai institusi akademik bergengsi yang terkait erat dengan politik nasional memunculkan tekanan sistemik agar narasi tetap konsisten dengan ekspektasi politik. Dalam konteks ini, bahkan sistem AI yang dirancang untuk menjawab pertanyaan secara faktual bisa menghasilkan output yang tak lengkap, ambigu, atau terkesan defensif, hanya karena data atau pengawasan yang menjadi dasar AI mencerminkan prioritas institusi.Kompleksitas birokrasi juga memperburuk masalah. Institusi akademik besar biasanya memiliki hierarki pengambilan keputusan dan proses persetujuan yang bertingkat. Dalam kasus LISA, output yang dipublikasikan bisa tersaring atau dimodifikasi melalui lapisan-lapisan ini, baik disengaja untuk menghindari kontroversi maupun tak disengaja karena norma prosedural. Davis & Stark mencatat bahwa COI struktural sering muncul secara subtil: output atau keputusan bisa tampak netral, tetapi dibentuk oleh insentif institusional yang mendasarinya.Akhirnya, pengawasan publik memperkuat persepsi COI. Ketika figur berprofil tinggi seperti Presiden Jokowi terlibat, masyarakat secara alami meneliti setiap pernyataan atau output AI dengan ketat. Ketidakjelasan, inkonsistensi, atau pengungkapan yang selektif dipersepsikan sebagai bukti bias, yang memperkuat kesan bahwa kepentingan institusi—bukan kebenaran objektif—menentukan komunikasi. Kontroversi LISA AI adalah contoh klasik bagaimana COI struktural di akademik dapat berinteraksi dengan teknologi dan persepsi publik untuk menghasilkan narasi yang sangat diperdebatkan.Kesimpulannya, COI di akademik adalah fenomena struktural yang bisa mempengaruhi output manusia maupun AI. Kasus LISA menunjukkan bahwa bahkan sistem yang bermaksud baik bisa mencerminkan tekanan institusional. Memahami COI, bagaimana ia muncul, dan efeknya terhadap persepsi publik sangat penting untuk menilai kontroversi di lingkungan akademik, terutama ketika melibatkan pemangku kepentingan berprofil tinggi dan isu yang sensitif secara politik.Pertanyaannya, apakah UGM berada dalam posisi konflik kepentingan struktural? Pertanyaan ini perlu dicermati dari perspektif institusional dan politik. Konflik kepentingan, sebagaimana dijelaskan dalam Conflict of Interest in the Professions (Davis & Stark, 2001), muncul ketika tujuan institusi bertentangan dengan tugas profesional atau etisnya, terutama ketika tekanan eksternal mempengaruhi pengambilan keputusan internal. Dalam kasus UGM, perguruan tinggi ini berperan sebagai pusat keunggulan akademik sekaligus institusi nasional yang amat terpandang, dengan alumni berprofil tinggi semisal Presiden Indonesia.Peran ganda UGM sebagai penjaga integritas akademik dan pemangku kepentingan dalam politik nasional menempatkannya pada posisi yang secara struktural sensitif. Di satu sisi, universitas berkewajiban etis untuk menjaga catatan akademik secara objektif dan menegakkan prinsip transparansi. Di sisi lain, institusi ini punya insentif untuk melindungi reputasinya, menjaga hubungan dengan otoritas pemerintah, dan mempertahankan pengaruh dalam jaringan kebijakan nasional. Dua insentif ini dapat menimbulkan apa yang literatur sebut sebagai “konflik loyalitas institusional,” dimana memelihara prestise organisasi dapat mengorbankan penyampaian fakta secara netral.Selain itu, keterikatan politik lembaga pendidikan tinggi di Indonesia memperburuk konflik kepentingan struktural. Hubungan UGM dengan negara bukan sekadar simbolis; hubungan ini mencakup pendanaan, regulasi, dan pengakuan politik, yang secara implisit dapat menekan universitas untuk menyelaraskan narasinya dengan kepemimpinan nasional. Keterikatan semacam ini berpotensi menghasilkan laporan yang bias, pengungkapan catatan akademik secara selektif, dan komunikasi hati-hati yang lebih mengutamakan stabilitas institusi ketimbang transparansi fakta.Klaim viral terkait AI LISA dan status Presiden Jokowi memperlihatkan bagaimana tekanan struktural ini muncul dalam kontroversi publik. Apakah klaim tersebut akurat atau dibuat-buat, respons universitas—yang oleh sebagian pihak dianggap defensif atau tidak lengkap—dapat dianalisis melalui lensa konflik kepentingan struktural. Menurut Davis dan Stark, sebuah institusi dalam posisi ini mungkin tak sengaja memalsukan catatan, tetapi kombinasi reputasi institusi, keterikatan politik, dan inersia birokrasi dapat menyebabkan keputusan dan komunikasi yang menutupi kebenaran objektif.Kesimpulannya, posisi UGM menunjukkan beberapa indikator konflik kepentingan struktural. Persimpangan antara kewajiban akademik, reputasi institusi, dan keterikatan politik memunculkan kondisi dimana skeptisisme publik adalah wajar. Dari perspektif tatakelola dan etika, adalah wajar bagi para pemangku kepentingan mempertanyakan apakah komunikasi universitas sepenuhnya mencerminkan realitas akademik objektif, terutama dalam hal yang melibatkan alumni politik berprofil tinggi.Kalau perguruan tinggi segede UGM saja bisa terjebak dalam konflik kepentingan struktural, itu seperti nonton film superhero dimana kotanya kelihatan megah, tapi fondasinya sudah retak-retak. Dari luar semua tampak gagah dan penuh prestise, tapi dari dalam ada tekanan, relasi kekuasaan, dan kepentingan institusional yang saling tarik-menarik. Publik Indonesia, yang makin melek isu integritas, melihat retakan ini dan mulai bertanya-tanya: seterbuka dan sebersih itukah dunia kampus yang selama ini dibayangkan?
Konflik kepentingan atau conflict of interest (COI) sendiri sederhananya adalah kondisi ketika aktor yang harusnya mengambil keputusan secara independen malah terpengaruh oleh kepentingannya sendiri, atau kepentingan lembaga, sponsor, bahkan relasi politik. Di akademia, COI itu bukan cuma tanda bahaya—itu alarm kebakaran. Karena kalau akademisi sudah tidak netral, seluruh dunia ilmu ikut terbakar pelan-pelan.Nah, ketika publik melihat UGM terlalu “masuk” dalam isu politik seputar identitas seseorang, muncul kecurigaan alami: bener-benerkah kampus bicara dari posisi akademis murni, atau ada beban institusional yang “ikut duduk satu meja”? Apalagi kalau elite kampus sedang menghadapi masalah internal seperti dugaan korupsi atau krisis reputasi—di sinilah konflik kepentingan struktural bisa meledak jadi isu besar.Konflik kepentingan struktural beda dengan kasus “oknum.” Ini bukan sekadar satu orang punya agenda pribadi. COI struktural berarti sistemnya sendiri memungkinkan bias muncul tanpa perlu mens rea. Struktur, insentif, dan tekanan eksternal membentuk keputusan. Dan kalau struktur sudah bias, aktor mana pun di dalamnya jadi rentan ikut bias.Buat publik, situasi UGM ibarat nonton drama politik yang merembes masuk ke ruang kuliah. Wajar kalau kecurigaan muncul: “Eh, ini kampus ngomong dari perspektif ilmiah, atau sedang jadi PR machine buat pihak tertentu?” Ketika institusi pendidikan terlihat tidak 100% independen, trust publik ke kampus pun langsung turun derajat.Dalam konteks Indonesia, dimana masyarakat sudah kenyang dicekokin dengan drama politik tiap hari, pergeseran persepsi tentang integritas kampus itu berbahaya. Universitas itu semacam “kuil pengetahuan”—kalau kuilnya dianggap terkontaminasi, jamaahnya bakal ogah percaya khotbahnya.
COI struktural di kampus besar seperti UGM juga bisa jadi preseden buruk buat kampus lain. Kalau kampus top saja bisa terseret kepentingan politik atau institusional, kampus-kampus lain bisa saja merasa “ya wajarlah kalau kita ikutan begitu.” Ini efek domino yang bisa mengubah ekosistem pendidikan secara nasional.Dampaknya bukan cuma reputasi, tapi juga kultur akademik. Dosen bisa jadi lebih berhati-hati untuk bersuara kritis. Penelitian bisa disesuaikan agar tidak bertabrakan dengan kepentingan sponsor atau pemerintah. Mahasiswa mungkin merasa kampus bukan lagi ruang dialog bebas, tapi ruang di mana narasi tertentu lebih aman daripada yang lain.Dalam jangka panjang, fenomena ini bisa menggerus meritokrasi. Ketika keputusan akademik dipengaruhi kepentingan eksternal, kualitas ilmu bukan lagi parameter utama. Yang menentukan bukan siapa paling kompeten, tapi siapa paling selaras dengan kepentingan tertentu. Ini resep pasti untuk dekadensi akademik.Dan jangan lupakan efek tak terlihat tapi paling fatal: erosi integritas intelektual. Jika kampus tak lagi tegak di atas prinsip kebenaran akademik, para mahasiswanya akan mewarisi standar itu. Mereka belajar bahwa kepentingan bisa mengalahkan objektivitas, kedekatan bisa mengalahkan kualifikasi, dan politik bisa mengalahkan argumentasi. Ini mengancam masa depan Indonesia, karena lulusan kampuslah yang kelak mengisi birokrasi, lembaga penelitian, industri, hingga sektor politik. Kalau mereka dibentuk dalam ekosistem penuh COI, jangan berharap mereka akan membawa nilai objektivitas dan integritas ke ruang publik.Dari sudut pandang regulasi, COI struktural dalam dunia pendidikan juga menunjukkan bahwa Indonesia belum punya sistem audit akademik yang kuat. Sistem kita bagus di atas kertas, tapi tidak punya “gigitan.” Tidak ada mekanisme independen yang benar-benar bisa menegakkan batas antara dunia akademik dan dunia politik.
Fenomena UGM ini memperlihatkan bahwa kampus sering terjebak sebagai institusi yang ingin menjaga reputasi, tapi dengan cara yang justru membuat reputasinya makin tercoreng. Sikap defensif, alih-alih meningkatkan transparansi, malah membuat publik makin curiga. Zaman media sosial begini, semakin kampus menutup diri, semakin liar spekulasi di luar sana.Tapi ini bisa jadi titik balik. Kalau kampus-kampus mulai sadar bahwa COI struktural itu nyata dan berbahaya, mereka bisa memperkuat mekanisme transparansi, audit independen, dan batas institusional dari kekuasaan politik. Kampus yang berani mengakui kerentanan adalah kampus yang siap memperbaiki diri.Masalah UGM bukan sekadar drama identitas seorang tokoh; persoalan ini merupakan cermin besar tentang betapa rapuhnya integritas akademik ketika berada terlalu dekat dengan pusat kekuasaan. Dan kalau Indonesia ingin pendidikan yang maju, kampus hendaknya kembali menjadi benteng independensi, bukan sekadar ornamen dalam narasi politik yang sedang dominan. Karena kalau bentengnya runtuh, generasi masa depan ikut terkena reruntuhannya.
Guna meminimalkan konflik kepentingan akademik, langkah perbaikan yang disarankan Davis dan Stark dalam Conflict of Interest in the Professions hendaknya dipahami bukan sebagai daftar perbaikan teknis belaka, melainkan sebagai upaya merombak lingkungan moral, institusional, dan struktural tempat universitas beroperasi. Mereka menegaskan bahwa konflik kepentingan bukan terutama soal niat buruk atau kesalahan personal, melainkan konsekuensi dari pengaturan kelembagaan yang membuat insentif dan loyalitas yang tak selaras. Karenanya, perguruan tinggi yang hendak menjaga legitimasi intelektualnya harus berkomitmen pada sistem pengungkapan relasi dan kepentingan secara terbuka, sehingga setiap hubungan finansial, politik, atau institusional yang berpotensi mempengaruhi penilaian dapat terlihat jelas. Tanpa kejujuran struktural semacam ini, independensi akademik tidak dapat diklaim secara meyakinkan.
Independensi perguruan tinggi juga sangat bergantung pada kemampuan membangun batas tegas antara keputusan akademik dan kepentingan politik maupun komersial. Davis dan Stark menegaskan bahwa suatu profesi kehilangan integritas ketika keputusan para ahlinya tunduk pada tekanan politik atau harapan korporasi. Komunitas akademik harus membangun “firewall institusional”—barikade organisasi yang memastikan keputusan ilmiah terbebas dari tekanan pemerintah, sponsor, atau pusat kekuasaan mana pun. Firewall semacam ini bukanlah sekadar perangkat birokrasi, melainkan infrastruktur etis yang bertujuan menjaga agar kebenaran ilmiah tak dibentuk ulang oleh agenda eksternal.Agar memperkuat batas ini, universitas juga harus mengurangi ketergantungan pada pendanaan eksternal yang dapat memengaruhi arah penelitian. Ketika universitas terlalu bergantung pada kontrak pemerintah atau kerja sama industri, universitas tersebut menjadi secara struktural rentan terhadap tekanan yang justru melahirkan konflik kepentingan. Karena itu, Davis dan Stark menyarankan universitas mendiversifikasi sumber pendanaannya agar tidak ada satu pihak pun yang memiliki kekuatan cukup besar untuk mengendalikan arah riset atau memengaruhi objektivitas akademik.Namun independensi saja tak cukup; pengawasan pun harus independen. Davis dan Stark berkali-kali memperingatkan bahwa lembaga tak dapat secara kredibel mengawasi konflik kepentingannya sendiri jika badan etiknya berada di bawah kendali para pemimpin yang mungkin punya kepentingan langsung dalam kasus yang dinilai. Karenanya, kampus perlu membentuk badan etik independen yang tak berada dalam struktur rektorat, serta melibatkan pakar eksternal dan perwakilan publik guna memastikan penilaian dilakukan secara objektif dan bebas dari tekanan.Di samping itu, universitas perlu menghadapi masalah perangkapan jabatan yang memunculkan loyalitas ganda. Davis dan Stark menjelaskan bahwa banyak konflik kepentingan lahir bukan dari korupsi, tetapi dari situasi normal ketika akademisi menjalankan berbagai peran sekaligus—peneliti, konsultan, pejabat publik, pengusaha, atau tokoh politik. Guna mengatasi hal ini, universitas harus menetapkan batasan tegas terkait jabatan rangkap yang dapat memunculkan benturan kepentingan, terutama ketika jabatan tersebut memengaruhi keputusan akademik.Tantangan lain muncul ketika universitas menjadikan reputasi sebagai pertimbangan utama dalam proses akademik. Ketika upaya menjaga citra mengalahkan objektivitas ilmiah, penilaian akademik berubah menjadi alat promosi. Davis dan Stark mengingatkan bahwa legitimasi profesi akademik bertumpu pada standar profesional, bukan loyalitas institusi. Karena itu, kampus harus memperkuat mekanisme peer review, panel evaluasi independen, dan audit metodologi yang transparan untuk mencegah terjadinya manipulasi penilaian.Tiada reformasi yang akan berhasil jika suara akademisi dibungkam. Davis menekankan bahwa profesi hanya dapat mempertahankan otonomi etis jika para praktisinya bebas berbicara, mengkritik, dan menyampaikan keberatan tanpa takut dibalas secara hierarkis. Karenanya, kampus perlu memperkuat perlindungan terhadap kebebasan akademik, sehingga mereka yang mengungkap masalah etis atau menantang keputusan institusi tak menjadi korban.Untuk memastikan keberlanjutan perbaikan, atau bisa kita sebut sebuah reformasi, keputusan universitas hendaknya didasarkan pada norma profesional, bukan strategi politik atau kebutuhan mempertahankan citra. Seperti diingatkan Stark, otoritas profesi bergantung pada kemampuannya membuat keputusan berdasarkan keahlian, bukan kedekatan dengan kekuasaan. Ini berarti universitas harus menggagas kerangka prosedural yang memastikan setiap keputusan—baik mengenai penelitian, komunikasi publik, maupun status akademisi—mengikuti standar profesi yang objektif.Transparansi menjadi elemen penting lain. Konflik kepentingan tumbuh subur dalam lingkungan yang tertutup. Universitas hendaknya menerapkan keterbukaan radikal dalam data, metodologi, proses pengambilan keputusan, dan struktur internal. Dengan membuka proses secara publik, ruang bagi spekulasi, kecurigaan, dan manipulasi menjadi jauh lebih sempit.
Akhirnya, Davis dan Stark mengingatkan bahwa perlindungan struktural akan lemah tanpa transformasi budaya. Seluruh anggota civitas akademika harus memahami apa itu konflik kepentingan dan bagaimana konsekuensinya terhadap profesi. Pelatihan etika, diskusi terbuka, dan refleksi terus-menerus diperlukan untuk membangun budaya dimana integritas tak semata ditegakkan, melainkan dihayati sebagai nilai-nilai profesional. Tanpa perubahan budaya ini, integritas akademik akan selalu berada di ujung tanduk.
[Bagian 6]

